Sastra Indonesia Periode 1960 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SASTRA INDONESIA PERIODE 1960



MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Sejarah Sastra Indonesia yang dibina oleh Ibu Ida Lestari



oleh : Fara Ayu Maulida (130211601346) Pungky Septiriani (130211601372) Putri Diana (130211601367)



UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH NOVEMBER 2013



DAFTAR ISI



Halaman LATAR BELAKANG........................................................................................................ 3 KARAKTERISTIK............................................................................................................



4



PENGARANG DAN KARYANYA.................................................................................. 5 ANALISIS.......................................................................................................................... 5 PENUTUP..........................................................................................................................



10



LAMPIRAN KARYA........................................................................................................ 11 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 18



2



A. LATAR BELAKANG (Sulistyorini, 2010: 70) Periode 60-an diwarnai politik yang kental sehingga para sastrawan banyak yang terjun pada organisasi politik. Akibatnya, muncul kotakkotak politik yang di dominasi oleh kaum komunis dalam kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sejak tahun 1950-an, sudah terjadi berbagai macam polemik yang berpangkal pada perbedaan pandangan politik di dalam dunia Sastra Indonesia. Polemik-polemik tersebut dilancarkan oleh orang-orang penganut paham realisme-sosialis (filsafat seni kaum komunis) yang mempertahankan semboyan “seni untuk rakyat” Situasi sastra periode ini agak menurun akibat ketidakstabilan sosial budaya, perkembangan dan pertumbuhannya masih diselimuti adanya konflik politik. Sastra periode 60-an dapat dikelompokkan menjadi dua bagian berdasar kurun waktu, yaitu: 1960-1965 (orde lama / ORLA) yang terpengaruh oleh Lekra sehingga mengarah pada paham “seni untuk rakyat” dan 1965-1970 (orde baru / ORBA) yang terpengaruh adanya manifest kebudayaan. Keberadaan manifest kebudayaan ini dikuatkan dengan diterbitkannya majalah Horizon (Juli 1966) dan majalah Sastra (Agustus 1968). Pada tahun 1963 majalah Sastra dilarang terbit oleh Lekra dan berhasil terbit lagi di tahun 1968. Situasi tahun 60-an ini memengaruhi penerbitan terutama masalah dana. Maka pada periode ini muncul novel-novel popular dan berkembang sampai dengan tahun 70-an. Di sisi lain juga bermunculan pengarang-pengarang baru. Pada periode 1960-an muncul angkatan, yakni angkatan ‟66 yang kelahirannya diawali oleh adanya kemelut dalam segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan adanya teror politik yang dilakukan oleh PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawahnya. Angkatan ‟66 mempunyai cita-cita pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya angkatan ‟66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‟66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan tritura. Munculnya nama angkatan ‟66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah Horizon nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ‟66 lahir setelah ditumpasnya penghianatan G30S/PKI. Penamaan angkatan ini pun mengalami adu pendapat. Istilah angkatan ‟66 yang dikemukakan oleh HB.Jassin melalui antologinya mendapat beberapa tanggapan dari berbagai pihak pengarang, karena kurang dapat dipertanggungjawabkan. Namun Jassin sendiri 3



berpendapat bahwa nama itu sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi politik di awal angkatan ‟66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI dan diwarnai oleh protes dan perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan kemanusiaan. Jassin berpendapat bahwa tahun 1966 merupakan tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam sastra. Menjelang tahun 1970-an, sastra sudah tidak bergema lagi seperti awal tahun 1960-1966. Awal tahun 1970-an muncul majalah hiburan, majalah wanita, dan majalah profesi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ‟66 justru mulai berakhir pada tahun 1966. Meskipun keadaan sosial budaya dan politik tidak stabil, sastra angkatan ini mengalami pertumbuhan yang cukup pesat terutama pada genre prosa. Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat antara lain karena adanya Taman Ismail Marzuki, didirikannya penerbit Pustaka Jaya, Adanya Maecenas yang stabik sebagai pelindung seni dan kebudayaan. Pemerintah DKI menyelenggarakan lomba menulis roman dan naskah drama yang bisa merangsang kreativitas pengarang. Makalah ini merujuk pada buku Dwi Sulistyorini dan Ida Lestari yang berjudul Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia Modern terbitan tahun 2010 sebagai literatur induk. Makalah ini akan membahas karakteristik, pengarang dan karyanya, analisis karya sastra dengan kronik-kronik yang menyertainya. Makalah ini juga melampirkan karya-karya pengarang pada periode tersebut.



