Studi Mangrove PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan  Mangrove                                Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial



2008



   



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Ringkasan Eksekutif



Ekosistem mangrove memiliki fungsi dan manfaat ekologi serta ekonomi sosial. Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi saja dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Kebijakan pemanfaatan hutan mangrove perlu menerapkan prinsip sustainable forest management. Data dan informasi dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove masih belum tersedia secara lengkap dan sistematis, sehingga perlu penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Pada Tahun 2008 Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jendera Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) melakukan kegiatan penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang ada di lapangan. Sedangkan ruang lingkup pekerjaan meliputi: pemanfaatan Arang kayu dengan lokasi observasi di Batu Ampar-Kalbar; Manfaat ekologi dengan lokasi observasi di Cilacap atau Sinjai; Tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi observasi di Pemalang dan atau Subang; serta Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali. Keluaran yang dihasilkan berupa dokumen laporan yang secara sistematis menyajikan kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, baik berupa pemanfaatan ekologi maupun ekonomi-sosial. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan mangrove didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak berguna secara langsung (non use value). Pengumpulan data primer dilakukan dengan uji petik guna mengecek langsung kondisi sumberdaya di lapang (potensi) dan pemanfaatannya, mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi dan menginventarisir pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa pengamatan langsung, wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha, dan unit manajemen. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kompilasi data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang pernah atau sedang melakukan kajian/penelitian di lokasi kajian. Metode analisis yang digunakan mencakup analisis deskriptif, analisis valuatif, analisis kelayakan pemanfaatan dan analisis strategi pengembangan usaha. Pada



Laporan Akhir



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



analisis kelayakan pemanfaatan yang meliputi analisis finansial, analisis kelayakan teknis, analisis kelayakan ekologi dan analisis kelayakan sosial/kelembagaan. Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang didominasi jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata), Api-api (Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Jumlah jenis burung yang ditemukan di Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili. Tahura Ngurah Rai Bali memiliki daya tarik wisata berupa: panorama keindahan alam berupa kondisi fisik kawasan Teluk Benoa, keanekaragaman vegetasi mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan fauna perairan (ikan, moluska, krustasea). Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis. Untuk menuju kawasan ini dengan menggunakan kendaraan darat hanya memerlukan waktu 5 menit dari Bandara Ngurah Rai Bali, 10 menit dari pusat kota Denpasar. Pemanfaatan kawasan Tahura selain utnuk wisata juga untuk memancing, kayu bakar,menangkap ikan dan udang, dan lain-lain. Di kawasan mangrove Batu Ampar dijumpai jenis vegetasi 50 jenis terdiri atas 23 jenis mangrove sejati, 8 jenis mangrove sekunder, dan 19 jenis ekoton yang didominasi Rhizophora sp, Bruguiera spp, dan Nypa fructicans. Keanekaragaman biota darat di kawasan mangrove cukup tinggi yaitu mamalia 11 jenis, burung 57 jenis, reptil 10 jenis, dan amfibi 1 jenis. Sedangkan jenis-jenis biota perairan terdiri atas 37 jenis phytoplankton, 20 zooplanktons, 30 jenis benthos, 64 jenis ikan 13 jenis moluska, dan 23 krustasea. Potensi rata-rata kayu mangrove di kawasan mangrove sebesar 180,735 m3/ha. Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam pemanfaatan hutan mangrove untuk bahan baku arang dikategorikan menjadi 2 yaitu sistem silvilkultur pohon Induk (Seed Trees Method) yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan sistem rumpang yang dilakukan oleh masyarakat (secara tradisional). pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh perusahaan swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) dan masyarakat (Koperasi Panter). Kelembagaan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Batu Ampar yaitu: Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bapedalda, Deperindag, dan Koperasi Panter, Swasta dan Masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya mangrove selain arang bakau meliputi kayu bakar, tiang pancang, nipah, ikan, udang, tambak, kepiting, buah mangrove, manfaat jasa lingkungan, dan lain-lain. Hutan mangrove di Kabupaten Subang didominasi oleh species Avicennia marina., Rhizophora sp., dan Melaleuca leucadendron. Fauna yang banya terdapat di areal hutan mangrove Subang diantaranya adalah udang api-api (Metapenaeus monoceros), udang peci (Penaeus merguiensis), dan udang windu (Penaeus



Laporan Akhir



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu (Macrones gulio), ikan kerong-kerong dan lain-lain. Pemanfaatan sumberdaya mangrove Subang meliputi tambak tumpangsari, kayu bakar, memancing, buah mangrove, dan lain-lain. Model tambak tumpangsari yang banyak diterapkan di beberapa areal pertambakan di Kabupaten Subang khususnya di Kecamatan Blanakan merupakan model empang parit tradisional dan model empang terbuka. Pola tambak tumpangsari terdiri dari 4 pola yaitu pola 80:20, pola 70:30, pola 60:40, dengan pola tanpa hutan. Untuk memperoleh tanah garapan masyarakat harus mengantongi izin dari Perum Perhutani sesuai dengan SK PHBM Nomor 136. Pengelola atau petani penggarap tambak tumpangsari di wilayah lahan khususnya Perum Perhutani terorganisir melalui wadah Kelompok Tani Hutan (KTH). Kawasan mangrove di Pemalang terdiri dari jenis-jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp. Jenis biota air antara lain yaitu peperek, layang, belanak, manyung, kembung, julung-julung, teri, tembang, layur, tongkol, peperek, bambangan, kakap, bawal hitam, tigawaja, cucut, pari, dan tenggir. Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Kebupaten pemalang meliputi tambak tumpangsari kepiting, kayu bakar, pakan ternak, buah mangrove dan lain-lain. Desain tambak sylvofishery yang dikembangkan oleh kelompok tani tambak di daerah tersebut memiliki perbandingan 10:90 (mangrove:tambak). Umumnya mangrove yang ditanam berada pada daerah pinggiran tambak dengan jenis kepiting lunak, udang dan bandeng. Kelembagaan di tingkat pemerintah daerah Pemalang antara lain yaitu Pemerintah Daerah diantaranya Bappeda, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Dinas Kehutanan. Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Pertanian, LSM, kelompok tani, kelompok petambak. Kawasan hutan mangrove Cilacap khususnya Segara Anakan dijumpai 30 jenis tumbuhan mangrove yang didominasi Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza. Jumlah fauna yang ada 45 jenis satwaliar yang terdiri dari: 41 jenis burung (15 jenis termasuk dilindungi, 3 jenis merupakan burung migran), dan 4 jenis mamalia serta 45 jenis ikan. Pemanfaatan mangrove untuk jasa lingkungan di Cilacap meliputi: daerah perlindungan pesisir, pelindung dari ancaman abrasi, angin laut, penyusupan air asin kearah daratan, menjerap bahan pencemar, serta mempertahankan produktivitas pantai dan laut. Kelembagaan pengelolaan berada di tangan Badan Pengelola Segara Anakan yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah pengelolaan , yaitu Pemerintah Daerah, Kehakiman dan wilayah pngelolaan Perhutani. Peraturan perundangan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove baik untuk ekowisata, arang bakau, tambak tumpangsari maupun jasa



Laporan Akhir



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



lingkungan meliputi: Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 dan PP No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem Silvikultur dan daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat Seluas ± 9.178.760 Ha, Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/1978 Tahun 1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan Payau. Aspek teknis pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove berkaitan dengan budidaya, proses produksi, pengolahan hasil, dan persediaan daya tarik wisata. Nilai ekonomi sumberdaya hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai sebesar Rp 6.712.072.665, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Cilacap sebesar Rp 48.629.199.000,-/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Pemalang Rp 3.740.776.800, -/tahun di kawasan mangrove Kabupaten Subang Rp 13.036.261.808, -/tahun di kawasan mangrove Batu Ampar Rp 107.474.346.929,/tahun. Strategi pemanfaatan SDHM berupa disusun berdasarkan aspek-aspek ekologi, sosial kelembagaan, ekonomi dan hukum. Strategi ini bertujuan utama untuk menjamin kelestarian hutan mangrove melalui peningkatan peranserta masyarakat dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif yang tidak merusak atau mengakibatkan degradasi hutan mangrove serta penguatan kelembagaan terkait pengelolaan ekosistem mangrove.



Laporan Akhir



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Laporan Akhir



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove    



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................ DAFTAR ISI .............................................................................................................. DAFTAR TABEL ...................................................................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................................



i ii vi viii ix



I. PENDAHULUAN ................................................................................................



1 1 2 2 3



I.1. I.2. I.3. I.4.



Latar Belakang .............................................................................................. Maksud Dan Tujuan ...................................................................................... Ruang Lingkup ............................................................................................. Keluaran ........................................................................................................



II. METODOLOGI .................................................................................................... 2.1. Kerangka Pendekatan .................................................................................. 2.1.1. Definisi dan Ruang Lingkup Sumberdaya Hutan Mangrove........... 2.1.2. Konsep Penilaian Manfaat Ekosistem Mangrove ...........................



4 4 4 5



2.1.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove ........................................................ 2.2. Lokasi Kegiatan ............................................................................................. 2.3. Sistematika Pengumpulan Data Dan Analisis Data ...................................... 2.3.1. Alat dan Perlengkapan ................................................................. 2.3.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan data ............................ 2.3.3. Metode Analisis Data ................................................................... (1) Analisis Deskriptif ........................................................... (2) Analisis Valuatif.............................................................. (3) Analisis Kelayakan Pemanfaatan .................................. (4) Analisis Strategi Pengembangan Usaha .......................



11 14 14 14 14 15 15 16 18 21



III. KONDISI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE ................... 3.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Bali ............................... 3.1.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 3.1.2. Keanekaragaman Hayati (Flora dan Fauna) ...................................... 3.1.3. Permintaan Ekowisata ........................................................................ 3.1.4. Daya Tarik .......................................................................................... 3.1.5. Aksesibilitas, Prasarana dan Sarana Pendukung .............................. 3.1.6. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 3.1.7. Kegiatan Ekowisata ............................................................................ 3.1.8. Pemasaran .........................................................................................



ii



22 21 21 25 26 29 30 31 32 32



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove     3.1.9. Kelembagaan Pengelolaan ................................................................ 3.1.10. Permasalahan ....................................................................................



33 34



3.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove Bahan Baku Arang (kayu) ..........................



34



3.2.1. 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4. 3.2.5. 3.2.6. 3.2.7. 3.2.8. 3.2.9.



Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... Struktur dan Komposisi Jenis ............................................................. Potensi Kayu ...................................................................................... Sistem Silvikultur ................................................................................ Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... Proses Produksi Arang ...................................................................... Kualitas Produksi dan Pemasaran ..................................................... Kelembagaan Pengelolaa .................................................................. Permasalahan ....................................................................................



34 37 37 37 38 39 41 41 42



3.3. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Subang .. 3.3.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 3.3.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna) ........................................ 3.3.3. Kualitas Air dan Pasang Surut............................................................ 3.3.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery ...................................... 3.3.5. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 3.3.6. Sistem Budidaya................................................................................. 3.3.7. Produksi dan Pemasaran .................................................................. 3.3.8. Kelembagaan Pengelolaan ................................................................ 3.3.9. Permasalahan ....................................................................................



42 42 44 45 46 48 49 50 50 52



3.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Pemalang 3.4.1. Kondisi Umum Lokasi ......................................................................... 3.4.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna) ........................................ 3.4.3. Kualitas Air dan Pasang Surut ........................................................... 3.4.4. Lansekap dan Desain Tambak Sylvofishery ...................................... 3.4.5. Mekanisme Pemanfaatan ................................................................... 3.4.6. Sistem Budidaya................................................................................. 3.4.7. Produksi dan Pemasaran ................................................................... 3.4.8. Kelembagaan ..................................................................................... 3.4.9. Permasalahan ....................................................................................



52 52 54 55 55 56 56 57 58 58



3.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan/Ekologi di Kabupaten Cilacap .....................................................................................



59



3.5.1. Kondisi Umum Lokasi .........................................................................



59



3.5.2. Struktur dan Komposisi, serta Keanekaragaman Jenis ...................... 3.5.3. Potensi Tegakan.................................................................................



61 62



iii



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove     3.5.4. Kualitas Air dan Pasang Surut............................................................ 3.5.5. Kondisi Pemanfaatan Sumberdaya Mangrove ................................... 3.5.6. Mekanisme Pemanfaatan ...................................................................



62 63 66



IV. ANALISIS PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE .................



68



4.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Tahura Ngurah Rai 4.1.1 Aspek Kebijakan .............................................................................



68



4.1.2 4.1.3 4.1.4 4.1.5



Aspek Teknis................................................................................... Aspek Ekologi ................................................................................. Aspek Ekonomi ............................................................................... Aspek Kelembagaan (Sosisl Budaya) .............................................



68 69 70 74



4.2. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang ........................... 4.2.1. Aspek Kebijakan .............................................................................. 4.2.2. Aspek Teknis ................................................................................... 4.2.3. Aspek Ekologi .................................................................................. 4.2.4. Aspek Ekonomi ................................................................................ 4.2.5. Aspek Kelembagaan .......................................................................



75 75 75 76 76 80



4.3. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Subang ..................................................................................... 4.3.1. Aspek Kebijakan .............................................................................. 4.3.2. Aspek Teknis Budidaya .................................................................... 4.3.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 4.3.4. Aspek Ekonomi ................................................................................. 4.3.5. Aspek Kelembagaan .........................................................................



81 81 82 83 83 86



4.4. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Silvofishery di Kabupaten Pemalang



86



4.4.1. Aspek Kebijakan ................................................................................ 4.4.2. Aspek Teknis .................................................................................... 4.4.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 4.4.4. Aspek Ekonomi (Valuasi dan Finansial) ...........................................



87 87 87 88



4.5. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan di Kabupaten Cilacap ........................................................................................................ 4.5.1. Aspek Kebijakan ............................................................................... 4.5.2. Aspek Teknis .................................................................................... 4.5.3. Aspek Ekologi ................................................................................... 4.5.4. Aspek Ekonomi ................................................................................. 4.5.5. Aspek Kelembagaan .........................................................................



89 89 90 93 93 93



V. STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE ........................................................................................................



iv



94



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove     5.1. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Tahura Ngurah Rai ...................................................................................... 5.2. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang ........................................................................................................... 5.3. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Subang dan Pemalang ............................................................................ 5.4. Strategi Pengembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Jasa Lingkungan .................................................................................................. VI. KESIMPULAN ...................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA



v



94 97 98 100 102



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove    



DAFTAR TABEL



Tabel 2.1.



Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove............................



11



Tabel 2.2.



Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ........................................



14



Tabel 3.1.



Penggunaan lahan di desa-desa pantai sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai Tahun 2007. ..............................................................



23



Jumlah penduduk dan kepadatan pada masing-masing desa pantai di kawasan Tahura Ngurah Rai .....................................................



23



Jumlah penduduk menurut agama yang dipeluknya di desadesa pantai Kawasan Tahura Ngurah Rai................................................



24



Kondisi Sarana Kesehatan di Sekitar Kawasan Tahura Ngurah Rai .....................................................................................................



24



Tabel 3.5.



Komposisi Jenis Flora Mangrove di Tahura Ngurah Rai ..........................



25



Tabel 3.6.



Jumlah dan Asal Pengujung di Obyek Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali Tahun 2007 ................................................................................



26



Jumlah Pengunjung Tahunan Lokasi Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali tahun 2005-2008 ........................................................................



27



Tabel 3.8.



Komposisi Wisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikan .........................



27



Tabel 3.9.



Perkembangan Pondok Wisata di Bali tahun 2004 - 2008 .......................



