Sayur Buah - Pengeringan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 IV.



HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan



fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain (Almatsier, 2015). Air juga merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita, bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian, terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno, 2002). Kandungan air pada bahan pangan yang beragam, mendorong dan juga memicu adanya kerusakan pada bahan pangan. Kerusakan tersebut dapat diakibatkan secara enzimatis, ataupun secara mikorbiologis. Adapun kerusakan yang memungkinkan timbul ialah berupa oksidasi lipid, tumbuhnya kapang, khamir, bakteri dan aktivitas reaksi Maillard (De Man, 1999). Pengeringan mempunyai pengertian yaitu aplikasi pemanasan melalui kondisi yang teratur, sehingga dapat menghilangkan sebagian besar air dalam suatu bahan dengan cara diuapkan. Penghilangan air dalam suatu bahan dengan cara pengeringan mempunyai satuan operasi yang berbeda dengan dehidrasi. Dehidrasi akan menurunkan aktivitas air yang terkandung dalam bahan dengan cara mengeluarkan atau menghilangkan air dalam jumlah lebih banyak, sehingga umur simpan bahan pangan menjadi lebih panjang atau lebih lama. Tujuan dari pengeringan adalah untuk menurunkan kadar air dari bahan pangan agar kerusakan oleh mikroorganisme dan enzim menurun sehingga umur simpan dari bahan pangan tersebut menjadi lebih lama (Tjahjadi, 2011). Pengeringan dapat dilakukan secara alami maupun secara buatan. Pengeringan secara alami memanfaatkan energi panas dari matahari secara langsung. Kelemahan pengeringan alami ini adalah proses pengeringan sangat bergantung pada kondisi cuaca dan lingkungan. Jika kondisi cuaca tidak menguntungkan seperti berawan bahkan mendung, maka proses pengeringan dapat berlangsung dengan lama. Selain itu, pengeringan secara alami biasanya membutuhkan tempat yang luas untuk mengeringkan bahan dalam jumlah besar. Kelebihan pengeringan alami terlihat pada biaya pengeringan tidak terlalu besar. Pengeringan secara buatan tidak memerlukan tempat yang luas, dapat menurunkan susut selama pengeringan dan pengoperasiannya dapat disesuaikan dengan kondisi



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 lingkungan. Dilain pihak pengeringan secara buatan memerlukan biaya tambahan untuk tenaga penggerak aliran udara seperti kipas dan energi pemanas udara pengering, serta operator yang terlatih (Samsuri, 1993). Pengeringan menyangkut perpindahan massa uap dan energi panas antara bahandan udara secara stimultan (Hall, 1979). Mekanisme migrasi uap dapat terjadi dalam beberapa cara diantaranya adalah (Brooker et al. 1974): gerakan cairan karena gaya permukaan, perbedaan konsentrasi (difusi cairan), difusi permukaan pori-pori, gerakan uap karena perbedaan konsentrasi kelembaban, perbedaan suhu, dan gerakan uap dan air karena perbedaan tekanan total (aliran hidrodinamik). Pengeringan secara buatan mempunyai prinsip kerja memperbesar perbedaan tekanan uap dan salah satunya adalah dengan memanaskan aliran udara. Pada praktikum teknologi pengolahan sayur buah yang telah dilakukan pada tanggal 7 Desember 2017 ini membahas tentang pengolahan sayur buah dengan pengeringan. Adapun jenis-jenis pengolahan yang dilakukan pada praktikum ini meliputi pembuatan geplek wortel, keripik bayam, cabe kering dan keripik kentang. 4.1.



Geplek Wortel Pengeringan dapat digunakan untuk mengawetkan sayuran, seperti wortel.



Wortel (Daucus carota) adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna jingga dengan tekstur serupa kayu. Wortel merupakan salah satu jenis sayuran yang mempunyai nilai gizi tinggi, terutama vitamin A. Selain itu wortel juga mengandung vitamin B, vitamin C, dan sedikit vitamin G (Palungkun & Budiarti 1993). Seperti komoditas sayuran lainnya, wortel termasuk salah satu jenis sayuran yang mudah rusak karena setelah dipanen masih melakukan respirasi. Di samping itu kerusakan dapat diakibatkan pula oleh proses fisiologis dan faktor mekanis, kimiawi, dan mikrobiologi. Selain itu, produk kering akan lebih mudah ditangani dalam pengangkutan dan penyimpanan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan geplek wortel ini yaitu pertama disiapkan sampel wortel. Kemudian wortel tersebut dilakukan sortasi. Sortasi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan memisahkan produk yang baik dengan yang buruk atau kegiatan yang memisahkan produk berdasarkan tingkat keutuhan atau kerusakan produk, karena cacat mekanis atau



