6 0 127 KB
TAFSIR FALSAFI
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Tafsir al-Qur’an sebagai interpretasi terhadap teks al-
Qur’an sudah ada ataupun dimulai sejak zaman ketika Nabi Muhammad hidup hingga wafatnya sampai saat ini. Dalam perjalanannya
tafsir
terhadap
al-Qur’an
mengalami
perkembangan dan karakteristik yang berbeda-beda dari masa ke
masa.
Adapun
Perkembangan
tafsir
secara
epistemik
dipetakan menjadi tiga era, yakni : era tafsir dengan nalar quasikritis, era affirmatif dengan nalar ideologis, dan era formatif dengan nalar kritis.1 Pada era affirmatif ini banyak bermunculan beberapa corak penafsiran yang berbasis pada ideologi madzhab atau sekte keagamaan atau keilmuan tertentu, yang kita tahu beberapa di antaranya yakni tafsir bercorak fiqih, tasawuf, dan teologi-falsafi. Corak diartikan oleh para mufassir sebagai kecenderungan atau spesifik seorang mufassir. Hal ini dilatar belakangi oleh pendidikan, lingkungan dan akidahnya (keyakinannya). corak tafsir adalah nuansa atau sifat khusus yang mewarnai sebuah penafsiran dan merupakan salah satu bentuk ekspresi intelektual 1 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 24
seseorang mufassir, ketika ia menjelaskan maksud-maksud ayat al-Qur’an. Artinya bahwa kecenderungan pemikiran atau ide tertentu mendominasi sebuah karya tafsir . B.
PENGERTIAN , LATAR BELAKANG MUNCULNYA, DAN KARAKTERISTIK CORAK TAFSIR TAFSIR FALSAFI Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang
dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi lebih banyak didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya dan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menggunakan teoriteori filsafat.[2]Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi
pemikiran
yang
ditulis,
bukan
pemikiran
yang
menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina,
dan
ikhwan
al-Shafa. Tafsir
falsafi
yang
cenderung
membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci. Namun begitu,
tetap
membangun (tersembunyi)
ada
sisi
abstraksi yang
positifnya
yaitu
dan
proposisi
diangkat
dari
kemampuannya
makna-makna
teks
kitab
suci
latent untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal,
sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional. Secara historis, keberadaan tafsir ini tidak bisa lepas dari terjadinya kontak dunia Islam dengan pemikiran filsafat Yunani. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, Persia, dan Mesir. Kebudayaan dan filsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander yang Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik Alexsander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexsandria
di
Mesir,
Antioch
di
Suria,
Jundisyapur
di
Mesopotamia dan Basra di Persia.[3] Pada kemajuan,
saat
ilmu-ilmu
agama
kebudayaan-kebudayaan
dan
science
Islam
mengalami
berkembang
di
wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku- buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan diantara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles dan Plato. Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di dunia diterjemahkan
ke
dalam
Bahasa
arab
dengan
modifikasi-
modifikasi tertentu, akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh sebagian kalangan kaum muslim. Dari terjadinya kontak dengan pemikiran filsafat Yunani, kemudian muncullah reaksi dan respons dari kalangan kaum muslim. Pendekatan yang digunakan dalam tafsir falsafi adalah penggunaan akal yang lebih dominan sehingga ayat-ayat yang ada dipahami dengan rasio mufasir sendiri. Menanggapi hal ini umat Islam terbagi menjadi dua kelompok, pertama golongan yang menolak dan yang menerima corak tafsir ini. Kelompok Pertama, mereka yang menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof. Mereka menolaknya karena menganggap bahwa antara filsafat dan agama adalah dua bidang ilmu yang saling bertentangan sehingga tidak mungkin disatukan. Kelompok ini secara radikal menentang filsafat dan berusaha menjauhkan umat darinya. Golongan
yang
menolok
filsafat,
karena
mereka
menemukan adanya pertentangan antara filsafat dan agama. Tokoh pelopor kelompok ini adalah Imam al-Ghazali, karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak faham mereka. Demikian pula Fakhr al-Razi di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan membatalkan teoriteori filsafat mereka karena dinilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an. Dia membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang
bertentangan, khususnya dengan al-Qur’an dan akhirnya ia menolak dengan tegas berdasarkan alasan dan dalil yang ia anggap memadai. Kelompok Mereka
Kedua, mereka
menekuni
dan
yang
menerima
mengagumi
filsafat
selama
filsafat. tidak
bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan
filsafat
dan
agama
serta
menghilangkan
pertentangan yang terjadi di antara keduanya. sebab menurut mereka pada dasarnya wahyu Allah swt. itu tidak bertentangan dengan akal, oleh sebab itu, mereka membuat metode sinergis, dengan
mengintegrasikan
agama
dengan
filsafat,
yang
dimanifestasikan dalam bentuk pemberian takwil pada nas A1 Quran yang tertentu dan memberikan kejelasan sesuai dengan pola pemikiran nalar. Golongan
yang
mengagumi
dan
menerima
filsafat
meskinya didalamnya terdapat ide-ide yang bertengan dengan nash-nash syar’i. Kelompok ini berupaya mengkompromikan antara filsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkapkan segala pertentangan tersebut, namun usaha mereka belum mencapai titik temu secara final, melainkan masih berupaya memecahkan
masalah
secara
setengah-setengah,
sebab
penjelasan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an semata-mata berangkat dari sudut pandang teori filsafat yang didalamnya
banyak hal tidak mungkin diterapkan dan dipaksakan terhadap nash-nash al-Qur’an. Kelompok yang mendukung tafsir dengan metode falsafi berpendapat bahwa antara falsafah dengan agama Islam tidak ada pertentangan yang signifikan, sebab menurut mereka pada dasrnya wahyu Allah Swt itu tidak bertentangan dengan akal. Untuk mengkompromikan hal ini, pada gilirannya ditempuh dua cara.Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan (al-Qur’an), sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan maksud suatu teks kepada pandangan-pandangan filsafat, agar sejalan dengan teori filsafat. Kedua, dengan cara menjelaskan
teks-teks
keagamaan
dengan
menggunakan
berbagai pandangan dan teori filsafat. Kedua model inilah yang membentuk tafsir falsafi, yaitu tafsir yang didominasi oleh teoriteori filsafat, atau tafsir yang menempatkan teori-teori ini sebagai paradigmanya, sehingga tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teori-teori filsafat. Muhammad
Husain
al-Dzahabi
menyebutkan
bahwa
sebenarnya tidak ditemukan adanya ahli filsafat muslim yang menulis tafsir Al-Qur’an secara lengkap. Yang ada hanyalah pendapat-pendapat dari tokoh-tokoh mereka yang menafsirkan Al-Qur’an secara terpisah dan dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.Di antara kitab tafsir yang ditulis
berdasakan corak falsafi ini, yaitu dari golongan pertama yang menolak tafsir falsafat adalah: 1.