28



Tabel 3.10. Jenis-jenis Daya Tarik Kawasan Tahura Ngurah Rai ...............................



29



Tabel 3.11. Sarana prasarana Pendukung dan Wilayah Tahura Ngurah rai ................



30



Tabel 3.13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ...............................................



35



Tabel 3.14. Informasi Pendidikan di di kawasan mangrove , Kabupaten Kubu Raya .........................................................................................



36



Tabel 3.15. Jumlah Pemeluk Agama dan Sarana Ibadah di Kawasan .......................



36



Tabel 3.16. Luas Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun 2007 ..................................................................................................



36



Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan Bakau BKPH Ciasem – Pamanukan .....................



43



Tabel 3.18. Rincian penggunaan lahan Desa Blanakan dan Desa Langensari ................................................................................................



43



Tabel 3.19. Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Subang Tahun 2007 .......................



45



Tabel 3.20. Luasan Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Pemalang Tahun 2005 ..............................................................................................



53



Tabel 3.21. Luas Tambak dan dan Luas Mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Pemalang ..............................................................................



53



Tabel 3.22. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang .................................................................................................



54



Tabel 3.2. Tabel 3.3. Tabel 3.4.



Tabel 3.7.



vi



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove     Tabel 3.23. Parameter Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Kabupaten Pemalang ..........................................................................................



55



Tabel 3.24. Produksi dan Nilai Ekonomi Budidaya Penggemukan dan Ppnangkapan Kepiting .............................................................................



57



Tabel 3.25. Luasan tiap Tata Guna Lahan di Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah ..............................................................................



60



Tabel 3.26. Komposisi jenis vegetasi mangrove di kawasan mangrove Segara Anakan .........................................................................................



61



Tabel 4.1.



Nilai manfaat mangrove di Kawasan Tahura Ngurah Rai ........................



72



Tabel 4.2.



Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Batu Ampar ..........................



82



Tabel 4.3.



Analisis Finansial usaha Arang Bakau di Batu Ampar .............................



83



Tabel 4.4.



Nilai Keberadaan Hutan Mangrove di Kecamatan Blanakan, Subang Menurut Tingkat Pendidikan .......................................................



88



Tabel 4.5.



Nilai Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove Kabupaten subang ................



88



Tabel 4.6.



Lokasi WISATA DI Sekitar KAWASAN Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap .....................................................................



94



Nilai Manfaat Ekonomi Mangrove Segara Anakan ...................................



97



Tabel 4.7.



vii



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove    



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Perbedaan Harga ...........................................................................



6



Gambar 2.2. Kategori Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove (Dimodifikasi Pierce, 1992 dalam Munasinghe, 1993) ...................



7



Gambar 2.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove........................................................



13



Gambar 3.1. Peta Lokasi Tahura Ngurah Rai, Bali .............................................



22



Gambar 3.2.



Kedudukan Kelembagaan UPTD dalam Pengelolaan Tahura Ngurah Rai ..................................................................................................



33



Gambar 3.3. Peta Lokasi Mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat ..................



35



Gambar 3.4. Tahapan Proses Pembuatan Arang Bakau ....................................



41



Gambar 3.3. Beberapa Pola Tambak Tumpangsari dengan Vegetasi Mangrove



46



Gambar 3.4. Model Empang Parit Tradisional ....................................................



47



Gambar 3.5. Model Empang Terbuka .................................................................



47



Gambar 3.4. Alat Penangkap Udang dan Udang Hasil Tangkapan ....................



50



Gambar 3.5. KUD Langgen Jaya serta Proses Pelelangan Hasil Tambak .........



50



Gambar 3.6. Struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan Tambak Tumpangsari .



51



Gambar 3.7. Kelembagaan Pengelolan Tambak Tumpangsari di Kabupaten ....



51



Gambar 3.8. Peta Administrasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah .....................



52



Gambar 3.9. Kondisi mangrove yang berada pada areal budidaya tambak Desa Mojo, Pemalang..............................................................................



56



Gambar 3.11. Organisasi Kelembagaan Wilayah Pengelolaan Segara Anakan ...



67



viii



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove    



DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1. Analisis Finansial Usaha Tambak Sylvofishery di Kabupaten Subang Lampiran 2. Analisis Finansial Usaha Arang Bakau oleh Swasta (PT. BIOS dan PT. Kandelia) di BatuAmpar, Kalbar. Lampiran 3. Rekap Hasil Kuisioner Responden di Kabupaten Pemalang Lampiran 4. Rekap Hasil Kuisioner Responden di Kabupaten Subang Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di Kabupaten Pemalang Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di Kabupaten Subang Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di Kabupaten Cilacap Lampiran 8. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai, Bali Lampiran 9. Dokumentasi Kegiatan Pelaksanaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Mangrove di Batu Ampar



ix



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



I. PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang



Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan alam dan penunjang kehidupan manusia, jika dikelompokkan dapat dibagi menjadi fungsi ekologi dan ekonomi-sosial. Fungsi ekologi ekosistem mangrove sebagai: (i) pelindung daratan dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang dan pengendali intrusi air laut, (ii) habitat dari berbagai jenis fauna, (iii) tempat berlindung, mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan Crustaceae, (iv) meningkatkan produktifitas perairan, (v) penyedia lahan melalui proses sedimentasi, (vi) menstabilkan sedimen, (vii) menurunkan energi gelombang tsunami, (viii) memelihara kualitas air dan udara serta (ix) sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomisosial diantaranya berupa: (i) kayu (arang, kayu bakar, tiang, serpih kayu dan pulp), (ii) hasil hutan non kayu (tanin, produk nipah, obat-obatan, madu, dan lain-lain), (iii) perikanan tangkap dan budidaya, (iv) jasa kesehatan lingkungan serta (v) jasa wisata. Pemanfaatan hutan mangrove sampai saat ini masih terfokus pada aspek ekonomi saja (produk kayu dan turunannya) dan kurang memperhatikan aspek ekologi. Hal ini dalam jangka pendek akan sangat menguntungkan, namun dalam jangka panjang keuntungan ekonomis yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan yang



ditimbulkan.



Kerusakan



pada



ekosistem



mangrove



berarti



akan



menghilangkan berbagai peran pentingnya, baik dalam aspek ekologi maupun ekonomi. Bila ekosistem mangrove tersebut rusak, maka biaya yang diperlukan untuk merehabilitasinya sangat besar dan juga akan sangat sulit mengembalikan ke kondisi semula. Dengan demikian diperlukan kebijakan pemerintah yang tepat sehingga pemanfaatan yang hutan mangrove dilakukan dengan menerapkan prinsip sustainable forest management. Data dan informasi dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove masih belum tersedia secara lengkap dan sistematis. Data dan informasi ini perlu disajikan dengan sistematika yang baku, di antaranya meliputi: (i) jenis pemanfaatan, (ii) ragam produk, (iii) kapasitas/produktivitas, (iv) cara/teknik pemanfaatan yang diterapkan, (v) peluang usaha yang berkembang dan (vi) akses



Laporan Akhir



1



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



pasar. Ketersediaan data dan informasi akan sangat mempengaruhi proses penentuan kebijakan pemerintah dan program yang dibutuhkan yang pada gilirannya akan sangat mempengaruhi optimalisasi pemanfaatan mangrove secara ekologi, sosial dan ekonomi serta keberlangsungan/kelestarian hutan mangrove. Peran



ketersediaan



data



dan



informasi



yang



berkaitan



hutan



mangrove



sebagaimana diuraikan di atas dengan demikian sangat vital, sehingga perlu dilakukan suatu upaya penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Untuk itu pada Tahun 2008 Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Direktorat Jendera Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) melakukan



kegiatan



penyiapan



database



pemanfaatan



sumberdaya



hutan



mangrove dengan memanfaatkan anggaran sebagaimana teralokasikan dalam DIPA 29 Ditjen RLPS Satker Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Dalam rangka penyiapan database tersebut dilaksanakan pekerjaan inventarisasi dan identifikasi guna menghimpun informasi dan data terkait pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove.



1.2



Maksud Dan Tujuan



Maksud pekerjaan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove adalah menghimpun data dan informasi tentang kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove sebagai bahan penyiapan database. Adapun tujuan utama yang hendak dicapai dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah tersusunnya data dan informasi yang terkait pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove yang ada di lapangan.



1.3



Ruang Lingkup



Ruang



lingkup



pekerjaan



Inventarisasi



dan



Identifikasi



Pemanfaatan



Sumberdaya Hutan Mangrove meliputi berbagai pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove ditinjau dari segi ekologi dan ekonomi-sosial yang ada dan berkembang di lapangan dalam kerangka penyiapan database pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Pada Tahun 2008, inventarisasi dan identifikasi diarahkan pada kegiatan pemanfaatan: (1) Arang kayu dengan lokasi observasi di Batu Ampar-Kalbar; (2) Manfaat ekologi dengan lokasi observasi di Cilacap atau Sinjai;



Laporan Akhir



2



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



(3) Tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain) dengan lokasi observasi di Pemalang dan atau Subang; serta (4) Ekowisata dengan lokasi observasi di Denpasar-Bali. 1.4



Keluaran



Keluaran yang dihasilkan berupa dokumen laporan yang secara sistematis menyajikan kondisi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove, baik berupa penanfaatan ekologi maupun ekonomi-sosial. Pemanfaatan hutan mangrove dalam aspek ekologi meliputi: (i) pencegahan atau pengurangan dampak bencana (intrusi, abrasi, tsunami, dan lain-lain), (ii) konservasi ragam hayati (flora dan fauna, terutama biota air) serta (iii) penyerap karbon. Aspek ekonomi-sosial meliputi: (i) produk berasal dari kayu (arang kayu, kayu bakar, chips, dan lain-lain), (ii) hasil hutan non kayu selain bahan makanan dan minuman, (iii) makanan dan minuman, (iv) tambak silvofishery, dan (v) ekowisata). Studi kasus dilakukan pada lokasi-lokasi Denpasar (Bali), Batu Ampar (Kalimantan Barat), Cilacap (Jawa Tengah) serta Subang (Jawa Barat) dan Pemalang (Jawa Tengah).



Laporan Akhir



3



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



II. METODOLOGI PELAKSANAAN



2.1.



KERANGKA PENDEKATAN



2.1.1. Definisi dan Ruang Lingkup Sumberdaya Hutan Mangrove Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub-tropis yang terlindung. Di Indonesia, mangrove telah dipertelakan sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove. Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dicirikan oleh tumbuhan dari berbagai genus (Avicennia, Sueda, Laguncularia, Lumnitzera, Xylocarpus, Aegiceras, Aegialitis, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, dan Sonneratia), memiliki akar napas (pneumatofor), adanya zonasi (Avicennia/Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Nypa), tumbuh pada substrat tanah berlumpur/berpasir dan variasinya, dengan kadar salinitas yang bervariasi (Nybakken, 1982). Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Seperti halnya direkomendasikan oleh FAO (1982), kata mangrove sebaiknya digunakan untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Ruang lingkup sumberdaya hutan mangrove secara keseluruhan meliputi ekosistem mangrove yang terdiri atas: (i) satu atau lebih spesies pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclussive mangrove), (ii) spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove (non-exclussive mangrove), (iii) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri, dan lain-lain) yang hidupnya menetap atau sementara, sekali-sekali atau biasa ditemukan, kebetulan atau khusus hidup di habitat mangrove, (iv) proses-proses ekologi yang terjadi dalm mempertahankan ekosistem ini, baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, (v) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut dan (vi) masyarakat yang hidupnya bertempat tinggal dan tergantung pada lahan mangrove. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa



Laporan Akhir



4



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Dengan demikian penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari. Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah jenis-jenisnya relatif sedikit, akar jangkar yang melengkung dan menjulang pada Rhizophora spp., akar yang semrawut dan keras atau pneumatofora pada marga Avicennia spp., dan Sonneratia spp. yang mencuat vertikal seperti pensil, adaptasinya yang kuat terhadap lingkungan (biji/propagule Rhizophora berkecambah di pohon/vivipar) serta banyaknya lentisel pada bagian kulit pohon.



2.1.2. Konsep Penilaian Manfaat Ekosistem Mangrove Kalangan economist-environmentalist atau yang dikenal dengan istilah kumpulan para pemerhati yang berorientasi semi-konservasionis, sejak dekade tujuh puluhan, mulai mengembangkan logical framework dalam menilai sumberdaya alam dan lingkungan secara holistik. Ketika berbicara tentang bagaimana menilai sumberdaya alam dan lingkungan, maka dikenal nama-nama seperti Pearce, Turner, Freeman, Hufschmidt, Ruitenbeek, dan Munasinghe. Kerangka berpikir yang dibangun oleh para ahli tersebut secara common sciences bermaksud untuk melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan agar tetap tersedia dan bermanfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang (dikenal dengan sustainable development concept yang dipopulerkan oleh Brudlant Commission, 1987). Latar belakang pemikiran para ahli di atas, terkait dengan jangkaun pemikiran manusia yang umumnya bersifat jangka pendek (short-time thinking) terhadap sumberdaya alam dan lingkungan apabila dikaitkan dengan ruang dan waktu. Jika berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang mendesak, maka produk barang dan jasa yang dihasilkan berkecenderungan hanya diukur (valuation) apabila mempunyai nilai pasar secara langsung (salah satu kelemahan kaum pengikut Adam Smith dengan mekanisme pasarnya) yang sering tidak mencerminkan harga sebenarnya (real prices).



Laporan Akhir



5



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Harga



Benefit/ Cost



S1



MSC = MPC + Ext



Social Cost



P1



MPC S0



P0



Q-Sosial



Q-Swasta



Gambar 2.1. Perbedaan Harga Mencermati Gambar 2.1, terlihat bahwa “kelalaian” manusia dalam menilai sumberdaya alam dan lingkungan akan memberikan “kemudaratan sosial” atau diistilahkan sebagai social cost yang pada akhirnya akan dirasakan oleh manusia. Social cost pada hutan mangrove timbul dari terjadinya degradasi hutan setiap tahunnya. Mengingat manfaat dan fungsi ekosistem hutan mangrove sangat penting bagi kehidupan manusia dan biota lainnya, maka salah satu tindakan nyata dan perlu dilakukan sesegera mungkin adalah “mulai belajar” menilai manfaat dari ekosistem hutan mangrove secara keseluruhan, baik yang sifatnya ternilai oleh pasar (tangible) dan tak ternilai oleh mekanisme pasar (intangible). Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan mangrove didekati dengan menggunakan konsep penilaian ekonomi total (total economic valuation) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak berguna secara langsung (non use value) yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Nilai ekonomi total (total economic value = TEV) merupakan jumlah dari nilai pemanfaatan (use value = UV) dan nilai non pemanfaatan (non-use value = NUV). NU adalah jumlah dari nilai pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value = IUV), nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan, NUV adalah jumlah dari nilai eksistensi (existence value = XV) dan nilai warisan (bequest value = BV). Dengan demikian nilai ekonomi total dapat diformulasikan sebagai berikut: TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + ( XV + BV) Direct Use Value (DUV) terdiri dari yang ekstraktif dan non ekstraktif. Nilai guna langsung ekstraktif adalah nilai ekonomi yang diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan kepada berbagai kegiatan ekonomi, seperti: pertanian, pertambangan, kehutanan dan perikanan. Nilai guna langsung non ekstraktif adalah nilai ekonomi sumberdaya alam yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan secara langsung, misalnya kegiatan wisata alam di kawasan hutan.



Laporan Akhir



6



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Indirect Use Value (NUV) yakni nilai ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan sebagai pengatur tata air, iklim mikro dan pencegah erosi. Seringkali NUV diabaikan karena tidak langsung dapat dirasakan sebagai manfaat ekonomi.



