Laporan Kasus Impetigo Bulosa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Kasus



Impetigo Bulosa



Disusun Oleh: Putri Ayu Amalia Khairunnisa



Pembimbing: Mimi Maulida



BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2015



KATA PENGANTAR



Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, juga kepada sahabat dan keluarga beliau. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Mimi Maulida, Sp. KK yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan laporan kasus ini dan para dokter di bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini. Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus. Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.



Banda Aceh, Februari 2015



Penulis



Jurnal Referensi Ilmiah



Impetigo Bulosa



Disusun Oleh: Putri Ayu Amalia Khairunnisa



Pembimbing: Mimi Maulida



BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2015



DAFTAR ISI



Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................



ii



DAFTAR ISI...................................................................................................



iii



PENDAHULUAN................................................................... .......................



1



TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... Definisi ............................................................................................. Epidemiologi ........................................................................................ Etiologi ............................................................................................. Patifisiologi .......................................................................................... Faktor Predisposisi ............................................................................... Gambaran Klinis .................................................................................. Diagnosa Banding ................................................................................ Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... Tatalaksana........................................................................................... Prognosis .............................................................................................



3 3 3 3 4 4 4 5 6 6 7



LAPORAN KASUS ....................................................................................... Identitas Pasien..................................................................................... Anamnesis ............................................................................................ Pemeriksaan Fisik Kulit ....................................................................... Diagnosis Banding ............................................................................... Resume ............................................................................................. Diagnosis Klinis..................... .............................................................. Pemeriksaan Anjuran Lanjutan ............................................................ Tatalaksana........................................................................................... Edukasi ............................................................................................. Prognosis........................................................... ...................................



8 8 8 9 10 10 11 11 11 11 12



DISKUSI KASUS ...........................................................................................



13



LAMPIRAN....................................................................................................



16



DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................



19



PENDAHULUAN Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo adalah tipe pioderma yang paling sering dijumpai. Impetigo seringnya terjadi pada bagian tubuh yang terbuka.1 Biasanya penyakit ini muncul pada wajah terutama di sekitar hidung dan mulut. Infeksi ini biasanya terjadi ketika bakteri memasuki kulit melalui luka atau gigitan serangga.2 Pioderma primer dan sekunder sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A.3 Impetigo merupakan salah satu penyakit kulit yang sering menyerang anakanak.3 Biasanya penyakit ini menyerang anak-anak yang berusia 2 sampai 6 tahun. Anak-anak sangat rentan terhadap infeksi bakteri staphylococcus dan bakteri streptococcus dikarenakan penyakit ini menular dan menyebar dengan mudah di sekolah.3 Berbagai studi menemukan 50-70% kasus impetigo disebabkan oleh bakteri golongan streptococcus aureus dan sisanya disebabkan oleh streptococcus pyogenes atau gabungan antara kedua organisme tersebut.1 Di Amerika, impetigo merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.3 Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya impetigo adalah kontak langsung dengan orang dewasa atau anak yang memiliki impetigo, handuk, tempat tidur dan pakaian yang sudah terkontaminasi, tempat yang ramai/kumuh, musim panas, atau kontak langsung kulit ke kulit saat berolahraga dan sebagainya.3 Terdapat dua gejala klinis dari impetigo yang diketahui yaitu impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa.3 Impetigo bulosa ditandai oleh munculnya bula yang semakin membesar dan kulit yang melepuh yang akan ruptur dalam beberapa hari,3 sedangkan impetigo non-bulosa dikarakteristikkan lesi yang terpisah, vesikel atau bula yang dengan cepat menjadi pustul dan ruptur.1 Impetigo bulosa sering terjadi pada bagian tubuh yang terbuka, seperti ketiak, dada, punggung. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel dan bula pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya



vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi warna keruh, sesudah pecah tampak krusta kecoklatan yang tepinya meluas dan tengahnya menyembuh, sehingga tampak gambaran lesi sirsiner.3 Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi. Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar. Biopsi jarang dilakukan, biasanya diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa adanya tes laboratorium.1 Pemeriksaan penunjang dapat di gunakan untuk memberikan gambaran terapi terhadap obat-obatan yang sensitif dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur bakteri dan sensivitas antibiotik serta dapat dilakukan pengecetan gram.3 Tatalaksana dari impetigo bulosa dapat diberikan terapi non-medikamentosa berupa menjaga kebersihan pasien, dan terapi medikamentosa berupa terapi topikal dan sistemik. Impetigo jarang berakibat fatal, dan infeksi ringan biasanya akan menghilang sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Pasien dapat kembali bekerja atau sekolah dalam waktu 24 jam jika telah diberikan terapi antibiotik.2



