RTM Fitokimia KLP 2C [PDF]

  • Author / Uploaded
  • mitha
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MAKALAH FITOKIMIA RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma Zanthorrhiza)



Oleh KELOMPOK 2 A4C



1. Ni Putu Helena Priscayanti



(19021062)



2. Ni Putu Juli Martasari



(19021063)



3. Ni Putu Mitha Angelia Ningsih



(19021064)



4. Ni Putu Mitha Meliani



(19021065)



5. Ni Putu Widiantari



(19021066)



6. Ni Wayan Yuniantari



(19021067)



PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL DENPASAR 2021



KATA PENGANTAR



Puja dan puji syukur penulis haturkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya tulisan dengan judul “RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma Zanthorrhiza)” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Tulisan ini disusun dalam rangka menempuh mata kuliah Fitokimia yang diampu oleh Ibu Apt. I Gusti Ayu Agung Septiari, S. Farm., M.S. pada semester ganjil 2021/2022 selaku dosen pengajar Fitokimia yang telah memberi bimbingan kepada penulis. Dengan arahan dari dosen pengajar dan dari beberapa sumber jurnal, penulis mengharapkan orang yang membaca tulisan ini memahami tentang RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma Zanthorrhiza). Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya penulisan tulisan ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dan memotivasi sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menyusun tulisan lain selanjutnya. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat untuk kita semua.



Denpasar, 1 November 2021



Penulis,



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL........................................................................................................ KATA PENGANTAR..................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah................................................................................................ 1.3. Tujuan.................................................................................................................. BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 1. Metode Uji Kandungan Senyawa pada Rimpang Temulawak........................ 2. Makroskopis dan Mikroskopis Rimpang Temulawak..................................... 3. Metode Uji Kandungan Senyawa pada Rimpang Temulawak........................ 4. Hasil Uji Kandungan dari Rimpang Temulawak............................................ 5. Metode Uji Bioaktivitas pada Rimpang Temulawak...................................... 6. Hasil Uji Kandungan Aktivitas dari Rimpang Temulawak............................. BAB III PENUTUP......................................................................................................... 1. Kesimpulan...................................................................................................... 2. Saran................................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Bahan alam yang digunakan untuk pengobatan baik dalam obat maupun bahan obat cenderung meningkat dalam penggunaannya. Peningkatan ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap khasiat dan keamanannya karena penggunaanya tidak tidak lagi hanya berdasarkan pengalaman empiris secara tradisonal saja, tetapi mendapat dukugan data ilmiah berdasarkan penelitian. Bahan alam dapat digunakan sebagai jamu, sediaan herbal berstandar dan sediaan fitofarmaka (Susanti D.R., 2009). Salah satu bahan alam yang digunakan oleh masyarakaat adalah temulawak. Temulawak secara historis mempunyai kegunaan tradisional dan social yang cukup luas dikalangan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, banyak kalangan yang mempromosikan temulawak sebagai obat khas Indonesia. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan salah satu jenis tumbuhan dari keluarga Zingeberaceae, yang secara empiric banyak digunakan sebagai obat, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran (Mahendra, 2006). Temulawak



banyak



ditemukan



dihutan-hutan



hujan



tropis.



Temlawak juga berkembangbiak dengan baik ditanah tegalan sekitar pemukiman, terutama pada tanah yang gembur sehingga rimpangnya mudah berkembang menjadi lebih besar (Mahendra, 2006). Temulawak (Curcuma Xanthorriza Roxb.) adalah tanaman yang tumbuh berumpun dan dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak lama, dan temulawak dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional maupun sebagai rempah-rempah. Temulawak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia seperti menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, dan sebagai antioksidan. Minyak atsiri dapat dimanfaatkan untuk merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan anti spasmodicum, yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot



(Adipratama, 2009). Temulawak memiliki kandungan metabolit sekunder yaitu Alkaloid, Flavonoid, Triterpenoid, Saponin dan Tanin (Hayani, 2006).



1.2. RUMUSAN MASALAH 1.2.1



Bagaimana morfologi tanaman Rimpang Temulawak?



1.2.2



Bagaimana makroskopis dan mikroskopis Rimpang Temulawak?



1.2.3



Bagaimana metode uji kandungan senyawa pada Rimpang Temulawak?



1.2.4



Bagaimana hasil uji kandungan dari Rimpang Temulawak?



1.2.5



Bagaimana metode uji bioaktivitas pada Rimpang Temulawak?



