Referat Impetigo Rafi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT IMPETIGO BULOSA DAN KRUSTOSA



Disusun Oleh : Ahmad Rafi Faiq 1102015012



Pembimbing : dr. Yanto Widiantoro, Sp.KK dr. Hilman Wildan Latief, Sp. DV



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI RSU DR. SLAMET GARUT 2019



BAB I PENDAHULUAN



Impetigo merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan epidermis kulit. Impetigo biasanya juga diikuti oleh trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari pedikulosis, skabies, infeksi jamur dan pada insect bites.1,2 Impetigo dapat berasal dari proses primer karena memang terjadi kerusakan pada kulit yang intak atau utuh tersebut, atau dapat terjadi karena proses infeksi sekunder yang disebabkan oleh karena proses infeksi yang sebelumnya atau bisa juga karena proses sitemik.3 Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus beta hemolitikus grup A (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan patogen primer pada impetigo krustosa dan ektima. Impetigo terjadi di seluruh negara dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika.2,4 Impetigo dibagi menjadi dua jenis, yaitu impetigo krustosa dan impetigo bulosa. Pada beberapa dekade yang lalu impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh grup A Streptococcus, tapi sekarang pada negara maju lebih banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Grup A Streptococcus tetap menjadi penyebab utama terjadinya impetigo krustosa pada negara berkembang. Impetigo bulosa secara universal disebabkan oleh organisme tunggal yaitu Staphylococcus aureus.5 Fokus pada referat ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai impetigo krustosa dan bulosa. Dengan memahami karakteristik penyakit ini, diharapkan bisa mengetahui penyebab serta menentukan tatalaksana dan pencegahan yang tepat pada pasien untuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi.



2



BAB II PEMBAHASAN



I.



DEFINISI Impetigo merupakan suatu infeksi kulit superfisial berupa vesicopustular dan jika meluas ke jaringan kulit yang lebih dalam disebut sebagai ektima. Impetigo merupakan salah satu contoh pioderma yang menyerang lapisan epidermis kulit dan biasanya muncul pada wajah terutama disekitar mulut dan hidung pada anak-anak. Walaupun seringkali terjadi karena bakteri masuk ke dalam kulit akibat luka atau gigitan serangga (insect bites), impetigo juga bisa terjadi pada kulit yang sehat.1



II.



EPIDEMIOLOGI Impetigo disebabkan oleh grup A Streptococcus dan merupakan infeksi yang sangat menular serta terjadi terutama pada anak usia preschool atau usia 25 tahun (namun paling sering terjadi pada anak usia dibawah 2 tahun kecuali pada daerah endemis). Impetigo bulosa dapat terjadi pada semua usia. Impetigo lebih sering terjadi pada cuaca yang hangat dan lembab. Biasanya insiden terbesar pada saat akhir musim panas dan awal musim semi.5 Orang dewasa dapat terkena impetigo jika kulitnya kontak dengan anak. Impetigo sifatnya sangat menular, bisa menyebar dengan sangat cepat melalui person-to-person contact atau melalui benda mati. Faktor predisposisi lain terjadinya impetigo adalah higenitas yang buruk, overcrowding, atopic diathesis, trauma kulit, serta partisipasi dalam contact sports (seperti gulat atau bermain bola). Selain itu riwayat dermatitis kronik seperti dermatitis atopik, tempat penitipan anak (day care), malnutrisi, diabetes dan juga penyakit komorbid lainnya juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya impetigo. Namun, banyak juga kasus yang terjadi pada orang sehat dengan standar hidup



3



yang baik. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita impetigo6,7



III.



ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus grup A beta hemolitikus (Streptococcus pyogenes). Pada beberapa dekade yang lalu impetigo krustosa umumnya disebabkan oleh grup A Streptococcus, tapi sekarang pada negara maju lebih banyak disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Grup A Streptococcus tetap menjadi penyebab utama terjadinya impetigo krustosa pada negara berkembang. Impetigo bulosa secara universal disebabkan oleh organisme tunggal yaitu Staphylococcus aureus. Walaupun discharge purulen dari hidung dan telinga sebelumnya diduga sebagai penyebab sumber utama dari bakteri, namun sekarang telah ditemukan bahwa staphylococcal carriers dan juga penyebaran dari pasien yang infeksi yang belum sembuh merupakan penyebab utamanya.5 Pada impetigo (terutama pada dewasa) biasanya terdapat adanya trauma atau kerusakan pada kulit. Namun impetigo juga bisa terjadi secara sekunder yaitu dari riwayat pedikulosis, skabies, varisela, eczema, infeksi jamur, ataupun gigitan serangga. Terkadang pada anak impetigo bisa terjadi pada kulit yang normal (paling sering di kaki).1 Streptococcus grup A muncul pada kulit normal anak-anak tepatnya 10 hari sebelum terbentuknya impetigo dan bakteri tersebut belum bisa ditemukan hingga 14-20 hari setelah bakteri tersebut menyerang kulit. Streptococcus bisa didapatkan pada 30 % saluran pernapasan anak dengan lesi dikulit, namun tidak ada bukti dari streptococcal pharyngitis. Karenanya dapat disimpulkan penyebaran pada pasien tersebut adalah dari kulit yang normal kemudian menjadi lesi sampai akhirnya ke saluran pernapasan. Sedangkan pada staphylococcus aureus penyebarannya adalah dari hidung ke kulit normal baru kemudian menjadi lesi. Proses inflamasi yang terjadi pada impetigo adalah 4