TINJAUAN PUSTAKA Definisi Impetigo ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus atau oleh kedua-duanya pada lapisan epidermis kulit.4,5 Impetigo mempunyai 2 tipe, yaitu impetigo non-bulosa yang ditandai dengan adanya vesikel yang kemudian ruptur membentuk krusta berwarna kekuning-kuningan di daerah wajah, terutama sekitar mulut dan hidung. Sedangkan impetigo bulosa ditandai dengan lesi berupa vesikel-bula yang mudah ruptur dan membentuk kolaret.6 Epidemiologi Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia penyakit kulit menempati urutan ke-3 setelah infeksi saluran napas dan diare. Dari data jumlah kunjungan pasien ke poliklinik Divisi Dermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan kelamin (IKKK) Fakultas kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr Cipto Mangunkusomo (FKUI/RSCM) selama tahun 2001 menunjukan pasien pioderma anak sebesar 362 kasus (18,53%) dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati urutan ke-2 setelah dermatitis atopik. Sedangkan tahun 2002 terbanyak 328 kasus (16,72%) dari 1962 kunjungan baru. Pioderma primer terbanyak secara berturut-turut adalah furunkulosis (19,32%), impetigo krustosa (15,0%), impetigo vesikobulosa (14,02%), dan ektima (11,59%). Infeksi sekunder terbanyak dijumpai pada skabies dan dermatitis atopik. Dari data 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001 didapatkan 13,86% dari 8919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah pioderma. Yang terbanyak adalah furunkulosis (26,35%), diikuti impetigo vesikobulosa (23,76%), dan impetigo krustosa (22,79%).6 Etiologi Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus Aureus.4,5 Grup II bakteri ini menyebabkan sekitar 80% impetigo bulosa dan 60% kasus disebabkan oleh tipe phage 71, selain itu juga bisa disebabkan oleh bakteri dengan tipe phage 3A, 3C dan 55. Beberapa literatur juga melaporkan impetigo bulosa yang disebabkan oleh Streptococcus grup A.3,7,9



Patofisiologi Staphylococcus Aureus berkembang biak dalam lapisan sel spinosum, memproduksi eksfoliative toxin ( ET ) yang menyebabkan lesi di epidermis. S. Aureus menghasilkan eksfoliative toxin, salah satu jenis protease yang menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler, desmoglein 1, yang terdapat dalam desmosom keratinosit. Toksin ini merupakan faktor virulensi terbesar S. aureus, yang menyebabkan pemisahan sel-sel epidermal dengan pembentukan lesi. Lesi impetigo bulosa dimulai dengan vesikel kecil yang berukuran sampai 2 cm, awalnya dengan isi vesikel jernih namun kemudian menjadi purulen. Ketika vesikel pecah maka lesi menjadi makula eritematous dan dapat dilihat sebagai kolaret di pinggir lesi. Lesi biasanya mempunyai gambaran polisiklik. Impetigo bulosa paling sering terjadi di daerah seperti daerah bekas pemakaian popok, aksila dan leher, bahkan telapak tangan dan kaki. Penyakit ini dapat menyerang neonatus, biasanya mulai setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat juga terjadi pada saat lahir karena ketuban pecah dini. Namun, Impetigo bulosa paling umum terjadi pada anak usia 2-5 tahun.7 Faktor Predisposisi6 Impetigo bulosa sering menyerang individu dengan higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh, misalnya umur tua, pasien dengan HIV/AIDS, neoplasma dan diabetes melitus. Selain itu, riwayat penyakit kulit sebelumnya juga berpengaruh, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Kepadatan penduduk dan kondisi iklim panas juga merupakan faktor predisposisi terjadinya impetigo bulosa. Gejala Klinis Impetigo bulosa tidak mempengaruhi keadaan umum pasien. Lesi biasanya terdapat di ketiak, dada, punggung, dan sering timbul bersama miliaria. Terdapat pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula hipopion. Vesikel akan terus membesar membentuk bula selam 2-3 hari yang kemudian akan ruptur. Kadang-kadang waktu penderita berobat, vesikel/bula telah memecah



sehingga yang tampak hanya kolaret dan dasarnya masih eritematous.4,5,8 Kolaret merupakan tanda patognomonik untuk kasus impetigo bulosa. Lesi dapat berbentuk sirsinar dengan central healing dan dapat bergabung dengan lesi lain sehingga membentuk pola polisiklik.8