1.2.6



Bagaimana



hasil



uji



kandungan



aktivitas



dari



Rimpang



Temulawak? 1.3. TUJUAN 1.3.1. Mengetahui morfologi tanaman Rimpang Temulawak. 1.3.2. Mengetahui bagaimana makroskopis dan mikroskopis Rimpang Temulawak. 1.3.3. Mengetahui metode apa yang digunakan untuk uji kandungan senyawa Rimpang Temulawak. 1.3.4. Mengetahui hasil dari metode yang digunakan unutk uji kandungan Rimpang Temulawak. 1.3.5. Mengetahui metode apa yang digunakan untuk uji bioaktivitas senyawa Rimpang Temulawak. 1.3.6. Mengetahui hasil dari metode yang digunakan unutk uji bioaktivitas Rimpang Temulawak.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Morfologi Tanaman Rimpang Temulawak Morfologi tanaman temulawak secara terperinci dapat diamati dari bagian akar, batang. daun dan bunganya. 1. Morfologi Akar Jenis akar pada tanaman temulawak adalah berbentuk serabut yang bercabang kuat, serta berwarna hijau gelap. Jenis akar temulawak ini dapat tumbuh hingga mencapai kedalaman sekitar 25 cm. Akar keluar dari bagian rimpang induk. Bagian rimpang induk ini memiliki 3-4 buat rimpang anakan. Rimpangnya ini berwarna cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna dagingnya oranye tua atau kuning. Panjangnya dapat mencapai sekitar 15 cm dan bergaris tengah 6 cm. Baunya harum tajam dan rasanya pahit agak pedas (Salisbury, L dan CW Ross, 1995). 2. Morfologi Batang Karakteristik batang tanaman temulawak adalah berbatang semu (palsu) yang terbentuk dari pelepah daunnya yang saling menutupi satu sama lain, berwarna hijau atau cokelat gelap. Batang semu ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 1 meter. Dalam satu rumpun tanaman temulawak, biasanya terdiri dari satu tanaman induk dan beberapa tanaman anakan (Salisbury, L dan CW Ross, 1995). 3. Morfologi Daun Tiap batang tanaman mempunyai sekitar 2-9 helai daun dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset mirip daun pisang. Daun tanaman temulawak warnanya hijau atau cokelat keunguan terang sampai gelap. Panjang daun antara 31-84 cm dengan lebar 10-18 cm, serta panjang tangkai daun termasuk helaian antara 43-80 cm (Salisbury, L dan CW Ross, 1995). 4. Morfologi Bunga Temulawak



mempunyai bunga yang berbentuk unik, yaitu



bergerombol. Bunganya berukuran pendek dan lebar, warnanya putih kemerah-merahan atau kuning tua dengan pangkal bunga berwarna ungu.



Bunga bertangkai panjang sekitar 1,5 – 3 cm dan berkelompok 3-4 buah. Bunganya majemuk berbentuk bulir, bulat panjang, mempunyai ukuran panjang 9-23 cm dan lebar 4-6 cm. Bunga muncul secara bergiliran dari kantong-kantong daun pelindung yang besar dan beraneka ragam dalam warna dan ukurannya (Salisbury, L dan CW Ross, 1995). Bunga mekar pada pagi hari dan berangsur-angsur layu di sore hari. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjangnya 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan sekitar 4,5 cm dan berwarna merah. Helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah, pajangnya 1,25-2 cm dan lebar 1 cm. Bunganya langsung tumbuh atau muncul dari rimpang. Bunga ini jarang atau bahkan tidak menghasilkan biji (Salisbury, L dan CW Ross, 1995). 2.2 Makroskopis dan Mikroskopis Rimpang Temulawak 2.3 Metode Uji Kandungan Senyawa pada Rimpang Temulawak 1. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Sistem yang digunakan untuk analisis kurkuminoid adalah sistem KCKT. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu metode kromatografi cair yang memanfaatkan kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sensitif sehingga kromatografi kolom cair dapat menjadi sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Teknologi kolom didasarkan pada penggunaan kolom dengan diameter dalam antara 2mm hingga 5mm dan isi kolom berupa partikel dengan diameter 3µm hingga 50µm. Teknologi kolom partikel kecil ini membutuhkan sistem tekanan tinggi sampai 300 atmosfer agar tercapai laju alir fase gerak beberapa ml tiap menit. Sering digunakan jumlah zat uji dalam jumlah yang kecil karena diameter kolom yang cukup kecil sehingga dibutuhkan detektor yang sensitif. Adanya teknologi ini, pemisahan dapat terjadi dalam waktu cepat dengan keuntungan dapat memisahkan zat-zat yang tidak menguap atau tidak tahan panas tanpa