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 alami. Setelah dilakukan sortasi pada wortel, kemudian dilakukan pencucian pada sampel wortel. Pencucian ini bertujuan untuk menghilankan kotoran yang menempel, residu fungisida atau insektisida dan memperoleh penampakan yang baik. Setelah dilakukan pencucian, kemudian dilakukan penirisan. Penirisan ini bertujuan untuk mengurangi sisa-sisa air yang menempel setelah proses pencucian. Kemudian dilakukan pengupasan pada sampel wortel. Pengupasan ditujukan untuk memisahkan bagian yang dapat dimakan dari kulitnya dan bagian yang harus dibuang. Setelah itu dilakukan pengirisan dengan bentuk bulat dan ketebalan kurang lebih 3 milimeter. Pengirisan dengan ketebalan sedemikian rupa bertujuan untuk memudahkan proses selanjutnya. Kemudian setelah diiris dilakukan blansing menggunakan air panas selama 3 menit. Proses blansing pada sayuran dan buahbuahan bertujuan untuk menonaktifkan enzim seperti polifenolasi, lipoksigenase, katalase, peroksidase, ascorbic acid oxidase, yaitu enzim-enzim ang menimbulkan reaksi kimia yang tidak diinginkan, membersihkan produk dari kotoran-kotoran yang melekat, mengurangi jumlah mikroorganisme pada bahan, menghilangkan udara interseluler, sehingga jaringan tampak lebih hijau dan melunakkan jaringan (Carmencita, 2008). Kemudian setelah blansing selesai dilakukan penirisan kembali untuk menghilangkan sisa-sisa air yang masih menempel setelah proses blansing. Kemudian dilakukan penyimpanan pada tray dan dilakukan pengovenan selama 3 jam. Setelah dioven kemudian dilakukan pengamatan antara sebelum dengan sesudah dengan paramter warna, aroma, tekstur, bentuk dan diameter. Berikut merupakan hasil pengamatan yang diperoleh pada geplek wortel yang dilakukan oleh kelompok 1B: Tabel 1. Hasil Pengamatan Geplek Wortel Kel Perlakuan Warna Aroma Tekstur



Sebelum



Orange cerah



Khas wortel



Bentuk



D



Keras +3



Bulat tak beraturan



2,8 cm



Keras +5



Mengkerut



0,83 cm



1 Sesudah



Orange Aroma tua agak wortel kecoklatan berkurang



(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017)



Gambar



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 Berdasarkan hasil pengamatan sampel geplek wortel sebelumnya menunjukkan bahwa sampel wortel tersebut berwarna orange cerah, beraroma khas wortel, bertekstur cukup keras, berbentuk bulat tak beraturan dan diameternya sebesar 2,8 cm. sedangkan sampel geplek wortel sesudahnya menunjukkan bahwa sampel wortel tersebut berwarna orange tua kecoklatan, beraroma khas wortel namun berkurang, bertekstur cukup keras, berbentuk bulat tak beraturan mengkerut dan diameternya sebesar 0,83 cm. Berdasarkan hasil pengamatan praktikum didapatkan data bahwa terjadi perubahan warna setelah pengeringan. Warna merupakan sifat sensori penting dalam menilai kualitas bahan pangan. Sebelum proses pengeringan sampel wortel berwarna orange cerah. Sedangkan setelah proses pengeringan berwarna orange kecoklatan. Pada saat proses pengeringan akan terjadi memucatnya pigmen warna pada wortel, padahal warna orange tua pada wortel menandakan kandungan βkaroten yang tinggi (Amiruddin, C., 2013, hlm. 1-2). Tjahjadi & Hudaya (1994) mengemukakan bahwa perlakuan panas pada bahan makanan menjadikan sifat warna jingga yang ditimbulkan oleh pigmen karotenoida menjadi lebih mantap karena kristal-kristal karotenoida larut dalam tetesan minyak yang terdapat dalam vakuola. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi yang memucatkan warna tersebut terhambat. Karotin merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga, serta bersifat larut dalam minyak (lipida). Pigmen ini merupakan campuran dari beberapa senyawa yaitu alfa, beta, dan gamma-karotin (Winarno 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengeringan mengakibatkan terjadinya penurunan kandungan betakaroten pada wortel lebih dari 60%. Wortel memiliki aroma yang khas sama seperti bahan pangan lainnya. Setelah dilakukan proses pengeringan aroma yang dimiliki wortel tidak berubah. Wortel memiliki tekstur yang keras dan perubahan tekstur setelah proses pengeringan tidak terjadi secara signifikan, karena kebanyakan bahan pangan akan mengalami pengerasan setelah proses pengeringan dan wortel memiliki tekstur yang keras sejak awalnya. Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan wortel adalah hilangnya (terdegradasi) atau berubahnya warna, tekstur, dan nilai gizi. Perubahan warna dan tekstur, dan hilangnya gizi dapat terjadi



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 selama proses pengolahan, pengeringan, dan penyimpanan produk kering (Mohamed & Hussein, 1994). 4.2.