NILAI EKONOMI TOTAL Nilai-nilai Manfaat



Nilai-nilai Manfaat Langsung



Luaran-luaran yang dapat dikonsumsi secara langsung



∗ ∗ ∗ ∗



Nilai-nilai Manfaat Tidak Langsung



Nilai-nilai Pilihan



Keuntungankeuntungan fungsional



∗ Makanan Biomassa Rekreasi kesehatan



Nilai-nilai Tidak Dimanfaatkan



∗ ∗



Fungsi-fungsi ekologi Kontrol banjir Perlindungan dari badai



∗ ∗



Nilai-nilai Yang Diminta



Nilai-nilai manfaat langsung dan tidak langsung mendatang



Nilai manfaat tempat tinggal dan nilai-nilai tidak dimanfaatkan untuk anak cucu



Keanekaragaman hayati Habitat-habitat yang dikonservasi



∗ habitat ∗ Perubahanperubahan yang tidak dapat dirubah lagi



Nilai-nilai Kehidupan



Nilai pengetahuan kehidupan yang berlanjut, misalnya didasarkan pada keyakinan moral



∗ habitat ∗ jenis-jenis yang terancam



Kedapatan untuk dihitung manfaat individu makin kecil



Gambar 2.2. Kategori Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan Mangrove (Dimodifikasi, Pierce, 1992 dalam Munasinghe, 1993) Non Use Value (NUV) merupakan nilai ekonomi yang diperoleh masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan, akan tetapi dengan pertimbangan tertentu tidak dimanfaatkan secara langsung. Ada dua kategori utama nilai ini: (i) Existence Value (XV), yakni nilai yang menyangkut kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan suatu kawasan konservasi dapat memberikan manfaat, misalnya untuk kepentingan kebudayaan yang diwujudkan berupa hutan adat dan lubuk larangan dan (ii) Bequest Value (BV), yakni manfaat yang diterima oleh masyarakat saat ini dengan cara melindungi suatu kawasan tertentu sehingga generasi mendatang dapat menikmati dan memanfaatkannya. Nilai pilihan (option value = OV) adalah nilai pilihan masyarakat yang berupa penundaan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada dengan



Laporan Akhir



7



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



alasan bahwa masih dibutuhkan teknologi masa depan untuk suatu pemanfaatan yang bernilai lebih tinggi. Misalnya, pemanfaatan air terjun untuk penyediaan air bersih dengan menggunakan teknologi gravitasi. (1) Pendekatan Penilaian Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove di lokasi kegiatan digunakan pendekatan non kurva permintaan (non demand curve approach). Turner (1994) menjelaskan bahwa pendekatan non kurva permintaan meliputi beberapa pilihan pendekatan, antara lain: dosis-respon (the dose-response), biaya penggantian (replacement cost), Perilaku mencegah (mitigation behavior) dan biaya kesempatan (opportunity cost) . a. Dosis-respon (The Dose-response). Pendekatan didasarkan pada gagasan bahwa bagi kebanyakan aktivitas, kualitas lingkungan bisa dianggap sebagai suatu faktor produksi. Pendekatan ini mengestimasi hubungan dosis respon, yaitu antara tingkat polusi dan dampaknya terhadap bahan-bahan tertentu, misalnya dampak kualitas air terhadap produktivitas pertanian, perikanan, industri, dan sebagainya. b. Biaya



penggantian



(Replacement



cost).



Penilaian



berdasarkan



biaya



penggantian atau pemulihan aset (sumberdaya) yang mengalami degredasi. Misalnya, erosi tanah didekati dengan biaya pembuatan berbagai prasarana/bangunan untuk mencegah erosi. c. Perilaku mencegah (Mitigation behavior). Penilaian didasarkan kepada biaya untuk menghindari/mencegah. Misalnya biaya untuk membangun tanggul dan banunan lainnya untuk mencegah terjadinya banjir karena hutan telah rusak/gundul. d. Biaya kesempatan (opportunity cost). Pendekatan ini tidak melakukan penilaian manfaat lingkungan. Penilaian didekati dari biaya pengadaan Selain ke-empat pendekatan di atas, juga digunakan pendekatan lainnya seperti yang disampaikan oleh Krieger (2001). Pendekatan-pendekatan ini meliputi: pengeluaran untuk mempertahankan atau mencegah (defensive or averting expenditures), transfer manfaat (benefit transfer), nilai komersial (commercial value), pengeluaran kotor (gross expenditures) dan dampak ekonomi (economic impact). a.



Pengeluaran untuk mempertahankan atau mencegah (Defensive or averting expenditures). Pendekatan ini biasanya digunakan untuk menilai pengeluaran untuk mempertahankan atau menghindari kehilangan jasa ekosistem melalui penggunaan teknologi tertentu. Ukuran nilai yang diperoleh bukan berkenaan dengan surplus konsumen, karena hanya menghitung pengeluaran aktual



Laporan Akhir



8



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



(bukan maksimum kesediaan membayar/willingness to pay = WTP). Dengan demikian pendekatan ini cenderung memberikan nilai ekosistem yang lebih rendah. a. Transfer manfaat (benefit transfer). Pendekatan dilakukan dengan menggunakan nilai sumberdaya ekosistem di suatu lokasi tertentu untuk digunakan menghitung nilai sumberdaya di tempat lain. Validitas nilai yang diperoleh jika menggunakan pendekatan ini sangat tergantung pada kualitas perhitungan yang telah dilakukan serta kesamaan karakteritik dari sumberdayalingkungan yang dinilai. Pendekatan benefit transfer telah digunakan secara luas karena relatif mudah dan memerlukan anggaran yang besar dalam penerapannya. b. Nilai komersial (Commercial value). Pendekatan dilakukan dengan menggunakan data harga barang pasar (market price), misalnya untuk menghitung nilai ekosistem hutan, maka digunakan harga kayu komersial yang ada di kawasan tersebut. Namun, ukuran ini hanya parsial karena nilai ekosistem kawasan hutan hanya dinilai dari produksi kayunya saja dan mengabaikan nilai yang lainnya. c. Pengeluaran kotor (Gross expenditure). Pendekatan yang sering digunakan berkaitan dengan kegiatan wisata atau rekreasi dilakukan dengan menghitung total pengeluaran yang dilakukan oleh pengunjung. misalnya untuk transportasi, peralatan dan bahan-bahan lainnya. Pengeluaran bersih hanya memberikan indikasi akan pentingnya aktivitas tersebut, tetapi tidak mengukur nilai ekonomi sebagaimana yang dimaksudkan sebagai surplus konsumen. Pendekatan ini juga tidak mengestimasi kurva permintaan dan maksimum WTP. d. Dampak Ekonomi (Economic impact). Pendekatan dilakukan dengan memperhitungkan dampak langsung dari suatu kegiatan terhadap perekonomian setempat (local economy). Misalnya, nialai ekonomi suatu hutan wisata adalah pengeluaran pengunjung untuk makanan, penginapan, air dan keperluan lainnya yang berdampak kepada pendapatan, keuntungan, lapangan kerja dan penerimaan pajak. Pendekatan ini hanya mengindikasikan adanya dampak kegiatan terhadap perekonomian setempat, tetapi tidak mengukur nilai ekonomi sebagaimana dimaksudkan surplus konsumen. Beberapa hasil penelitian mengenai nilai manfaat ekonomi dari eksositem mangrove secara keseluruhan (total ecosystem) yang dilakukan oleh Hamilton dan Snedaker (1984) di Trinidad Tobago dan Puerto Rico, masing-masing sebesar US$ 500 /ha/tahun dan US$ 1550 /ha/tahun. Sementara untuk nilai dari ekosistem mangrove yang sifatnya parsial dilakukan olleh Christensen, 1982 (manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove sebagai pengendali banjir di Malaysia sebesar US $ 1.701 /ha/tahun dan habitat untuk nursery di Thailand sebesar US $ 142.64 ha/thn), Green



Laporan Akhir



9



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



dan Soderqvist, 1994 (manfaat mangrove untuk perikanan komersial di Indonesia sebesar US $ 17.30 ha/thn), Ruitenbeek, 1988 (manfaat perikanan tradisional sebesar US $ 15,88 /ha/thn, Dugan, 1990 (manfaat arang di Malaysia sebesar US $ 222.83 /ha/thn, sedangakan nilai kayu sebesar US $ 233,19 ha/thn) serta Hamilton dan Snedaker, 1984 (fungsi ekosistem mangrove untuk di Trinidad Tobago sebesar US $ 285,57 ha/thn dan di Puerto Rico sebesar US $ 909 ha/thn). (2) Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove Hutan mangrove dicirikan oleh adanya formasi hutan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan kondisi tanah yang anaerobik. Nontji (1987) dalam Dahuri (1998) menyatakan bahwa komunitas mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi didunia dengan 89 spesies tumbuhan (35 spesies pohon, 9 spesies perdu, 16 spesies liana, 29 spesies epifit, 80 spesies crustacea, 65 spesies moluska, dan 2 spesies parasitik. Secara biologis dalam keadaan alami, tumbuhan mangrove merupakan sumberdaya utama pada lahan pesisir yang membentuk komunitas ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan karena tumbuhan berada pada tingkat paling bawah dari piramida makanan pada ekosistem tersebut. Sebagai salah satu bentuk ekosistem lahan basah, ekosistem mangrove (selain padang lamun) merupakan habitat bagi berbagai spesies, terutama bagi jenis-jenis hewan terestrial. Ekosistem hutan mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sediman (trap sediment) dan menghalangi erosi sehingga dapat melindungi terumbu karang dan sedimentasi. Fungsi lainnya, yaitu sebagai pelindung wilayah pesisir dari kerusakan yang ditimbulkan oleh ombak dan badai. Keberadaaan ekosistem mangrove sebagai habitat bagi larva dan juwana berbagai jenis hewan pada eksositem laut dangkal, maka secara langsung memiliki keterkaitan (linkages) dengan kualitas dan kuantitas sumberdaya ikan dan biota lainnya. Dalam hubungan tersebut, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1977) memperlihatkan korelasi yang cukup berarti antara luas hutan mangrove dengan produksi udang. Demikian pula dengan hasil penelitian Tahun 1991 dalam Ruitenbeek (1995) menunjukkan bahwa manfaat tradisional hutan mangrove di teluk Bintuni (perikanan, perburuan, dan pengumpulan produk) oleh penduduk setempat bernilai US $ 10 juta per tahun. Hasil penelitian di atas dapat membuat suatu premise bahwa ekosistem mangrove bukan suatu “lahan yang tidak berguna” (waste land), tetapi merupakan ekosistem yang produktif dengan karakteristik keanekaragaman flora dan fauna, memiliki fungsi ekologis, dan fungsi sosial ekonomis dalam menunjang sistem kehidupan dari beribu-beribu masyarakat di sekitar kawasan pesisir (perkiraan saat ini ± 60% dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir).



Laporan Akhir



10



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Mencermati manfaat yang dapat dihasilkan dari ekosistem mangrove, Camillle Bann (1999) mencoba membaginya kedalam 3 domain, yaitu: (i) fungsi produksi yang berkelanjutan, (ii) fungsi pengatur lingkungan, dan (iii) fungsi Informasi. Dalam terminologi yang sifatnya holistik, ekosistem hutan mangrove juga memiliki “keunikan” dan berfungsi secara sosial dan ekonomi. Klasifikasi manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Fungsi dan Manfaat Lingkungan Ekosistem Mangrove A. Fungsi Produksi Berkelanjutan 1. Kayu bakar 2. Arang 3. Ikan 4. Udang 5. Tanin 6. Nipa 7. Obat-obatan 8. Perburuan tradisional, penangkapan d d k 9. ik Sumberdaya genetikl B. Sosial Ekonomi/ Fungsi Konversi 1. Industri dan penggunaan lahan 2. Tambak 3. Usahatani padi 4. Habitat bagi penduduk asli 5. Tempat rekreasi



C. Fungsi Pembawa dan Pangatur 1 Pengendali erosi 2 Penyerap dan recycle limbah manusia d l lbiodiversity i 3 Memelihara 4 5 6 7 8



Tempat migrasi habitat Tempat pemijahan dan pembibitan Supplai unsur hara (nutrient) Regenerasi nutrien Melindungi dan memelihara terumbu k



D. Fungsi Informasi 1 Informasi religius dan spiritual 2 Inspirasi artistic dan budaya 3 Informasi pendidikan, sejaran dan b il h



Manfaat dan fungsi dari ekosistem mangrove sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.1 dapat bertambah atau berkurang dalam suatu wilayah menurut tingkat pemanfaatannya. Artinya, manfaat dari sumberdaya hutan mangrove hanya akan dapat diketahui dan dirasakan kepentingannya apabila masyarakat mengetahui fungsi dan manfaat tersebut secara langsung (ada ketergantungan). 2.1.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove (SDHM) di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UndangUndang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Secara lebih operasional kebijakan pengelolaan hutan mangrove diatur dalam Peraturan Pemerintah No.06 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Nilai ekonomi-sosial dan nilai ekologi SDHM sampai saat ini belum teridentifikasi secara memadai, baik pada kawasan hutan maupun non kawasan hutan. Di lain



Laporan Akhir



11



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



pihak, tingkat pemanfaatan SDHM terus berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat dan pasar. Dengan demikian kajian terhadap Nilai dan Manfaat SDHM tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. Inventarisasi dan Identifikasi terhadap Nilai Manfaat Sumberdaya Hutan Mangrove, baik yang telah dimanfaatkan (kayu dan turunannya, makanan/minuman, wisata alam, biota air, dan sebagainya) maupun yang belum dimanfaatkan (proses ekologis, karbon, keanekaragaman hayati flora dan fauna, dan sebagainya) perlu dilakukan untuk mengetahui posisi data informasi terkini tentang: (i) luas dan status kawasan, (ii) potensi dan distribusi SDHM, (iii) dayadukung SDHM, (iv) teknik dan proses produksi yang telah dilakukan atau yang dapat dilakukan, (v) pemasaran dan harga pasar, (vi) biaya produksi, (vii) dampak negatif dan positif yang ditimbulkan, (viii) legalitas pemanfaatan, (ix) kelembagaan pengelolaan dan permodalan serta (x) persepsi dan peranserta masyarakat lokal dalam kegiatan pemanfaatan SDHM. Gambaran nilai dan manfaat SDHM dapat diperoleh dengan melakukan analisis terhadap penilaian ekonomi total. Data dan informasi hasil analisis ini sangat berguna dalam mengatahui seberapa tinggi dan komponen SDHM yang mana memberikan kontribusi pada nilai ekonomi total serta untuk mengetahui Nilai ekonomi total langsung (Direct Value). nilai tidak langsung (Indirect value), nilai manfaat pilihan (Option value) dan non use value SDHM pada suatu lokasi. Selanjutnya hasil penilaian TEV dapat digunakan untuk melakukan analisis kelayakan pemanfaatan bagi setiap jenis komoditas SDHM pada setiap lokasi yang didasarkan atas: (i) kelayakan teknis pemanfaatan, (ii) kelayakan ekologis, (iii) kelayakan ekonomi/finansial dan (iv) kelayakan sosial/kelembagaan. Keterpaduan hasil analisis akan direkomendasikan sebagai hasil penilaian kelayakan pemanfaatan komoditas sumberdaya hutan mangrove, yang selanjutnya disusun strategi pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove secara berkelanjutan.



Laporan Akhir



12



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Sumberdaya Hutan Mangrove



PENGELOLAAN



NILAI DAN MANFAAT SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE



Nilai EKONOMI-SOSIAL



Nilai EKOLOGI



INVENTARISASI & IDENTIFIKASI ANALISIS



Sumberdaya Hutan Mangrove yang Telah Dimanfaatkan



Sumberdaya Hutan Mangrove yang Potensial/ Belum dimanfaatkan



DATA & INFORMASI 1. 2. 3. 4. 5.



