Saleh Nur Azhari - Parese Nervus III [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan kasus



PARESES NERVUS III



Disusun Oleh : SALEH NUR AZHARI 1808437034



Pembimbing : Dr.dr. Nofri Suriadi, Sp.M 



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU 2020



1



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Nervus okulomotor adalah nervus kranial ketiga (CN III). Ia memasuki



orbit melalui fisura orbital superior dan menginervasi otot mata ekstrinsik yang memungkinkan sebagian besar pergerakan mata dan yang mengangkat kelopak mata. nervus mengandung serat yang menginervasi otot mata intrinsik yang memungkinkan penyempitan pupil dan akomodasi (kemampuan untuk fokus pada objek dekat seperti dalam membaca). Adanya gangguan pada N.III atau parese mengakitbakan kelemahan atau kelumpuhan pada otot-otot intrinsik dan ekstrinsik (sfingter pupil) dan retraksi pada palpebra.1



Berdasarkan penelitian di RSUD DR.Wahidin Sudiro Husodo Poliklinik mata pada tahun 2014-2018 penyebab terbanyak parese N. III sebanyak 58,3% adalah mikrovaskuler dengan etiologi mikrovaskuler diabetes militus dan hipertensi sebagai faktor terbanyak, penyebab lain adalah intracranial sebesar 16,7%. Aneriusma, trauma dan paska operasi bedah saraf meningioma memiliki persentase sama yaitu 8,3%.2



Gejala



klinis



parese nervus III



tergantung



bagian mana



yang



mengakibatkan gangguan pada ketiga cabang dari N.III yaitu jika mengenai otototot ekstrinsik bola mata akan menghasilkan penglihatan ganda, kemudian jika mengenai bagian sfingter pupil atau otot-otot instrinsik bola mata akan dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi dan reflek pupil dan bila mengenai levator palpebra di jumpai ptosis atau gangguan pada membuka mata.2



2



Terapi parese nervus oculomotorius pada dasarnya mengatasi faktor penyebabnya. Terapi yang dianjurkan saat ini adalah pemberian obat golongan kortikosteroid dan pemberian methylcobamin. Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Pasien yang tidak sembuh setelah 6-12 bulan merupakan indikasi untuk dilakukan reseksi otot mata atau resesi untuk mengobati diplopia. 14 Tujuan laporan kasus adalah mengetahui dan memahami tentang parese nervus oculomotor.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Nervus Oculomotor



2.1.1



Anatomi Nervus Oculomotor (N.III) mempunyai nukleus yang sebagian berlokasi di



depan massa kelabu periaquaduktal (nukleus motorik) dan sebagian lagi di massa kelabu (nukleus otonom). Nukleus motorik N. III mengatur persarafan otot-otot musculi rectus medialis, superior, inferior, musculus obliqus inferior, dan musculus levator palpebra superior. Nukleus otonom nervus III/Edinger-Westphal terletak di massa kelabu dan mempersarafi otot-otot internal mata (parasimpatis) : musculus sfingter pupil dan musculus ciliaris. Diantaranya juga terdapat nukleus parasimpatis Perlia.3 Ada beberapa akson dari serabut motorik nervus III yang berjalan menyilang di daerah nukleus, dan kemudian bersama dengan serabut yang tidak menyilang serta serabut parasimpatis, melanjutkan perjalanannya melalui nukleus ruber ke dinding lateral bawah fosa interpedunkularis, dan kemudian keluar di antara nervus oculomotorius. Kedua saraf ini berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri sereberalis superior. Saraf ini mula-mula menembus rongga subarakhnoid sisterna basalis, melewati subdural, menyeberang ligamen sfenopetrosus (lokasi yang rentan terhadap tekanan waktu herniasi) dan masuk ke dalam sinus kavernosus. Dari sini nervus III akan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. serabut parasimpatis akan meninggalkan saraf III dan akan bergabung dengan ganglion siliaris. Sewaktu memasuki orbita, serabut somatik nervus III akan pecah menjadi dua, yaitu cabang atas/dorsal akan terus