Keripik Bayam Keripik merupakan kegemaran masyarakat Indonesia pada umumnya,



sebagian orang menjadikan keripik sebagai makanan favorit. Meskipun keripik merupakan makanan yang terlihat sederhana, namun dalam pengolahannya tidak sesederhana bentuknya (Afrianti, 2013). Keripik bayam adalah makanan yang terbuat dari bayam sebagai bahan dasarnya dan menggunakan tepung pelapis sebagai penyalut lembaran bayam yang akan digoreng (Ramdhan, 2009). Pengolahan bayam menjadi keripik selain memberikan keanekaragaman pangan juga mampu meningkatkan kualitas dan nilai ekonomis dari sayuran tersebut. Selain itu keripik memiliki umur simpan lebih lama dari produk segarnya serta memberikan flavor produk yang khas, yaitu renyah dan gurih (Ariyani, 2010). Tepung pelapis yang umum digunakan untuk keripik terbuat dari tepung beras. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan keripik bayam ini yaitu pertama disiapkan sampel bayam. Kemudian dilakukan pencucian pada sampel bayam. Pencucian ini bertujuan untuk menghilankan kotoran yang menempel, residu fungisida atau insektisida dan memperoleh penampakan yang baik. Setelah dilakukan pencucian, kemudian dilakukan penirisan. Penirisan ini bertujuan untuk mengurangi sisa-sisa air yang menempel setelah proses pencucian. Kemudian ditambahkan tepung kanji dan terigu serta bumbu dengan perbandingan antara tepung kanji dengan tepung terigu adalah 1:3. Bumbu tersebut dibuat dengan kemiri, bawang putih, ketumbar, kencur dan jeruk purut. Setelah itu ditambahkan air. Kemudian celupkan sampel bayam tersebut pada adonan yang sudah dibuat. Lalu digoreng dalam minyak panas dan angkat apabila telah berubah warna menjadi kuning kecoklatan. Setelah itu dilakukan penirisan kembali. Penirisan ini bertujuan untuk mengurangi sisa-sisa minyak yang menempel setelah proses penggorengan. Setelah ditiriskan kemudian dilakukan pengamatan antara sebelum dengan sesudah dengan parameter warna, aroma, tekstur dan kerenyahan. Berikut merupakan hasil pengamatan yang diperoleh pada pembuatan keripik bayam yang dilakukan oleh kelompok 2B:



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 Tabel 2. Hasil Pengamatan Keripik Bayam Kel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Kerenyahan Sebelum



Hijau cerah



Khas bayam



Layu, lembek



-



Keras, renyah



+3



Gambar



2 Sesudah



Hijau Beraroma kecoklatan bumbu



(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017) Berdasarkan hasil pengamatan sampel bayam sebelumnya menunjukkan bahwa sampel bayam tersebut berwarna hijau cerah, beraroma khas bayam, bertekstur layu dan lembek serta tidak memiliki kerenyahan. Sedangkan sampel keripik bayam sesudahnya menunjukkan bahwa sampel bayam tersebut berwarna hijau kecoklatan, beraroma bumbu, bertekstur keras dan renyah dengan tingkat kerenyahan yang cukup tinggi. Warna merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan kualitas atau derajat penerimaan dari suatu bahan pangan. Ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan makanan berwarna yaitu pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan hewan misalnya klorofil berwarna hijau, reaksi karamelisasi yang timbul pada saat gula dipanaskan membentuk warna coklat pada kembang gula karamel atau pada roti yang dibakar, warna gelap yang timbul karena adanya reaksi maillard, yaitu antara gugus amino protein dengan gugus karboksil gula pereduksi; misalnya susu bubuk yang disimpan terlalu lama akan berwarna gelap, Reaksi antara senyawa organik dengan udara akan menghasilkan warna hitam, atau coklat gelap. Reaksi oksidasi ini dipercepat oleh adanya logam serta enzim, misalnya warna gelap pada permukaan apel atau kentang yang dipotong, Penambahan zat warna baik alami maupun warna sintetik, yang termasuk dalam golongan bahan aditif makanan (Winarno, 2004). Maka warna hijau cerah pada sampel daun bayam tersebut berasal dari pigmen yang secara alami pada tanaman yaitu klorofil, sedangkan perubahan warna menjadi hijau kecoklatan merupakan akibat dari adanya reaksi maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karboksil gula pereduksi selama penggorengan berlangsung. Aroma bumbu yang dihasilkan tersebut merupakan akibat dari adanya senyawa-senyawa volatil dari bahan-bahan baku yang menguap selama proses