Luas dan Status, distribusi Potensi/Volume Daya dukung Proses Produksi Pemasaran dan Harga



6. Legalitas 7. Kelembagaan 8. Sosek masyarakat 9. Persepsi dan peranserta masyarakat



ANALISIS



Penilaian Ekonomi



ANALISIS KELAYAKAN PEMANFAATAN TIDAK



YA STRATEGI PENGEMBANGAN PEMANFAATAN Gambar 2.3. Kerangka Pendekatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Laporan Akhir



13



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



2.2. LOKASI KEGIATAN Kegiatan Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove dilaksanakan pada empat (4) lokasi, yaitu: (1) Denpasar, Provinsi Bali dengan fokus pemanfaatan jasa ekowisata; (2) Batu Ampar, Provinsi Kalimantan Barat, dengan fokus pada pemanfaatan arang; (3) Subang (Jawa Barat) dan atau Pemalang (Jawa Tengah), dengan fokus pada pemanfaatan tambak silvofishery (bandeng, udang, kepiting, dan lain-lain); serta (4) Cilacap, Provinsi Jawa Tengah, dengan fokus pada manfaat ekologi. Keempat lokasi studi diharapkan dapat memberikan gambaran yang mampu mewakili berbagai pemanfaatan SDHM di Indonesia, baik dalam aspek ekonomisosial maupun aspek ekologi.



2.3. SISTEMATIKA PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA 2.3.1. Alat dan Perlengkapan Alat yang digunakan dalam pengambilan data pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove antara lain: peta administrasi, GPS, kompas, meteran gulung (30 m), daftar kuesioner, tape recorder, kamera digital dan alat tulis (pensil, penghapus, kertas, kertas milimeter block, kertas kalkir, rapido). Perlengkapan yang dipersiapkan untuk penelitian yang digunakan sesuai kebutuhan merupakan personal use yang terdiri dari: sepatu boot, ransel, jas hujan, topi lapang, kaos, life jacket, payung, dan lain-lain. 2.3.2. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data untuk kepentingan analisis sesuai dengan kerangka pendekatan yang telah diuraikan di atas, terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dan sekunder ini memiliki keterkaitan antara yang satu dengan lainnya serta bersifat saling melengkapi dan mendukung. Pengumpulan data primer SDHM dilakukan dengan uji petik guna mengecek langsung kondisi sumberdaya di lapang (potensi) dan pemanfaatannya, mendokumentasikan (gambar/foto), mengidentifikasi dan menginventarisir pemanfaatan SDHM. Metode yang digunakan berupa pengamatan langsung, wawancara, dan diskusi dengan masyarakat, pelaku usaha, dan unit manajemen. Wawancara dengan para pihak ini dilakukan untuk memperoleh data jenis, jumlah yang dimanfaatkan, volume produksi, komponen biaya, harga, teknik pemanfaatan dan pengolahan, pemasaran, serta permasalahan pemanfaatan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kompilasi data/laporan/buku di instansi/pihak-pihak yang pernah atau sedang melakukan kajian/penelitian di lokasi kajian. Sistematika jenis dan metode pengumpulan data SDHM disajikan pada Tabel 2.2.



Laporan Akhir



14



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Tabel 2.2 Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis Data



Sumber Data



Teknik Pengumpulan Data



A. Primer 1. Jenis SDHM yang sudah dan potensial dimanfaatkan (a) kayu (b) bahan makanan dan minuman (c) biota darat (d) biota air (e) jasa lingkungan (f) wisata, (g) tumbuhan obat/farmasi (h) getah (i) sosial budaya (j) lainnya 2. (a) (b) (c) (d) (e)



Unit manajemen, masyarakat lokal, pejabat pemerintah daerah, pelaku usaha dan stakeholder lain terkait.



Pengamatan lapang, wawancara dan diskusi



Kuantifikasi sumberdaya luas dan status kawasan jumlah/volume sumberdaya jumlah pelaku usaha komponen biaya teknologi pemanfaatan



3. Data pendukung (a) RTR dan TGHK (b) aksesbilitas kawasan, (c) kelembagaan dalam pemanfaatan SDHM (d) peranserta dan persepsi masyarakat dalam pemanfaatan SDHM (e) legalitas pemanfaatan, harga dan pemasaran SDHM



B. Sekunder 1. Sebaran SDHM yang sudah dan potensial untuk dimanfaatkan. 2. Status dan permasalahan pemanfaatan SDHM 3. Teknik pemanfaatan dan pengolahan SDHM 4. Sarana dan fasilitas produksi 5. Pemasaran,. 6. Kependudukan, sosial, ekonomi, dan kelembagaan



Instansi pemerintah daerah dan pemerintah pusat, LIPI, Bakosurtanal, JICA, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat berbasis riset, dan instansi lainnya.



Studi pustaka



2.3.3. Metode Analisis Data (1) Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan tentang kondisi dan potensi sumberdaya hutan mangrove (potensi kayu, daya dukung, potensi biota air, wisata



Laporan Akhir



15



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



alam dan jasa lingkungan lainnya, proses produksi, pemasaran dan harga, kelembagaan dan legalitas, efektifitas pengelolaan serta persepsi dan peran serta masyarakat lokal). Beberapa perhitungan dilakukan dengan metoda statistik, seperti: perhitungan potensi kayu, produksi arang, produksi biota air dan daya dukung SDHM. (2) Analisis Valuatif Metode analisis data pemanfaatan sumberdaya yang umum digunakan adalah analisis valuatif berdasarkan pada pendekatan total nilai ekonomi (TEV) . Metode analisis valuatif digunakan untuk melakukan kuantifikasi nilai ekonomi SDHM yang telah dimanfaatkan dan potensial untuk dimanfaatkan. Nilai hasil kuantifikasi dalam unit rupiah dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tingkat awareness masyarakat terhadap nilai sumberdaya. Nilai yang diperoleh dapat dijadikan acuan sebagai nilai harapan pengembangan manfaat ekonomi ke depan. Nilai tersebut juga merupakan acuan dalam analisis biaya-manfaat (benefit-cost analysis) dari perspektif TEV. Analisis valuatif dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu: (i) identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi SDHM, (ii) Kuantifikasi fungsi dan manfaat ke dalam nilai uang dan (iii) Valuasi nilai manfaat SDHM. a. Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi SDHM Untuk keperluan valuasi perlu diketahui jenis-jenis fungsi dan manfaat sumberdaya hutan mangrove. Jenis-jenis sumberdaya hutan mangrove telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya. Berdasarkan pada jenis sumberdaya hutan mangrove, maka dilakukan pengelompokan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan mangrove ke dalam nilai penggunaanya, yaitu: (1) Nilai penggunaan langsung (direct-use value = DUV) yang merupakan nilai barang dan jasa SDHM yang digunakan langsung oleh manusia, seperti: kayu komersial, arang, tiang pancang, kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang, untuk konstruksi, tanaman obat-obatan, dan lain-lain; (2) Nilai penggunaan tidak langsung (indirect-use value = IUV) merupakan manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat dari SDHM secara tidak langsung, seperti: manfaat ekologis sebagai pencegah abrasi, penahan intrusi, penahan gelombang/rob, penahan angin/windsbreak, akresi/ penambahan lahan, penetral toksik, penyerap karbon, dan lain-lain; (3) Nilai penggunaan pilihan (option value = OV) diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang; serta (4) Nilai bukan penggunaan (non-use value = NUV) berupa manfaat yang dapat dinikmati manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan



Laporan Akhir



16



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



lingkungan mangrove yang terdiri dari manfaat keberadaan (existence value) dan manfaat warisan (bequest value). b. Kuantifikasi fungsi dan manfaat ke dalam nilai uang Kuantifikasi merupakan suatu proses mengekspresikan manfaat yang telah diidentifikasi ke dalam satuan fisik (physical units), misalnya: luas areal, jumlah/ volume produksi, dan sebagainya. Proses kuantifikasi ini merupakan tahap yang paling krusial dalam menentukan nilai suatu manfaat sumberdaya hutan mangrove. c. Valuasi nilai manfaat SDHM Dilakukan valuasi masing-masing fungsi dan manfaat dari berbagai jenis SDHM. Valuasi dilakukan dengan berbagai teknik yang disesuaikan dengan ketersediaan data dan bantuk manfaat sumberdaya bersangkutan. (1) Pendekatan Pasar Teknik nilai pasar akan digunakan untuk komoditas-komoditias yang langsung dapat diperdagangkan dari eksositem kawasan hutan mangrove, misalnya arang, kayu bakau, ikan, kepiting dan hasil hutan bukan kayu lainnya. Teknik nilai pasar ini sebagian besar akan digunakan untuk menghitung manfaat langsung. (2) Pendekatan Non-Pasar (i) Contingent Valuation (CV) Teknik Penilaian Kontingensi (Contingent Valuation Technique) dilakukan melalui survei yang menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas bukan pasar (non market). Cara ini sering digunakan untuk menilai pilihan atau keberadaan suatu fungsi sumberdaya alam. Pada Contingent Valuation, masing-masing orang ditanya apakah bersedia membayar untuk barang dan jasa ekosistem mangrove. Pada pelaksanaan studi digunakan kuesioner untuk mewawancarai responden dengan target para responden dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi barang dan jasa lingkungan non market. Berbagai respon dari suatu sampel yang representatif menyediakan informasi yang diperlukan untuk menduga permintaan dan nilai ekonomi. (ii) Preventive Expenditure Teknik Biaya Pencegahan (Preventive Expenditure Technique) untuk memperoleh nilai barang-barang dan jasa lingkungan mangrove dengan menduga biaya pencegahan kerusakan manfaat barang-barang dan jasa tersebut yang disediakan oleh suatu kawasan. Teknik ini digunakan untuk menghitung nilai guna tidak langsung hutan mangrove.



Laporan Akhir



17



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



(iii) Benefit Transfer Pendekatan transfer manfaat (benefit transfer) dilakukan dengan menggunakan nilai barang dan jasa ekosistem mangrove yang sudah dihitung di suatu lokasi yang lain. Validitas nilai yang diperoleh diupayakan secara maksimal dengan cara menjaga kualitas perhitungan yang telah dilakukan serta kesamaan karakteritik dari sumberdaya lingkungan yang dinilai. Perhitungann nilai jasa lingkungan penyerap karbon menggunakan formula sebagai berikut: Nilai penahan abrasi = Panjang Pantai Mangrove x Faktor konversi x Rp 3 milyar/1km Nilai penyerapan CO2 = Potensi serapan CO2 x harga CO2 (harga CO2 US$15/ton)



(3) Analisis Kelayakan Pemanfaatan Berdasarkan pada hasil kuantifikasi manfaat dan biaya pada pemanfaatan SDHM maupun yang potensial untuk dimanfaatkan, maka untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha pamanfaatan maupun potensi pemanfaatan dilakukan Analisis Kelayakan Pemanfaatan, yang meliputi: (i) analisis finansial, (ii) analisis kelayakan teknis, (iii) analisis sosial/kelembagaan.



kelayakan



ekologi



dan



(iv)



analisis



kelayakan



a. Kelayakan Finansial (1) Prosedur Analisis Finansial, meliputi: (i) Pengukuran sumberdaya (barang dan jasa) dalam bentuk nilai moneter, yang merupakan ringkasan manfaat dan biaya berkenaan dengan skema pengelolaan (pemanfaatan) yang dibuat; (ii) Analisis finansial dalam upaya menentukan pilihan pemanfaatan yang paling efisien, optimal dan memberi keuntungan maksimal; (iii) Mempersiapkan rekomendasi kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan SDHM. (2) Penggunaan ukuran kelayakan dan kriteria yang digunakan Kriteria kelayakan yang digunakan dalam suatu kegiatan pemanfatan, antara lain: Net Present Value (NPV) atau Nilai Sekarang Bersih, Internal Rate of Return (IRR) atau Tingkat Pengembalian Internal dan Benefit Cost Ratio (B/C) atau Rasio Biaya–Manfaat. Ketiga ukuran ini memiliki kelebihan karena tidak mempermasalahkan sama sekali dalam hal apa perhitungan dilakukan. Dengan demikian, ukuran ini dapat mengakomodir perhitungan terhadap



Laporan Akhir



18



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



manfaat dan biaya pemanfaatan SDHM di tingkat masyarakat, pelaku usaha dan unit manajemen. (i) Net Present Value (NPV), adalah ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan dari suatu kegiatan alih fungsi lahan. NPV dihitung dengan terlebih dahulu mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan nilai sekarang dari arus biaya. Formulanya sebagai berikut : t=n Bt - Ct



NPV =



∑ ----------



t=1 ( 1+r ) t Bt adalah benefit kegiatan alih fungsi lahan tiap tahun, Ct merupakan biaya tiap tahun, r adalah suku bunga, t adalah tahun 1, 2,...,n dimana n jumlah tahun. Kriteria formal yang digunakan, jika NPV positif, maka kegiatan ekonomi layak dilakukan, sebaliknya jika NPV negatif, maka kegiatan ekonomi tidak layak dilakukan. (ii) Internal Rate of Return (IRR), merupakan ukuran tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi untuk sumberdaya yang digunakan karena kegiatan ekonomi membutuhkan dana lagi untuk biayabiaya operasi dan investasi dan kegiatan ekonomi baru sampai pada tingkat pulang modal. IRR merupakan ukuran kemanfaatan kegiatan ekonomi/proyek yang sangat berguna. Formula yang digunakan sebagai berikut: Bt - Ct ∑ ----------- = 0 t=1 ( 1+r )t t=n



IRR =



Kriteria formal yang digunakan, jika IRR = 0, berarti pada tingkat bunga berlaku kegiatan ekonomi dapat mengembalikan kapital dan biaya operasi yang dikeluarkan. IRR dalam analisis finansial menyatakan “tingkat pengembalian finansial” kegiatan ekonomi. (iii) Benefit Cost Ratio (B/C), merupakan ukuran kemanfaatan proyek yang berdiskonto, dengan membandingkan nilai sekarang arus manfaat (B) dengan nilai sekarang arus biaya (C). Formula B/C adalah sebagai berikut: t=n



Bt



∑ --------



t=1 ( 1+r ) t B/C = ---------------t=n Ct ∑ -------t=1 ( 1+r )t



Laporan Akhir



19



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Kriteria formal yang digunakan, jika nilai B/C>1, maka kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan karena akan memberikan keuntungan. Pelaksanaan studi sangat memperhatikan prinsip-prinsip penerapan analisis finansial dan analisis ekonomi dalam mengevaluasi kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove. Benefit (B) pada analisis finansial, merupakan pendapatan dari pemanfaatan SDHM oleh masyarakat atau swasta, sedangkan pada analisis ekonomi meliputi pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove ditambah dengan manfaat sosial yang dihasilkan dari ekosistem mangrove. Cost (C) pada analisis finasial meliputi semua biaya yang berkaitan dengan aktivitas pemanfaatan SDHM, mulai dari perencanaan sampai dengan penjualan hasil. Pada analisis ekonomi dimasukkan biaya eksternalitas (biaya imbangan) sehubungan dengan adanya aktivitas pemanfaatan SDHM. Namun dalam analisis ekonomi, pajak tidak termasuk biaya karena pajak dan subsidi hanyalah transfer. (3) Penentuan suku bunga Pada analisis finansial, tingkat suku bunga atau tingkat diskonto yang digunakan adalah tingkat suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang berlaku diperbankan. Sedangkan untuk analisis ekonomi digunakan tingkat suku bunga riil (riel interest rate) dengan formula sebagai berikut:



1+ r =



1+ i atau 1+ f



r =



1+ i −1 1+ f



r adalah suku bunga riil, i suku bunga nominal dan f tingkat inflasi. Dalam analisis, seluruh manfaat dan biaya didiskontokan didasarkan atas suku bunga periode tahun dimulainya investasi dan dikenakan sejak tahun pertama kegiatan ekonomi alih fungsi lahan dilakukan. b. Kelayakan Teknis Kelayakan teknis ditentukan oleh peluang terwujudnya keberlanjutan produksi atas SDHM yang akan dikelola untuk dikembangkan, memungkinkan dilakukan budidaya, secara teknis dapat dilakukan budidaya yang menghasilkan produk barang atau jasa. Disamping itu secara teknis peluang usaha tersebut dapat dilaksanakan dengan sentuhan riset dan teknologi. c. Kelayakan Ekologis Kelayakan ekologis disyaratkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain kegiatan



Laporan Akhir



20



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



pemanfaatan SDHM, baik untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat, pelaku usaha dan unit manajemen tidak menimbulkan kerusakan lingkungan mangrove dan tetap mempertahankan fungsi ekologis ekosistem hutan mangrove. Disamping itu aspek ekologis juga dianalisis dalam kajian valuasi ekonomi sumberdaya. d. Kelayakan Sosial Budaya (Kelembagaan) Kondisi sosial budaya masyarakat di lokasi kajian (didalam dan diluar hutan mangrove) cukup bervariasi. Karakteristik sosial budaya yang dimiliki sangat penting dipertimbangkan dalam menentukan kelayakan model pengembangan ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan barang dan jasa. Kesiapan masyarakat dalam mengadopsi teknologi dan informasi, serta kemampuan ketrampilan masyarakat perlu ditelaah, agar model pengembangan ekonomi masyarakat yang akan dituangkan dalam Rancangan Pengembangan Ekonomi Masyarakat benar-benar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat lokal di lokasi studi. (4) Analisis Strategi Pengembangan Usaha Kelanjutan hasil dari serangkaian kajian data, informasi dan analisis kelayakan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove (finansial/ekonomis, teknis, ekologis, kelembagaan) adalah suatu “Rencana Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove”, yang berisi langkah-langkah pengembangan usaha sebagai petunjuk teknis bagi pengelola hutan mangrove pada masing-masing lokasi (Denpasar-Bali, Batu Ampar, Subang dan Pemalang serta Cilacap) yang dimungkinkan replikasi pada pengelolaan hutan mangrove lainnya yang memiliki kondisi sumberdaya hutan mangrove serupa. Strategi pengembangan disusun menurut lokasi, jenis kegiatan, jenis komoditi, pelaku, pasar, pola kemitraan, insentif, dalam periode tertentu dan dengan pembiayaan multipihak (pemerintah, swasta, asing, masyarakat, dan sebagainya).



Laporan Akhir



21



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove III.



KONDISI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE



3.1. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Ekowisata di Bali 3.1.1. Kondisi Umum Lokasi a. Luas dan Status Secara keseluruhan Taman Huta Raya Ngurah Rai memiliki luas 1373,5 ha dengan batas luar sepanjang 40,48 km. Letak geografis terletak antara 115o10’ – 115o15’BT dan 8o41’ – 8o47’LS. Secara administrasi pemerintahan, Tahura Ngurah Rai berada di Teluk/Tanjung Benoa dan sekitarnya pada Kabupaten Badung seluas 627 Ha dan Pulau Serangan di Kota Denpasar seluas 740,50 Ha. Sedangkan menurut pembagian administrasi pengelolaan hutan, kawasan ini terletak di wilayah RPH Prapat Benoa, Dinas Kehutanan Propinsi Bali. Desa-desa pantai yang mencakup wilayah kawasan Tahura Ngurah Rai terdiri dari 12 desa pantai pada 3 (tiga) Kecamatan, yaitu di Kabupaten Badung: Kecamatan Kuta Selatan (Desa Benoa, Tanjung Benoa, Jimbaran), Kecamatan Kuta (Desa Kedonganan, Tuban dan Kuta) dan di Kota Denpasar: Kecamatan Denpasar Selatan (Desa Pamogan, Pedungan, Sesetan, Serangan, Sidakarya, Sanur Kauh).



b. Penggunaan Lahan



Gambar. 3.1. Peta Lokasi Tahura Ngurah Rai, Bali



Berdasarkan data Badung dalam Angka Tahun 2007 dan Denpasar dalam Angka Tahun 2007, diketahui bahwa lahan di sekitar kawasan Tahura



Ngurah Rai dimanfaatkan untuk sawah seluas 719,09 hektar, tegal (huma) 2.173,6 hektar, pekarangan 4.226,09 hektar, perkebunan 1.079,12 hektar, kuburan 6,8 hektar dan penggunaan lainnya 1.859,3 hektar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.1.



Laporan Akhir



22



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Tabel 3.1. Penggunaan lahan di desa-desa pantai sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai Tahun 2007 No



Kec



A 1. 2. 3. 4. 5. 6. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Desa/ Kel



Luas (km2)



Tegal/ Huma (ha)



Sawah (ha)



Kabupaten Badung Kuta Selatan Benoa 28,28 Kuta Selatan Tj. Benoa 2,39 Kuta Selatan Jimbaran 20,5 Kuta Kedonganan 1,91 Kuta Tuban 2,68 Kuta Kuta 7,82 10,09 Kota Denpasar Denpasar Pemogan 9,71 225 Selatan Densel Pedungan 7,49 240 Densel Sesetan 7,39 15 Densel Serangan 4,81 Densel Sidakarya 3,89 97 Densel Sanur Kauh 3,86 132 Jumlah 100,73 719,09



Pekarangan Perkebu- Kuburan (ha) nan (ha) (ha)



721,77 107,46 961,68 52,69 79,03 99,97 20 11 30 75



1019,86 84,75 455,92 132,03 186,11 617,42



547,31 40,76 478,3 0,75



448



1



377 5 447 22 233 203 6 4.226,09 1.079,12



15 2.173,6



Lainlain (ha)



0,27 538,79 0,03 6 0,2 153,9 5,53 0,1 2,76 0,2 54,32 1



267



1 115 1 246 1 383 1 58 1 29 6,8 1.859,3



Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007.



c. Sosial Ekonomi dan Kependudukan Pada Tahun 2007 penduduk di sekitar Tahura Ngurah Rai berjumlah 190.952 jiwa dengan kepadatan rata-rata 2.597 jiwa/km2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Jumlah penduduk dan kepadatan pada masing-masing desa pantai di kawasan Tahura Ngurah Rai No



Kec.



A



Kabupaten Badung Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Kuta Kuta Kota Denpasar Denpasar Selatan Densel Densel Densel Densel Densel Jumlah



1. 2. 3. 4. 5. 6. B 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Desa/Kel



2



Luas (km )



Jumlah Penduduk (jiwa)



Kepadatan 2 (jiwa/km )



Benoa Tj. Benoa Jimbaran Kedonganan Tuban Kuta



28,28 2,39 20,5 1,91 2,68 7,82



19.298 4.320 22.112 5.728 13.393 9.785



682 1.808 1.079 2.999 4.999 1.251



Pemogan Pedungan Sesetan Serangan Sidakarya Sanur Kauh



9,71 7,49 7,39 4,81 3,89 3,86 100,73



28.088 19.069 39.018 2.897 15.014 12.230 190.952



2.893 2.546 5.280 602 3.860 3.168 2.597



Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007



Dari Tabel 3.2. terlihat bahwa jumlah penduduk di sekitar Kawasan Tahura Ngurah Rai cukup besar, terutama di Kelurahan Sesetan dan Pamogan (Kota Denbpasar) serta Kelurahan Jimbaran (Kabupaten Badung). Adapun kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Sesetan, Tuban dan Desa Sidakarya. Jumlah penduduk menurut agama di setiap desa yang berbatasan langsung dengan Kawasan Tahura Ngura Rai dapat dilihat pada Tabel 3.3 yang menunjukkan



Laporan Akhir



23



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove mayoritas beragama Hindu (130.210 jiwa atau 68%). Jumlah penduduk beragama lain berturut-turut: Islam (47.189 jiwa/ 25%), Kristen (4.579 jiwa/ 3%), Katholik (4.928/ 3%) dan Budha (2.059 jiwa/ 1%). Tabel 3.3. Jumlah penduduk menurut agama di desa-desa pantai Kawasan Tahura Ngurah Rai No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12



Kec. Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Selatan Kuta Kuta Kuta Denpasar Selatan Densel Densel Densel Densel Densel Jumlah



Desa/Kel Benoa Tj. Benoa Jimbaran Kedonganan Tuban Kuta Pemogan Pedungan Sesetan Serangan Sidakarya Sanur Kauh



Hindu 17.509 3.589 20.230 5.175 7.005 7.750 13.686 14.984 21.643 2.389 7.737 8.513 130.210



Budha 232 99 16 21 72 330 43 76 612 550 8 2.059



Islam 1.158 565 1.435 302 5.025 1.134 13.140 3.183 12.868 494 4.584 3.301 47.189



Katholik Kristen Jumlah 399 19.298 67 4.320 322 109 22.112 122 118 5.728 617 677 13.398 258 313 9.785 586 633 28.088 222 604 19.069 1.445 2.450 39.018 14 2.897 737 1.406 15.014 139 269 12.230 4.928 6.579 190.957



Sumber: BPS Kab Badung dan Kota Denpasar, 2007



Jenis pekerjaan masyarakat di sekitar Kawasan Tahura Ngurah Rai bervariasi. Pada umumnya masyarakat bekerja di sekotar jasa karena banyak peluang berusaha dan bekerja di sektor luar pertanian, seperti jasa pariwisata, perkantoran, industri kerajinan dan jasa kepelabuhan. Jenis pekerjaan masyarakat yang lain diantaranya: petani, peternak, pedagang, PNS/TNI/ABRI, nelayan, dan lain-lain. Dilihat dari kegiatan sosial budaya keagamaan/adat, beberapa lokasi pada kawasan tahura terdapat pura, vihara, tempat ibadah, dan kuburan. Aktivitas kegiatan keagamaan yang ada tergantung dari pemeluk agama yang berada di perbatasan desa-desa pantai di sekitar hutan mangrove. Kesehatan masyarakat yang berada di sekitar Tahura Ngurah Rai dapat digolongkan kedalam desa maju dengan tingkat pelayanan kesehatan yang relatif baik. Kondisi sarana kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Kondisi Sarana Kesehatan di sekitar kawasan Tahura Ngurah Rai No 1. 2. 3. 4. 5. 6



Sarana Kesehatan Rumah sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Posyandu Rumah Sakit Bersalin Praktek Dokter



Jumlah Kec. Kuta 2 2 3 45 n.a n.a.



Kec. Denpasar Selatan n.a. 3 10 14 4 39



Sumber: Badung dan Denpasar dalam Angka 2007



Laporan Akhir



24



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 3.1.2. Keanekaragaman Hayati (Flora dan Fauna) Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang mewakili jenisjenis mangrove yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Jenis-jenis yang dominan meliputi jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata), Api-api (Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Jenis-jenis mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Komposisi jenis Flora mangrove di Tahura Ngurah Rai No



Nama Lokal



Nama Spesies



Kategori



1



Prapat



Sonneratia alba



True Mangrove



2



Bakau putih



Rhizophora apiculata



True Mangrove



3



Api-api



Avicennia marina



True Mangrove



4



Teruntun



Aegiceras corniculatum



True Mangrove



5



Bakau



Rhizophora mucronata



True Mangrove



6



Tanjang merah



Bruguiera gymnorrhyza



True Mangrove



7



Lindur



Ceriops tegal



True Mangrove



8



Banang-banang



Xylocarpus granatum



True Mangrove



9



Nyamplung



Callophyllum inophyllum



Mangrove Associate



10



Biduri



Calotropis gigantea



Mangrove Associate



11



Dadap laut



Clerodendrum ineme



Mangrove Associate



12



Kayu badak



Cerbera manghas



Mangrove Associate



13



Akar tuba



Derris trifoliata



Mangrove Associate



14



Basang siap



Finlaysonia maritima



Mangrove Associate



Sumber: Rencana pengelolaan Tahura Ngurah Rai Tahun 2007



Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki keanekaragaman jenis satwa liar seperti burung, reptilia dan amphibia, yang tinggi. Jumlah jenis burung yang ditemukan di Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili. Komunitas burung di kawasan ini didominasi oleh jenis-jenis burung air seperti: Pecuk padi belang, pecuk ular asia, cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, blekok sawah, kowak malam kelabu, belibis batu, gajahan besar, trinil semak, kuntul perak, dan raja udang. Selain burung, sering ditemukan juga jenis reptil, yaitu: biawak, kadal, ular bakau. Biawak dengan ukuran tubuh cukup besar, tidak banyak ditangkap oleh masyarakat dan tidak umum dimanfaatkan sebagai makanan, sehingga keberadaan satwa ini cukup berlimpah. Ular cincin emas / Ceningkih hidup di dalam perairan payau hutan mangrove, ditemukan cukup berlimpah, dengan warna gelap dan tidak berbisa. Selain itu juga dijumpai jenis labi-labi atau bulus di kawasan mangrove yang berbatasan dengan persawahan dan sungai-sungai kecil.



Laporan Akhir



25



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 3.1.3. Permintaan Ekowisata Permintaan wisata merupakan ekspresi dari keinginan dan harapan serta tingkat kepuasan yang diperoleh sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk kunjungan wisata pada suatu lokasi dan obyek wisata tertentu, yang dilandasi atas pengetahuan dan pengalaman pribadi setiap pengunjung. Untuk mengetahui permintaan wisata pada suatu lokasi rencana pengembangan wisata maka dapat dilakukan dengan pendekatan studi permintaan. a. Jumlah dan Potensi Pengunjung Lokasi dan obyek wisata Tahura Ngurah Rai telah dikenal oleh masyarakat luas, baik masyarakat setempat maupun dari luar Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, bahkan oleh wisatawan mancanegara. Tabel 3.6 menunjukkan kondisi pengunjung Tahura Ngurah Rai. Tabel 3.6. Jumlah dan Asal Pengujung di Obyek Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali Tahun 2007 Asal Pengunjung A. Dalam Negeri 1. Badung 2. Bali (di Luar Badung dan Denpasar) 3. Banten 4. Aceh 5. Denpasar 6. Jakarta 7. Jawa Barat 8. Jawa Tengah 9. Jawa Timur 10. Jogja 11. Kalimantan tengah 12. Kalimantan Timur 13. Sulawesi Tengah 14. Sumatera Selatan 15. Sumbar 16. Sumut Jumlah Dalam Negeri



Jumlah



% total



756



13,45%



Asal Pengunjung B. Luar Negeri 1. Amerika



879



15,64%



2. Belanda



30 50 2.309 153 45 197 63 708 1 9 2 7 8 20 5.237



0,53% 0,89% 41,07% 2,72% 0,80% 3,50% 1,12% 12,59% 0,02% 0,16% 0,04% 0,12% 0,14% 0,36% 93,15%



3. ASEAN 4. India 5. Italia 6. Jepang 7. Jerman 8. Korea 9. Malasyia 10. Myanmar 11. Spanyol 12. Swedia 13. Swiss Jumlah Luar Negeri TOTAL



Jumlah



% total



11



0,20%



4



0,07%



100 4 2 174 2 30 8 2 45 1 2 385



1,78% 0,07% 0,04% 3,09% 0,04% 0,53% 0,14% 0,04% 0,80% 0,02% 0,04% 6,85%



5.622



100,00%



Sumber: Pengelola Tahura Ngurah Rai



Berdasarkan Tabel 3.6, mayoritas pengunjung merupakan wisatawan nusantara (wisnu) sebesar 93,15%, sedangkan sisanya merupakan wisatawan mancanegara (wisman) . Sebagian besar wisnu berasal dari masyarakat sekitar Kota Denpasar (41,07%), Kabupaten Badung (13,45%) dan kabupaten/kota lain di Provinsi Bali (15,64%), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kunjungan wisnu dipengaruhi oleh jarak tempuh, yaitu semakin tinggi bila jarak tempuh semakin dekat. Wisman sebagian besar berasal dari negeri Jepang (3,09% dari total pengunjung).