B. KARAKTERISTIK (Sulistyorini, 2010: 73) 1. Muncul adanya angkatan 2. Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. 3. Tema yang diangkat adalah masalah kegelisahan batin dan rumah tangga yang bersumber dari situasi budaya yang belum stabil 4. Adanya sastra protes 5. Arti penting sastra ‟66 merupakan curahan hati khas anak-anak muda.



4



C. PARA PENGARANG DAN KARYANYA (Sulistyorini, 2010: 73) 1. Taufik Ismail : tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Museum Perjuangan (1969) 2. Bus Rasianto : Mereka Telah Bangkit (1966), Bumi yang Berpeluh (1963), Mereka akan Bangkit (1963), Sang Ayah (1969), Manusia Tanah Air (1969) 3. Mansur Samin : Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1985) 4. Arifin C. Noer : Lampu Neon (1960), Puisi-Puisi yang Kehilangan Puisi (1967), Kapal-Kapal (1970) 5. Satyagraha Hoerip : Rahasia Kehidupan Manusian(1964), Ontologi PersoalanPersoalan Sastra (1969) 6. Sapardi Djoko Darmono : Dukamu Abadi (1969), Matahari Pagi Tanah Air, Doa di Tengah-Tengah Masa 7. Slamet Kirmanto : Jaket Kuning (1967), Kidung Putih (1967) 8. H.B. Jassin : Angkatan ‟66 Prosa dan Puisi (1968) 9. A. Bastari Asnin : Di Tengah Padang, Laki-Laki Berkuda 10. Isma Sawitri : Terima Kasih, Tiga Serangkai, Pantai Utara 11. Titi Said : Perjuangan dan Hati Perempuan 12. Titis Basimo : Rumah Dara, Laki-Laki dan Cinta 13. Enny Sumargo : Sekeping Hari Perempuan



D. ANALISIS KARAKTERISTIK KARYA SASTRA (Listyaningrum, 2011) Pada tahun 1960-an, wacana pembicaraan kesusastraan bergeser dalam perspektif politik dan ideologi yang berpuncak pada perseteruan kelompok LEKRA dan Manifes Kebudayaan. Pihak pertama mencoba mendayagunakan kesusastraan sebagai alat perjuangan politik, dan hal kelompok kedua adalah mencoba mewacanakan seni atau sastra sebagai alat perjuangan humanisme universal. Ujung dari perdebatan tersebut sangan ditentukan oleh kondisi makro politik Indonesia dengan kemenangan Orde Baru sehingga LEKRA yang berafiliasi pada politik Soekarno (pemimpin Orde Lama) secara relatif terpendam atau terkubur. Seperti yang kita ketahui, wacana makro politik Indonesia yang dibangun Orde Baru tidaklah jauh bergeser dari kecenderungan „politik adalah panglima‟. Sehingga wacana kritisisme sastra Indonesia seperti memiliki keengganan, atau bahkan 5



semacam trauma untuk merelasikan secara bermakna antara dimensi-dimensi kesusastraan dengan berbagai persoalan politik. Berikut adalah kutipan puisi „Kami Adalah Pemilik Syah Republik Ini‟ karya Taufik Ismail (Salam, 2012) kita adalah pemilik syah republik ini Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hanyut Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran: “Duli Tuanku” Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata satu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka Kita tak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus Dari sajak tersebut, terlihat bahwa gaya epik (bercerita) mulai muncul. Sangat kentara dari bait pertama hingga terakhir, penulis mengungkapkan puisi seolah-olah sedang bercerita. Kondisi masyarakat Indonesia yang hidup menderita dalam kesengsaraan batin karena banyaknya bencana alam dan ketidakbebasan dalam hidup, digambarkan melalui kata-kata „Kita adalah manusia bermata satu, yang di tepi jalan; Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh; Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara; Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama‟.