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 penggorengan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ridwan (2008) yang melaporkan bahwa aroma yang timbul dalam proses penggorengan, sebagian merupakan aroma dari senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil sehingga ikut menguap bersama air bebas yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Bahan makanan mengandung karbohidrat dan protein akan mengalami pencoklatan nonenzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan (Reaksi Maillard) akan dapat menghasilkan bau enak maupun tidak enak. Bau tidak enak dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural, dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan yaitu piruvaldehid diasetil. Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat dinikmati dengan mulut pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan ataupun perabaan dengan jari (Kartika et al., 1988). Perubahan tekstur dan tingkat kerenyahan bayam yang sebelumnya lunak kemudian menjadi keras setelah menjadi keripik ini disebabkan adanya penggorengan. Proses utama yang terjadi selama penggorengan adalah perpindahan panas dan massa, dengan minyak yang berfungsi sebagai media penghantar panas (Moreira, 1999). Panas yang diterima bahan akan dipergunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk penguapan air, gelatinisasi pati, denaturasi protein, pencokelatan dan karamelisasi. Fellows (1992) penggorengan merupakan suatu unit operasi yang digunakan untuk mengubah eating quality suatu makanan. Proses perubahan tekstur menjadi keras tersebut dimulai dengan terjadinya peristiwa gelatinisasi pati yang dilanjut dengan pembentukan pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pati secara cepat. Pati yang sudah mengalami gelatinisasi (membentuk gel) mudah mengalami retrogradasi. Pada keadaan ini amilosa membentuk struktur seperti kristal, sedangkan amilopektin sedikit atau sama sekali tidak mengalami retrogradasi karena amilopektin dalam struktur granula merupakan bagian yang amorf (Haryadi, 1990). Amilosa cenderung mengalami pengkristalan kembali dari bentuk semula yaitu larutan maupun gel sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan tekstur yang disebut stalling. 4.3.



Cabe Kering Cabai merah merupakan salah satu bahan yang mudah rusak akibat



kandungan air yang cukup tinggi. Oleh karena itu, seringkali diberikan perlakuan



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 untuk menurunkan kandungan air didalamnya. Salah satunya dengan proses pengeringan. Dalam praktikum ini, dilakukan proses pengeringan cabai merah menggunakan oven. Mula-mula, cabe merah disiapkan dan disortasi untuk memilih cabai dengan mutu terbaik. Cabe merah kemudian ditimbang dan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada permukaan kulit cabai. Cabai merah ditiriskan dan kemudian diberikan dua perlakuan, yaitu pemanasan singkat (blansing) selama tiga menit dan perendaman pada larutan Na-metabisulfit 2% selama 30 menit. Tujuan dari blansing adalah untuk menginaktivasi enzim yang dapat menurunkan mutu cabai dan meminimalisir pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang dapat merusak cabai merah (Tjahajdi, 2011). Tujuan perendaman menggunakan natrium bisulfit yaitu membantu mempertahankan intensitas warna cabai setelah dikeringkan sehingga dihasilkan cabai kering dengan karakteristik fisik yang maksimal. Setelah diblansing, cabai merah direndam dalam air dingin selama tiga menit. Cabai merah kemudian ditimbang dan diletakkan dalam tampah atau tray untuk selanjutnya dikeringkan dalam oven. Pengeringan dalam oven dilakukan pada suhu 50oC selama satu hari. Kemudian cabai merah diamati penampakannya yang meliputi warna, tekstur, aroma, bentuk, dan kilapnya. Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan pengeringan cabai merah : Tabel 3. Hasil Pengamatan Cabe Kering Kel



Perlakuan



Warna



Sebelum (blansing)



Merah (+5)



3 Sesudah (blansing)



Aroma Tekstur Khas cabai



Merah Khas Tua Cabai Kehitaman



Keras



Bentuk



Kilap



Seragam



+



Lembek Mengkerut +++ Seragam



Ganbar



-



Sebelum Merah Khas Keras (NaSeragam + cerah cabai padat Metabisulfit) 4 Sesudah Khas Lembek Mengkerut (NaMerah tua cabai + seragam Metabisulfit) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017) Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, dapat dilihat bahwa semua sampel cabai mengalami penurunan mutu selama pengeringan. Perubahan warna