Gambar : Kolaret7



Gambar : Impetigo bulosa pada area pemakaian popok7 Diagnosis Banding 3,9 1. Varisella



2. Pemfigus bulosa : dinding bula tebal, dikelilingi eritem, KU buruk 3. Dermatitis kontak alergika 4. Herpes simplex 5.Tinea korporis (Jika vesikel/ bula telah pecah dan hanya terdapat kolaret dan eritema) Pemeriksaan Penunjang 3, 9 -



Gram staining : didapatkan gram positif, bentuk coccus berantai atau berkelompok dengan neutrofil di dalamnya.



-



Kultur : terutama dilakukan untuk kasus gagal terapi antibiotik oral dan dicurigai adanya infeksi MRSA.



-



Hematologi : leukositosis



-



Dermatopatologi : vesikel terdapat di bawah stratum korneum atau di lapisan granular, didapatkan acantholitic cells, spongiosis, edema papila dermis dan infiltrat berupa limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah superfisial.



Tatalaksana Terapi non-medikamentosa antara lain, menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah, sabun antiseptik yang digunakan mengandung seperti triklosan, khlorhexidine atau povidone iodine. Selain itu, mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet, dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak, menghindari kontak langsung dengan pasien sampai lesi berbentuk krusta atau pasien telah mendapatkan antibiotik minimal selam 24 jam, gunakan barang-barang seperti handuk dan baju secara terpisah dengan pasien serta rutin mencuci menjaga kebersihan diri pasien dan keluarga. 6,7 Terapi



medikamentosa



menggunakan



terapi



topikal



dan



sistemik.



Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Antibiotik topikal dapat digunakan mupirocin, asam fusidat, ratapamulin, dicloxacillin dan digunakan selama 7 hari. 4,6,7 Asam fusidat sangat efektif untuk S. Aureus dengan penetrasi yang baik ke permukaan kulit, juga efektif untuk infeksi Streptococcus dan Propionibacterium acnes . Insiden reaksi alergi terhadap obat ini rendah.7 Mupirocin menghambat sintesis protein bakteri, dengan mengikat enzim isoleucyl – tRNA synthetase, sehingga mencegah penggabungan isoleusin kedalam rantai protein. Mupirocin sangat



efektif terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan semua spesies lain dari Streptokokus kecuali kelompok D dari Streptococcus. Mupirocin tidak mempengaruhi bakteri flora normal sehingga tidak mengubah pertahanan alami kulit. Tingkat resistensi bakteri terhadap obat ini rendah, sekitar 0,3 % untuk S. aureus. Efek samping dilaporkan terjadi pada 3 % pasien dengan keluhan gatal dan iritasi7, dioleskan sebanyak 3 kali sehari selama 7-10 hari. 3,9 Retapamulin merupakan obat semi- sintetis yang berasal dari jamur merang yang disebut Clitopilusscyphoides. Retapamulin menghambat sintesis protein dengan mengikat ribosom bakteri, efektif untuk S. aureus dan S. pyogenes. Retapamulin tidak diindikasikan untuk infeksi MRSA, kurang efektif pada lesi trauma dan lesi yang disertai abses (biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob dan MRSA).7 Terapi sistemik biasanya diberikan pada kerusakan kulit yang lebih dalam, demam, adanya limfadenopati, faringitis dan jumlah lesi lebih dari 5. Terapi sistemik dapat menggunakan penisilin dan semisintetiknya, ampicillin, amoksicillin, dicloxacillin dengan dosis 4x250-500 mg perhari, phenoxymethyl penicillin (penicillin V), eritromisin dengan dosis 4x250-500mg perhari (bila alergi penisilin), clindamisin dengan dosis 4x15mg/kgBB/hari (alergi penisilin dan menderita saluran cerna) dan penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya. Terapi sistemik juga diberikan selama 7 hari. Jika tidak membaik, maka dapat dilakukan kultur bakteri dan uji sensitivitas antibiotik.3,4,6 Pada komunitas dengan MRSA, maka dapat diberikan vancomycin ataupun clindamycin.8 Prognosis Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 15% pasien terutama usia 2-6 tahun.6,8 Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul. Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening, septic arthritis dan sepsis. Selain itu, pada infeksi Staphylococcus yang menghasilkan TSST-1 maka dapat terjadi komplikasi berupa toxic shock syndrome. 3,8,9