Laporan Akhir



26



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Jumlah pengunjung obyek wisata Tahura Ngurah Rai dari tahun ke tahun semakin berkurang, terutama wisatawan asing (Tabel 3.7). Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa minat wisatawan nusantara dan mancanegara terhadap sajian wisata di Tahura Ngurah Rai masih belum menggembirakan. Pada tahun-tahun mendatang diharapkan jumlah pengunjung Tahura Ngurah Rai Bali dapat meningkat melalui berbagai inovasi sajian wisata dan pengembangan bentuk-bentuk promosi. Tabel 3.7. Jumlah Pengunjung Tahunan Lokasi Wisata Tahura Ngurah Rai, Bali tahun 2005-2008 No



Tahun



1 2 3 4



2005 2006 2007 2008 (s.d. Okt) Rata-rata Per tahun



Pengunjung Domestik Asing 12.236 1.132 6.722 605 5.622 460 6.228 479 7.702



Jumlah 12.168 7.327 6.298 6.707



669



8.125



Sumber: Pengelola Tahura Ngurah Rai



b. Usia dan Tingkat Pendidikan Pengunjung Wisatawan yang berkunjung ke lokasi obyek wisata Ngurah Rai sebagian besar tergolong pada kelompok masyarakat berusia muda (62,85%). Berdasarkan tingkat pendidikannya maka wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata Tahura Ngurah Rai sebagian berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan SLTA ke atas (85,71%). Komposisi wisatawan berdasarkan klasifikasi umur dan latar belakang pendidikan disajikan pada Tabel 3.8. Tabel 3.8. Komposisi Wisatawan Berdasarkan Tingkat Pendidikan. No



Pendidikan 55



2,86% 11,43% 14,29%



2,86% 2,86%



5,71% 8,57% 22,86% 14,29% 48,57% 100,00%



Sumber: Tim Survey, 2008



c. Matapencaharian dan Tingkat Pendapatan Konsumen yang memanfaatkan jasa wisata di lokasi Tahura Ngurah Rai Bali sebagian besar (75,38%) tergolong pada masyarakat yang telah memiliki pendapatan sendiri. Sisanya adalah kebanyakan berstatus sebagai mahasiswa dan pelajar. Hal ini terkait dengan tujuan kunjungan ke lokasi wisata Tahura Ngurah Rai yang lebih cenderung untuk wisata pendidikan, wisata penelitian dan pelatihan.



Laporan Akhir



27



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Kelompok masyarakat pengunjung yang sudah berpenghasilan sendiri terdiri dari kelompok masyarakat bermatapencaharian pada sektor formal seperti pegawai negeri sipil, BUMN, peneliti, pegawai swasta, dan sebagainya. Ditinjau dari tingkat pendapatan menurut matapencahariannya, maka pengunjung obyek wisata ini adalah masyarakat dengan tingkat peghasilan yang tergolong cukup tinggi. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya pengunjung dengan tingkat penghasilan lebih dari Rp. 1.800.000,-/orang/bulan.



d. Pertumbuhan Sarana Akomodasi Pertumbuhan sarana akomodasi terutama penginapan / hotel merupakan salah satu indikator permintaan pariwisata yang semakin meningkat. Tabel 3.9 menyajikan perkembangan jumlah pondok wisata antara tahun 2004 sampai 2008. Dari Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa pondok wisata di sekitar lokasi wisata Ngurah Rai, khususnya di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Provinsi Bali pada umumnya mengalami pertumbuhan sebesar 12% per tahun. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang posistif akan kunjungan wisata ke Provinsi Bali. Pertumbuhan positif ini berpotensi cukup besar bagi peningkatan tingkat kunjungan wisata di Tahura Ngurah Rai, Bali. Tabel 3.9. Perkembangan Pondok Wisata di Bali tahun 2004 - 2008 2004 No



1 2



Kab./Kota Kota Denpasar Kab. Badung Provinsi Bali



2005



2006



2007



2008



Pondok Pondok Pondok Pondok Pondok Kamar Kamar Kamar Kamar Kamar Wisata Wisata Wisata Wisata Wisata 44



204



50



263



50



263



35



255



41



252



81



377



81



377



140



674



163



759



163



759



390



1811



440



2099



926



3812



859



4059



925



4212



Dinas Pariwisata Kab. Badung dan Kota Denpasar, 2007. e. Tujuan Wisata Pada umumnya wisatawan melakukan kunjungan ke lokasi wisata Tahura Ngurah Rai memliki tujuan yang cukup beragam. Sesuai dengan fungsi peruntukan Tahura Ngurah Rai untuk wisata pendidikan, pelatihan dan penelitian, maka mayoritas wisatawan datang ke kawasan ini untuk mencari informasi tentang ekosistem mangrove, belajar mangrove, studi banding, training dan rapat atau meeting. Selain itu juga bertujuan untuk melakukan penanaman, berwisata memancing atau menikmati panorama Tahura Ngurah Rai, camping, dan lain-lain.



Laporan Akhir



28



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 3.1.4. Daya Tarik Setiap lokasi dan obyek wisata memiliki daya tarik tersendiri yang dapat menentukan pengunjung dan kunjungan wisatawan ke lokasi bersangkutan. Daya tarik wisata dapat berupa panorama alam, fenomena / gejala alam, aktivitas sosial budaya masyarakat, maupun atraksi – atraksi wisata lainnya. Berdasarkan pada hasil pengamatan di lapangan, Tahura Ngurah Rai Bali memiliki daya tarik wisata berupa: panorama keindahan alam berupa kondisi fisik kawasan Teluk Benoa, keanekaragaman vegetasi mangrove, fauna darat, (burung, amphibi, reptil) dan fauna perairan (ikan, moluska, krustasea). Tabel.3.10 Jenis-jenis Daya Tarik Kawasan Tahura Ngurah Rai No 1.



2.



Jenis daya Tarik Panorama Kawasan Teluk Benoa dan Kanal Muara Sungai



Keanekaragaman mangrove



vegetasi



Penjelasan Pelabuhan Benoa Bali mempunyai karakteristik yang agak berbeda dengan pelabuhan yang lainnya. Pada jangka menengah dan panjang, fungsi pelabuhan ini difokuskan sebagai pelabuhan pariwisata. Kapal-kapal yang berlabuh mempunyai bentuk dan warna yang sangat bervariasi, menarik, indah, dan mencirikan beberapa negara di dunia. Keanekaragaman dan keindahan warna, arsitektur dan ciri bendera dari kapal-kapal yang berlabuh di perairan Teluk Benoa merupakan salah satu potensi wisata yang bisa dikemas secara simultan dalam wisata alam di Tahura Ngurah Rai. Di dalam kawasan Tahura Ngurah Rai, khususnya daerah muara sungai: Tukad Badung, Tukad Mati, dan Tukad Soma dengan alur-alur dangkal (shallow through) yang lebarnya 5-20 meter, kedalaman waktu surut 1,0-2,5 m dan bentuk alur yang berkelok-kelok. Di sepanjang alur terbentang hamparan tegakan hutan mangrove dan beranekaragam satwa seperti burung, krustasea, dan moluska. Di samping itu pada alur yang lebih sempit di bawah kanopi pohon mangrove tercipta suasana alami, sejuk dan nyaman. Kondisi seperti ini merupakan potensi daya tarik yang sangat unik dan strategis untuk wisata berbasiskan mangrove. Di Kawasan Tahura ditemukan 46 jenis mangrove dari 27 famili yang mewakili jenis-jenis mangrove yang ada di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Jenisjenis yang dominan meliputi jenis bakau putih (Rhizophora apiculata), bakau (Rhizophora mucronata), Api-api (Avicennia marina) dan Sonneratia alba. Potensi dan karakteristik alamiah yang unik dan menarik dari flora mangrove di Tahura Ngurah Rai adalah: sistem perakaran udara (aerial roots); sistem daun sebagai adaptasi terhadap kadar garam tinggi; serta sistem pembuahan yang spesifik berbentuk silindris, bola dan hati.



3.



Keanekaragaman fauna darat



Laporan Akhir



Kawasan



Tahura



Ngurah



Rai



memiliki



29



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove No



Jenis daya Tarik (burung, ampibhi, reptil) dan keanekaragaman fauna perairan (ikan, moluska, krustasea).



Penjelasan keanekaragaman jenis satwa liar seperti burung, reptilia dan amphibia, yang tinggi. Jumlah jenis burung yang ditemukan di Tahura Ngurah Rai 66 jenis dari 27 famili. Komunitas burung di kawasan ini didominasi oleh jenis-jenis burung air seperti: Pecuk padi belang, pecuk ular asia, cangak abu, kuntul besar, kuntul perak, blekok sawah, kowak malam kelabu, belibis batu, gajahan besar, trinil semak, kuntul perak, dan raja udang. Selain burung, sering ditemukan juga jenis reptil yaitu: biawak, kadal, ular bakau. Biawak dengan ukuran tubuh cukup besar, tidak banyak ditangkap oleh masyarakat dan tidak umum dimanfaatkan sebagai makanan, sehingga keberadaan satwa ini cukup berlimpah. Ular cincin emas / Ceningkih hidup di dalam perairan payau hutan mangrove, ditemukan cukup berlimpah, deng warna gelap dan tidak berbisa. Selain itu juga dijumpai jenis labi-labi atau bulus di kawasan mangrove yang berbatasan dengan persawahan dan sungai-sungai kecil. Keberadaan jenis-jenis reptil tersebut merupakan atraksi wisata yang menarik yang cukup layak dinikmati sebagai obyek wisata.



3.1.5. Aksesibilitas, Prasarana dan Sarana Pendukung Kawasan Tahura Ngurah Rai memiliki posisi yang sangat strategis. Untuk menuju kawasan ini dengan menggunakan kendaraan darat hanya memerlukan waktu 5 menit dari Bandara Ngurah Rai Bali, 10 menit dari pusat kota Denpasar, dan 15 menit dari pusat kota Badung. Selain itu kawasan ini berada pada segitiga pusat pariwisata Provinsi Bali yaitu Sanur, Kuta dan Nusa Dua. Oleh karena itu kawasan ini memiliki masa depan yang baik untuk dikembangkan sebagai objek wisata alam yang tetap mempertimbangkan kaidah konservasi. Sarana dan prasarana di dalam kawasan ekowisata Tahura Ngurah Rai dapat dilihat pada Tabel 3.11. Tabel 3.11 Sarana prasarana Pendukung dan Wilayah Tahura Ngurah rai No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.



Sarana Prasarana Pendukung ruang audio visual shelter dan kopel tempat duduk dan meja piknik jalan setapak (trails) play ground dan taman, ruang informasi jalan kayu (broadwalk restoran kolam / lokasi pemancingan danau buatan sampan/perahu dayung dermaga



Laporan Akhir



Sarana Prasarana Wilayah jalan aspal air bersih listrik 24 jam komunikasi dan informasi bandara hotel/penginapan/pondok wisata restoran/rumah makan super / miniamarket / toko



30



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove No Sarana Prasarana Pendukung Sarana Prasarana Wilayah 13. Boat / perahu / sepeda air 14. menara pengamat 15. ruang pengintai 16. pondok wisata 17. dan plaza tahura Sumber: Rencana Pengelolan Tahura Ngurah Rai, 2008



Kondisi sarana jalan di sekitar kawasan ini juga cukup bagus, seperti di Kabupaten Badung memiliki panjang jalan 41,2 km (jalan negara), 100,36 km (jalan provinsi) dan 564,77 km (jalan kabupaten). Kondisi jalan termasuk dalam kategori baik (375,58 km), sedang 108,31 km, dan rusak hanya 80,79 km (Kabupaten Badung dalam Angka, 2008). 3.1.6. Mekanisme Pemanfaatan a. Perijinan Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali merupakan bagian dari Kawasan Pelestarian Alam yang tujuan pengelolaanya sesuai dengan arahan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Ijin Pemanfatan kawasan Tahura Ngurah Rai, berdasarkan pada SK Menhut No. 544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan Taman Wisata Alam Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura Ngurah Rai. Unit pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kanwil Kehutanan Bali. b. Pajak / Pungutan Pungutan masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai Bali, berlandaskan pada Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk kawasan Tahura Ngurah Rai. Namun kegiatan pungutan baru terlaksana pada tahun 2006. Besaran tarif tiket masuk kawasan wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan pada Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 bervariasi menurut jenis wisatawan (pengunjung). Untuk wisatawan domestik dikenai tarif masuk sebesar Rp. 5.000,/orang, sedangkan untuk wisatawan asing dikenai tarif tiket masuk sebesar Rp. 50.000,-/orang. Namun khusus kalangan pelajar dan mahasiswa diberikan dispensasi berupa potongan tarif tiket sebesar 50% dengan ketentuan administrasi yang disyaratkan oleh pihak pengelola yaitu mengajukan surat permohonan dispensasi.



Laporan Akhir



31



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove c. Badan Hukum Pengelolaan lokasi wisata Tahura Ngurah Rai merupakan salah satu kegiatan dari keseluruhan tujuan pengelolaan kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Pengelolaan kawasan Tahura Ngurah Rai Bali berada di Unit Pelasana Teknis Daerah (UPTD) Tahura Ngurah Rai yang di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali baru terbentuk pada Tanggal 8 Juli Tahun 208. Secara historis, dasar hukum pengelolaan Tahura Ngurah Rai adalah sebagai berikut: - SK Menhut No. 544/Kpts/II/93 Tanggal 25 September mengenai Kawasan Taman Wisata Alam Suwung RPH X seluas 1.373,5 ha diberi nama Tahura Ngurah Rai. Unit pengelolaanya ada di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Bali dan Kanwil Kehutanan Bali. - Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 4/2004 tentang Retribusi Pembagian Kekayaan Daerah. - Peraturan Gubernur Bali No. 21 Tahun 2005 tentang Tarif Tiket masuk kawasan Tahura Ngurah Rai, Bali. - Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008, tentang Struktur Perangkat Pemerintah Daerah, dimana didalamnya terbentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Ngurah Rai. 3.1.7. Kegiatan Ekowisata Beberapa kegiatan wisata di Tahura Ngurah Rai yang telah berjalan antara lain: wisata pendidikan bagi pelajar atau mahasiswa (belajar membuat persemaian dan menanam mangrove), wisata pengamatan vegetasi mangrove, pengamatan panorama Teluk Benoa dan Pelabuhan Benoa, pengamatan satwa terutama burung-burung, dan biawak, mengambil gambar vegetasi dan satwa (photo hunting), memancing, dan menikmati udara segar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, aktivitas wisata yang paling banyak dilakukan oleh pengunjung adalah jalan-jalan menikmati pemandangan flora dan fauna mangrove. Selain itu juga dijumpai aktivitas memotret / mengambil gambar flora dan fauna mangrove, mengamati burung menggunakan alat bantu teropong, berperahu dan lain-lain. Kegiatan – kegiatan ini belum dikemas secara baik ke dalam paket wisata – paket wisata sehingga kunjungan ke lokasi wisata ini masih sedikit. 3.1.8. Pemasaran Selama ini pemasaran ekowisata Tahura Ngurah Rai belum maksimal. Kegiatan promosi di tempat-tempat trategis belum banyak dilaksanakan, hanya terbatas di instansi pemerintah dan sedikit di sekolah-sekolah. Promosi dilakukan dengan metode penyebarluasan poster, leaflet / booklet, baliho, dan lain-lain.