perlu membuat derivat yang mudah menguap (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Pada KCKT menggunakan sistem kromatografi partisi dengan polaritas yang berbeda dari fase diam dan fase geraknya. Bila fase gerak bersifat polar dan fase diam bersifat non-polar maka dikenal dengan kromatografi fase balik (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). KCKT dapat dipandang sebagai pelengkap Kromatografi Gas (KG). Dalam banyak hal kedua teknik ini dapat digunakan untuk memperoleh efek pemisahan yang sama membaiknya. Bila derivatisasi diperlukan pada KG, namun pada KCKT zat-zat yang tidak diderivatisasi dapat dianalisis. Untuk zat-zat yang labil pada pemanasan atau tidak menguap, KCKT adalah pilihan utama. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu metoda pemisahan canggih dalam analisis farrnasi yang dapat digunakan sebagai uji identitas, uji kemumian dan penetapan kadar. Titik beratnya adalah untuk analisis senyawasenyawa yang tidak mudah menguap dan tidak stabil pada suhu tinggi, yang tidak bisa dianalisis dengan Kromatografi Gas. Banyak senyawa yang dapat dianalisis, dengan KCKT mulai dari senyawa ion anorganik sampai senyawa organik makromolekul. Untuk analisis dan pemisahan obat /bahan obat campuran rasemis optis aktif dikembangkan suatu fase pemisahan kiral (chirale Trennphasen) yang mampu menentukan rasemis dan isomer aktif (Effendy, 2004). 2. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Metode KLT merupakan metode yang valid untuk penetapan kadar kurkuminoid pada herbal berbasis Cucuma sp (Hanwar, dkk, 2018). Metode berbasis kromatografi seperti KLT densitometri merupakan metode yang akurat, sederhana, cost effective dan sensitive untuk penetapan kadar kurkumin. KLT densitometri dimasudkan untuk analisis kuantitatif analit dengan kadar kecil yang sebelumnya telah dilakukan pemisahan dengan cara kromatografi lapis titpis (KLT). Densitometri



adalah metode analisi instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak atau noda pada lempeng KLT. Senyawa kurkumin merupakan salah satu kelompok senyaea kurkuminoid (Ririn, et al., 2020). Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan yang berdasarkan pada pembagian dua senyawa dalam fase diam yang berupa bidang datar. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan berupa larutan, ditotolkan berbentuk bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertuttup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985). Analisis dengan KLT sering digunakan karena prosedurnya sederhana, pemisahan lebih cepat dan baik serta dapat memisahkan dalam jumlah yang relatif kecil sampai beberapa mikrogram. Kecepatan pemisahannya tinggi dan mudah untuk memperoleh kembali senyawa yang dipisahkan. Aplikasi dengan KLT sangatlah luas, senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap serta terlalu kecil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT, juga dapat digunakan untuk pemeriksaan kemurnian (adanya pengotor dalam pelarut) dan untuk pemisahan anorganik (Khopkar, 1990). Metode KLT dapat digunakan untuk analisis baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Dasar dari analisis yang bersifat kualitatif adalah dengan membandingkan atau mengukur jarak Rf (Rate of Flow) dan warna bercak dengan zat baku. Harga Rf ini adalah tetapan fisika yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : tebal lapisan, kejenuhan bejana, kelembaban



udara,



fase



(Sastrohamidjojo, 1985).



gerak,



bahan



penyerap,



dan



suhu



2.4 Hasil Uji Kandungan dari Rimpang Temulawak 1. Analisis KLT Identifikasi keberadaan kurkuminoid hasil ekstraksi dapat dilakukan secara cepat dengan KLT, menggnakan fase diam silika gel GF254 dan Fase gerak campuran CHCl3/Et-OH (98/2). Gambar 1 menunjukkan pola kromatogram hasil KLT. Seluruh sampel (segar, O1, O3, O5, L1, L3, L5) memperlihatkan pola kromatogram yang hampir sama, yaitu terdeteksi 2 noda berwarna kuning pada pelat KLT.



