Referat Cerebral Palsy [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK



REFERAT



FAKULTAS KEDOKTERAN



JANUARI 2018



UNIVERSITAS HALU OLEO



CEREBRAL PALSY



Oleh : Meylia Pratiwi Samani K1A1 13 120 Pembimbing : dr. Yeni Haryani, M.Kes., Sp.A



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTRAMAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2018



CEREBRAL PALSY Meylia Pratiwi Samani, Yeni Haryani A. PENDAHULUAN Pada tahun 1869, seorang dokter bedah kebangsaan Inggris bernama William Little pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu membingungkan, penyakit itu menyerang anak-anak pada usia dibawah 1 tahun dan ditandai dengan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak - anak tersebut mengalami kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak bertambah membaik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah memburuk. Kondisi tersebut disebut little’s disease selama beberapa tahun, yang saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam terminologi cerebral palsy atau umumnya disingkat CP.1 Cerebral palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat nonprogresif, berbeda-beda, kronis, dan akibat cedera pada sistem saraf pusat selama awal masa perkembangan. Waktu timbulnya cedera dapat sebelum, pada saat, atau segera setelah lahir. Walaupun cerebral palsy pertama kali dilaporkan terjadi pada tahun 1827 oleh Cazauvielh, dan kemudian digambarkan dan diperdebatkan oleh para dokter seperti Little, Freud, Osler dan Phelps, patogenesis gangguan ini tetap tidak dimengerti secara jelas.2 Cerebral palsy merupakan kelainan motorik yang cukup banyak dijumpai pada anak. Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan otak yang menetap, tidak progresif, terjadi pada usia dini dan menghalangi perkembangan otak normal. Istilah cerebral palsy mencakup berbagai gambaran klinis, sebagai akibat rusaknya jaringan otak atau perkembangan yang abnormal pada masa pranatal atau pasca natal. Penyebab rusaknya jaringan otak yang berakibat terjadinya cerebral palsy demikian banyak, dapat mengenai satu area otak yang spesifik ataupun menyebar ke seluruh korteks sampai batang otak. Berbagai gangguan dapat menyerang bersama ataupun masing-masing pada waktu yang berbeda pada



1



berbagai fase perkembangan jaringan otak. Manifestasi klinis cerebral palsy tidak terbatas pada kelainan motorik sering disertai gangguan yang lain seperti pendengaran, penglihatan (strabismus), bahkan lebih dari 50% mereka juga menderita retardasi mental.3 Terminologi ini digunakan untuk mendeskripsikan kelompok penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisfer dan palsi mendeskripsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan terjadi perkembangan yang salah satu kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.1 B. DEFINISI Istilah cerebral palsy (CP) meliputi variasi ketidakmampuan neurologis nondegeneratif yang disebabkan oleh perkembangan SSP abnormal, juga cedera pada masa prenatal, perinatal, dan periode pascanatal awal yang menyebabkan kelainan fungsi motorik.4 Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi dalam suatu kurun waktu perkembangan anak, pada susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua belahan otak, atau hemisphere, dan palsi mendeskripsikan berbagai macam penyakit yang mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan terjadi perkembangan yang salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara adekuat.5 Cerebral palsy dibatasi untuk lesi otak saja; penyakit tertentu pada saraf perifer (misalnya, atrofi otot tulang belakang, myelomeningocele) atau pada otot-



