Impetigo Bulosa [PDF]

  • Author / Uploaded
  • ulfa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report Session



IMPETIGO



Oleh :



dr. Ulfah Sectie Rahmadiani



Pendamping :



dr. Jenny Fitriana



PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS LUBUK SIKAPING KABUPATEN PASAMAN 2022



1



KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas case report session dengan judul “Impetigo” yang merupakan salah satu tugas sebagai peserta Program Internsip Dokter Indonesia di Puskesmas Lubuk Sikaping. Dalam usaha penyelesaian tugas case report session ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Jenny Fitriana selaku pendamping dalam penyusunan tugas ini. Kami menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas case report session ini. Akhir kata, semoga case report session ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.



Lubuk Sikaping, Agustus 2022



Penulis



2



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Pioderma merupakan penyakit yang sering dijumpai. Di bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insidennya menduduki posisi ketiga, dan berhubungan erat dengan keadaan sosial- ekonomi. Impetigo berasal dari bahasa Latin yang berarti serangan, dan telah digunakan untuk menjelaskan gambaran seperti letusan berkeropeng yang biasa nampak pada daerah permukaan kulit. Selain disebabkan oleh bakteri gram positif, dapat juga disebabkan oleh bakteri gram negatif. Penyebab yang umum ialah bakteri gramm positif, yaitu Streptococcus dan Staphylococcus.



1.2 Tujuan 1. Untuk memenuhi tugas makalah ilmu penyakit kulit. 2. Untuk



mengetahui



lebih



rinci



tentang



impetigo



dan



cara



penanganannya.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1Definisi Impetigo adalah bentuk pioderma superfisialis (yang paling sederhana) yaitu terbatas pada epidermis.



2.2 Epidemiologi Penyakit infeksi kulit masih merupakan masalah utama penyebab tingginya angka morbiditas pada anak-anak terutama di negara-negara berkembang dan wilayah beriklim tropis.1 Penyakit infeksi ini sering di jumpai pada anak karena daya tahan kulit terhadap invasi kuman patogen belum sesempurna orang dewasa. Sebanyak 18 studi prevalensi populasi umum di Negara berkembang melaporkan prevalensi yang tinggi untuk penyakit infeksi kulit (21- 87%). Gangguan yang paling umum pada anak adalah pioderma (0,235%) di ikuti dengan tinea kapitis (1-19,7%), skabies (0,2-24%), dan gangguan kulit akibat virus (0,4-9%). Pioderma merupakan suatu infeksi bakteri kulit yang sering di derita anakanak. Pioderma adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh kuman staphylococcus aureus dan streptococcus. Dari 18 penelitian bakteriologi menunjukan bahwa streptococcus group A merupakan etiologi utama pioderma di banyak Negara berkembang tropis diikuti staphylococcus aureus. Impetigo dapat mengenai semua umur, namun yang paling sering dikenai adalah anak-anak usia 2-6 tahun. Di Amerika Serikat, kurang lebih 9 – 10 % dari anak-anak yang datang ke klinik kulit menderita impetigo. Perbandingan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah sama. Impetigo lebih sering menyerang anak-anak, jenis yang terbanyak (kira-kira 90%) adalah impetigo bullosa yang terjadi pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun.