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 terjadi pada seluruh sampel cabai yang semula berwarna merah cerah menjadi kehitaman atau lebih oranye. Cabai merah yang dihasilkan dengan perlakuan blansing mengalami penurunan intensitas warna. Menurut Potter (1986), perubahan warna tersebut dapat disebabkan oleh pigmen likopen yang berada di dalam cabai yang mendapat perlakuan blansing tereksitasi keluar karena adanya rangsangan pemanasan. Pigmen likopen termasuk ke dalam golongan pigmen karotenoida yang peka terhadap pemanasan dengan batasan tertentu, karena jika terlalu dipanaskan justru warna tersebut akan memudar. Pigmen karotenoida sendiri mudah teroksidasi yang menyebabkan perubahan warna dan merusak aktivitas vitamin A. Cabai merah yang direndam pada larutan metabisulfit mengalami perubahan warna pula. Hal ini disebabkan oleh proses sulfitasi (perendaman dalam larutan Na-bisulfit). Sulfitasi dapat menghambat cabai dari pencoklatan akibat ion sulfit. Selain sebagai zat penghambat pencoklatan, sulfit juga merupakan agensia antimikroba yang cukup efektif serta sebagai antioksidan untuk menghambat oksidasi vitamin C dimana vitamin C merupakan senyawa reduktor dan juga bertindak sebagai pecursor untuk pembentukan warna coklat nonenzimatik. Asamasam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat, dan kemudian berlangsunglah proses pencoklatan (Tranggono, 1999). Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan tekstur juga terjadi pada kedua cabai merah. Perubahan tekstur paling mencolok terjadi pada sampel cabai merah yang diberikan perlakuan blansing yaitu keras menjadi lunak atau lembek setelah pengeringan selama 24 jam. Namun, perubahan tekstur menjadi lunak juga terjadi pada cabai merah dengan perendaman pada larutan metabisulfit. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dengan blansing maupun sulfitasi tidak dapat menghambat perubahan tekstur cabai merah. Cabai merah juga mengalami perubahan bentuk dari utuh menjadi mengerut. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan kadar air yang terjadi selama proses pemanasan. Berdasarkan hasil pengamatan, perubahan kilap paling cepat terjadi pada sampel cabai merah dengan perlakuan blansing. Sementara itu, salah satu sampel cabai merah dengan perendaman pada larutan metabisulfit tidak mengalami



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 penurunan intensitas kilap. Penurunan tingkat kilap pada sampel cabai tersebut dapat dipengaruhi oleh lapisan lilin yang terdapat pada permukaan cabai. Pengeringan menyebabkan lapisan lilin tersebut semakin menipis kemudian habis akibat pemanasan sehingga cabai sudah tidak mengkilap lagi (Tranggono, 1999). Menurut Henderson dan Perry (1976), proses pengeringan dibagi menjadi dua periode, yaitu periode laju pengeringan tetap dan periode laju pengeringan menurun. Laju pengeringan tetap terjadi sampai ketika bahan telah mencapai kadar air kritis. Laju pengeringan ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi bentuk, ukuran dan susunan bahan saat dikeringkan. Faktor eksternal meliputi suhu, kelembaban, dan kecepatan aliran udara pengeringan. Menurut Taib dkk. (1988), semakin besar perbedaan suhu antara media pemanas (suhu udara pengering) dengan bahan yang dikeringkan, semakin cepat pula perpindahan panas ke dalam bahan sehingga penguapan air dari bahan yang dikeringkan akan lebih banyak dan cepat. Suhu pengeringan bervariasi untuk setiap bahan yang dikeringkan. Kelembaban udara (RH) juga mempengaruhi proses pengeringan dimana kelembaban udara berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kelembaban udara maka proses pengeringan (waktu pengeringan) akan berlangsung lebih lama (Broker, dkk.,1981). Apabila bahan pangan dikeringkan dengan menggunakan udara sebagai medium pengering, maka semakin panas udara tersebut semakin cepat pengeringannya (Muchtadi, 1989). Berbeda dengan kelembaban udara, kecepatan aliran udara berbanding terbalik dengan waktu pengeringan. Semakin tinggi kecepatan aliran udara, proses pengeringan akan berjalan lebih cepat. Faktor lain yang dapat memengaruhi proses pengeringan adalah kadar air bahan yang dikeringkan. Taib, dkk. (1988) menyatakan bahwa pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan untuk menghambat perkembangan organisme pembusuk. Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap banyaknya air yang diuapkan dan lamanya proses pengeringan. 4.4.