Laporan Akhir



32



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Pengunjung yang datang ke wisata Tahura Ngurah Rai berdasarkan asalnya terdiri dari dua kelompok yaitu pengunjung domestik (dalam negeri) dan pengunjung asing (luar negeri). Kebanyakan pengunjung domestik berasal dari daerah sekitar Provinsi Bali seperti Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Buleleng, Ginanyar, Karangasem, Klungkung dan Tabanan. Pengunjung domestik di luar Bali banyak berasal dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tegah, Jawa Barat, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan NTB. Sedangkan pengunjung luar negeri banyak berasal dari Jepang, Australia, Amerika, Jerman, Belanda, Italia, Korea, India, dan lain sebagainya. 3.1.9. Kelembagaan Pengelolaan Pengelolaan ekowisata Tahura Ngurah Rai merupakan bagian dari pengelolaan Tahura Ngurah Rai secara keseluruhan di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura Ngurah Rai. PEMERINTAH PUSAT DEPT. KEHUTANAN



MIC / BALAI-BALAI



PEMERINTAH PROVINSI



PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA



DINAS KEHUTANAN PROVINSI



INSTANSI KEDINASAN TERKAIT TAHURA BUMN, BUMD, (INVESTOR PARIWISATA, JASA LINGKUNGAN, KELOMPOK MASYARAKAT, DLL)



DISHUT KAB./ KOTA



INSTANSI KEDINASAN TERKAIT TAHURA



UPTD TAHURA PENGELOLAAN TAHURA SATU MANAJEMEN Penerapan POAC: Tata Hutan, Pemanfaatan, Rehabilitasi, Perlindungan / Konservasi PUSAT INFORMASI MANGROVE PUSAT PELAYANAN TAHURA NGURAH RAI



KAWASAN TAHURA NGURAH RAI



Keterangan : = Garis Koordinasi = Garis Komando



Laporan Akhir



SUMBERDAYA HUTAN MANGROVE SUMBERDAYA PERAIRAN SUMBERDAYA SATWA DARAT SUMBERDAYA ALAM PARIWISATA SUMBERDAYA JASA LINGKUNGAN DLL. Gambar 3.2. Kedudukan organisasi unit KPH UPTD sebagai unit pengelolaan Tahura Ngurah Rai



33



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Adapun kedudukan organisasi unit KPH UPTD sebagai unit pengelolaan Tahura Ngurah Rai berdasarkan pada Perda No 2 Tahun 2008 tertanggal 8 Juli tahun 2008. UPTD ini merupakan pengembangan tugas dan fungsi dari institusi Dinas Kehutanan Provinsi yang merupakan institusi pengelola Tahura Ngurah Rai. 3.1.10. Permasalahan Permasalahan yang ditemukan pada pemanfaatan ekowisata di Tahura Ngurah Rai ini adalah kelembagaan pengelolaan yang baru terbentuk, sehingga perangkat kerja termasuk perlengkapan dan peralatan, anggaran dana belum ada. Hal ini mengakibatkan tugas dan tanggungjawab pelaksana teknis ini belum dijalankan dengan maksimal. Permasalahan kawasan secara umum di Tahura Ngurah Rai antara lain: masalahan tata batas, penerapan tata ruang yang kurang efektif sehingga terjadi tumpang tindih, pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dan penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan.



3.2.



Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Bahan Baku Arang (kayu)



3.2.1. Kondisi Umum Lokasi a. Luas dan Status Luas total hutan mangrove sekitar 65.585 ha. Secara geografis hutan mangrove di terletak di antara 0o45’ – 1o10’ Lintang Selatan dan 109o45’ Bujur Timur. Secara administratif pemerintahan, kawasan mangrove terletak di Kecamatan , Kecamatan Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan secara administrasi kehutanan terletak di Unit Pelaksana Teknis (UPT) , Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pontianak dan Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat, kawasan hutan mangrove yang termasuk dalam wilayah UPT terdiri dari status hutan lindung, hutan produksi dan hutan produksi konversi. b. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di kawasan mangrove terdiri dari lahan pertanian (35.483 ha), tambak (1.009 ha), perkebunan (kelapa hibrida 137,22 Ha, kelapa 19,41 ha, kopi 28,9 ha, sagu 19,8 ha, karet lokal 10,7 ha dan kelapa sawit 12.000 ha). c. Sosial Ekonomi Kependudukan ¾ Kependudukan Jumlah penduduk tahun 2006 di tiga kecamatan yang berada pada kawasan mangrove (Kec. , Kubu, dan Teluk Pakedai) sebanyak 82.435 jiwa, terdiri atas 42.597 jiwa laki-laki dan 39.838 jiwa perempuan. Luas ketiga Kecamatan tersebut



Laporan Akhir



34



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove sebesar 3.506,2 km2. Kepadatan rata-rata penduduk 23,5 jiwa / km2, dengan ratarata seks rasio sebesar 106. untuk lebih jelasnya jumlah penduduk dan seks ratio penduduk secara rinci disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.13). Tabel 3.13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin No



Nama Kecamatan



Laki-laki



Jumlah Penduduk Perempuan Jumlah



Sex Ratio



1.



Batu Ampar



17.140



15.648



32.788



109



2. 3.



Kubu Teluk Pakedai



16.846 8.611



15.864 8.326



32.710 16.937



106 103



Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.



Gambar 3.3. Peta Lokasi Mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat



¾ Pendidikan Fasilitas bangunan lokal pendidikan formal yang tersedia di kawasan mangrove mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD dan MI), Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (SMP dan MT), serta Sekolah Menegah Umum/Kejuruan dan Madrasah Aliyah (SMU/SMK dan MA) berjumlah 107 unit. Jumlah guru di di kawasan mangrove berjumlah 833 orang, sedangkan jumlah murid mulai dari pendidikan dasar (TK) sampai lanjutan atas berjumlah 13.981 orang. Informasi pendidikan di kawasan mangrove secara rinci disajikan pada Tabel 3.14.



Laporan Akhir



35



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove Tabel 3.14. Informasi Pendidikan di di kawasan mangrove , Kabupaten Kubu Raya Kec. No



Jenis Sekolah



1 1. 2.



2 TK SD



3.



MI SMTP



4.



MTS SMU



Kec. Kubu



Sekolah



Murid



Guru



Ratio (5:6)



Sekola h



4



5



6



7



30 3 3 4 4 4 1 35 14 49



4.688 369 414 602 369 414 252 5.542 1.566 7.108



180 38 38 49 35 54 20 10 249 175 424



26 25 10 25 10 7 19 26 -



8 5 39



MA Jumlah Jumlah Total



2 5 2 3 1 1 1 45 13 58



Murid



Guru



9 55 4.869 230 913 124 256 321 69 36 6.103 770 6.873



10 12 228 13 42 27 37 23 14 13 293 116 409



Ratio (murid : guru) 11 5 21 18 22 5 7 14 5 3



Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.



¾ Mata Pencaharian Sumberdaya hutan mangrove di Batu Ampar menyediakan berbagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar antara lain: pencari dan pengumpul kepiting, ikan, udang, dan kerang; pencari kayu bakau untuk bahan baku arang; pengrajin arang; pencari kayu bakar; pemancing; pencari dan pengrajin daun nipah; pemburu satwa liar seperti burung; pencari madu mangrove; dan lain-lain. Sedangkan sumber mata pencaharian non mangrove antara lain: petani sawah (padi,ubi kayu, kacang kedelai), petani kebun (kelapa sawit, karet, pinang, kopi, kelapa, kelapa hybrida), pengraji tungku masak (anglo), nelayan tangkap laut (alat tangkap jermal, trawl, belat, dan lain-lain), dan berternak (sapi, kerbau, kambing, babi, domba, ayam kampung, ayam ras, dan itik). ¾ Agama Informasi jumlah pemeluk agama dan sarana ibadah dilihat pada Tabel 3.15. berikut. Tabel 3.15. Jumlah Pemeluk Agama dan Sarana Ibadah di Kawasan Islam



Protestan



Katolik



Hindu



Budha



Pemeluk



80.784



2.487



2.321



538



5.284



Tempat Ibadah



Mesjid: 172 Surau: 187



9



11



2



4



Jumlah



Sumber : Kabupaten Pontianak Dalam Angka, BPS, 2007.



Berdasarkan pada tabel di atas, mayoritas penduduk di sekitar kawasan mangrove memeluk agama Islam. Sebagian kecil lagi memeluk agama Katholik, Budha dan Protestan.



Laporan Akhir



36



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 3.2.2. Struktur dan Komposisi Jenis Berdasarkan hasil kajian LPP Mangrove (2006), jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan hutan mangrove sebanyak 50 jenis terdiri atas 23 jenis mangrove sejati, 8 jenis mangrove sekunder, dan 19 jenis ekoton. Jenis yang paling dominan ditemukan di wilayah mangrove adalah jenis Rhizophora sp, Bruguiera spp, dan Nypa fructicans. Pada tingkat semai, jenis Rhizophora apiculata memiliki kerapatan tertinggi dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu sebesar 22.500 - 35.750 batang/ha dan. Pada tingkat pancang, Rhizophora apiculata memiliki kerapatan tertinggi yaitu 1.143 ind/ha, disusul Bruguiera gymnorrhiza dengan kerapatan 259 ind/ha. Pada tingkat pohon memiliki kerapatan berkisar antara 453,45 - 877.14 ind/ha. Biota dikategorikan menjadi biota darat dan biota perairan. Keanekaragaman biota darat di kawasan mangrove cukup tinggi yaitu mamalia 11 jenis, burung 57 jenis, reptil 10 jenis, dan amfibi 1 jenis. Sedangkan jenis-jenis biota perairan terdiri atas 37 jenis phytoplankton, 20 zooplanktons, 30 jenis benthos, 64 jenis ikan 13 jenis moluska, dan 23 krustasea. Jenis-jenis burung yang hidup secara khusus pada ekosistem mangrove yaitu; burung sikatan bakau, kancilan bakau dan Burung madu Bakau.Jenis – jenis ikan yang ada meliputi jenis-jenis ikan semerah, kakap putih, duri ketak, buntal, baung, betutu, ketang, senangin, dan lain-lain. 3.2.3. Potensi Kayu Secara keseluruhan, potensi rata-rata kayu mangrove di kawasan mangrove sebesar 180,735 m3/ha. Potensi kayu mangrove ini didominasi oleh potensi jenis Rhizophora apiculata. Potensi total biomassa berkisar antara 227,45 - 316,88 ton/hektar atau rata-rata 262,86 ton/hektar. 3.2.4. Sistem Silvikultur Sistem silvikultur yang dipergunakan dalam pemanfaatan hutan mangrove untuk bahan baku arang dikategorikan menjadi 2 yaitu sistem silvilkultur pohon Induk (Seed Trees Method) yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan sistem rumpang yang dilakukan oleh masyarakat (secara tradisional). a. Sistem Pohon Induk Dasar pelaksanaan sistem silvilkultur pohon Induk (Seed Trees Method) berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60 tahun 1978 tentang Pedoman Sistem Silvikultur Hutan payau. Pada sistem silvikultur Pohon Induk, rotasi tebang 30 tahun, dimana Rencana Kerja Tahunan ( RKT ) dibagi kedalam 100 ha / blok tebangan dan setiap blok tebangan dibagi lagi ke dalam 10 – 50 ha petak tebang. Pohon yang direbang berdiameter > 10 cm (jenis komersial) dan menyisakan pohon komersial sebanyak 40 batang/ha (diameter > 20 cm) untuk



Laporan Akhir



37



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove pohon induk atau sumber benih/propagule yang akan membantu dalam regenerasi alami bekas tebangan. b. Sistem Rumpang Sedangkan yang dimaksud tebang rumpang adalah kegiatan penebangan yang dilakukan secara mengelompok (± 0,5 ha) dengan sistem tebang habis. Lokasi terpencar di beberapa tempat sesuai dengan daerah / lokasi masing-masing kelompok penebang. Penebangan dilakukan pada jarak 10 – 50 meter dari tepi sungai pasang surut, dengan kemampuan jarak penebangan ± 100 meter. Setelah melakukan aktivitas penebangan, areal tersebut dibiarkan begitu saja tanpa dilakukan kegiatan pembebasan, penanaman/pengayaan, dan pemeliharaan. 3.2.5. Mekanisme Pemanfaatan Mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh masyarakat yang tergabung dalam Koperasi Panther belum mengacu pada sistem silvikultur yang dianjurkan. Sedangkan mekanisme pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang oleh pihak yang telah berbadan hukum yaitu swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) telah mengikuti sistem silvikultur yang dianjurkan oleh pemerintah (Sistem Pohon Induk, dimana dalam tiap hektar disisakan 40 batang pohon (diameter > 10 cm). a. Perijinan Instansi pemberi ijin adalah Dinas Kehutanan berupa IHHL, Deperindag berupa SIUP, TDI, TDP dan SII, serta Pemda berupa SITU, KMB dan HO. Selain itu, namun perlu mendengarkan masukan dari pihak-pihak terkait khususnya dari Bapedalda Kabupaten Pontianak dalam menilai dan mengkaji dampak kegiatan tersebut. Jangka waktu perijinan perlu diberikan selama 20 tahun. Pertimbangan lamanya jangka waktu perijinan ini diberikan adalah untuk menuju pada pengaturan hasil secara lestari. Luas hutan yang diberikan ijin untuk konsesi PT. Bios (10,000 ha), PT. Kandelia (16,254 ha) dan Koperasi Panter (6,000 ha). b. Pungutan / pajak Pemanfaatan kayu untuk bahan baku arang memberikan kontribusi bagi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yaitu berupa PSDH (Pungutan Sumber Daya Hutan), DR (Dana Reboisasi), dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Untuk anggota Koperasi Panther dikenakan iuran berupa uang pangkal sebesar Rp 30.000, dan iuran wajib Rp 1.000,-. c. Badan hukum Pihak yang memanfaatkan kayu mangrove untuk bahan baku arang telah memiliki badan hukum yaitu peruahaan swasta (PT. Bios dan PT. Kandelia) dan Koperasi Panther. Koperasi Panther sendiri didirikan bedasarkan pada SK No.