4



menuju ke palpebra dan musculus rektus superior, sedangkan cabang bawah/ventral akan menginervasi musculus rektus medialis inferior dan musculus obliqus inferior.3 Kerusakan semua serabut nervus III akan menimbulkan paralisa semua otot mata kecuali musculus rectus lateralis (yang dipersarafi oleh nervus VI) dan musculus obliqua superior (dipersarafi nervus IV). Paralisa persarafan parasimpatis akan menyebabkan hilangnya refleks pupil, midriasis dan gangguan konvergensi serta akomodasi. ( gambar 1)



Gambar 1 . nervus kranial oculomor.3



2.1.2 Perjalanan Nervus Oculomotorius Nervus oculomotorius muncul dari permukaan anterior mesencephalon. Nervus ini melintas ke depan di antara arteria cerebri posterior dan arteria cerebelli superior. Selanjutnya, nervus ini berjalan ke dalam fossa cranii media di dinding lateral sinus cavernosus. Disini, nervus oculomotorius terbagi menjadi



5



ramus superior dan ramus inferior yang memasuki rongga orbita melalui fissura orbitalis superior.4 Nervus oculomotorius mempersarafi otot-otot ekstrinsik mata berikut: musculus levator palpebrae superioris, musculus rectus medialis, musculus rectus inferior, dan musculus obliqus inferior. Melalui cabang ke ganglion ciliare dan serabut parasimpatis nervi ciliares breves, nervus ini juga mempersarafi otot-otot intrinsik mata berikut : musculus konstriktor pupillae iris dan musculus ciliaris.4 Dengan demikian, nervus oculomotorius bersifat motorik murni dan berfungsi mengangkat kelopak mata atas; menggerakkan bola mata ke atas, bawah, dan medial; konstriksi pupil; serta akomodasi mata.4 2.1.3 Aspek Motorik Otot-Otot Ektraokular Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot ekstraokular(gambar.2). Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis, misalnya M. rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.



6



Gambar 2. Otot-Otot Ekstra Okular.2 Tabel 1. Origo dan Insersi otot ekstra ocular. 3 No 1



Origo M. rectus Annulus superior



zinii



Insersi dekat 8 mm di belakang limbus



inervasi N.III



dengan fisura orbitalis



2



superior. m. rectus Annulus zinii



5 mm di belakang limbus



N.III



3



medialis m. rectus Annulus zinii



6 mm di belakang limbus



N.III



4



inferior m.



Sklera posterior 2 mm dari N.III



Fossa lakrimal



oblikus



kedudukan macula



5



inferior m.oblikus Annulus zinii



Sklera di belakang temporal N.IV



6



superior m.rektus



belakang bola mata Annulus zinii diatas dan 7 mm di belakang limbus



N.VI



lateralis dibawah foramen optic. Tabel 2. Fungsi otot ekstrinsik mata3



Otot



Kerja primer



Kerja sekunder



7



Rektus lateralis



Abduksi



Tidak ada



Rektus medialis



Aduksi



Tidak ada



Rektus superior



Elevasi



Aduksi, intorsi



Rektus inferior



Depresi



Aduksi, ekstorsi



Obliqus superior



Intorsi



Depresi, abduksi



Obliqus inferior



Ekstorsi



Elevasi, abduksi



Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan abduksi mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis dan obliqus memiliki fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot rektus vertikalis merupakan elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot obliqus terutama berperan dalam gerakan torsional. Efek vertikal otot rektus superior dan inferior lebih besar apabila mata dalam keadaan abduksi. Efek vertikal otot obliqus lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi. 2.2. Parese Nervus III 6 2.2.1 Etiologi Penyebab parese nervus okulomotorius antara lain: (1). Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai ptosis. Tidak terdapat internal oftalmoplegia. (2). Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun, terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya dibandingkan nervus abdusens. (3). Aneurisma, biasanya mengenai a. komunikans posterior atau a. karotis interna pars supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi



8



sebagian ataupun total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma terjadi pada a. karotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan nervus okulomotorius biasanya didahului oleh kelumpuhan nervus abdusens. (4). Diabetes dan hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan oleh arteriosklerosis. (5). Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang perjalanan N III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya di orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofisis, meningioma).



2.2.2



Gejala Klinis Parese okulomotor7



Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang perjalanan



saraf



tersebut.



Lesi



di



nukleus



nervus



okulomotorius



mempengaruhi M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita, semua lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral. Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata mungkin hanya dapat digerakan ke lateral.