Gambar 1. Pola KLT kurkuminoid dari 7 sampel (Segar, O1, O3, O5, L1, L3, L5) dengan fase gerak CHCl3 : Et-OH (98 : 2) Tabel 2 . Nilai kadar kurkumi noid hasil analisis d engan Spektrofotometri UV-Tam pak Sampel Kadar Kurkuminoid



Segar 1,07%



L1 0,87%



L3 1,20%



L5 1,13%



O1 1,27%



O3 1,27%



Tabel 3 . Komponen kurkuminoid, Harg a R f dan warna senyawa hasil KL T Nama S enyawa Kurkumin (1) Demetoksikurkumin (2)



Nilai R f



Warna



Standar 0,3



Sampel 0,37



Kuning pekat



0,15



0,15



Kuning



Dibandingkan dengan harga Rf literatur (Govindarajan, 1980), noda-noda hasil KLT



dapat



diusulkan



sebagai



senyawa



kurkumin



(noda



1)



dan



demetoksikurkumin (noda 2). Intensitas warna noda 1 lebih pekat daripada noda 2 (demetoksikurkumin), sehingga dapat memberikan indikasi awal bahwa kandungan senyawa kurkumin lebih besar daripada senyawa demetoksikurkumin. Senyawa bisdemetoksikurkumin tidak terdeteksi, diduga kadarnya relatif kecil.



O5 1,27%



Oleh karena itu, untuk mengetahui komposisi kurkuminoid yang lebih terinci dilakukan analisis KCKT. 2. Analisis KCKT Sistem KCKT yang digunakan dalam penelitian ini adalah KCKT dengan kolom fase terbalik (reverse phase) C18, fase gerak (asetonitril/ asam asetat/aquabides dengan perbandingan 50/1/49). Gambar 3 menunjukkan spektra



komponen



kurkuminoid



(demetoksi-kurkumin,



kurkumin,



bisdemetoksi-kurkumin dan isomer kurkumin) hasil analisis dengan KCKT. Spektra ini diperoleh pada sampel segar, L5, dan O5 dan pada panjang gelombang maksimum serapan kurkuminoid, yaitu 425 nm. Spektra ini menunjukkan bahwa keempat senyawa tersebut adalah senyawa



kurkuminoid.



Gambar



4



adalah



kromatogram



KCKT



kurkuminoid sampel segar. Pada kromatogram tersebut memperlihatkan terdapat 4 senyawa yang terpisah dan terdeteksi yang ditandai dengan terlihatnya 4 puncak yang memiliki waktu tambat berbeda-beda. Dengan perbandingan pola kromatogram literatur dengan sistem elusi yang sama (Guddadarangavvanahally, 2002), puncak 1 diusulkan sebagai sebagai senyawa bisdemetoksikurkumin, puncak 2 demetoksikurkumin, puncak 3 senyawa kurkumin dan puncak 4 merupakan senyawa isomer dari kurkumin.



Gambar 4. Kromatogram KCKT ekstrak kurkuminoid dari sampel temulawak segar Di dalam larutan, bentuk stabil dari kurkuminoid adalah konfigurasi transtrans. Terbentuknya isomer cis-trans ini dimungkinkan mengingat adanya



ikatan rangkap yang terdapat pada dua gugus etilen di sisi samping dari struktur lingkar benzena. Nilai waktu retensi, intensitas, dan persen area secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Perbedaan antara kromatogram segar dan sampelsampel pengeringan terletak pada nilai intensitasnya (Srinivasan, 2005). Intensitas kurkuminoid dari yang tertinggi ke terendah berturut-turut adalah kurkumin, demetoksikurkumin, isomer kurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Hal ini didukung oleh penelitian Jayaprakasha dkk (2002) yang menyatakan bahwa kurkumin merupakan golongan kurkuminoid utama pada 4 jenis kunyit dan kemudian diikuti oleh demetoksikurkumin



serta



bisdemetoksikurkumin.



Gambar



5



memperlihatkan kromatogram komponen kurkuminoid dari sampel pengeringan L1, L3, L5, O1, O3, O5. Di dalam setiap sampel terdeteksi 4 puncak seperti halnya sampel segar dengan urutan terdeteksi yaitu bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, kurkumin, dan isomer dari kurkuminoid sehingga dapat diduga tidak adanya senyawa dari kurkuminoid yang hilang selama proses pemanasan.