2



otot (misalnya distrofi otot), meskipun menyebabkan kelainan motorik awal, tidak dianggap cerebral palsy.6 Cerebral palsy adalah penyebab utama kecacatan anak yang mempengaruhi perkembangan. Lesi otak cerebral palsy terjadi dari masa janin atau neonatus sampai usia 3 tahun. Meskipun kerusakan otak setelah usia 3 tahun sampai dewasa dapat bermanifestasi klinis mirip atau identik dengan cerebral palsy, menurut definisi, lesi ini bukanlah cerebral palsy. Selain itu, meskipun fakta bahwa lesi pada otak berkembang terjadi sebelum usia 3 tahun, diagnosis dari cerebral palsy tidak dapat dilakukan sampai setelah waktu itu, beberapa pihak menganjurkan tidak membuat diagnosis definitif dalam kasus terpilih sampai usia 5 tahun atau lebih. Pendekatan ini memungkinkan gambaran klinis harus jelas dan memungkinkan pengecualian adanya penyakit progresif. Selain itu, beberapa anak yang telah didiagnosa dengan cerebral palsy pada usia dini, dapat mengalami perubahan gejala.6 C. EPIDEMIOLOGI Asosiasi CP dunia memperkirakan > 500.000 penderita CP di Amerika. Disamping peningkatan dalam prevensi dan terapi penyakit penyebab CP, jumlah anak-anak dan dewasa yang terkena CP tampaknya masih tidak banyak berubah atau mungkin lebih meningkat sedikit selama 30 tahun terakhir. Hal tersebut sebagian mungkin karena banyak bayi prematur yang mengalami masa kritis dan bayi-bayi lemah banyak yang berhasil diselamatkan dengan kemajuan di bidang kegawatdaruratan neonatologi. Yang patut disayangkan, banyak bayi-bayi tersebut mengalami masalah perkembangan sistem saraf atau menderita kerusakan neorologis. Penelitian banyak dilakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut terutama pada bayi-bayi yang mengalami masalah pernafasan dan penggunaan terapi medikasi untuk mencegah perdarahan pada otak sebelum atau segera setelah lahir. Angka kejadian CP berkisar 1,2 - 2,5 anak per 1000 anak usia sekolah dini. Satu penelitian menunjukkan prevalensi CP kongenital derajat sedang sampai berat mencapai 1,2 per 1000 anak usia 3 tahun. Angka harapan hidup penderita CP tergantung tipe CP dan beratnya kecacatan motorik. Penelitian



3



di negara yang sudah berkembang menunjukkan bahwa prevalensi CP tidak menurun pada setiap kelompok berat lahir, dengan meningkatnya bayi BBLR yang dapat diselamatkan, dimana merupakan faktor resiko.1 Kejadian cerebral palsy tidak berubah dalam lebih dari 4 dekade, meskipun ada kemajuan signifikan dalam perawatan medis neonatus. Di negara maju, diperkirakan prevalensi keseluruhan cerebral palsy adalah 2 - 2,5 kasus per 1000 kelahiran hidup. Prevalensi pada bayi prematur dan sangat prematur jauh lebih tinggi. Pada negara berkembang, prevalensi cerebral palsy tidak tercatat tapi diperkirakan 1,5 - 5,6 kasus per 1000 kelahiran hidup. Angka-angka ini mungkin dianggap kecil karena kurangnya data, kurangnya akses kesehatan, terlalu banyak jumlah kasus yang parah dan kriteria diagnostik yang tidak konsisten.5 Cerebral palsy ditemukan pada semua ras. Status sosial ekonomi lebih rendah dan jenis kelamin laki-laki dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya cerebral palsy. Kaitannya dengan usia, kejadian yang menimbulkan cerebral palsy terjadi selama perkembangan otak belum matur. Menurut sebagian besar referensi, kejadian awal ini dapat terjadi kapan saja mulai perkembangan janin sampai usia 3 tahun.5 D. ETIOLOGI Cerebral palsy dapat terjadi akibat kelainan struktural otak yang terjadi di awal kehamilan, cedera perinatal, atau cedera setelah kelahiran karena insufisiensi vaskuler, toksin atau infeksi, atau komplikasi prematuritas. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain, kelahiran prematur, kehamilan ganda, pembatasan pertumbuhan intrauterin, jenis kelamin laki-laki, skor Apgar rendah, infeksi intrauterin, kelainan tiroid ibu, stroke prenatal, asfiksia lahir, paparan metil merkuri ibu dan defisiensi yodium ibu.5 Sebuah studi Norwegia yang melibatkan anak-anak dengan cerebral palsy yang didiagnosis sebelum usia 5 tahun menunjukkan bahwa skor Apgar rendah pada 5 menit pertama dikaitkan dengan kejadian ini di semua berat lahir. Prevalensi tertinggi cerebral palsy pada anak-anak dengan berat lahir rendah, namun odd ratio kejadian ini dikaitkan dengan skor Apgar rendah ( 3 tahun) harus ditinjau ulang, termasuk bantuan sumber