9



Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:7 1. Kelumpuhan total nervus okulomotorius Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena, disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil. Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis, juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan.Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. obliqus superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena kelopak mata yang ptosis menutupi pupil. 2 . Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah. (a) Eksternal oftalmoplegia Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia. Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya agar penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur abnormal dari kepala pasien. (b). Internal oftalmoplegia



10



Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena tidak terjadi strabismus. Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus, migren, ataupun hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya pupil tidak mengalami gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat pupil terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi iskemik respon pupil umumnya normal, sedangkan lesi kompresif menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan fiksasi total. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial. 2.2.3 Pemeriksaan Klinis9 A. Anamnesis (a). Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang. Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan binokularnya. (b) Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten. (c) Jenis deviasi: ketidak sesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat. (d) Diplopia: pasien dewasa dengan 11



strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi ambliopia. Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila



bayangan



yang



dilihat



terpisah



secara



horizontal



maka



kemungkinan otot yang mengalami kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka kemungkinannya terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata. (e). Tajam penglihatan: baik atau menurun. (f). Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan). Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau faktor penyebab paresenya nervus okulomotorius.



12



B. Pemeriksaan fisik (a)



Inspeksi:



inspeksi



dapat



memperlihatkan



apakah



strabismus yang terjadi konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui. Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik dari ptosis unilateral adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis kongenital biasanya mengenai satu mata saja. (b). Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung. (c). Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70). Ortofori yaitu bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah-tengah pupil. Heterofori yaitu bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah-tengah pupil. (d) Pergerakan bola mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6 posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke bawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga sulit mengevaluasi kerja masing-masing otot.



13



Oleh karena itu dalam menilai kelumpuhan otot-otot ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai diagnostik. Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih tinggi lagi, dapat terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata normal. (e). Tajam Penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada anak dapat dinilai dengan menggunakan “E” jungkir balik (Snellen) atau gambar Allen.



C. Pemeriksaan penunjang Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada kasus-kasus yang tidak membutuhkan penganganan dengan segera dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat membantu dalam mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain:11 Gula darah, Foto kranium, Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan orbita, Tes fungsi tiroid dan autoantibodi, Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis, CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis.



14



2.3. Terapi12 Terapi parese nervus oculomotorius pada dasarnya mengatasi faktor penyebabnya. Pengobatan simptomatis digunakan untuk mengurangi gejala seperti diplopia. Penggunaan non steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs) merupakan pilihan lini pertama sebagai menghilangkan nyeri atau sebagai anti inflamasi. Pasien yang tidak sembuh setelah 6-12 bulan merupakan indikasi untuk dilakukan reseksi otot mata atau resesi untuk mengobati diplopia yang persisten. Beberapa pasien membutuhkan operasi pengangkatan kelopak mata untuk mereka yang mengalami ptosis yang mengganggu penglihatan.



BAB III LAPORAN KASUS



15



RAHASIA STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU IDENTITAS PASIEN Nama



: Tn. NA



Pendidikan



: SLA



Umur



: 67 tahun



Agama



: Islam



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Status



:-



Alamat



: Pekanbaru



MR



: 00629562



Pekerjaan



: Swasta



MRS



: 27 okt 2020



ANANMNESIS (Alloanamnesis dan autoanamnesis) Keluhan Utama Penglihatan ganda sejak ± 7 bulan yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang Penglihatan ganda sejak ± 7 bulan yang lalu , yang mulai terjadi secara tiba-tiba saat bangun tidur. Penglihatan ganda terjadi bila melihat dengan kedua matanya dan menghilang bila salah satu mata di tutup dan keluhan menetap sampai sekarang. Sakit kepala sebelah kiri dan mengeluhkan penglihatan buram. Keluhan mual dan muntah disangkal. Pasien berobat ke klinik mata swasta kemudian di rujuk ke RSUD untuk fisioterapi. Riwayat Penyakit Dahulu 



Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan terkontrol sekarang masih mengkonsumsi obat hipetensi : captopril dan amlodipine.







Riwayat penyakit diabetes militus (-)







Riwayat trauma kepala (-)



Riwayat penggunaan obat-obatan



16







Fisioterapi 2x dibagian RM di RSUD AA dengan cara dipanaskan dibagian kepala.