LAPORAN KASUS Identitas Pasien Nama



: Hamra Barrisyia



Berat badan



: 7 kg



Jenis kelamin



: Perempuan



No.RM



: 1-01-98-24



Umur



: 7 bulan



No.Hp



: 085260131881 (Ibu)



Tanggal pemeriksaan : 09 Februari 2015 Anamnesis Keluhan Utama



:



Pasien datang dengan keluhan gelembung-gelembung kecil di leher, dada depan dan siku tangan kanan. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan adanya gelembung-gelembung kecil pada wajah, leher, dada depan dan tangan kanan selama 5 hari sebelum ke Rumah Sakit. Awalnya muncul bercak kemerahan dan gelembung-gelembung ditangan yang kemudian meluas hingga leher dan dada bagian depan. Keluhan berupa kemerahan yang terasa gatal yang lama kelamaan menjadi gelembung cairan, sebagian gelembung pecah dan mengering menjadi warna kecoklatan. Sebelum menimbulkan lesi, pasien mengeluhkan adanya demam selama 2 hari. Riwayat Penyakit Dahulu



:



Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, dan juga belum pernah menderita penyakit kulit lainnya. Riwayat Penyakit Keluarga



:



Ibu pasien juga mengeluh gatal-gatal di badan, namun tidak didapatkan lesi yang serupa dengan pasien. Anggota keluarga yang lain tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama seperti pasien ataupun ibu pasiennya.



Riwayat Kebiasaan Sosial



:



Pasien sering diajak main oleh tetangga disekitar rumah pasien. Ibu pasien tidak rutin membersihkan pasien. Riwayat Pemakaian Obat



:



Sebelumnya pasien menggunakan obat salap dari Puskesmas, namun tidak membaik. Keluarga lupa nama salapnya. Pemeriksaan Fisik Status Dermatologis 



Regio







Deskripsi Lesi :



: Olekranon



Tampak patch eritematous berbatas tegas, tepi irreguler, jumlah soliter, ukuran plakat disertai krusta kehitaman dan skuama kasar diatasnya, distribusi regional. 



Regio







Deskripsi Lesi :



: colli, thorak anterior



Tampak makula dan patch eritematous berbatas tegas tepi irreguler, jumlah multiple dengan krusta kehitaman di atasnya serta skuama di pinggir lesi, terdapat pula vesikel, pustula dan bula di sekitarnya dengan distribusi generalisata



Gambar: Impetigo pada regio olekranon



Tampak patch eritematous berbatas tegas, tepi irreguler, jumlah soliter, ukuran plakat disertai krusta kehitaman dan skuama kasar diatasnya, distribusi regional.



Gambar: Impetigo pada regio facialis, colli, thorak anterior Tampak makula dan patch eritematous berbatas tegas tepi irreguler, jumlah multiple dengan krusta kehitaman di atasnya serta skuama di pinggir lesi, terdapat pula vesikel, pustula dan bula di sekitarnya dengan distribusi generalisata. Diagnosa Banding 1. Impetigo Bulosa 2. Impetigo krustosa 3. Varisella 4. Pemfigoid bulosa Resume Pasien datang dengan keluhan adanya gelembung-gelembung kecil pada leher, dada depan dan tangan kanan. Hal tersebut sudah dirasakan pasien sejak 5 hari. Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio olekranon tampak patch eritematous berbatas tegas, tepi irreguler, jumlah soliter, ukuran plakat disertai krusta kehitaman dan skuama kasar diatasnya, distribusi regional. Pada regio colli dan thorax anterior tampak makula dan patch



eritematous berbatas tegas tepi irreguler, jumlah multiple dengan krusta kehitaman di atasnya serta skuama di pinggir lesi, terdapat pula vesikel, pustula dan bula di sekitarnya dengan distribusi generalisata. Diagnosis Impetigo Bulosa Pemeriksaan Anjuran Lanjutan 



Kultur : tidak dilakukan, terutama dilakukan untuk kasus gagal terapi antibiotik oral dan dicurigai adanya infeksi MRSA.