17



daya ruang; fisik, pekerjaan, dan terapi bicara dan bahasa, dan adaptif fisik pendidikan. Pengujian kognitif dan pendidikan standar dan rencana pendidikan individual saat ini dapat digunakan untuk menentukan apakah terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi fisik berada di tempat atau apakah arahan untuk ini diperlukan.3 Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Hal yang terpenting harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah buruk. Walaupun gejalanya dapat berubah, CP sesuai dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat masalah yang berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor sistem saraf pusat.5 2. Pemeriksaan Fisik Indikator fisik cerebral palsy termasuk kontraktur sendi sekunder untuk otot spastik, hipotonik untuk tonus otot spastik, keterlambatan pertumbuhan, dan reflex primitif persisten.1,3 Presentasi awal cerebral palsy termasuk hipotonia awal, diikuti dengan kejang. Umumnya, kelenturan tidak terwujud sampai setidaknya 6 bulan sampai 1 tahun kehidupan. Evaluasi neurologis meliputi pengamatan dekat dan pemeriksaan neurologis formal. Sebelum pemeriksaan fisik formal, observasi dapat mengungkapkan leher yang abnormal atau tonus otot trunkal (menurun atau meningkat, tergantung pada usia dan jenis cerebral palsy); postur asimetris, kekuatan, atau gaya berjalan; atau koordinasi



abnormal.



Pasien



dengan



cerebral



palsy



dapat



menunjukkan refleks meningkat, menunjukkan adanya lesi upper motor neuron. Kondisi ini juga dapat hadir sebagai persistensi refleks primitif, seperti Moro (refleks kejut) dan refleks leher asimetris tonik (yaitu, postur dengan leher berubah dalam arah yang sama ketika satu lengan diperpanjang dan yang lain tertekuk). Tonik leher simetris, genggaman palmar, labirin tonik, dan refleks penempatan kaki juga dicatat. Refleks Moro dan labirin tonik seharusnya hilang pada saat bayi sudah berusia 4-6 bulan, refleks genggam palmaris pada 5-6 bulan, refleks tonik leher asimetris dan simetris pada 6-7 bulan, dan penempatan refleks 18



kaki sebelum 12 bulan. Cerebral palsy juga termasuk keterbelakangan atau tidak adanya refleks postural atau protektif (memperpanjang lengan ketika duduk).3 Pola kiprah keseluruhan harus diamati dan masing-masing bersama diekstremitas bawah dan ekstremitas atas harus dinilai, sebagai berikut:3 a)



Panggul - fleksi berlebihan, adduksi, dan anteversion femoralis membentuk pola motorik dominan. Kaki menyilang adalah umum pada cerebral palsy spastik.



b) Lutut - Fleksi dan ekstensi dengan valgus atau varus terjadi. c)



Foot – Equinus, atau berjalan dengan jari kaki dan varus atau valgus dari tumit adalah umum di cerebral palsy. Kelainan gaya berjalan mungkin termasuk posisi berjongkok dengan



