Impetigo Bulosa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS IMPETIGO BULOSA Paper ini dibuat dalam rangka melengkapi persyaratan kepaniteraan klinik senior di KSM Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Pirngadi Medan



DISUSUN OLEH: Joko Risman Sipayung (214210056) Riski Amira (214210132)



DOKTER PEMBIMBING: Dr. Isma Aprita Lubis, Sp.KK



KSM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RSUD DR. PIRNGADI MEDAN 2020



KATA PENGANTAR Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Impetigo Bullosa” dalam rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan. Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis menyampaikan terimakasih kepada dr. Isma Aprita Lubis, Sp. KK atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti KKS di KSM Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD dr. Pirngadi Medan. Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih memiliki banyak kekurangan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan agar dapat menjadi pedoman untuk perbaikan laporan ini di kemudian hari. Harapan penulis, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu penyakit kulit dan kelamin di klinik dan di masyarakat.



Medan, September 2020



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................................i DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii A. PENDAHULUAN......................................................................................................1 B. LAPORAN KASUS...................................................................................................6 C. RESUME....................................................................................................................7 D. DISKUSI KASUS......................................................................................................8 E. GAMBAR..................................................................................................................13 F. KESIMPULAN..........................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................15



ii



IMPETIGO BULLOSA A.



PENDAHULUAN Pioderma adalah infeksi kulit disertai pembentukan pus yang biasanya disebabkan



oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus  hemoliticus. Di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pioderma menempati urutan ke tiga.5,6 Faktor predisposisi dari pioderma adalah: 1. Hygiene yang kurang 2. Menurunnya daya tahan tubuh. Misalnya kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik neoplasma ganas, diabetes mellitus, penyakit imunodefisiensi. 3. Tempat tinggal yang padat 4. Cuaca yang hangat dan lembab 5. Kegiatan olahraga tertentu yang melibatkan kontak kulit dengan kulit 6. Telah ada penyakit lain di kulit. Karena adanya kerusakan pada epidermis maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.5,7 Stratum korneum yang intak merupakan salah satu pertahanan kulit terhadap bakteri patogen penyebab pioderma. Penularannya terjadi melalui kontak langsung dengan individu terinfeksi.3 Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit. Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari pediculosis, skabies, infeksi jamur dan pada insect bites. Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus beta hemolitikus grup A (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus Aureus merupakan patogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma .2,6 Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung dan sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm), kurang dari 1 cm pada 1



kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Vesikel yang membesar menjadi bula, atap dari bula pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bula yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh2 Berbagai protein imunomodulator yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut, misalnya toksin, eksotoksin, dan adesin, menyebabkan timbulnya gambaran klinis. Adanya defek imun, misalnya ekskoriasi superfisial, infeksi jamur pada sela jari kaki, pembedahan, trauma, luka bakar, kateter intravaskular, akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Peran respon pejamu tidak selalu dapat diandalkan. Pada pasien imunodefisiensi dan pasien granulomatosa kronik, netrofil tidak dapat menghancurkan Staphylococcus aureus dan terjadi peningkatan kolonisasi bakteri sehingga infeksi bakteri penghasil toksin meningkat. Toksin ekfoliatif (ETs) terdiri atas ETA dan ETB. ETs adalah protease sering yang berikatan dengan molekul sel adesi desmoglein-1 pada epidermis dan memecah epidermis sehingga sel kehilangan daya adesinya. Biasanya epidermolisis terjadi di antara stratum spinosum dan granulosum sehingga lepuh yang timbul berdinding tipis dan kendur dengan tanda Nickolsky positif. ETA menyebabkan impetigo bulosa dan ETB menyebabkan Staphylococcal scalded skin syndrome. Enterotoksin Staphylococcus aureus yang disebut toxic shock syndrome toksin-1 (TSST-1) dikenal sebagai superantigen toksin pirogenik. Antigen konvensional memerlukan pengenalan oleh lima elemen kompleks reseptor sel T, sedangkan superantigen hanya memerlukan daerah rantai  sehingga 5% - 30% sel T lainnya akan teraktivasi. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin dari makrofag secara sistemik, terutama interleukin 2, interferon-, dan tumor nekrosis faktor-. Stimulasi superantigen pada sel T juga menyebabkan aktivasi dan ekspansi limfosit yang mengekspresi daerah rantai- reseptor sel T spesifik. Hal ini dapat mengaktivasi sel B, menyebabkan kadar imunoglobulin E (IgE) atau autoantibodi meningkat. Superantigen secara selektif dapat menginduksi antigen pada sel T yang berkaitan dengan limfosit kutan, sehingga menyebabkan proses "homing" ke kulit. Gempuran sitokin ini menyebabkan sindrom kebocoran kapiler dan dapat menjelaskan sebagian besar manifestasi klinis penyakit yang diperantarai superantigen, misalnya toxic shock syndrome (TSS) dan scarlet fever.3