4



Impetigo biasanya ditularkan melalui kontak langsung. Dalam sebuah penelitian di Inggris, menyebutkan bahwa insiden dari impetigo adalah 2,8% terjadi pada anak-anak di usia di bawah 4 tahun dan 1,6% pada anak-anak usia 5-15 tahun. Impetigo non bulosa meliputi kira-kira 70% dari semua kasus impetigo. Pasien dapat menyebarkan infeksinya ke bagian kulit lain atau orang lain setelah menggaruknya. Infeksi sering menyebar dengan cepat melalui sekolah dan tempat penitipan anak. Walaupun anak-anak sering terinfeksi melalui kontak langsug dengan anak lain yang terinfeksi, fomites (pakaian, barang-barang dan benda lain yang sering bersentuhan dengan kulit) juga menjadi bagian penting dalam penyebaran impetigo. Insiden terbanyak terjadi pada musim panas, dan infeksi sering terjadi di daerah dengan kebersihan yang buruk dan tepat tinggal yang padat penduduk. Hampir semua anak pernah mengalami infeksi kulit. Terjadinya infeksi kulit terutama pioderma mempunyai hubungan erat dengan beberapa faktor predisposisi antara lain higiene perorangan yang buruk dan sanitasi lingkungan yang kurang, gizi di hubungkan dengan berat badan serta aktifitas fisik anak sehari-hari, kondisi imunologis menurunnya daya tahan karena kurang gizi, anemia, penyakit keganasan, penyakit menahun, diabetes mellitus, dan telah adanya penyakit lain di kulit sehingga fungsi kulit terganggu dan memudahkan terjadi infeksi.



2.3 Etiologi Penyebab utama adalah staphylococcus aureus dan streptococcus betahemolitikus, sedangkan staphylococcus epidermidis merupakan penghuni normal dikulit dan jarang menyebabkan infeksi.



5



Gambaran histologi Staphylococcus aureus 2.4 Klasifikasi Impetigo diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu: 2.4.1



Impetigo krustosa Impetigo krustosa disebut juga impetigo kontagiosa, impetigo vulgaris, dan impetigo Tillbury Fox. Biasanya disebabkan oleh Streptococcus β hemolyticus.



Gambar 3. Impetigo krustosa



Gejala klinis Tidak disertai dengan gejala umum, hanya terdapat pada anak – anak. Tempat predileksi di daerah wajah, yaitu disekitar mulut dan lubang hidung karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan



6



kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat pecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi dibawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah. Komplikasi : glomerulonefritis ( 2 – 5% ), yang disebabkan oleh serotipe tertentu.



Diagnosa Banding Ektima, dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis kontak alergi, dan skabies.



Pengobatan Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salap antibiotik. Pada krusta yang lebih banyak diberikan antibiotik sistemik.



2.4.2



Impetigo bulosa Sedangkan impetigo bulosa disebut juga impetigo vesiko-bulosa, dan cacar monyet.



Gambar 5. Impetigo bulosa Etiologi Staphylococcus Aureus



7



Gejala klinis Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di aksila, dada, punggung. Sering bersama-sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion. Kadangkadang saat penderita datang berobat, vesikel/bula telah pecah sehingga yang tampak hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa.



Diagnosis Banding Jika vesikel atau bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema, maka mirip dermatofitosis, herpes simpleks, varisela,bullous fixed drug reaction, bullous drug eruption, Staphylococcal scalded skin. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya adalah impetigo bulosa.



Dermatofitosis Pengobatan Jika terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi salap antibiotik atau cairan antiseptik. Jika banyak, berikan antibiotik sistemik. Faktor predisposisi dicari, jika karena banyak keringat, ventilasi diperbaiki.



2.4.3



Impetigo Neonatorum Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainan kulit berupa impetigo bulosa hanya lokasinya menyeluruh dan dapat disertai demam.



8



Impetigo neonatorum Diagnosis Banding Diagnosa banding dari impetigo neonatorum adalah Sifilis kongenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat pada telapak tangan dan kaki, adanya snuffle nose, saddle nose dan pseudo paralisis parrot.



Gambar 8. Sifilis kongenital



Pengobatan Antibiotik harus diberikan secara sistemik. Topical dapat diberikan bedak salisil 2% .