Gambar 3. Spektra kurkumin ( - - - ), demetoksikurkumin (_____), dan bisdemetoksikurkumin (· · · ·) pada sampel segar (A), L5 (B), dan O5 (C) Tabel 4. Waktu tambat, luas, % luas, dan rasio setiap puncak pada kromatogram KCKT ekstrak kurkuminoid dari temulawak segar dan setelah perlakuan pengeringan Sampel Segar



Puncak 1 2



Waktu Tambat 11,440 12,649



Luas 98.034 740.977



% Luas 3,426 25,891



Rasio 3:26:61:10



L1



L3



L5



O1



O3



O5



3 4



14,012 15,546



1.751.476 271.358



61,201 9,482



1 2 3 4



11,104 12,366 13,767 15,296



83.743 1.081.363 2.861.462 459.208



1,866 24,106 63,791 10,237



1 2 3 4



11,257 12,550 13,930 15,408



34.785 411.325 1.028.325 173.357



2,111 24,962 62,406 10,521



1 2 3 4



11,174 12,445 13,837 15,365



94.489 1.036.199 2.534.160 404.475



2,323 25,463 62,275 9,939



1 2 3 4



11,406 12,643 14,012 15,559



51.098 869.149 2.658.539 424.794



1,276 21,709 66,404 10,611



1 2 3 4



11,059 12,318 13,717 15,243



213.601 2.177.718 5.391.221 864.284



2,471 25,185 62,349 9,995



1 2 3 4



11,061 12,309 13,700 15,228



40.953 1.113.383 3.437.049 546.465



0,797 21,671 66,896 10,636



2:24:64:10



2:25:62:11



2:26:62:10



1:22:66:11



3:25:62:10



1:22:67:10



Gambar 5. Kromatogram KCKT ekstrak kurkuminod sampel temulawak yang telah mengalami proses pengeringan, A(L1), B(L3), C(L5), D(O1), E(O3), F(O5) Tabel 4 adalah hasil rata-rata luas puncak keempat komponen kurkuminoid pada beberapa panjang gelombang spektra kurkuminoid, yaitu 300, 325, 350, 375, 400, 425, 450, dan 475. Dari table tersebut juga dapat dilihat rasio kandungan komponenkomponen kurkuminoid. Kurkumin merupakan komponen utama dari ekstrak dengan kandungan paling tinggi, yaitu 61-67%, kemudian demetoksi kurkumin 22-26%, bisdemetoksi-kurkumin 1-3%, dan isomer kurkumin 10-11%. Urutan komposisi komponen-komponen tersebut tetap pada semua perlakuan sehingga dapat diduga bahwa metode pengeringan tidak akan mengubah struktur kimia komponen kurkuminoid yang satu ke yang lainnya. 2.5 Metode Uji Bioaktivitas pada Rimpang Temulawak 2.6 Hasil Uji Kandungan Aktivitas dari Rimpang Temulawak



BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 3.2 SARAN DAFTAR PUSTAKA



Adipratama, D. N. 2009. Pengaruh Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Jumlah Total Dan Diferensi Leukosit Pada Ayam Petelur (Gallus gallus). Jakarta: Strain Isa Brown. Dirjen POM.1995. Direktur Jenderal Pengawas Obat Dan Makanan. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Effendy. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dalam Bidang Farmasi. Fakultas Dan Ilmu Pengetahuan Alam : Universitas Sumatera Utara.



Guddadarangavvanahally K. Jayaprakasha , Lingamullu Jagan Mohan Rao , and Kunnumpurath K. Sakariah. 2002. Improved HPLC method for the determination



of



curcumin,



demethoxycurcumin,



and



bisdemethoxycurcumin. Central Food Technological Research Institute. India. Hardjono Sastrohamidjojo. 1985. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Hayani, E. M. 2006. Analisis Kandungan Kimia Rimpang Temulawak. Bogor: Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Bogor, 309–312. Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Mahendra, B. 2006. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya. Ririn, et al. 2020. Kadar Kurkumin Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma Domestica) Secara KLT Densitometri Dengan Perbedaan Metode Ekstraksi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi Semarang Salisbury, L dan CW Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Penerjemah Lukman L dan Sumaryono. Bandung: Penerbit ITB. Susanti, D. R. 2009. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Temulawak (Curcuma xanthorrhiza. Roxb) terhadap Gambaran Histopatologi Bursa Fabricus Ayam Petelur. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi Dan Mikroskopi. Diterjemahkan Oleh Kosasih Padmawinata Dan Iwang Soediro. ITB: Bandung.



LAMPIRAN JURNAL