superfisial, dengan unilocular vesicopustule yang terletak diantara stratum korneum dan stratum granulosum.5 Pada impetigo krustosa, infeksi biasanya terjadi pada lokasi garukan (e.g. insect bites, dermatitis atopik), minor trauma (e.g. abrasi, laserasi, atau luka bakar) atau infeksi kulit lainnya (e.g varisela). Kulit yang utuh (sehat) biasanya resisten terhadap kolonisasi atau infeksi dari S. aureus atau streptococcus beta hemolitikus grup A (GABHS). Bakteri ini dapat dikenali dari lingkungan dan hanya berkolonisasi pada permukaan luar kulit. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa inokulasi bakteri GABHS tidak akan menyebabkan penyakit pada kulit kecuali jika kerusakan pada kulit telah terjadi sebelumnya. Asam tektoik untuk adhesi membutuhkan komponen reseptor sel epitel dan fibronektin untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin tidak terdapat pada kulit utuh, namun kerusakan kulit dapat menyebabkan adanya reseptor fibronektin di permukaan kulit, sehingga kolonisasi atau invasi dapat terjadi. Disrupsi dari pelindung kulit menyebabkan bakteri dapat melakukan adhesi, invasi, dan akhirnya menimbulkan infeksi. Setelah terjadi infeksi, baru akan timbul lesi berupa vesikel atau bula, serta lesi baru setelahnya dapat timbul pada area dimana tidak terlihat adanya kerusakan pada kulit dibagian tersebut.6 Pada impetigo bulosa diakibatkan oleh produksi lokal dari exfoliative toxins (ETA, ETB) oleh staphylococcus aureus pada kulit yang terinfeksi. Elaborasi sistemik dari toksin yang sama adalah menyebabkan staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Pada kedua penyakit tersebut timbulnya bula didahului oleh exfoliative toxin yang berikatan pada protein desmosomal desmoglein 1 dan menimbulkan akantolisis dari lapisan granular epidermis. Impetigo bulosa disebabkan karena adanya exfoliate toxin dari S.aureus yaitu exfoliatins A dan B. Eksotoksin tersebut menyebabkan hilangnya adhesi sel pada dermis superfisial, sehingga bisa menyebabkan timbulnya bula dan kulit mengelupas dengan cara membelah lapisan sel granular epidermis. Salah satu target protein dari eksotoksin A adalah desmoglein 1, yang bertugas untuk menjaga adhesi 5



dari sel keratinosit. Sehingga jadi terlepas dan bakteri bisa menginvasi lebih dalam. Selanjutnya akan terjadinya proses inflamasi sehingga neutrofil bisa masuk ke epidermis bersama cairan plasma dan membentuk suatu bula. Molekul tersebut juga merupakan superantigen yang dapat berperan lokal mengaktifkan limfosit T. Koagulase bisa menyebabkan toksin tetap berada di epidermis terluar dengan memproduksi thrombus fibrin. Tidak seperti impetigo krustosa, lesi bisa terjadi pada kulit yang intak. 6



IV.