Gram staining : tidak dilakukan, diharapkan didapatkan gram positif, bentuk coccus berantai atau berkelompok dengan neutrofil di dalamnya.







Dermatopatologi : tidak dilakukan, namun diharapkan adanya vesikel terdapat di bawah stratum korneum atau di lapisan granular, didapatkan acantholitic cells, spongiosis, edema papila dermis dan infiltrat berupa limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah superfisial.



Tatalaksana Topikal



: Kompres Nacl 0,9 % untuk membersihkan krusta diregio olekranon Asam fusidat 5 kali sehari dioleskan



Sistemik



: Eritromisin sirup 3 X ½ cth



Edukasi 



Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa penyakit yang diderita oleh pasien merupakan penyakit menular.







Hindari kontak langsung







Jika timbul gelembung-gelembung baru dan kemudian pecah langsung dibersihkan agar tidak terkena kebagian yang lain







Cuci pakaian pasien setiap hari dan jangan bertukaran dengan siapapun di dalam keluarga.







Potong kuku pasien untuk mencegah garukan yang akan memperparah kondisi.



Prognosis Quo ad vitam



: Dubia ad bonam



Quo ad functionam



: Dubia ad bonam



Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam



DISKUSI Pasien, perempuan umur 7 bulan, datang dengan keluhan adanya gelembunggelembung kecil pada wajah, leher, dada depan dan tangan kanan selama 5 hari sebelum ke Rumah Sakit. Awalnya muncul bercak kemerahan dan gelembunggelembung ditangan yang kemudian meluas hingga leher dan dada bagian depan. Keluhan berupa kemerahan yang terasa gatal yang lama kelamaan menjadi gelembung cairan, sebagian gelembung pecah dan mengering menjadi warna kecoklatan. Sebelum menimbulkan lesi, pasien mengeluhkan adanya demam selama 2 hari. Dari pemeriksaan dermatologis didapatkan pada regio olekranon tampak patch eritematous berbatas tegas, tepi irreguler, jumlah soliter, ukuran plakat disertai krusta kehitaman dan skuama kasar diatasnya, distribusi regional. Pada regio colli dan thorax anterior tampak makula dan patch eritematous berbatas tegas tepi irreguler, jumlah multiple dengan krusta kehitaman di atasnya serta skuama di pinggir lesi, terdapat pula vesikel, pustula dan bula di sekitarnya dengan distribusi generalisata. Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala impetigo bullosa bahwa impetigo merupakan infeksi bakteri di kulit yang umum terjadi pada anak-anak. Gejala simtomatik dapat berupa lemas, demam dan diare. Data epidemiologi menyatakan daerah predileksi impétigo bulosa antara lain leher, ketiak, dada, serta punggung dengan gambaran efloresensi yang khas berupa vesikel yang biasanya membesar menjadi bula. Didalam bula tersebut awalnya mengandung cairan yang jernih berwarna kuning, yang kemudian berubah warna menjadi lebih gelap, serta lebih berwarna kuning kehitaman. Setelah 1-3 hari lesi ini biasanya akan ruptur dan meninggalkan lesi eritematous dan basah, yang membentuk kolaret- bentuk khas pada impetigo bulosa. Jika lesi menyatu, maka akan didapatkan bentuk polisiklik. Karena impetigo terbatas hanya pada epidermis dan tidak mencapai bagian yang lebih dalam, umumnya pasien hanya mengeluh gatal tanpa disertai nyeri.7,8 Lesi pada impetigo bulosa terjadi karena kehilangan dari kemampuan adhesi sel yang diakibatkan karena adanya eksotoksin A yang bekerja pada desmoglein I tersebut. Desmoglein I ini berperan dalam mengatur proses adhesi sel. Molekulmolekul eksotoksin tersebut bekerja sebagai antigen serin biasa yang bekerja secara local dan mengaktifkan sel limfosit T. Eksotoksin ini juga akan mengalami koagulasi,