9



2.5 Patogenesa



10



Impetigo adalah infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS) atau Staphylococcus aureus. Organisme tersebut masuk melalui kulit yang terluka melalui transmisi kontak langsung. Setelah infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan pada kulit. Seringnya lesi ini menunjukkan beberapa kerusakan fisik yang tidak terlihat pada saat dilakukan pemeriksaan. Impetigo memiliki lebih dari satu bentuk. Beberapa penulis menerangkan perbedaan bentuk impetigo dari strain Staphylococcus yang menyerang dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan. Streptococcus masuk melalui kulit yang terluka dan melalui transmisi kontak langsung, setelah infeksi, lesi yang baru mungkin terlihat pada pasien tanpa adanya kerusakan pada kulit. Bentuk lesi mulai dari makula eritema yang berukuran 2 – 4 mm. Secara cepat berubah menjadi vesikel atau pustula. Vesikel dapat pecah spontan dalam beberapa jam atau jika digaruk maka akan meninggalkan krusta yang tebal, karena proses dibawahnya terus berlangsung sehingga akan menimbulkan kesan seperti bertumpuk-tumpuk, warnanya kekuning-kuningan. Karena secara klinik lebih sering dilihat krusta maka disebut impetigo krustosa. Krusta sukar diangkat, tetapi bila berhasil akan tampak kulit yang erosif. Impetigo bulosa adalah suatu bentuk impetigo dengan gejala utama berupa lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak hipopion. Mula-mula berupa vesikel, lama kelamaan akan membesar menjadi bula yang sifatnya tidak mudah pecah, karena dindingnya relatif tebal dari impetigo krustosa. Isinya berupa cairan yang lama kelamaan akan berubah menjadi keruh karena invasi leukosit dan akan mengendap. Bila pengendapan terjadi pada bula disebut hipopion yaitu ruangan yang berisi pus yang mengendap, bila letaknya di punggung, maka akan tampak seperti menggantung.



11



Patofisiologi Impetigo Bulosa Pada impetigo bulosa, epidermis terpisah tepat di bagian bawah stratum granulosum sehingga membentuk bulla yang berukuran besar yang terletak pada bagian superfisial kulit. Neutrofil berpindah melalui epidermis spongiotik ke dalam bulla, yang juga mungkin mengandung Staphylococcus aureus. Kadang-kadang sel akantolitik terlihat yang mungkin disebabkan oleh reaksi dari neutrofil. Bagian atas dermis mengandung neutrofil dan limfosit yang merupakan infiltrat inflamasi. Toksin eksfoliatif (TE) yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus bekerja seperti molekul spesifik pengurai Desmoglein 1 (Dsg1) dan secara langsung menguraikan (memotong) Dsg1 tetapi tidak dapat bekerja menguraikan Desmoglein 3 (Dsg3). Proses ini menyebabkan munculnya bula hanya di permukaan epidermis, tidak sampai ke lapisan kulit yang lebih dalam karena adanya mekanisme kompensasi oleh Dsg3 di lapisan kulit yang lebih dalam (lihat Gambar 1).



2.6 Diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar,



12



biopsy jarang dilakukan. Biasanya diagnose dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium. Namun demikian, apabila diagnosis tersebut masih dipertanyakan, tes mikrobiologi pasti akan sangat menolong.



2.6.1



Pemeriksaan Kulit dan Gambaran Klinis



a. Impetigo Krustosa Impetigo krustosa disebabkan oleh streptococcus B hemolyticus. Padanya tidak disertai gejala umum yang khas, namun hanya terdapat pada anak. Tempat predileksi di wajah, yakni di sekitar lubang hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.