fleksor pinggul ketat dan paha belakang, paha depan lemah, dan atau dorsofleksi berlebihan. A. Cerebral palsy spastic (piramidal) Pasien dengan spastik serebral (piramida) bukti cerebral palsy (yaitu, peningkatan kecepatan yang tergantung dalam tonus otot) dan merupakan 75% dari pasien dengan cerebral palsy. Pasien memiliki tanda-tanda keterlibatan upper motor neuron, termasuk hyperreflexia, clonus, respon ekstensor babinski, refleks primitif persisten, dan refleks overflow (melintasi adduktor). Hal ini dapat diamati oleh kecenderungan anak untuk menjaga siku dalam posisi tertekuk atau pinggul tertekuk dan adduksi dengan lutut tertekuk dan di valgus, dan pergelangan kaki di equinus, sehingga berjalan dengan jari kaki. B. Dyskinetic (ekstrapiramidal) cerebral palsy Dyskinetic (ekstrapiramidal) cerebral palsy ditandai dengan pola pergerakan ekstrapiramidal, regulasi abnormal tonus otot, kontrol postural normal, dan defisit koordinasi. Pola gerakan abnormal dapat meningkatkan stres atau kegiatan yang bertujuan. Otot biasanya normal selama tidur. Intelijen adalah normal pada 78% pasien dengan cerebral palsy athetoid. Tingginya insiden gangguan pendengaran sensorineural dilaporkan. Pasien sering memiliki keterlibatan pseudobulbar, dengan disartria, kesulitan menelan, air



19



liur, kesulitan oromotor, dan pola bicara normal. Dengan demikian, presentasi fisik klasik cerebral palsy dyskinetic meliputi: a) Hipotonia awal dengan gangguan gerakan yang muncul pada usia 1-3 tahun b) Lengan lebih terpengaruh dari pada kaki c) Refleks tendon dalam biasanya normal sedikit meningkat d) Beberapa spastik  e) Oromotor disfungsi f)



Gait



g) Ketidakstabilan badan h) Risiko ketulian pada mereka yang terkena dampak kernicterus Pasien-pasien dengan cerebral palsy dyskinetic mungkin terjadi penurunan tonus kepala dan trunkal dan cacat pada kontrol postural dan disfungsi motorik seperti athetosis (yaitu, gerakan lambat, menggeliat, tak terkendali, terutama di ekstremitas distal), chorea (yaitu gerakan tiba-tiba, tidak teratur) atau choreoathetosis (yaitu kombinasi athetosis dan gerakan choreiform), dan distonia (yaitu, gerakan lambat, berirama terkadang dengan tonus otot meningkat dan postur abnormal, misalnya, diekstremitas dan rahang atas). C. Spastic hemiplegic cerebral palsy Hemiplegia ditandai dengan fleksi hip lemah dan dorsofleksi pergelangan kaki, sebuah otot tibialis posterior yang terlalu aktif, kaki supinasi dalam sikap, sikap ekstremitas atas (yaitu, sering diadakan dengan bahu adduksi, siku tertekuk, lengan bawah terpronasi, pergelangan tangan tertekuk, tangan mengepal dalam tinju dengan ibu jari di telapak tangan), sensasi terganggu, 2titik diskriminasi terganggu, dan atau rasa posisi terganggu. Beberapa gangguan kognitif ditemukan pada sekitar 28% dari pasien tersebut. Dengan demikian, cerebral palsy spastik hemiplegia meliputi presentasi fisik klasik berikut: a) Defisit satu sisi upper motor neuron b) Lengan umumnya dipengaruhi lebih dari kaki; mungkin tangan preferensi awal atau kelemahan relatif pada satu sisi; gaya berjalan



20



mungkin ditandai dengan circumduction dari ekstremitas bawah pada sisi yang terkena c) Ketidakmampuan belajar spesifik  d) Oromotor disfungsi e) Kemungkinan defisit sensorik sepihak  f)



Defisit medan penglihatan (misalnya, hemianopsia homonymous) dan strabismus



g) Kejang D. Spastic diplegic cerebral palsy Pasien dengan kejang diplegia sering memiliki periode hipotonia diikuti dengan kelenturan ekstensor di ekstremitas bawah, dengan keterbatasan fungsional sedikit atau tidak ada ekstremitas atas. Pasien mengalami keterlambatan



dalam



mengembangkan



keterampilan



motorik



kasar.