GAMBARAN KLINIS Pada awal munculnya lesi, pasien bisa terdapat rasa gatal yang merupakan tanda bahwa telah terjadi infeksi oleh bakteri yang menimbulkan reaksi radang. Bula yang terdapat di atas kulit yang eritema menunjukkan proses infeksi yang masih aktif. Bula bersifat superfisial di lapisan epidermis, mudah pecah karena letaknya subkorneal, meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritema (koleret), dan cepat mengering. Lesi dapat melebar membentuk gambaran polisiklik. 8,9 Sering kali bula sudah pecah saat berobat, sehingga yang tampak ialah lesi koleret, dengan dasar eritematosa. Pasien berusia dibawah 1 tahun atau bayi, akan tampak rewel karena rasa nyeri di kulit membuat pasien merasa tidak nyaman. Gejala sistemik biasanya jarang terjadi, namun bisa juga terjadi, gejala sistemik yang dimaksud seperti demam, diare, dan lemes. Tidak ditemukan juga pembesaran kelenjar getah bening regional. Tapi secara keseluruhan keadaan umumnya biasanya baik.8,9 1. Impetigo Krustosa Pada impetigo krustosa lesi awalnya adalah vesikel dengan dinding yang tipis serta dasar eritem. Vesikel pada impetigo krustosa pecah dengan sangat cepat sehingga seringkali yang terlihat adalah eksudat serum pada vesikel yang mengering menjadi krusta kuning kecoklatan, yang biasanya lebih tebal dan “kotor” pada bentuk dari streptococcus. Penyebaran lesi 6



irreguler ke perifer secara bertahap seringkali terjadi tanpa adanya central healing. Krusta selanjutnya akan kering dan terpisah sehingga hanya menyisakan eritema sehingga pudar tanpa membentuk scar.7 Pada kasus yang berat mungkin bisa terdapat adenitis regional dengan demam dan gejala konstitusional lainnya. Muka terutama disekitar hidung dan mulut serta pada ekstremitas bawah (terutama setelah trauma) adalah predileksi yang sering terkena tapi lesi bisa terjadi dimana saja pada tubuh terutama pada anak dengan dermatitis atopik atau skabies. Keterlibatan membran mukosa jarang terjadi. Umumnya bisa sembuh secara spontan dalam 2-3 minggu namun kejadian prolonged juga sering terjadi, terutama jika disertai adanya infestasi parasit, eczema, atau pada cuaca yang panas dan lembab. Pada kulit yang banyak pigmen lesi mungkin diikuti oleh hipopigmentasi atau hiperpigmentasi sementara.7



Gambar 1. Staphylococcal impetigo (Sumber: Rook’s, 2016)



7



Gambar 2. Staphylococcus aureus: impetigo. Eritema dan krusta pada hidung dan kumis (A), yang dapat menyebar ke seluruh regio sentrofasial (B) (Sumber: Fitzpatrick’s, 2012)



8



Gambar 3. Streptococcal impetigo (Sumber: Rook’s, 2016) 2. Impetigo Bulosa Pada impetigo bulosa terbentuk bula yang pecahnya lebih lama dibandingkan impetigo krustosa dan bisa menjadi lebih besar, umumnya dengan diameter 1-2 cm namun ukurannya juga bisa sangat besar dan bertahan hingga 2-3 hari. Karakteristik lain dari bulanya adalah progresi yang cepat dari vesikel menjadi bula. Bulanya berwarna kuning bening yang kemudian berubah warna menjadi kuning tua dan keruh. Setelah bula pecah maka akan terbentuk krusta tipis, datar serta berwarna coklat yang bisa juga terdapat adanya skuama koleret di tepi lesinya yang menandakan bekas dari vesikel dan bula. Central healing dan penyebaran ke perifer bisa membentuk lesi seperti cincin dengan erosi. Walaupun muka merupakan predileksi yang paling sering terkena namun lesinya dapat timbul dimana saja dan bisa melebar dengan distribusi irreguler. Lesi juga seringkali menyokong lokasi dari kelainan kulit yang telah ada, terutama milliaria atau cedera ringan seperti gigitan serangga. Mukosa bukal mungkin dapat terkena. Adenitis regional jarang terjadi.5,7



9



Gambar 4. Impetigo Bulosa (Sumber: Rook’s, 2016)



Gambar 5. Erosive Bullous Impetigo pada neonatus (Sumber: Rook’s, 2016) V.



DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Diagnosis paling utama ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan klinis. Namun jika diagnosis masih diragukan, atau pada suatu daerah dimana 10



impetigo sedang mewabah, atau pada kasus yang kurang berespons terhadap pengobatan, maka diperlukan pemeriksaan penunjang seperti tes laboratorium.10 Pada pemeriksaan darah bisa didapatkan adanya leukositosis ringan. Pemeriksaan ulasan gram pada cairan vesikel mendapatkan adanya rantaian kokus gram positif pada streptococcus atau kokus gram positif berkelompok pada staphylococcus. Pada pemeriksaan kultur bisa dilakukan dengan mengambil spesimen pada area dibawah krusta bisa mendapatkan streptococcus grup A atau campuran antara streptococcus dan staphylococcus aureus (terutama dari lesi krusta yang lama). Secara histologis, lesi pada impetigo bulosa terlihat adanya susunan vesikel pada regio subkorneal atau granular, terkadang terdapat sel akantolitik disekitar bula, spongiosis, edema pada dermis papillaris, serta campuran infiltrat dari limfosit dan neutrofil disekitar pembuluh darah pada plexus superfisial.5 Diagnosis banding lainnya adalah kelainan kulit dengan gambaran ruam dan lepuh lainnya seperti yang tertera pada tabel 1.