13



Impetigo krustosa dapat terjadi di mana saja pada tubuh, tetapi biasanya pada bagian tubuh yang sering terpapar dari luar misalnya wajah, leher, dan ekstremitas. Impetigo Krustosa diawali dengan munculnya eritema berukuran kurang lebih 2 mm yang dengan cepat membentuk vesikel, bula atau pustul berdinding tipis. Kemudian vesikel, bula atau pustul tersebut rupture menjadi erosi kemudian eksudat seropurulen mengering dan menjadi krusta yang berwarna kuning keemasan (honey-colored) dan dapat meluas lebih dari 2 cm. Lesi biasanya berkelompok dan sering konfluen meluas secara irreguler. Pada kulit dengan banyak pigmen, lesi dapat disertai hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Krusta pada akhirnya mengering dan lepas dari dasar yang eritema tanpa pembentukan jaringan scar. Lesi dapat membesar dan meluas mengenai lokasi baru dalam waktu beberapa minggu apabila tidak diobati. Pada beberapa orang lesi dapat remisi spontan dalam 2-3 minggu atau lebih lama terutama bila terdapat penyakit akibat parasit atau pada iklim panas dan lembab, namun lesi juga dapat meluas ke dermis membentuk ulkus (ektima). b. Impetigo Bulosa Keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di aksila, dada, punggung. Sering bersama-sama milaria. Terdapat pada anak dengan dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikle/bula telah memecah sehingga yang tampak hany koleret dan dasarnya masih eritematosa.



14



c. Impetigo Neonatorum Penyakit ini merupakam varian impetigo bulosa yang terdapat pada neonatus. Kelainana kulit berupa impetigo bulosa hanya lokasinya menyeluruh, dapat disertai demam.



2.6.2



Pemeriksaan Penunjang



a. Pemeriksaan darah rutin Lekositosis ringan hanya ditemukan pada 50% kasus pasien dengan impetigo. Pada kasus-kasus yang kronik dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus atau streptokokus melainkan kuman negatif gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, in vivo tidak sesuai dengan in vitro. Pemeriksaan urinalisis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi glomerulo nefritis akut pasca streptococcus (GNAPS), yang ditandai dengan hematuria dan proteinuria.



15



b. Pemeriksaan imunologis Pada impetigo yang disebabkan oleh streptococcus dapat ditemukan peningkatan kadar anti deoksiribonuklease (anti DNAse) B antibody.



c. Pemeriksaan mikrobiologis Eksudat yang diambil di bagian bawah krusta dan cairan yang berasal dari bulla dapat dikultur dan dilakukan tes sensitivitas. Hasil kultur bisa memperlihatkan S. pyogenes, S. aureus atau keduanya. Tes sensitivitas antibiotic dilakukan untuk mengisolasi metisilin resisten S. aureus (MRSA) serta membantu dalam pemberian antibiotik yang sesuai. Pewarnaan gram pada eksudat memberikan hasil gram positif.



Gambar 9. Pewarnaan gram (+) dan gram (-)



2.7 Penatalaksanaan 2.7.1



Umum ● Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit ● Mengganti pakaian tiap berkeringat dan mandi dengan air bersih ● Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, alat cukur, dan lain-lain)



16



● Memperkuat daya tahan tubuh, seperti mengonsumsi buah-buahan, multivitamin, dan beristirahat cukup



2.7.2



Khusus



Berbagai obat dapat digunakan sebagai pengobatan pioderma.



2.7.2.1 Sistemik 1. Penisilin G prokain dan semisintetiknya a. Penisilin G prokain Dosis 1,2 juta per hari, i.m. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis, diberikan i.m. dengan dosis tinggi, dan makin sering terjadi syok anafilaktik.



b. Ampisilin Dosis 4 x 500 mg, diberikan sejam sebelum makan



c. Amoksisilin Dosis sama dengan ampisilin, keuntungan lebih praktis karena dapat diberikan setelah makan. Juga cepat diabsorbsi dibandingkan dengan ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih tinggi.



d. Golongan obat penisilin resisten-penisilinase Yang termasuk golongan ini, contohnya : oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg per hari sebelum makan. Golongan obat ini mempunyai kelebihan karena juga berkhasiat bagi staphylococcus aureus yang telah membentuk penisilinase.