Ketidakseimbangan otot kejang sering menyebabkan persisten gangguan kognitif hadir dalam sekitar 30% pasien diplegic spastik. Cerebral palsy spastik diplegic meliputi presentasi fisik klasik berikut: a) Temuan upper motor neuron di kaki lebih dari lengan b) Pola scissoring gait dengan pinggul tertekuk dan adduksi, lutut tertekuk



dengan



valgus,



dan



pergelangan



kaki



di



equinus,



mengakibatkan berjalan dengan jari kaki c) Defek belajar dan kejang kurang umum daripada hemiplegia spastik  E. Spastic quadriplegi cerebral palsy Kebanyakan pasien dengan cerebral palsy spastik quadriplegi memiliki beberapa gangguan kognitif dan menunjukkan presentasi fisik klasik berikut: a) Semua anggota badan yang terkena dampak, baik seluruh tubuh hypertonia atau trunkal hipotonia dengan ekstremitas hypertonia b) Oromotor disfungsi c) Meningkatnya risiko kesulitan kognitif  d) Kejang e) Kaki umumnya dipengaruhi sama atau lebih dari lengan f)



Predikat hemiplegia ganda jika lengan lebih terlibat daripada kaki



21



3. Pemeriksaan Penunjang 1. Tes Laboratorium Tidak ada penelitian laboratorium definitif untuk mendiagnosa cerebral palsy, pemeriksaan dilakukan hanya untuk menyingkirkan penyebab gejala lain, seperti kelainan metabolik atau genetik, yang dianggap perlu berdasarkan pemeriksaan klinis.5 a. Pemeriksaan fungsi tiroid - fungsi tiroid abnormal mungkin berhubungan dengan kelainan pada otot atau refleks tendon dalam atau gangguan gerak. b. Kadar laktat dan piruvat - Kelainan dapat menunjukkan kelainan metabolisme energi. c. Kadar amonia - peningkatan kadar amonia dapat menunjukkan disfungsi hati atau cacat siklus urea. d. Asam organik dan asam amino – jumlah asam amino serum dan jumlah asam organik urin dapat menilai adanya gangguan metabolisme yang diturunkan. e. Analisis kromosom - analisis kromosom, termasuk analisis kariotip dan pengujian DNA spesifik dapat diindikasikan untuk menyingkirkan sindrom genetik, jika terdapat fitur dismorfik atau kelainan berbagai sistem organ. f. Protein serebrospinal - dapat membantu dalam menentukan asfiksia pada periode neonatal. Tingkat protein dapat meningkat, demikian juga rasio laktat ke piruvat. 2. Pemeriksaan neuroradiologik Pemerikasaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP perlu dilakukan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari CT scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.5



22



MRI kepala merupakan teknik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan tulang dibanding dengan CT scan kepala. Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala mengeras dan ubun-ubun besar menutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan MRI, teknik tersebut dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan pemeriksaannya lebih singkat.5 Meskipun peran yang tepat untuk MRI dalam diagnosis dan pemeriksaan anak-anak dengan cerebral palsy atau kelumpuhan otak diduga belum sepenuhnya dijelaskan, literatur menunjukkan bahwa MRI harus dipertimbangkan dalam semua kasus, dalam sebuah penelitian, 89% anak dengan cerebral palsy ditemukan memiliki MRI abnormal. Selain itu, MRI mungkin memiliki peran dalam memprediksi hasil perkembangan saraf pada bayi prematur. Ultrasonografi, CT scan, dan MRI kepala dapat membantu untuk mendiagnosis dan pemantauan temuan hidrosefalus.8 Pasien yang secara klinis menderita cerebral palsy kemungkinan memiliki hasil pemeriksaan neuroradiologik yang normal. Hasil normal dari pemeriksaan neuroradiologik tidak mengecualikan diagnosis klinis cerebral palsy. Namun dalam kasus ini, etiologi metabolik dan genetik lain yang mendasari harus dipertimbangkan dan dikeluarkan sebelum mendiagnosis anak dengan cerebral palsy.5 3. Electroencephalography Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan. Electroencephalography (EEG) berguna dalam mengevaluasi cedera parah hipoksia-iskemik. Pemeriksaan ini penting dalam diagnosis gangguan kejang; temuan awalnya menunjukkan penekanan ditandai amplitudo dan perlambatan, diikuti dengan pola terputus penindasan tegangan, dengan semburan tegangan tinggi gelombang tajam dan lambat 24-48 jam. Namun, EEG tidak diindikasikan jika kejang tidak dicurigai bersama dengan cerebral palsy.5