di mana toksin tersebut akan tetap terlokalisasi pada bagian atas dari lapisan epidermis dengan memproduksi fibrin thrombus.7,10 Pasien sering diajak main oleh tetangga disekitar rumah pasien. Ibu pasien juga tidak rutin membersihkan pasien, baik mencuci tangan pasien ataupun memandikan pasien. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Pereira BP bahwa mencuci tangan dengan sabun menurunkan resiko infeksi seperti pneumonia, diare dan impetigo. Sebuah penelitian menunjukkan insiden impetigo berkurang hingga 34% pada populasi yang menjalankan program cuci tangan.7 Di dalam mendiagnosis Impetigo Bulosa,kita sering mengalami kesulitan akibat banyaknya gejala klinisnya yang mirip dengan gejala klinis penyakit kulit yang lain di antaranya adalah impetigo krustosa, namun terdapat beberapa perbedaan yang khas. Untuk diagnosis impetigo krustosa walaupun terjadi pada anak dan biasanya tidak didahului dengan gejala konstitusi atau prodromal, namun dapat kita singkirkan karena dari daerah predileksi untuk impetigo krustosa adalah di bagian wajah (sekitar lubang hidung serta mulut) sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher, kemudian untuk gambaran effloresensinya pada impetigo krustosa yang khas adalah adanya gambaran vesikel dengan krusta yang tebal berwarna kuning seperti madu dengan dasar erosi. Kemudian untuk diagnosis varisela walaupun sering terjadipada anak, namun dapat kita singkirkan karena biasanya didahului dengan gejala konstitusi atau prodromal seperti demam serta munculnya lesi secara sentrifugal(mulai dari wajah dan batang tubuh keekstrimitas), sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher saja, kemudian untuk gambaran effloresensinya pada varicella yang khas adalah adanya gambaran vesikel berisi cairan bening/serous yang tersusun diskret diatas kulit yang eritema.8 Pada pasien juga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lanjutan berupa kultur



dan



dermatopatologi.



Motswaledi



menyatakan



bahwa



pemeriksaan



mikroskopik, kultur dan uji sensitivitas juga diperlukan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan untuk mengidentifikasi kasus MRSA.8 Penatalaksanaan impetigo bulosa dapatdiberikan dengan antibiotika topikal hingga oral dengan pertimbangan luas lesiserta kondisi klinis pasien seperti ada tidaknya demam serta limfadenopati. Apabila Impetigo Bulosa tidak disertai dengan gejala lymphadenopati maka pengobatan yang dapat dipilih jenis topikal. Antibiotika



yang dipilih untuk pengobatan lokal adalah antibiotika yang tidak digunakan secara sistemik, seperti neomisin, basitrasin, gentamisin, asamfusidat, mupirosin dan framisetin. Penisilin dan sulfat tidak boleh digunakanuntuk pengobatan lokal oleh karena dapat terjadi sensitisasi. Pada pasien diberikan terapi asam fusidat yang dioleskan 5 kali dalam sehari. Mupirocin dan asam fusidat merupakan obat topikal pilihan pertama untuk kasus impetigo. Asam fusidat sangat efektif terhadap S. Aureus dengan penetrasi obat yang baik dan konsentrasi obat yang tinggi pada lesi serta rendahnya kejadian reaksi alergi terhadap obat ini.7,8,10 Sedangkan pemilihan obat sistemik berdasarkan juga pada gejala pasien, misalnya apabila ditemukan lesi dalam jumlah yang banyak, serta disertai dengan gejala konstitusi sebelumnya seperti misalnya demam. Obat antibiotika sistemik yang biasanya digunakan meliputi golongan Beta-lactam seperti Amoksisilin dengan dosis 2x45 mg/kgBB/hari diberikan selam 10 hari, namun nantinya jika muncul reaksi hipersensitivitas tipe I, dapat diganti dengan golongan sefalosporin yang lebih hipoalergenik seperti cefadroxil atau dapat diganti dengan golongan lainnya seperti dikloksasilin 2x45mg/kgBB/hari diberikan selama 10 hari,serta Eritromisin dengan dosis 45mg/kgBB/hari selama 10 hari. Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan eritromisin syrup 3x1/2 cth mengingat jumlah lesi yangcukup banyak dan keluhan demam. Dapat juga diberikan makrolid lain seperti clarithromycin, roxithromycin dan azithromycin dengan sedikit efek samping terhadap traktus gastrointestinal.7,8,10 Selanjutnya yang juga penting adalah memberikan edukasi kepada keluarga berupa menjaga kebersihan diri, jika timbul lesi baru dan kemudian pecah langsung dibersihkan agar tidak terkena ke bagian yang lain, cuci pakaian pasien setiap hari dan jangan bertukaran dengan siapapun di dalam keluarga, potong kuku pasien untuk mencegah garukan yang akan memperparah kondisi. Pereira LB menyatakan bahwa pasien dengan impetigo harus dijaga kebersihannya menggunakan sabun dan air hangat serta membersihkan krusta dan sekret dari lesi.7 Impetigo Bulosa umumnya sembuh dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Namun juga bergantung pada pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi pada kasus yang lebih berat. Pasien dewasa lebih sering mengalami komplikasi dari pada anak-anak. Secara umum mengingat penatalaksanaan yang diberikan untuk mengeradikasi bakteri penyebab, prognosis penyakit pada pasien ini adalah baik.10