2. Linkomisin dan klindamisin Dosis linkomisin 3 x500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 150 mg sehari per oral. Pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-450 mg sehari. Obat ini efektif untuk pioderma di



17



samping golongan obat penisilin resisten penisilinase.Efek samping yang disebut di kepustakaan berupa kolitis psudomembranosa, belum pernah penulis temukan. Linkomisin tidak dianjurkan lagi dan diganti dengan klindamisin karena potensi antibakterianya lebih besar, efek samping lebih sedikit, pada pemberian oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.



3. Eritromisin Dosisnya 4x500 mg sehari per oral. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin resisten penisilinase. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering memberi rasa tak enak di lambung.



4. Sefalosporin Pada pioderma yang berat atau yang tidak memberi respons dengan obatobat tersebut di atas, dapat digunakan sefalosporin. Ada empat generasi yang berkhasiat untuk kuman gram positif ialah generasi 1, juga generasi IV. Contohnya cefadroksil dari generasi I dengan dosis untuk orang dewasa 2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg sehari.



2.7.2.2 Terapi topikal Penderita diberikan AB topical bila lesi terbatas, terutama pada wajah dan penderisa sehat secara fisik. Pemberian obat topical ini sebagai prolaksis terhadap penularan infeksi pada saat anak melakukan aktivitas di sekolah atau tempat lain. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali sehari selama 7-10 hari. ● Mupirocin Muficin (pseudomonic acid) merupakan AB yang berasal dari Pseudomonas



fluorescent.



Mekanisme



kerja



mupirocin



yaitu



menghambat sintesis protein (Asam amino) dengan mengikat isoleusiltRNA sintetase sehingga menghambat aktivitas coccus Garam positif seperti Staphylococcus dan sebagian besar Streptococcus.



18



Salap mupirocin 2% diindikasikan untuk pengobatan impetigo yang disebabkan Staphylococcusdan streptococcus Pyogenes. ● Asam fusidat Merupakan antibiotik yang berasal dari



fusidium coccineum.



Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesi protein. Salap atau krim asam fusidat 2% aktif melawan Gram positif dan telah teruji sama efektif dengan mupirocin topikal. ● Bacitracin Bacitracin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari Strain Bacillus Subtilis. Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membrane lipid pirofosfat sehingga aktif melawan coccus Gram positif seperti Staphylococcus dan Streptococcus. Bacitricin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superficial kulit seperti impetigo. ● Retapamulin Retapamulin bekerja menghambat sintesis protein dengan berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil trnsferase. Salap Retapamulin 1% telah diterima oleh food and Drug Administraion (FDA) pada tahun 2007 sebahai terapi impetigo pada remaja dan anak-anak tiatas 9 bulan dan telah menunjukkan aktivitasnya melawan kuman yang resisten terhadap beberapa obat seperti metisilin, eritromisin, asam fusidat, mupirosin, azitromisin.



Sebagian obat topikal juga kompres terbuka, contohnya : larutan PK 1/5000, larutan rivanol 1% dan yodium povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali. Yang terakhir ini lebih efektif, hanya pada sebagian kecil mengalami sensitisasi karena yodium. Rivanol mempunyai kekurangan karena mengotori pakaian.



19



Pilihan Terapi Prinsip : pasien berobat jalan Topical : ● Bila banyak pus atau krusta : kompres terbuka dengan povidon iodine 1%, dilakukan 3 kali sehari masing-masing 1 jam selama keadaan akut − Bila tidak tertutup pus atau krusta : salap/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan basitrasin. Dioleskan 2-3x sehari selama 7-10 hari. Sistemik: Minimal selama 7 hari ● First line : Kloksasilin; dewasa 4 x 250-500mg/hari oral; anak-anak 50mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 7 hari Pada S.aureus resisten eritromisin − Amoksisilin dan asam klavulanat: dewasa 3 x 250-500mg/hari; anak-anak 25mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari − Sefaleksin : 40-50mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis, selama 5-7hari − Trimetoprim-sulfometoxazol 160/800mg selama 7 hari − Tetrasiklin 3 x 250-500 mg terbagi selama hari − Doksisiklin, Minosiklin 2 x 100mg selama 7 hari ● Second line : − Azitromisin 1 x 500mg/hari (hari I), dilanjutkan 1 x 250mg (hari II – V) − Klindamisin 15mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis, selama 10 hari − Eritromisin: dewasa 4 x 250-500mg/hari terbagi 4 dosis, selama 5-7 hari