23



4. EMG dan pemeriksaan konduksi saraf Elektromiografi (EMG) dan studi konduksi saraf sangat membantu ketika dicurigai adanya gangguan otot atau saraf (misalnya, neuropati motor atau sensorik herediter sebagai dasar untuk deformitas kaki equinus dan berjalan jari kaki).5 I.



DIAGNOSA BANDING Berikut diagnosa banding dari cerebral palsy:12 1) Neuromuskuler : a. Spinal muscle artrophy b. Distrofia muskuler Kelainan otot herediter yang progresif, timbul sebelum usia 5 tahun, biasanya pada anak laki-laki. Kelemahan otot tampak di proksimal. 2) Degeneratif : a. Friedriech's ataxia b. Penyakit Chorea Huntington masa anak Gangguan gerakan yang disebabkan karena disfungsi ganglia basal. Gerakan menyentak, cepat, ireguler, tidak dapat diprediksikan dapat terjadi pada satu bagian tubuh yang kemudian dapat mengenai bagian tubuh yang lain, dapat disertai dengan kesulitan untuk makan, gangguan berjalan, kekakuan. 3) Metabolik : a. Penyakit Wilson 4) Kelainan Tulang & Sendi : a. Arthero gryphosis multiplex kongenital 5) Penyakit gangguan gerak involunter : a. Sindrom Tourette b. Chorea Sydenham c. Spasmus nutans 6) Penyakit metabolik 7) Tumor atau AVM medulla spinalis



24



8) Spinal dystrophia J.



PENATALAKSANAAN Pengelolaan pasien dengan cerebral palsy harus individual berdasarkan



presentasi klinis anak dan memerlukan pendekatan multidisiplin. Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat simtomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang sangat dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik. Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan cerebral palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang dan berat. Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita sedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi, terapi okupasi, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua penderita.5,8 a)



Fisioterapi Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan



psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang lebih besar. Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program latihan di rumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini diakukan sepanjang penderita hidup. b) Pembedahan Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk melakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan gerakan koreo-atetosis yang berlebihan.8



25



c)



Pendidikan Penderita cerebral palsy dididik sesuai tingkat intelegensinya, di sekolah luar



biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama dengan anak yang normal, yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama, sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua juga janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk ini pekerja sosial dapat membantu dirumah dengan nasehat seperlunya.5 d) Obat-obatan Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumatan yang sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot berlebihan, obat dari golongan benzodiazepin dapat menolong, misalnya diazepam, klordiazepoksid (librium), nitrazepam (mogadon). Pada keadaan koreoatetosis diberikan artan. Imipramin (tofranil) diberikan pada penderita dengan depresi. 6 Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. Obat yang diberikan secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai efektivitas pengontrolan kejang. Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita CP adalah: 1.



Diazepam : Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh. Pada anak usia 6 bulan diberikan dengan dosis 0.12 – 0.8 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6-8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis. 2.



Baclofen (Lioresal)



26



Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot. Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:  2-7 tahun Dosis 10-40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5-15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari.  8-11 tahun Dosis 10-60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 2,5-5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5-15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari.  >12 tahun Dosis 20-80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari. 3.