6



Penulisjuga menggambarkan kecintaannya terhadap nusa bangsa melalui puisi yang lain seperti puisi “Dari Seorang Ibu Demonstran” karya Taufik Ismail berikut. Ibu telah merelakan kalian Untuk berangkat demonstrasi Karena kalian pergi menyempurnakan Kemerdekaan negeri ini Karena kalian pergi menyempurnakan Kemerdekaan negeri ini



Berikut ini adalah kronik Peristiwa Sastra di periode 1960-an. Tahun 1960 



Juli: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) memberikan hadiah sastra dibidang puisi kepada Ramadhan K.H. dan Hr. Bandaharo; dibidang cerpen kepada Trisnojuwono, Pramoedya Ananta Toer, dan Ajib Rosidi; dibidang novel kepada Toha Mohtar; dan dibidang drama kepada Utuy Tatang Sontani, Nasjah Djamin, dan Rustandi Kartakusuma.







31 Agustus: Sidang Pleno II LEKRA. Sidang pleno ini memantapkan Mukadimah Lekra dan sikap “Politik adalah panglima.”







Harian Rakjat memberikan hadiah sastra di bidang esai kepada Pramoedya Ananta Toer dan Mia Bustam; di bidang puisi kepada Hr. Bandaharo, Dodong Djiwapradja, Chalik Hamid, dan S.W. Kuntjahjo; di bidang cerpen kepada Bachtiar Siagian; dan di bidang terjemahan kepada Agam Wispi, Muslimin Jasin, dan Huang Khuen Han.



Tahun 1961 



Majalah Sastra terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, M. Balfas.







Pramoedya Ananta Toer dipenjara karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia..



Tahun 1962 



September: Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka dihebohkan sebagai jiplakan. Abdullah Said Patmadji dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Luthfi Al



7



Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur. 



13-20 November: Konferensi Sastrawan Asia-Afrika II di Mesir. Delegasi Indonesia diwakili antara lain oleh Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Joebaar Ajoeb; Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck karangan Hamka dihebohkan sebagai jiplakan; Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator; Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai plagiat dari novelMajdulin karya Al Manfalutfi, yang merupakan terjemahan dari Sous les Tilleus karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Harian Rakjat dan Bintang Timur.







16 November: Majalah Sastra memberikan penghargaan kepada karya sastra terbaik. Di bidang puisi diberikan kepada M. Saribi Afn, Piek Ardijanto Suprijadi, dan M. Poppy Hutagalung; di bidang cerpen kepada Bur Rasuanto, Motinggo Boesje, dan Virga Belan; di bidang drama dan cerita bersambung diberikan kepada B. Soelarto, Djamil Suherman, dan Usamah; di bidang kritik dan esai kepada Goenawan Mohamad, D.A. Peransi, dan Hartojo Andangdjaja.







Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam



Tahun 1963 



8 Maret: Sitor Situmorang menilai karya Chairil Anwar kontrarevolusioner.







22-25 Maret: Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (LSI) diadakan di Medan. Terbentuk Pengurus Pusat LSI yang terdiri dari Bakri Siregar, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Agam Wispi, Sobron Aidit, M.S. Ashar, S. Rukiah, Sugiarti Siswandi, dan Hr. Bandaharo.







17 Agustus: Wiratmo Soekito menyusun “Manifes Kebudayaan”. Sastrawansastrawan muda menolak seruan “Politik adalah panglima” yang didengungkan sastrawan Lekra.







September/Oktober: “Manifes Kebudayaan” diumumkan.







H.B. Jassin dan Junus Amir Hamzah. Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik. Jakarta: Mega Bookstore. (Berisi tulisan-tulisan mengenai novel Hamka,Tenggelamnya Kapal van der Wijck.)