20



2.8 Prognosis Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya, impetigo krustosa dapat membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati impetigo krustosa dapat bertahan dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan dapat menjadi erisepelas, selulitis atau bakteriemi. Bila terjadi komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anakanak lebih baik dari pada dewasa.



2.9 Komplikasi 1. Ektima Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke dermis menjadi ektima. Ektima merupakan ulkus superfisial dengan krusta di atasnya yang disebabkan infeksi oleh Streptococcus.



2. Glomerulonefritis Post Streptococcal Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu glomerulonefritis akut (2%-5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak usia < 6 tahun. Insiden GNA berbeda pada setiap individu, tergantung dari strein potensial yang menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan penting pada GNAPS yaitu serotype Streptococcus strein 49, 55, 57, 60 serta strein M-tipe 2. Periode laten berkembangnya nefritis Setelah pioderma streptococcal sekitar 18-21 hari. Criteria diagnostig GNAPS ini terdiri dari hematuria makroskopik atau mikroskopik, edema yang di awali dari region wajah, dan hipertensi.



3. Osteomielitis Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi biasanya berasal dari bagian tubuh yang lain, yang berpindah ke tulang melalui darah.



21



BAB III LAPORAN KASUS



1.1. IDENTITAS PASIEN Nama



: An. Ag



Umur



: 3 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Alamat



: Panapa



Status



: Belum Kawin



Suku



: Minang



1.2. ANAMNESIS Seorang anak Laki-laki berusia 3 tahun datang bersama orang tua ke poliklinik Anak Puskesmas Lubuk sikaping pada tanggal 11 Juni 2022.



Keluhan Utama : Muncul kudis atau korengan di Wajah sejak 1 minggu yang lalu.



Riwayat Penyakit Sekarang : ● Muncul kudis atau korengan di Wajah sejak 1 minggu yang lalu. ● Awalnya berupa bintik merah diikuti dengan munculnya gelembung berair kemudian pecah dan sebagian mengering. ● Pasien merasakan nyeri tetapi tidak gatal. ● Satu minggu sebelumnya pasien menderita batuk dan pilek ● Pasien tidak ingat apakah ada riwayat trauma atau tidak sebelumnya.



Riwayat Penyakit Dahulu ● Pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.



22



Riwayat Penyakit Keluarga Anggota keluarga tidak ada yang menderita sakit seperti ini.



1.3. PEMERIKSAAN FISIK Status generalisata Keadaan umum



: Tampak sakit ringan



Kesadaran



: compos mentis cooperatif



Status gizi



: baik



Pemeriksaan Thorak



: diharapkan dalam batas normal



Pemeriksaan Abdomen



: diharapkan dalam batas normal



Status Dermatologikus Lokasi



: wajah, leher



Distribusi



: diskret



Bentuk



: khas



Susunan



: anular



Batas



: tegas



Ukuran



: numular



Efloresensi



: makula eritema, krusta



23



Status venereologikus



: tidak terdapat kelainan



Kelainan selaput



: tidak terdapat kelainan



Kelainan kuku



: tidak terdapat kelainan



Kelainan rambut



: tidak terdapat kelainan



Kelainan kelenjar limfe



:tidak terdapat kelainan



1.4. PEMERIKSAAN ANJURAN ● Pemeriksaan darah rutin diharapkan ditemukan Leukositosis ● Pewarnaan Gram : diharapkan ditemukan Coccus Gram positif (+) ● Kultur : diharapkan ditemukan koloni Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A beta-hemolitikus (Streptococcus pyogenes)



1.5.