Ct scan kepala tanpa kontras tanggal 27 agustus 2020 dengan kesan : infark lakuner di ganglia basalis dan thalamus bilateral, Pons sinistra.



Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum



: Baik



Kesadaran



: Komposmentis koperatif



tanda Sign



: TD



: 148/78 mmHg



dengan obat N



: 86 x/i



Frekuensi Napas



: 18 x/i



S



: 36,6 ºC



STATUS OPTHALMOLOGI OD 20/60 20/40 (c-1,00 Axis 800)



Visus Tanpa Koreksi Visus dengan koreksi Posisi Bola Mata



OS 20/30 20/20 (c -0,5 Axis 150)



(XT, OD leading eye)



Gerakan Bola Mata Terhambat ke Superior, nasal,



Baik ke segala arah 18 mm Hg Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan Jernih Dalam pupil isokor, diameter 0 2-3 mm, Reflek cahaya langsung dan tidak



Tekanan Bola Mata Palpebra Konjungtiva Kornea COA Iris/Pupil



inferior 14 mm Hg Ptosis (-) Tidak ada kelainan Jernih Dalam pupil isokor, diameter 0 2-3 mm. Reflek cahaya langsung dan tidak



17



langsung (+) Jernih Tidak dilakukan



Lensa Funduskopi



langsung (+) Jernih Tidak dilakukan



Pemeriksaan fisik tambahan:KESIMPULAN/RESUME : Penglihatan ganda dan kabur sejak 7 bulan yang lalu, sakit kepala sebelah kiri. Keluhan mual dan muntah disangkal. Pemeriksaan opthalmologi di dapatkan posisi bola mata XT, OD leading eye, pergerakan bola mata kiri terhambat ke superior, nasal, inferior. Ptosis (-), Pupil isokor, dan reflex cahaya (+/+). DIAGNOSIS KERJA Parese Partial Nervus Oculomotor OS PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium : darah rutin, ureum kreatinin, GDS, elektrolit, profil lipid, asam urat. Penunjang : - Ct scan kepala tanpa kontras, kesan : infark lakuner di ganglia basalis dan thalamus bilateral, Pons sinistra. - Ct scan nasofaring dengan kontras, kesan tidak tampak kelainan pada nasofaring. PENATALAKSANAAN Farmakologi:



- Metilprednisolon 16 mg 2x2 - Metilcobalamin 500 mg 2x1



Konsul ke THT : Endoskopi, kesan : tidak ditemukan kelainan. . PROGNOSIS Quo Ad Vitam



: Bonam



Quo Ad Functionam : Bonam



18



DAFTAR PUSTAKA 1. Joyce C, Patrick H, Diana C, Peterson. Neuroanatomy cranial nerve 3 (oculomotor). Jurnal NCBI. July 27.2020



19



2. Dhany R.K, Tanjung Y, Jennel F. insiden dan etiologi kelumpuhan saraf III,IV,VI yang di sertai diplopia binokuler di RSUD DR. Wahidin sudiro husono. Jurnal ilmiah kedokteran wijaya kusuma.8 (2) : 3.2019 3. Snell, Richard S. Neuroanatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5. EGC. 2007. Jakarta. 4. Baerhr, Mathias M.D. Diangnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi keempat. EGC.2010. Jakarta. 5. Michael Rubin. Palsies of Cranial Nerves That Control Eye Movement. 2012. 6. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 114 – 82. 7. Sidarta Ilyas. Anatomi dan Fisiologi Otot Pengerak Bola Mata. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000: 233 – 65. 8. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130. 9. Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Pemeriksaan Saraf Kranial. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1995: 945 – 6. 10. Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf – Saraf Otak. Dalam: Pedoman Praktis Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1978: 10 – 21. 20



11. Chugh JP, Jain P, Chouhan RS, Rathi A. Third Nerve Palsy: An overview. Indian Journal of Clinical Practice 2012; 22(12): 17-20. 12. Hartono, MAF. Diplopia binokuler pada paresis N III, IV, dan VI di RS Mata dr. Jap Yogyakarta. Jurnal oftalmologi Indonesia 2007; 5(3): 213216.



21