Keripik Kentang Kentang merupakan salah satu tanaman yang paling efisien untuk dijadikan



sebagai bahan pangan dengan kualitas tinggi dibandingkan dengan jenis umbi lainnya. Kentang dapat diolah menjadi salah satu produk cemilan yang umum



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 dikonsumsi masyrakat yaitu keripik kentang. Keripik kentang adalah produk yang dihasilkan melalui proses pengupasan, pengirisan, perendaman dalam larutan, dan penggorengan. Faktor-faktor yang menentukan kualitas dari keripik kentang yang dihasilkan adalah warna, kenampakan, cita rasa, tekstur, kandungan minyak, kandungan air, dan nilai gizi (Ratnaningsih et.al, 2007). Dalam praktikum ini, pembuatan keripik kentang dilakuakan dengan metode penggorengan rendam (deep frying). Mula-mula, kentang disortasi dan kemudian ditrimming untuk membuang lapisan kulitnya. Setelah dikupas, kentang dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang melekat. Kentang kemudian diiris tipis menggunakan pisau, atau untuk mempermudah pengirisan dapat menggunakan alat slicer. Hal ini disebabkan, ukuran yang dihasilkan menggunakan slicer lebih seragam dan lebih tipis bila dibandingkan pengirisan menggunakan pisau. Hasil irisan kentang direndam dalam larutan garam 10% selama 15 menit. Hal ini bertujuan untuk membentuk tekstur dengan mengikat air bebas pada kentang sehingga lebih renyah, selain itu untuk memberikan cita rasa asin pada keripik kentang. Setelah perendaman, irisan ketang ditiriskan dan kemudian digoreng menggunakan deep fryer hingga berwarna kecoklatan. Keripik kentang yang telah siap diamati penampakannya meliputi warna, aroma, tekstur, dan kerenyahan. Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan pembuatan keripik kentang : Tabel 4. Hasil Pengamatan Keripik Kentang Kel Perlakuan Warna Aroma Tekstur Kerenyahan Sebelum



Kuning pucat



+1



Halus



-



Sesudah



Kuning keemasan



+2



Kasar



+5



Gambar



5



(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017) Berdasarkan tabel hasil pengamatan, dapat diamati bahwa keripik kentang memiliki karakteristik berwarna kuning keemasan, aroma khas penggorengan yang lebih menyengat, tekstur yang kasar, dan kerenyahan yang tinggi. Perubahan warna kentang dari kuning pucat menjadi kuning keemasan diakibatkan oleh reaksi



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 Maillard selama penggorengan. Intensitas warna yang dihasilkan bergantung pada lama penggorengan, sementara jenis minyak hanya berpengaruh kecil pada warna yang dihasilkan (Ketaren, 1986). Berdasarkan tabel hasil pengamatan, tekstur keripik kentang yang dihasilkan kasar dan sangat renyah. Tekstur keripik kentang ini dipengaruhi oleh kadar air dan kadar pati pada bahan baku kentang yang disiapkan. Semakin tinggi kadar air pada kentang, maka semakin kurang kerenyahan keripik kentang yang dihasilkan. Proses penggorengan menyebabkan air pada bahan menguap, penguapan air ini disebabkan suhu minyak sebagai media penggoreng melebihi titik didih air yang ada dalam kentang (Ratnaningsih et.al., 2007). Aroma juga menjadi salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas keripik kentang yang dihasilkan. Pada proses pengolahan karena adanya panas maka akan terjadi reaksi Maillard akibat interaksi antara karbohidrat (gula reduksi) dan protein (asam amino) menghasilkan senyawa volatil khas produk goreng. Ratnaningsih et.al., (2007) mengatakan bahwa suhu yang tinggi pada penggorengan mengakibatkan hilangnya komponen volatil kentang sehingga menyebabkan berkurangnya aroma spesifik yang terdapat dalam kentang. Dalam praktikum ini, digunakan metode deep frying untuk proses penggorengannya. Penggorengan ini membuat bahan yang digoreng terendam seluruhnya dalam minyak. Transfer panas pada metode ini merupakan kombinasi dari konveksi dalam minyak panas dan konduksi ke bagian dalam makanan, sehingga semua permukaan makanan menerima perlakuan yang sama untuk mencapai warna dan kenampakan yang seragam. Penggorengan dengan metode deep frying, suhu minyak dapat mencapai 200 sampai 205oC (Ketaren, 1986). Pemilihan suhu penggorengan merupakan faktor yang menentukan hasil gorengan yang dinilai berdasarkan kenampakan, flavor, lemak yang terserap dan stabilitas penyimpanan serta faktor ekonomi. Suhu menggoreng yang optimum adalah sekitar 325-390oF (161-190oC). Salah satu pertimbangan digunakan suhu penggorengan yang optimum adalah pengaruhnya langsung terhadap karakteristik produk yang dihasilkan.