Tabel 1. Diagnosis Banding Impetigo Krustosa dan Bulosa Diagnosis Banding Impetigo Krustosa dan Bulosa Impetigo Krustosa



Impetigo Bulosa Pertimbangkan



Dermatitis Atopik



Bullous Fixed Drug Eruption



Herpes Simpex



Pemfigus Vulgaris



Herpes Zoster



Thermal Burns



Skabies



Dermatitis Kontak



Varisela



Dermatitis Herpetiformis Insect Bite



Dermatofitosis



SSSS Bula Traumatika



11



Selalu Disingkirkan Herpes Simplex



Herpes Simplex



Herpes Zoster



Varisela



Skabies



VI.



Bullous Fixed Drug Eruption SSSS



PENATALAKSANAAN Dalam review Cochrane terbaru pada tahun 2012 dengan mengevaluasi 68 randomized controlled trials termasuk 26 terapi oral dan 24 terapi topikal terkait intervensi pada impetigo, mendapat kesimpulan bahwa secara umum tidak terdapat bukti intervensi mana yang lebih efektif antara antibiotik oral dengan topikal. Antibiotik topikal lebih superior dibandingkan dengan disinfektan sendiri, walaupun nantinya akan dijadikan sebagai terapi adjuvan. Tidak ada hasil yang superior saat membandingkan antara antibiotik topikal dan oral, namun terdapat bukti bahwa tidak semua antibiotik oral memiliki efektivitas yang sama. Penicillin lebih inferior jika dibandingkan dengan eritromisin dan cloxacillin. Retapamulin topikal, sebuah antibiotik topikal yang relatif baru juga efektif dalam menangani impetigo tanpa adanya resistensi bakteri yang telah dilaporkan secara global, namun obat tersebut lebih mahal dibandingkan obat topikal lainnya. Jika infeksinya telah menyebar atau berat, atau jika disertai dengan adanya limfadenopati, maka antibiotik oral seperti flucloxacillin atau eritromisin bisa diindikasikan. Penambahan antibiotik topikal atau antiseptik bisa mempercepat respons dan membantu dalam menghambat penyebaran dari infeksi.7 Tatalaksana Non-Farmakologi: Tatalaksana pada lesi yang dapat membantu mempercepat proses penyembuhan pada pasien adalah:



12



1. Menjaga hiegenitas tubuh dengan mandi dua kali sehari dengan sabun serta memotong kuku 2. Mencegah luka atau gatal untuk tidak digaruk 3. Pada impetigo krustosa bisa dengan membersihkan krusta yang terinfeksi bisa berguna secara bakteriologis dan kosmetik. Pemberian salep yang sering, lebih disarankan yang mengandung agen antibakteri, serta mencucinya dengan sabun terutama sabun antiseptik (chlorhexidine atau sodium hypochlorite) dan air dapat efektif dalam membersihkan krusta serta mencegah rekurensi dan transmisi dari impetigo 4. Mengatasi/identifikasi faktor predisposisi dan keadaan komorbid, misalnya infeksi parasit, dermatitis atopik, edema, obesitas dan insufisiensi vena.7,13,14 Tatalaksana Farmakologi 1. Topikal 



Bila banyak pus atau krusta: kompres terbuka dengan permanganas kalikus 1/5000, asam salisilat 0,1%, rivanol 1%, povidone iodine 1%, dilakukan 3 kali sehari masing-masing ½-1 jam selama keadaan akut.







Bila tidak tertutup pus atau krusta bisa diberikan salep antibiotik berupa: A. Mupirocin 2% oinment dua kali sehari selama 5-7 hari B. Retapamulin 1% oinment dua kali sehari selama 5-7 hari C. Asam Fusidat 1% ointment 2-4 kali sehari selama 5-7 hari



2. Sistemik Pada umumnya impetigo bisa ditatalaksana hanya dengan terapi antibiotik topikal, namun ada beberapa situasi disarankannya penggunaan antibiotik sistemik. Beberapa indikasi penggunaan antibiotik sistemik antara lain: 1. Pada impetigo yang luas atau terdapat adanya limfadenopati yang teraba selama satu minggu.



13



2. Jika infeksi telah meluas dan menimbulkan komplikasi seperti post streptococcal



glomerulonephritis.



Walaupun



pada



negara



berkembang (