2



Kelainan kulit diawali dengan makula eritematosa yang dengan cepat akan menjadi vesikel, bula dan bula hipopion. Bula mudah pecah karena letaknya subkorneal, meninggalkan skuama anular dengan bagian tengah eritema (kolaret), dan cepat mengering. Lesi dapat melebar membentuk gambaran polisiklik. Keadaan umum biasanya tidak dipengaruhi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari penyakit, pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk memberikan gambaran terapi terhadap obat-obatan



yang



sensitif



dan



menyingkirkan



kemungkinan



diagnosa



banding.



Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur bakteri dan sensitivitas antibiotik, dapat digunakan dalam menentukan terapi antibiotik yang sensitif untuk mengeradikasi bakteri penyebab infeksi, pengecatan gram, digunakan untuk melihat bakteri. penyebab infeksi, apabila ditemukan bakteri gram positif dengan bentuk coccus (bulat) dan berkelompok dapat menunjukkan adanya Staphylococcus aureus, pengecatan kalium hidroksida (KOH), digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi jamur dan pengecatan tzank atau biakan virus, digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi herpes simpleks. Terapi non-medikamentosa antara lain, menghilangkan krusta dengan cara mengelupaskan krusta dengan handuk basah, mencegah untuk menggaruk daerah lecet, dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan lakukan drainase pada bula dan pustul secara aseptik dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran lokal, lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh. Adapun terapi medikamentosa menggunakan terapi topikal dan sistemik. Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik. 



Topikal: bergantung pada stadium penyakit dan morfologi kelainan kulit,dapat diberikan: Kompres terbuka:larutan permanganas kalikus 1/5000,larutan rivanol 1%. Diberikan pada keadaan akut, madidans dan krusta tebal serta lekat. Dapat juga dilakukan kompres dengan menggunakan larutan natrium klorida (NaCl) 0,9% pada lesi yang basah







Antibiotik topikal: salap/krim asam fusidat 2%, salap mupirosin 2%, salap basitrasin dan neomisin, dioles 2x/hr



3







Antibiotik sistemik: Penisilin G prokain dan semisintetiknya: amoksisilin, 30- 50 mg/kgBB/hr, 3x/hr; flukloksasilin, 50 mg/kgBB/hr, 4x/hr; atau dikloksasilin, 25 mg/kg BB/hr, 4x/hr, selama 7 hari. Dapat juga diberikan eritromisin, 30-50 mg/kgBB/hr, 3x/hr, selama 7 hari.4 Prognosis pada umumnya baik apabila menghindari dan mencegah faktor



predisposisi dan mendapat terapi yang tepat.6



4



B.