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 V.



KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum kali ini adalah



sebagai berikut: 



Diameter wortel berkurang selama pengeringan dari awalnya 2,8 cm menjadi 0,83 cm diakhir pengamatan. Wortel juga mengalami pengkerutan







Warna gaplek wortel semakin pekat dan agak kecoklatan setelah proses pengeringan







Warna keripik bayam menjadi kuning kecoklatan setelah digoreng.







Tekstur bayam yang awalnya lunak menjadi keras dan renyah.







Perlakuan terbaik pada pembuatan cabai kering adalah perendaman cabai didalam larutan Na-metabisulfit. Perlakuan ini mneghasilkan warna dan tekstur yang lebih baik dibanding dengan perlakuan blansing.







Tekstur cabai mengalami pengkerutan setelah melewati proses pengeringan.







Warna keripik kentang setelah digoreng mengalami peningkatan menjadi kuning keemasan.







Aroma kentang menjadi meningkat setelah mengalami penggorengan.







Tekstur kentang yang awalnya halus berubah menjadi agak keras dan kasar.



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 DAFTAR PUSTAKA



Afrianti, Leni Herliana. 2013. Teknologi Pengawetan Pangan. Bandung: Alfabeta Almatsier, S. 2015. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Ed 9. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Amiruddin, C. 2013. Pembuatan Tepung Wortel (Daucus carrota L) Dengan Variasi Suhu Pengering. Skripsi. Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Ariyani, N., 2010. Formulasi Tepung Campuran Siap Pakai Berbahan Dasar Tapioka-Mocal Dengan Penambahan Maltodekstrin Serta Aplikasinya Sebagai Tepung Pelapis Keripik Bayam. Fakultas Pertanian. Purwokerto Brooker, D.B.et al. 1974. Drying Cereal Grains. The AVI Publ. Company, Inc.Westport. Connecticut Carmencita. 2008. Teknologi Pengolahan Buah dan Sayur. Bandung: Widya Padjajaran. De Man, J.M. 1999. Principles of Food Chemistry. Ed. 3. Aspen Publishers, Inc, Maryland. Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology: Principle and Practice. Ellis Horwood Limited, Sussex, England. Hall, C.W. 1979. Drying Farm Corps. The AVI Publising Company Inc. Westport.Connecticut Haryadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta. Gramedia. Hederson, S. M. and R. L. Perry. 1976. Agricultural Process Engineering. 3rd ed. The AVI Publ. Co., Inc, Wesport. Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketaren, S. 1986. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta. Mohamed, S. & R. Hussein. (1994). Effect of low temperature blanching, cysteineHCl, N acetyl-L-cysteine, Na Metabisulphite and drying temperatures on the firmness and nutrient content of dried carrots. J. Food Processing and Preservat. Moreira, R. 1999. Deep Fat Frying, Fundamental and Aplications. Aspen Publishers Inc. Gaithersburg Maryland Muchtadi Tien R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pangan. Depdikbud PAU IPB, Bogor. Palungkun, R. & A. Budiarti. 1993. Sayuran komersial. Penerbit PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Potter, Norman N. 1986. Food Science Fourth Edition. Chapman & Hall, London.



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 Ramdhan, A.N. 2009. Pengaruh Perbandingan Tepung Beras Rose Brand, Tepung Beras Karya Tani dan Konsentrasi Santan Kelapa Terhadap Karakteristik Rempeyek Bayam. Kumpulan Program Kreatifitas Mahasiswa. Unpas. Bandung. Ratnaningsih. 2007. Kajian Penguapan Air dan Penyerapan Minyak pada Penggorengan Ubi Jalar dengan metode Deep Fat Drying. Agritech. 7(1): 27-32. Ridwan, M. 2008. Sifat - sifat Organoleptik Pengolahan produk. Universitas Negeri Bangka Blitung (UBB): Bangka Blitung. Samsuri. 1993. Desain dan Pengujian Kipas Sentrifugal untuk Alat Pengering tipeBak. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Taib, G., Gumbira Said, dan S. Wiraatmadja. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Tjahjadi, C. 2011. Bahan Pangan dan Dasar-dasar Pengolahan. Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang Tjahjadi, C. 2011. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah. Widya Padjadjaran, Sumedang. Tjahyadi, C. & S. Hudaya. 1994. Petunjuk Praktikum Prinsip Pengawetan Pangan. Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Tranggono, Setiaji B., Suhardi, Sudarmanto, Y. Marsono, Agnes Murdianti, Indah S.U., dan Suparmo. 1999. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 JAWABAN PERTANYAAN