DIAGNOSIS Impetigo Bullosa



1.6. DIAGNOSIS BANDING Dermatofitosis Varisela Staphylococcal Scalded Skin Syndrome



1.7.



PENATALAKSANAAN



Umum : ● Edukasi pada keluarga pasien mengenai penyakitnya, termasuk factor predisposisinya. ● Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari penyakit infeksi kulit lainnya. ● Mengonsumsi makanan yang bergizi serta sayur-sayuran dan minum susu ● Menghindari garukan pada daerah lesi ● Minta pasien untuk berobat sampai sembuh ● Edukasi pasien tentang cara pemakaian obat yang benar ● Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku



24



Khusus : Prinsip : pasien berobat jalan Topical : − Bila tidak tertutup pus atau krusta : salap/krim asam fusidat 2%, mupirosin 2%, neomisin, dan basitrasin. Dioleskan 2-3x sehari selama 7-10 hari. Sistemik: − Amoksisilin : dewasa 3 x 250-500mg/hari; anak-anak 25mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis, selama 5-7 hari



PROGNOSA : Quo ad vitam



: Bonam



Quo ad sanationam



: Dubia ad bonam



Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam Quo ad functionam



: Bonam



25



PUSKESMAS LUBUK SIKAPING Ruangan Poliklinik : ANAK Dokter : dr. Ulfah Sectie Rahmadiani



Lubuk sikaping, 11 juni 2022



R/ Amoxicillin Syr 125mg/5ml fls



No. 1



S3dd cth 1 R/ Asam fusidat 2% tube



No. I



Sue



Pro



: An. Ag



Umur : 3 tahun



26



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari laporan kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pasien didiagnosa dengan impetigo bulosa karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mendukung kearah diagnosis tersebut. Penyebab tersering dari impetigo adalah bakteri staphylococcus aureus dan streptococcus beta-hemolitikus grup A. Pemeriksaan anjuran yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kultur untuk memastikan koloni dari bakteri. Pemberian antibiotik sangat membantu dalam proses penyembuhan penyakit.



27



DAFTAR PUSTAKA



1. Menaldi,Sri.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit FK-UI; 2015. 2. Abdoerrachman, M.H, dkk. Ilmu Kesehatan Anak 1. Edisi 11. Bagian Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Universita Indonesia. Jakarta. 2007.p. 2479. 3. WHO. Epidemiology and Management of Common Skin Diseases in Children in Developing Countries. Jenewa: WHO.2005.p.v-vii. [cited on 2014



oct



7]



available



from:http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/



WHO_FCH_CAH_05.12_eng.pdf. 4. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listyawan MY, Siswati AS, Triwahyudi D, et al. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Jakarta: PERDOSKI; 2017: p.121. 5. Setiawan S, Pandeleke HEJ. Pioderma primer di Divisi Dermatologi Anak unit rawat jalan kulit dan kelamin RSU Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode 2005-2006. In: Gaspersz S, Jackqueline S, Pandeleke HEJ, Kartini A. Penyakit kulit infeksi di divisi dermatologi anak poliklinik kesehatan kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr.R.D Kandou Manado. Kumpulan naskah ilmiah PIT X PERDOSKI. 2009: 283-6. 6. Harahap J. Pola infeksi kulit pada anak di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP. Prof. Dr. R.D Kandou Manado tahun 2009-2011.skripsi. Fakultas Kedokteran Unsrat.2013. 7. Benson MP, Hengge RU. Staphylococcal dan Streptococcal Pyodermas. In: trying KS, Lupi O, Hengge RU, editor. Tropical dermatology. Philadelphia: Elsevier Inc: 2006.p.241. 8. Cole C, Gazewood J. Diagnosis and treatment of impetigo. Am Fam Physician 2007; 75(6): 859-64.



28