Lampiran 1 Diagnosis



Definisi



Banding



Tipe Lesi



Impetigo



Impetigo



adalah



Bulosa



Penyakit kulit yang



vesikel-



disebabkan



bula



oleh



Distribusi Lesi



Lesi berupa Lesi muncul di



area



yang pemakaian



Staphylococcus,



mudah



Streptococcus atau



ruptur dan aksila,



oleh kedua-duanya



membentuk leher, muka



pada



kolaret



lapisan



epidermis kulit



popok,



dan bagian tubuh lainnya termasuk telapak tangan dan kaki.



Impetigo



Impetigo



adalah



Krustosa



Penyakit kulit yang



vesikel



di



disebabkan



yang



wajah,



Staphylococcus,



kemudian



terutama



Streptococcus atau



ruptur



sekitar



oleh kedua-duanya



membentuk mulut



pada



krusta



oleh



lapisan



epidermis kulit



Lesi berupa Lesi muncul



berwarna kekuningkuningan



bagian



hidung.



dan



Keterangan



di



daerah



wajah, terutama sekitar mulut dan hidung Varisela



Penyakit



menular



Lesi



Distribusi



akut



yang berawal



bersifat



disebabkan



oleh berupa



sentripetal



virus



varisela- makula



zoster, sering pada eritematous anak-



anak, yang cepat



mengenai kulit dan berkembang mukosa,



klinis menjadi



terdapat



gejala papul,



konstitusi, kelainan vesikel, kulit



polimorf, pustul



dan



terutama berlokasi krusta. Lesi pada bagian sentral kemudian tubuh.



mengering, mula-mula dibagian tengah sehingga menyebabk an umbilikasi dan menjadi krusta.



Pemfigoid



Penyakit autoimun



Lesi



Aksila,



Bulosa



kronik



yang dimulai



lengan



ditandai



oleh dengan



bagian



adanya



bula papul



fleksor,



subepidermal yang eritematous berdinding tegang atau dan



urtika paha bagian



sering kemudian



mengenai orang tua membentuk (60-80 tahun)



abdomen,



dalam, tungkai



bula tegang bawah. yang berisi cairan jernih dengan dasar



kulit



normal atau eritematous. Bila



bula



pecah akan terbentuk erosi krusta



dan



DAFTAR PUSTAKA 1. James WD, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections in Andrew's Disease of the Skin. Saunders Elsevier; 2011.p.247-53. 2. Mahmood B, SH Ghotbi. Impetigo, a Brief Review. Shiraz E-Medical Journal. 2007 July; 8.p. 138 - 41. 3. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, et al. Superficial Cutaneus Infections and Pyodermas In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. New York: McGraw Hill Medical; 2008. p. 1694-703. 4. Djuanda A. Pioderma in Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.p. 57-59. 5. Menaldi SLS And Triestianawati W. Pioderma. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FKUI/ RSCM. 6. Oakley A. Managemen Of Impetigo. Hamilton;.p.9-11. Available at : www.bpac.org.nz 7. Pereir LB. Impetigo-Review. An Bras Dermatol. 2014.p. 293-9. 8. MH Mostwaledi. Impetigo in children : a clinical guide and treatment options. South African Family Practice. 2011; 53.p. 44-46. 9. Fitzpatrick TB, Johnson NA, Wolff K, et al. Cutaneus Bacterial Infections in Color Atlaslas And Synopsis Of Clinical Dermatology. New York: McGraw Hill Medical.1997. 10. Cole C And Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. Virginia : University of virginia School of Medicine.2007 March;75.p.859-64.