8



Tahun 1964 



1-7 Maret: Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Ikrar Pengarang Indonesia”.







8 Mei: Presiden Soekarno melarang “Manifes Kebudayaan”.







24-25 Agustus: Konferensi Nasional II Lekra diadakan di Jakarta. Dalam konfernas ini dihasilkan sebuah resolusi yang antara lain berbunyi teruskan pengganyangan terhadap Manikebu.







27 Agustus-2 September: Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) diadakan di Jakarta. Konferensi ini menghasilkan “Resolusi KSSR”. Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit.



Tahun 1965 



30 November: Semua buku pengarang LEKRA dilarang terbit. Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satu-satunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Sedikitnya 500.000 orang dibunuh. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil di Eropa. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerwani banyak yang menjadi korban perkosaan.



Tahun 1966 



Juli: Majalah Horison terbit; redaktur: H.B. Jassin, D.S. Moeljanto, Soe Hok Djin (Arief Budiman), dan lain-lain.







Agustus: Muncul istilah “Angkatan 66”; istilah ini berasal dari H.B. Jassin.







Majalah Budaya Jaya terbit. Redakturnya adalah Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Harijadi S. Hartowardojo.







Taufiq Ismail menerbitkan buku Tirani dan Benteng.



Tahun 1967 



Naskah drama Kuntowijoyo, Rumput-Rumput Danau Bento menjadi pemenang harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater Nasional Indonesia. 9







Slamet Sukirnanto menerbitkan buku puisi Jaket Kuning.







Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Subagio Sastrowardoyo dan Sanento Juliman; di bidang cerpen kepada Umar Kayam, M. Fudoli, dan M. Abnar Romli.



Tahun 1968 



2 Januari: Sanusi Pane meninggal dunia di Jakarta.







12 Oktober: Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara menyita majalah Sastra karena majalah ini memuat cerpen Kipanjikusmin, “Langit Makin Mendung”, dalam edisi Agustus. Pemimpin Redaksi Sastra H.B. Jassin diadili.







31 Oktober: Diskusi tentang Kritik Sastra diadakan di Jakarta.







H.B. Jassin menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung. Berisi prosa dan puisi.







Majalah Horison memberikan penghargaan sastra di bidang puisi kepada Rendra dan Abdul Hadi W.M.; di bidang cerpen kepada Danarto, Julius J. Sijaranamual, Satyagraha Hoerip, dan Gerson Poyk.



Tahun 1969 



Iwan Simatupang menerbitkan naskah drama Petang di Taman dan novel Ziarah.







Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi Duka-Mu Abadi. Bandung: Jeihan.







Ajip Rosidi menerbitkan Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.



E. PENUTUP Karya sastra lahir bukan hanya untuk dinikmati namun juga untuk dipelajari. Dalam rentang waktu tahun 1960 hingga tahun 1969 merupakan masa kesuburan penulis pasca kemerdekaan Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya penulis maupun karya sastra yang lahir pada rentang tahun tersebut. Selain itu muncul pula sastrawan wanita dalam berbagai tulisannya. Melejitnya jumlah sastrawan maupun jumlah karya sastra ini dapat dipandang sebagai dampak telah terbebasnya dari masa pergolakan di Indonesia. Para sastrawn pada tahun itu merasa sudah tidak ada yang dapat menghalanginya untuk berkarya suara dari hatinya. Meskipun topi pada karya sastra tahun tersebut masih kental 10



dengan aroma pada saat gencatan senjata seperti contohnya Benteng dan Tirani Karya Taufik Ismail namun,tidak sedikit pula yang mengangkat topik kebebasan atas terusirnya penjajah. Selain ditemukan topik seperti di atas, ditemukan juga topik mengenai wanita dan kegelisahan rumah tangga yang dikarenakan situasi budaya yang belum mapan. Seperti karya Titi Said yang berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (Salam, 2012)