Laporan Akhir



38



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 1119/BH/KWK14/IX/2000 dengan Nomor Badan Hukum No. 1119/BH/X Tanggal 21 September 2000. 3.2.6. Proses Produksi Arang ¾ Pemanfaatan oleh masyarakat Jumlah dapur arang di sekitar 253 buah, yang dikelola masyarakat yang tergabung dalam wadah Koperasi Panter. Luas hutan yang dialokasikan untuk mendukung kebutuhan bahan baku sekitar 6,000 ha yang terletak pada hutan mangrove dengan status APL dan Hutan Produksi. Produksi arang seluruh dapur arang milik masyarakat (253 buah) sekitar 2031 ton/tahun, dengan jumlah produksi 4 – 6 kali bakar/tahun. Apabila rendemen arang 20 %, maka kebutuhan bahan baku 10,155 ton/tahun atau sekitar 10,155 m3 kayu mangrove/tahun. Diperkirakan diperlukan luas hutan mangrove 60 ha/tahun (potensi kayu 180 m3/ha) untuk dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri arang masyarakat. ¾ Pemanfaatan oleh perusahaan swasta a. PT BIOS Luas kawasan hutan adalah 10,000 ha, dengan status hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Jatah tebangan tahunan sekitar 300 ha/tahun. Produksi kayu sekitar 54,000 m3/ha/tahun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri arang putih di Bun Bun () dan sisanya dikirim ke Selat Panjang (Pulau Rangsang) di Kabupaten Bengkalis – Propinsi Riau. Produksi arang putih dikirim ke Jepang (ekspor). Ukuran dapur arang putih 800 – 900 kg arang/dapur, dan kebutuhan bahan baku 3-4 m3/dapur (rendemen 24%), dengan kemampuan bakar 1 kali/bulan. b. PT Kandelia Luas hutan mangrove yang dialokasikan untuk konsesi PT. Kandelia sekitar 16,254 ha, dengan system silvikultur pohon induk. Produksi kayu diperkirakan sebesar 59,400 m3/tahun untuk bahan baku Industri Chip (bahan baku kertas) yang diekspor ke Taiwan dan Jepang. ¾ Tahapan pembuatan arang Waktu yang diperlukan dalam satu kali pembakaran sekitar 36-40 hari. Frekuensi pemasakan dalam setahun dilakukan sebanyak 4 kali.Kegiatan pembuatan arang bakau meliputi: (1) pembangunan dapur arang Masyarakat membangun dapur arang baru dengan sistem borongan yang dilakukan oleh orang-orang memiliki pengalaman membuat dapur arang. Dapur arang dibangun dengan sistem kubah setengah lingkaran dengan bahan baku



Laporan Akhir



39



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove berupa tiang dari kayu bakau, dan tanah liat tanpa menggunakan semen. Bahan baku diperoleh dari daerah sekitar . (2) pengadaan bahan baku Jenis kayu mangrove untuk bahan baku pembuatan arang adalah jenis Rhizophora spp. Bahan baku diperoleh dari masyarakat yang khusus mengambil kayu mangrove dari dalam hutan. Sebagian lagi pemilik usaha arang juga merangkap sebagai pengambil kayu mangrove dari hutan. Kayu mangrove yang dijadikan sebagai bahan baku memiliki ukuran diameter batang 10-20 cm. Batang pohon yang telah ditebang dipotong-potong dalam ukuran 1,7 meter. (3) pemotongan dan pemasukan bahan baku ke dalam tungku Untuk mempermudah proses penyusunan bahan baku di dalam dapur, maka bahan baku yang telah terkumpul dan ditimbang, dipotong-potong dengan menggunakan chainsaw (gergaji mesin) dan gergaji tangan. Ukuran potongan kayu tersebut antara 1 – 2 meter. (4) proses pembakaran Proses pembakaran terdiri atas proses api besar, api kecil dan pendinginan. Proses api besar dilakukan pada 2 - 3 minggu pertama proses pembakaran dan api kecil dilakukan pada 2-3 minggu setelah api besar. Selama kegiatan pembakaran api besar dan api kecil, panas yang dihasilkan harus konstan untuk menjaga kualitas arang yang dihasilkan. Setelah asap proses pembakaran mulai tidak nampak dan bau asap dari tunggu sudang cukup menyengat dilakukan proses pendinginan. Proses pendinginan dilakukan selama 2 minggu. Kegiatan pendinginan dilakukan dengan cara nenutup seluruh lubang asap tunggu dan mematikan api pembakaran. (5) pengeluaran arang dari tungku Setelah proses pembakaran selesai, maka arang siap untuk dikeluarkan. Setelah arang dikumpulkan dilanjutkan dengan proses pemotongan, pengelompokan dan pengemasan. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan gergaji dengan ukuran panjang tiang potong ± 20 cm. (6) pengemasan Setelah arang dipotong kemudian arang tersebut dikelompokkan berdasarkan kualitasnya. Kualitas arang yang baik adalah arang yang mempunyai diameter besar (> 10 cm), kompak (tidak pecah) dan dicirikan juga dengan tidak meninggalkan noda yang terlalu banyak di tangan setelah dipegang. Arang yang telah dikelompokan kemudian disusun atau dikemas dalam karung yang telah disediakan oleh para pembeli. Kemasan arang menggunakan karung atau plastik. Dalam satu karung dapat memuat ± 20 kg arang dan satu plastik



Laporan Akhir



40



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove memuat satu kilogram arang. Setelah dilakukan pengemasan, arang siap untuk dipasarkan.



Gambar 3.4 .Tahapan proses pembuatan arang bakau 3.2.7. Kualitas Produksi dan Pemasaran Kualitas arang diklasifikasikan menjadi 5 kelas yaitu dari yang terbaik sampai terendah berturut-turut: arang kualitas A, B, C, arang cataw dan debu arang. Arang cataw adalah arang yang hancur tidak beraturan dan yang belum masak benar. Harga arang juga bervariasi berdasarkan kualitasnya yaitu untuk: kualitas A Rp1500,-/Kg, kualitas B Rp 1.250,/Kg, kualitas C Rp1.250,-/Kg, arang cataw Rp1.000,- /Kg dan debu arang Rp 300,/Kg. 3.2.8. Kelembagaan Pengelolaan Kelembagaan pengelolaan hutan mangrove khususnya pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Batu Ampar telah ada. Instansi-instansi yang berperan dalam pengelolaan mangrove tersebut adalah: Dinas Kehutanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bapedalda, Deperindag, dan Masyarakat. Kelembagaan pemanfaatan kayu mangrove untuk bahan baku arang di tingkat masyarakat adalah kelompok Pengrajin Arang dan nelayan Terpadu (Koperasi Panther). Koperasi ini beranggotakan para pengrajin arang bakau, dan nelayan. Kelembagaan sosial budaya dalam mayarakat berupa lembaga adat yang terdiri dari tokoh masyarakat dan tokoh adat, pengajian, karang taruna, lembaga masyarakat desa, badan perwakilan desa dan lain-lain.



Laporan Akhir



41



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove 3.2.9. Permasalahan Permasalahan yan dihadapi terkait dengan pemanfatan sumberdaya mangrove untuk bahan baku arang yaitu: a. Kebutuhan kayu untuk bahan bangunan semakin tinggi yang dipenuhi dari kayu-kayu bakau di wilayah kerja panglong arang. Hal ini jika dibiarkan menyebabkan semakin menipisnya stok bahan baku kayu. b. Kurang berkembangnya usaha arang bakau akibat keterbatasan modal usaha, padahal pasar arang bakau cukup menjanjikan. c. Terjadinya penurunan potensi kayu mangrove akibat pengambilan kayu bakau yang melebihi daya dukung lingkungan. d. Pemahaman masyarakat terutama generasi muda terhadap ekosistem mangrove masih kurang. e. Pendapatan nelayan berkurang akibat menurunnya kualitas lingkungan mangrove. 3.3. Pemanfaatan Hutan Mangrove untuk Sylvofishery di Kabupaten Subang 3.3.1. Kondisi Umum Lokasi a. Lokasi, Luas dan Status Lokasi pengamatan terletak di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tepatnya di Desa Langensari dan Desa Blanakan. Letak kecamatan Blanakan sendiri berada di bagian utara Kabupaten Subang dan secara geografis terletak pada 1070 31’–1070 5’ BT dan 60 11’–60 49’ 15’’ LS. Secara administratif kecamatan ini memiliki 6 desa yaitu Jayamukti, Blanakan, Langensari, Muara, Girang dan Cilamaya. Desa Langensari dan Blanakan dipilih sebagai lokasi penelitian karena di desa yang bersangkutan terdapat hutan mangrove yang dikelola dengan sistem tambak silvofishery serta cukup mewakili daerah-daerah lainnya. Luas wilayah kecamatan pesisir Kabupaten Subang 333,57 km2 atau 16 % dari total luas kabupaten. Sedangkan luas Desa Blanakan 980,463 ha dan Desa Langensari 786,90 ha. Wilayah pantai utara Kabupaten Subang memiliki topografi relatif datar dengan ketinggian antara 0-25 meter di atas permukaan laut, jenis tanah pada umumnya Aluvial (berpasir) dengan pH 4-5,5, suhu rata-rata 26° C dengan kelembapan 57 – 66%. Curah hujan menurut Klasifikasi Schimidt dan Fergusson (1951) termasuk tipe D. b. Kondisi Ekosistem Mangrove Hutan mangrove yang terdapat di Kabupaten Subang merupakan hutan mangrove binaan. Hutan mangrove di kawasan pantai Subang bagian utara berada dibawah otoritas pengelolaan Perum Perhutani BKPH Ciasem-Pamanukan. Secara lebih rinci mengenai



Laporan Akhir



42



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove luas hutan mangrove di Kabupaten Subang dapat dilihat pada table di bawah ini (Tabel 3.16). Tabel 3.16. Luas mangrove Tiap Kecamatan di Kabupaten Subang Tahun 2007 No. 1 2 3 4



Kecamatan Diluar Kawasan Hutan Pusakanagara Pamanukan Legonkulon Blanakan



Luas Area Mangrove (Ha) Swadaya Bantuan Jumlah



Desa -Patimban -Anggasari -Tegalurung -Langensari -Muara -Blanakan



450 65 275 50 50 50 940



Jumlah Di Dalam Kawasan Pantai Blanakan – Legonkulon Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Subang, 2007



575 0 175 200 100 100 1.150



1.025 65 450 250 150 150 2.090 7.040



Areal mangrove di Desa Langensari dan Desa Ciasem termasuk ke dalam RPH Muara Ciasem, dibawah pengelolaan LMDH W.B. Lestari Desa Langensari dengan luas 16,40 Ha serta 71 penggarap dan LMDH W.B Lestari dengan Luas 349.75 Ha dengan 153 penggarap. Data luasan garapan (lahan andil) di BKPH CiasemPemanukan, KPH Puswakarta disajikan pada tabel berikut (Tabel 3.17). Tabel 3.17. Luas Kawasan Hutan Bakau BKPH Ciasem – Pamanukan No 1. 2 3 4



Lokasi RPH Tegal Tangkil RPH Muara Ciasem RPH Proponcol RPH Bobos Luas garapan empang efektif (30 %) Sumber : Perum Perhutani (2008)



Luas Garapan Empang (Ha) 1.362,40 1.020,49 1.448,05 1.384,79 5.215,73 Ha x 30 % = 1.564,72 Ha



b. Penggunaan Lahan Lahan yang ada di wilayah pantura mempunyai jenis dan bentuk yang bervariasi sesuai peruntukannya antara lain lahan sawah, tegalan dan lahan kritis pantai yang terbuka seperti tanah timbul dan empang. Pembagian penggunaan lahan di Desa Blanakan dan Langensari tahun 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Tabel 3.18). Tabel 3.18. Rincian penggunaan lahan Desa Blanakan dan Desa Langensari Desa Langensari



Desa Blanakan



Pemukiman (ha)



Jenis penggunaan Lahan



40



156,329



Persawahan (ha)



402



568,493



Perkantoran (ha)



0,5



3,564



184,910



100,273



Prasarana lain (ha) Hutan mangrove (ha) Total



160



151,804



786,90



980,463



Sumber : Data dasar profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan (2006).



Laporan Akhir



43



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove



Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa lebih dari 50% lahan di Desa Blanakan dan Langensari digunakan untuk persawahan. Sedangkan, penggunaan lahan untuk wilayah mangrove sebesar 20%. c. Sosial Ekonomi Kependudukan ¾ Kependudukan Jumlah total penduduk desa Blanakan adalah 10.532 orang, dengan jumlah laki-laki 4.992 orang dan perempuan berjumlah 5.540 orang. Jumlah kepala keluarga seluruhnya adalah 2.781 KK dan jumlah perempuan kepala keluarga adalah 263 KK. Sedangkan jumlah total penduduk desa Langensari sebesar 3387 orang, dengan rincian laki-laki sebanyak 1717 orang, perempuan 1670 orang. Jumlah kepala keluarga 1083 orang. ¾ Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Desa Blanakan dan Langensari sebagian besar adalah buruh atau petani di sektor pertanian tanaman pangan dan perikanan (Data dasar profil desa/kelurahan di Kecamatan Blanakan, 2006). Keadaan ini salah satu penyebabnya adalah rendahnya tingkat pendidikan penduduk di desa tersebut. ¾ Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Desa Blanakan dan Langensari masih tergolong rendah. Secara keseluruhan jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) di Desa Blanakan sebesar 77,9% dan Desa Langensari sebesar 59,26%. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Blanakan dan Langensari pada tingkat SLTP dan SMTA. ¾ Agama Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Blanakan adalah agama Islam (10.532 orang), yang terdiri dari 4 etnis yaitu etnis Jawa (7.591 orang), Sunda (2.927 orang), Padang (5 orang) dan Madura (9 orang). Begitu juga di Desa Langensari, seluruh masyaraktnya beragama Islam (3387 orang) dan terdiri dari etnis Sunda (3321 orang), Jawa (66 orang), Aceh (7 orang), Batak (1 orang), dan Melayu (1 orang).



3.3.2. Keanekaragaman Jenis (Flora dan Fauna) a. Flora Hutan mangrove di Kabupaten Subang didominasi oleh species Avicennia marina. Menurut Perum Perhutani BKPH Ciasem/Pamanukan (1995) dalam Meilani (1996), komposisi hutan mangrove di Kabupaten Subang adalah Rhizophora sp., Avicennia sp., dan Melaleuca leucadendron.



Laporan Akhir



44



Inventarisasi dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove b. Fauna Fauna yang banya terdapat di areal hutan mangrove Subang diantaranya adalah udang api-api (Metapenaeus monoceros), udang peci (Penaeus merguiensis), dan udang windu (Penaeus monodon), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu (Macrones gulio), ikan kerong-kerong (Therapon jarbua), ikan belanak (Mugil dussumieri), ikan mujair (Oreochormis mossambicus), ikan boso (Glossogobius giuris), ikan belut tambak (Synbranchus bengalensis), kerang hijau (Perna viridis), kepiting bakau (Scylla serrata), wideng (Uca sp.), benur (Penaeus dan Metapenaeus), dan nener (Chanos chanos Forsk). Pengembangan usaha tambak sylvofishery di Kabupaten Subang khususnya di Kecamatan Blanakan tepatnya di Desa Langensari dan Desa Blanakan bertumpu pada pengembangan tambak udang windu dan ikan bandeng dengan hasil sampingan harian yaitu udang peci (udang putih) serta jenis ikan lainnya seperti ikan blodok, ikan belanak, dan ikan mujair.



3.3.3. Kualitas Air dan Pasang Surut a. Kualitas Air Parameter kualitas air merupakan persyaratan baku mutu bagi kehidupan biota laut sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dara kualitas air di areal silvofishery di Subang disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.19. Kualitas Air di Kawasan Silvofishery Subang Tahun 2007 No. 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13



Parameter FISIKA Suhu Salinitas Kekeruhan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan Kedalaman KIMIA pH Oksigen Terlarut (DO) BOD5 Ammonia Nitrat (NO3-N) Phosphar Sianida (CN) Sulfida (H2S) Minyak dan Lemak Phenol Raksa (Hq) Khrom Hexavalen Arsen (As)



Laporan Akhir



Satuan



Baku Mutu



Kisaran Nilai



°C ‰ NTU Mg/l



26.8-27.8 30 8-17 15-52



M M



Alami Coral: 33 - 34 5 -



Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l Mg/l



7-8.5 >5 20 0.3 0.008 0.015 0.5 0.01 1 0.002 0.001 0.005 0.0012



8.06-8.1 5.17-5.94 0.58-1.76 0.044-0.262 0.630-0.959 0.001 0.01-0.016