LAPORAN KASUS Seorang perempuan bernama Rosmaida Lentika Siregsr, 46 tahun, suku batak datang



ke Poliklinik RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan keluhan adanya gelembung berisi nanah disertai rasa gatal dan nyeri yang timbul pada punggung, dada dan paha sejak + 1 bulan. Pasien pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya, pasien mengaku hal ini dialami sering kambuh. Awalnya keluhan berupa bercak kemerahan kemudian bercak timbul gelembung berisi cairan yang lama kelamaan membesar dan cairan menjadi keruh. Jika bercak terasa gatal, pasien terkadang mengaruknya sehingga gelembung pecah. Pasien sebelumnya telah berobat ke klinik dokter untuk mengurangi keluhannya. Obat yang digunakan pasien sebelumnya adalah Cetirizine tablet dan obat lainnya yang pasien tidak mengetahui secara pasti nama obatnya. Pasien merasa tidak ada perbaikan. Akhirnya pasien pergi berobat ke Poli Kulit RSUD Pirngadi Medan. Pasien merupakan seorang Ibu rumah tangga dan tidak memiliki riwayat alergi. Pasien mengaku suami pasien juga mengalami penyakit yang serupa. Pasien sadar penuh, keadaan umum pasien baik, tanda- tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik, dijumpai makula eritema, vesikel, bula hipopion dan hiperpigmentasi kulit, di area punggung, dada dan paha. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya tidak dilakukan. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding pasien adalah impetigo bulosa, dermatofitosis, pemfigoid bulosa dan herpes zoster. Diagnosis sementara yang dapat disimpulkan adalah impetigo bulosa. Penatalaksanaan yang diberikan meliputi penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan umum meliputi edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga higienitas diri, mencegah garukan dan gosokan pada area ruam, menghindari faktor pencetus , serta meminum obat dan kontrol ke dokter secara teratur. Penatalaksanaan khusus yang diberikan terdiri dari pengobatan topikal yaitu pirotop salep dioleskan 2 kali sehari di area ruam, doxicor 100 tablet dikonsumsi 2 kali sehari, lovacor tablet 10 mg 1 kali sehari, dan pasien juga diberikan qutan-10 tablet 50 mg 2 kali sehari. Pemakaian obat diberikan selama 7 hari. Setelah itu pasien disarankan untuk kontrol ulang. Prognosis pada umumnya baik apabila menghindari dan mencegah faktor predisposisi dan mendapat terapi yang tepat.



5



C.



RESUME Perempuan berusia 46 tahun dengan ruam makula eritema, vesikel, bula hipopion,



dan hiperpigmentasi di area punggung, dada dan paha sejak ± 1 bulan. Ruam disertai dengan rasa gatal dan nyeri. Pasien pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya dan hal ini cenderung kambuh.. Pasien telah berobat ke klinik lain, namun tidak sembuh juga. Pada pemeriksaan fisik dijumpai makula eritema, vesikel, bula hipopion, dan hiperpigmentasi, dan kolaret dengan dasar eritema. Tatalaksana yang diberikan yakni berupa edukasi dan tatalaksana farmakologi terdiri dari pirotop (mupirocin) salep dioleskan 2 kali sehari, doxicor 100 (doxycycline monohydrate) tablet dikonsumsi 2 kali sehari, lovacor (loratadine) tablet 10 mg dikonsumsi 1 kali sehari dan pasien juga diberikan qutan10 tablet dikonsumsi 2 kali sehari. Pemakaian obat diberikan selama 7 hari.



6



D.



DISKUSI KASUS



Dijumpai



Teori



Pemeriksaan dermatologi:



Ruam: kelainan kulit berupa vesikel



Ruam berupa makula eritema, vesikel, bula (gelembung berisi cairan dengan diameter hipopion



dan



hiperpigmentasi



kulit, 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang



multipel di area punggung, dada dan paha



utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran “collarette” pada pinggirnya. Krusta “varnishlike” terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memper lihatkan dasar yang merah dan basah. Bula yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh



Dijumpai



Teori



Predileksi: punggung, dada, dan paha. Tempat predileksi tersering pada impetigo Pasien dewasa berusia 46 tahun.



bulosa adalah di ketiak, dada, punggung dan sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa.