Dantrolene (Dantrium) Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga



kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari.10 Obat-obatan tersebut di atas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas.10 Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk golongan antikolinergik., bekerja dengan menurunkan aktivitas asetilkolin yang merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan sel otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obatobatan antikolinergik meliputi trihexilphenidyl, benztropine dan procyclidine hydrochloride.10 27



Ada kalanya klinisi membasuh atau injeksi alkohol ke dalam otot untuk menurunkan spastisitas periode singkat. Teknik ini sering digunakan klinisi saat hendak melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang diinjeksikan ke dalam otot akan melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan pada banyak kasus teknik ini dapat menunda terapi pembedahan.10 Botulinum Toxin (Botox) Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin dari presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini digunakan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit menyebabkan jalan berjinjit (toe hell gait) atau spastisitas pada otot fleksor lutut yang menyebabkan crouch gait.10 Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai adalah adduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan fleksi pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk memperbaiki kekakuan siku dan ekstensi ibu jari.10 Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan sangat minimal. Nyeri akibat injeksi minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum toksin tegantung dari derajat abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang diinginkan. 5,10 K. KOMPLIKASI Cerebral palsy dapat mempengaruhi beberapa sistem. Misalnya, komplikasi kulit meliputi ulkus dekubitus dan luka; komplikasi ortopedi mungkin termasuk kontraktur, dislokasi pinggul, dan/atau skoliosis.3 Mempertahankan berat badan mendekati berat badan ideal penting bagi pasien berkursi roda atau mereka yang memiliki gangguan berjalan. Konsultasi 28



gizi harus dilakukan sejak dini dan secara berkala untuk memastikan pertumbuhan yang tepat. Orang tua dan para profesional medis harus tetap mengatasi kesulitan gizi potensial pada anak dengan cerebral palsy. Pasien-pasien ini sangat berisiko terkena osteoporosis karena bantalan berat menurun, sehingga berikut asupan kalsium mereka adalah penting.3 Komplikasi gastrointestinal dan gizi meliputi:  Gagal tumbuh karena kesulitan makan dan menelan.  Obesitas, lebih jarang dibandingkan gagal tumbuh  Refluks gartroesofageal dan terkait pneumonia aspirasi  Konstipasi  Karies gigi Komplikasi sistem pernapasan meliputi:  Meningkatnya risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor  Penyakit paru kronis  Bronkiolitis/asma Komplikasi neurologis meliputi:  Epilepsi  Gangguan pendengaran (terutama pada pasien yang mengalami ensefalopati bilirubin akut [kernikterus], juga terlihat pada pasien yang lahir prematur atau yang terpapar obat ototoksik)  Kelainan medan penglihatan karena cedera kortikal  Strabismus Komplikasi kognitif/psikologis/perilaku meliputi berikut ini:3  Keterbelakangan



mental



(30-50%),



paling



sering



pada



spastik



kuadriplegia  Kurang perhatian/gangguan hiperaktivitas  Gangguan belajar  Peningkatan prevalensi depresi  Peningkatan prevalensi gangguan perkembangan progresif atau autisme yang berhubungan dengan diagnosis bersamaan cerebral palsy 29



L. PROGNOSIS Dengan layanan terapi yang tepat, pasien mungkin dapat sepenuhnya berperan serta secara akademis dan sosial. Morbiditas dan mortalitas cerebral palsy berhubungan dengan tingkat keparahan kondisi ini dan seiring komplikasi medis, seperti kesulitan pernapasan dan pencernaan. Pada pasien dengan quadriplegia, kemungkinan epilepsi, kelainan ekstrapiramidal, dan gangguan kognitif parah lebih besar dari pada mereka dengan diplegia atau hemiplegia. Gangguan kognitif terjadi lebih sering pada orang dengan otak daripada populasi umum. Tingkat keseluruhan keterbelakangan mental pada orang yang terkena dampak dianggap 30-50%. Beberapa bentuk ketidakmampuan belajar (termasuk keterbelakangan mental) telah diperkirakan terjadi pada mungkin 75% pasien. Namun, standar pengujian kognitif terutama mengevaluasi kemampuan verbal dan dapat mengakibatkan meremehkan kemampuan kognitif pada beberapa individu. Dalam beberapa penelitian, 25% pasien dengan cerebral palsy tidak dapat berjalan. Namun, banyak pasien dengan gangguan ini (terutama mereka yang diplegia spastik dan jenis hemiplegia spastik) dapat mandiri atau dengan peralatan bantu. Dengan demikian, sekitar 25% anak dengan cerebral palsy memiliki keterlibatan ringan dengan keterbatasan fungsional minimal atau tidak ada dalam berjalan, perawatan diri, dan kegiatan lainnya. Sekitar setengah yang cukup terganggu sampai-sampai kemerdekaan penuh tidak mungkin tetapi fungsi memuaskan. Hanya 25% begitu sangat cacat bahwa mereka memerlukan perawatan yang luas dan tak bisa berjalan. Pada