1. Jelaskan masing-masing keuntungan dan kerugian pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan buatan! Jawab:  Pengeringan dengan matahari (alami): Keuntungan: 



Biayanya murah







Lebih efektif karena sinar terkena langsung pada bahan pangan.







Bobot yang ringan (kadar air makanan pada umumnya mencapai 60%90%)







Kestabilan dalam suhu penyimpanan pada suhu kamar



Kerugian: 



Kerusakan karena mikroorganisme, tikus, insekta, burung, dan lain-lain







Penurunan gizi terutama kehilangan vitamin C bisa mencapai 50%







Memerlukan luas permukaan tanah yang cukup besar







Hilangnya flavor yang mudah menguap







Perubahan struktur, termasuk case hardening







Reaksi pencoklatan nonenzimatis



 Pengeringan buatan: Keuntungan: 



Suhu, kelembaban udara, kecepatan pengaliran udara dan waktu pengeringan dapat diatur dan diawasi







Menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik



Kerugian: 



Memerlukan biaya yang lebih mahal







Produknya mengalami penciutan yang cukup besar







Tidak semua bahan pangan dapat dikeringkan dengan cara desikasi



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 2. Apa pengaruh blansing dan perendaman dalam larutan Na-bisulfit terhadap pengeringan cabe? Jawab: Fungsi Na-bisulfit dalam percobaan adalah : 



Mencegah pencoklatan produk selama penyiapan bahan (pencoklatan enzimatis), proses pengeringan dan dalam penyimpanan (pencoklatan enzimatis).







Mengurangi penguraian vitamin C.







Agar membran sel lebih permeable terhadap air, sehingga laju pengeringan lebih tinggi.



3. Faktor



apa



sajakah



yang



mempengaruhi



keberhasilan



selama



pengeringan? Jawab: Faktor-faktor mempengaruhi keberhasilan proses pengeringan antara lain cuaca, metode pengeringan, daya tahan bahan terhadap panas, ada tidaknya mikroorganisme, dan suhu dan kelembaban yang digunakan serta waktu pengeringan. 4. Jelaskan jenis-jenis kerusakan yang sering terjadi pada makanan kering! Jawab: 



Case hardening Case hardening merupakan pengerasan lapisan luar (kulit) pangan yang dikeringkan. Case-hardening adalah gejala penciutan bahan pangan disertai pemampatan permukaan bahan yang menghambat pergerakan air dari dalam ke permukaan bahan sehingga pengeringan tidak seimbang







Kerusakan akibat suhu yang terlalu tinggi dan waktu pemaparan yang terlalu lama seperti denaturasi protein, pemecahan emulsi, kerusakan vitamin dan degradasi lemak/minyak.



5. Mengapa proses inaktivasi enzim diperlukan sebelum proses pengeringan? Jelaskan beberapa metode inaktivasi enzim! Jawab: Inaktivasi



enzim



sebelum



pengeringan



penting



dilakukan



untuk



menghentikan aktivitas enzim seperti enzim PPO untuk pencoklatan sehingga



Bayu Airlangga 240210150077 Kelompok 5 bahan pangan yang dikeringkan akan optimal dan memiliki umur simpan yang relatif panjang. Beberapa metode inaktivasi enzim: 



Blanching Blanching untuk sayuran biasanya dilakukan dengan menggunakan air panas



atau steam



sementara blanching buah dilakukan dengan



menggunakan larutan kalsium. Penggunaan larutan kalsium, bertujuan untuk mempertahankan tekstur buah melalui pembentukan kalsium pektat. Pengental seperti pektin, karboksimetil selulose dan alginat juga dapat digunakan untuk membantu mempertahankan tekstur buah agar tetap segar setelah proses blanching. 



Inaktivasi enzim secara kimia Metode ini dapat dilakukan dengan cara seperti merendam terlebih dahulu produk pada larutan SO2.







Menghindari kontak oksigen Cara ini dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti merendam produk pada larutan gula atau larutan garam.







Pemberian anti-oksidan Cara ini dapat dilakukan seperti dengan merendam produk pada larutan asam askorbat untuk menangkal aktivitas enzim.