Dijumpai



Teori 



Untuk penatalaksanaan farmakologi



Topikal: bergantung pada stadium



pada pasien terdiri dari pirotop (mupirocin)



penyakit dan morfologi kelainan



salep dioleskan 2 kali sehari, doxicor 100



kulit,dapat



(doxycycline



terbuka:larutan



dikonsumsi



monohydrate) 2



kali



sehari,



tablet lovacor



diberikan:



Kompres



permanganas



kalikus 1/5000,larutan rivanol 1 ‰.



(loratadine) tablet 10 mg dikonsumsi 1 kali



Diberikan



sehari dan pasien juga diberikan qutan-10



madidans dan krusta tebal serta



tablet dikonsumsi 2 kali sehari. Pemakaian



lekat.



7



pada



Dapat



keadaan juga



akut,



dilakukan



obat diberikan selama 7 hari.



kompres



dengan



menggunakan



larutan natrium klorida (NaCl) 0,9% pada lesi yang basah 



Antibiotik topikal: salap/krim asam fusidat 2%, salap mupirosin 2%, salap



basitrasin



dan



neomisin,



dioles 2x/hr 



Antibiotik sistemik: Penisilin G prokain



dan



semisintetiknya:



amoksisilin, 30- 50 mg/kgBB/hr, 3x/hr;



flukloksasilin,



mg/kgBB/hr,



50



4x/hr;



atau



dikloksasilin, 25 mg/kg BB/hr, 4x/hr, selama 7 hari. Dapat juga diberikan



eritromisin,



30-50



mg/kgBB/hr, 3x/hr, selama 7 hari.



Dijumpai



Teori



Prognosis: Bonam



Prognosis: pada umumnya baik apabila menghindari dan mencegah faktor predisposisi dan mendapat terapi yang tepat.



8



E.



GAMBAR



9



F.



KESIMPULAN Impetigo bulosa merupakan salah satu bentuk dari pioderma yang disebebkan oleh



bakteri Staphylococcus aureus yang ditandai dengan adanya kelainan kulit berupa eritema, vesikel, dan bula hipopion. Terkadang pasien datang berobat, vesikel dan bula sudah pecah sehingga yang tampak adalah kolaret dengan dasar eritema. Dapat terjadi pada anak anak ataupun pada orang dewasa. Terapi non farmakologi beruba edukasi kepada pasien untuk untuk menjaga higienitas diri, mencegah garukan dan gosokan pada area ruam, menghindari faktor pencetus , serta meminum obat dan kontrol ke dokter secara teratur. Untuk terapi farmakologis, jika terdapat hanya beberapa vesikel atau bula, pengobatan dapat dilakukan dengan memecahkan vesikel atau bula tersebut kemudian diolesi dengan salep antibiotik atau cairan antiseptik. Dapat pula diberikan antibiotik sistemik pada ruam yang banyak.



10



DAFTAR PUSTAKA 1. Amirudin DM, dkk. 2008. Buku Ajar Penyakit Kulit Daerah Tropis. Universitas Hasanuddin. 2. Ayunisari, C.G., 2013. Impetigo Bulosa Pada Anak Usia 9 Tahun. Jurnal Medula, 1(05), pp.35-41. 3. Budiani, L.D., Adiguna, M.S. and Denpasar-Bali, R.S., 2014. Penatalaksanaan Pioderma Terkini. 4. Dauli, Emmy S.S., Sri Linuwih Menaldi, Made Wisnu. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Medical Multimedia Indonesia. 5. Djuanda, Adhi. 2019. Pioderma. Dalam : Sri Linuwih SW Menaldi, Kusmarina Bramono, Wresti Indriatmi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. jakarta : FK UI. 6. Pereira, L.B., 2014. Impetigo-review. Anais brasileiros de dermatologia, 89(2), pp.293-299. 7. Tiyas, Merry., Rochman B., Kanti Ratnaningrum. 2017. Buku Ajar Integumen.



Semarang: Unimus Press.



11