pasien



dengan



quadriplegia



spastik,



prognosis



yang



kurang



menguntungkan berkorelasi dengan penundaan lagi dalam penyelesaian nada ekstensor. Kadang-kadang, hipertonisitas dan kelenturan dapat memperbaiki atau menyelesaikan dari waktu ke waktu pada pasien dengan cerebral palsy. Kelenturan pada pasien dengan quadriplegia spastik dapat lebih tahan bahkan dengan layanan ortopedi dan intervensi rehabilitatif.



30



Pasien dengan bentuk parah cerebral palsy dapat memiliki jangka hidup yang berkurang secara signifikan, meskipun hal ini terus membaik dengan meningkatnya pelayanan kesehatan dan tabung gastrostomy. Pasien dengan bentuk ringan dari gangguan ini memiliki harapan hidup dekat dengan masyarakat umum, meskipun masih agak berkurang. Pasien dengan tipe tetraplegi prognosa ad vitam dan fungsionam : ad malam, sedangkan tipe hemiparesis atau diparesis ringan quo ad vitamnya ad bonam. Bila ada retardasi mental, epilepsi, gangguan lihat atau dengar : prognosis kurang baik.12



31



DAFTAR PUSTAKA 1.



Johnston MV. Encephalopaties: Cerebral palsy dalam Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. eBook Nelson Textbook of Pediatrics, 2007.



2.



Rudolph AM, Hoffman JI, Rudolph CD. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 20. Volume 3. Jakarta: EGC. 2007.



3.



Abdel-Hamid HZ, Kao A, Zeldin AS, et al. Cerebral Palsy. diakses dari http://emedicine.medscape.com pada tanggal 19 Februari 2012



4.



Hay WW, Levin MJ, Deterding RR, Abzug MJ, Sondheimer JM. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics. 2011. New York: McGrawHill Medical.



5.



Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2. Jakarta : Infomedika Jakarta ; 2007



6.



Moster D, Wilcox AJ, Vollset SE, Markestad T, Lie RT. Cerebral palsy among term and postterm births.JAMA. Sep 1 2010;304(9):976-82.



7.



Woodward LJ, Anderson PJ, Austin NC, Howard K, Inder TE. Neonatal MRI to predict neurodevelopmental outcomes in preterm infants. N Engl J Med. Aug 17 2006;355(7):685-94.



8.



Bax M, Tydeman C, Flodmark O. Clinical and MRI correlates of cerebral palsy: the European Cerebral Palsy Study. JAMA. Oct 4 2006;296(13):16028.



9.



Simpson DM, Gracies JM, Graham HK, Miyasaki JM, Naumann M, Russman B, et al. Assessment: Botulinum neurotoxin for the treatment of spasticity (an evidence-based review): report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. May 6 2008;70(19):1691-8. [Medline].



10. Mattern-Baxter K. Effects of partial body weight supported treadmill training on children with cerebral palsy.Pediatr Phys Ther. Spring 2009;21(1):12-22. 11. Scholtes VA, Dallmeijer AJ, Knol DL, Speth LA, Maathuis CG, Jongerius



PH, et al. The combined effect of lower-limb multilevel botulinum toxin type a and comprehensive rehabilitation on mobility in children with cerebral



32



palsy:



a



randomized



clinical



trial. Arch



Phys



Med



Rehabil. Dec



2006;87(12):1551-8. [Medline]. 12. Standar Pelayanan Medik (SPM) PERDOSSI, 2011.



33