F. LAMPIRAN KARYA Taufik Ismail 



Tirani dan Benteng (1966) Catatan Tahun 1965 Di lapangan dibakari buku Mesin tikmu dibelenggu Piringan hitam dipanggang Buku-buku dilarang Kita semua diperanjingkan Gaya rabies klongsongan Hamka diludahi Pram Masuk penjara Sukabumi Jassin dicaci diserapahi Terbenam daftar hitam Usmar dimaki Lentera Takdir disumpahi Lekra Sudjono dicangkul BTI Nasakom bersatu apa Umat dibunuhi di desa Kanigoro bagaimana lupa Kus Bersaudara dipenjara Mochtar masih diterungku Osram bungkuk meringkuk Jalan aspal kubangan Minyak tanah dikemanakan Rebutan beras antrian Siapa mati kelaparan Inflasi saban pagi Pidato tiap hari Maki-maki sebagai gizi 11



Bahasa carut diperluaskan Beatles gondrong dipersetankan Pita suara dimatirasakan Susunan syaraf dianastesi Genjer-genjer jadi nyanyi Tari perang dipamerkan Warna merah dikibarkan Warna hitam dikalbukan Pawai garang digenderangkan Kolone kelima disusupkan Sarung siapa dilekatkan Matine Gusti-Allah dipentaskan.



(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)



Bukit Kelu, Bukit Biru Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahaya dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku



Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku Gunung api dan hama di ladang-ladangku



Lereng-lereng senja Pernah menyinar merah kesumba Padang hilalang dan bukit membatu Tanah airku.



Elegi buat Sebuah Perang Saudara Dengan mata dingin dia turun ke medan Di bahunya tegar tersilang hitam senapan 12



Dengan rasa ingin ditempuhnya perbukitan Mengayun lengan kasar berbulu dendam



Angin pun bagai kampak sepanjang hutan Bukit-bukit dipacu atas kuda kelabu Dada dan lembah menyenak penuh deram Di ujung gunung lawannya sudah menunggu



Terurai kendali kuda, merentak ringkiknya Di kaki langit teja mengantar malam tembaga Luluhlah senja dalam denyar. Api mesiu Di ujung gunung lawan rebah telungkup bahu Angin tak lagi menderu tapi desah tertahan Dengan kaki sombong dibalikkannya lelaki itu Ketika senja berayun malam di dahan-dahan



Angin pun menggigiti kulit bagai gergaji Telentang kaku di bumi. Telah dibunuh adik sendiri.



Bilakah Kau Akan Melintas di Depan Ku Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku Begitu benarkah lamanya Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa Tingkap angin makin ungu dalam nestapa



Fajar pun yang tak kunjung teraih Begitu benarkah sukarnya Kemarauku menggigil dalam nyala Musim tempat berbagi yang perih



Tanganku inikah tangan dukana Menjulur-julur dan kemah berkibar badai 13



Suara tanah yang hama sepanjang bencana Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai



Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku Begitu benarkah jarak zamannya Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur Dan kau balas dengan senyum menghibur.



Potret di Beranda Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya Bersama gambar-gambar sulaman ibuku Dibuatnya tatkala masih perawan



Di dapur rumah nenekku, nenekku renta Tergolek drum tua pemasak kerupuk kulit Di atasnya sepasang tanduk hitam berdebu Kerbau bajak kesayangan kakekku



Kerupuk kulit telah mengirim ibuku Sekolah ke kota, jadi guru Padi, lobak dan kentang ditanam kakekku Yang disulap subur dalam hidayat Dijunjung dan dipikul ke pasar Dalam dingin dataran tinggi Karena ibuku yang mau jadi guru



Dan ibuku bertemu ayahku Yang dikirim nenekku ke surau menyabit ilmu Dengan ikan kolam, bawang dan wortel Di ujung cangkul kakekku kukuh Yang kembang dan berisi dalam rahmat Terbungkuk-bungkuk dijunjung di hari pekan Karena ayahku mau jadi guru 14



Maka lahirlah kami berenam Dalam rahman Dalam kesayangan Dalam kesukaran Di beranda rumah nenekku, di desa Baruh Potretku telah tergantung 26 tahun lamanya Bersama gambar-gambar buatan ibuku Disulamnya tatkala masih perawan.



Pekalongan Lima Sore Kleneng bel beca Debu aspal panggang Sangar jalan pelabuhan Terik kota pesisir Tik-tik persneling Raleigh Bungkus sarung palekat Sungai kuning coklat Nyanyi rumah yatim Pejaja es lilin Riuh Kampung Arab Jembatan loji karatan Genteng rumah pegadaian Keringat pasar sepi Kumis Raj Kapoor Sengangar lilin batik Deru pabrik tenun Bal-balan Bong Cina Harum tauto Tjarlam Sirup kopyor dingin Gorengan kuali tahu Percikan minyak kelapa Sisa bungkus megono Panas teh melati 15



Tik-tok kuda dokar Dengung DKW Hummel Peluit sepur bomel Klakson Debu Revolusi.



Dengan Puisi, Aku Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa Perkenankanlah kiranya.



Jam Kota Pada ulang hari jadiku, kukitari kota kelahiranku Setelah sebelas tahun tak menatap wajahmu Hutan pinus pada bukit-bukit yang biru Sekolah lama, gang-gang di pasar, pohon-pohon kenari Di jauhan jam kota menjulang tinggi



Kotaku yang nanar sehabis perang Wajah muram dan tubuh luka garang Detak tapal kuda satu-satu Wahai, pandanglah mukaku!



Bioskop tua. Dindingnya pun retak-retak Tempatku dulu takjub mengimpikan dunia luar 16



Jalan kecil sepanjang rel kereta-api. Raung Beruang es di kebun binatang Pedati kerbau merambati kota pegunungan Memutar roda kehidupan yang sarat



Di depan rumah sakit aku berhenti sebentar Memandang dari luar dindingnya yang putih Rahim ibuku, di suatu kamarnya, melepas daku Ke dunia. Dan jam kota Berdentang dini hari



Masih kulihat masjid itu, di tengah sawah Beberapa surau lereng gunung, beratap seng merah Gang-gang di pasar, amai-amai pedagang berselendang Bernaung ratusan payung peneduh matahari Dataran tinggi. Susunan panci nasi Kapau Kerupuk Sanjai, ikan asin, onggokan lada merah Toko kopiah sutera, toko-toko emas menutup pintunya Anak-anak berkejaran di setasiun bus Wahai, mengapa kalian menundukkan muka? Kotaku yang nanar sehabis perang Wajah muram dan tubuh luka garang Detak tapal kuda satu-satu Wahai, pandanglah mukaku!



Sapardi Djoko Darmono 



Dukamu Abadi (1969) DukaMu adalah dukaku Airmatamu adalah airmataku Kesedihan abadimu Membuat bahagiamu sirna Hingga keakhir tirai hidupmu Dukamu tetap abadi. Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup ini 17



Berbekalkan sejuta dukamu Mengiringi setiap langkahku Menguja semangat jituku Karena dukamu adalah dukaku Abadi dalam duniaku! Namun dia datang Meruntuhkan segala penjara rasa Membebaskan aku dari derita ini Dukamu menjadi sejarah silam Dasarnya ku jadikan asas Membangunkan semangat baru Biar dukamu itu adalah dukaku Tidakanku biarkan ia menjadi pemusnahku!



DAFTAR PUSTAKA Listyaningrum, Ajeng Herlin, dkk. 2011. Menelaah Karya Sastra Indonesia Periode 1960-an. dalam Sandro database, (Online), (http://reus-sandro1.blogspot.com), diakses 1 Desember 2013 Salam, Aprianus. 2012. Mempertimbangkan Kembali Kajian Sastra Modern Indonesia. Makalah disajikan pada Memperdebatkan Kritik Sastra, Universitas Airlangga, Surabaya 12 November 2008. Dalam aprianus, (Online), (http://studi-sastra.blogspot.com), diakses 1 Desember 2013 Sulistyorini, Dwi dan Ida Lestari. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Sastra Indonesia Modern. Malang: Misykat



18