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H)
2.
al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H) Sedangkan dari golongan kedua seperti komentar al-
Dzahabi
tidak
pernah
mendengar
bahwa
diantara
filosof
mengarang kitab tafsir al-Qur’an secara lengkap, kerana sejauh ini tidak lebih dari sebagian pemahaman terhadat al-Qur’an secara parsial yang termuat dalam kitab falsafah yang mereka tulis.[20] Penulisan secara parsial tafsir falsafi antara lain: 1. Fushush al-Hikam, karya al-Farabi (w. 339 H) 2. Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H) 3. Rasail Ikhwan al-Safa.
C. TOKOH-TOKOHNYA DAN CONTOH PENAFSIRAN 1. Abu Nashr Muhammad Ibnu Muhammad al-Farabi Al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) di tahun 870 M. menurut keterangan dia berasal dari Turki dan orang tuanya adalah seorang Jenderal, ia sendiri pernah menjadi hakim. Dari Farab, ia kemudian pindah ke Baghdad, pusat ilmu pengetahuan di waktu itu. Disana ia belajar kepada Bishr Matta Ibnu Yunus (seorang penterjemah) dan tinggal di Baghdad selama 20 tahun. Kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di
istana Saif Al-Daulah berkonsentrasi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat diwaktu itu. Dalam umur 80 tahun Al-Farabi wafat di Aleppo pada tahun 950 M[4]. Mengenai pemikirannya, dia menafsirkan al-Qur’an dengan filsafat murni, suatu pemahaman bahwa hakikat al-Qur’an sebagai simbol – simbol dan isyarat – isyarat yang tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang dan tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang nalarnya terbatas. Oleh karena itu menurutnya, nabi menjelaskan dengan gaya bahasa yang sesuai dengan daya tangkap mereka, yaitu dengan gaya bahasa inderawi demi kemaslahatan mereka meskipun tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, dan itu menurut para filsuf tidak dianggap sebagai suatu kebohongan[5]. Artinya adalah bahwa semua ayat - ayat al-Qur’an menurut para filsuf harus di tafsir atau di takwil sesuai dengan filsafat, sehingga mereka menetapkan bahwa alam akhirat adalah bersifat aqli dan rohani, bukan jasmaniah. Atas dasar itulah mereka menolak konsep pemikiran yang menyatakan adanya kebangkitan jasmani, mengingkari kelezatan jasmani di surga dan
penderitaan
jasmani
di
neraka,
dideskripsikan al-Qur’an dan as-Sunah[6].
sebagaimana
yang
Diantara penafsiran yang dilakukan oleh al-Farabi adalah penafsiran kata al-zhahir dan kata al-bathin pada Q.S. Al-Hadid ayat 3:
"Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan dia Maha mengetahui segala sesuatu". Penafsiran al-farabi terhadap ayat ini bercorak platonik, yakni argumen Plato tentang kekekalan alam. Oleh karena itu alFarabi menafsirkan kepemulaan Allah dari segi bahwa segala yang ada dan mengakibatkan adanya yang lain, itu semua adalah berasal dari-Nya. Allah adalah yang pertama dari segi ada-Nya. Ia yang pertama dari setiap waktu yang keberadaannya bergantung pada-Nya. telah ada waktu ketika tidak ada sesuatu selain diri-Nya.[7]
2. Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina. Ibnu Sina lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di Bukhara tahun 980 M. Orang tuanya adalah sorang pegawai negeri atau pegawai pemerintahan pada pemerintahan Dinasti samani. Menurut sejarah hidup yang ditulis oleh muridnya – Jurjani – dari semenjak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari
ilmu – ilmu pengetahuan yang ada di zamannya, seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum dan termasuk juga ilmu tafsir alQur’an. Dia meninggapl di Isfahan, pada tahun 1037 M. Mengenai
pemikirannya
tentang
tafsir
al-Qur’an,
sebenarnya tidak jauh beda dengan pendapat al-Farabi, yakni menafsirkan al-Qur’an dengan penafsiran filsafat murni, karena kedua tokoh ini sama-sama menganut paham filsafat Emanasi atau pancaran, hanya saja filsafat emanasi yang diajukan oleh Ibnu
Sina
lebih
mendalam,
dalam
artian
makna
yang
diungkapkannya lebih mendetail. Contoh
tafsir
yang
dilakukan
Ibnu
Sina
adalah
penafsiran al-jannah(surga) sebagai alam akal, an-nar (neraka) sebagai alam imajinasi, dan alam konkretnya adalah alam kubur. Sedangkan kata ash-shirath diartikan sebagai jalan akal. Berikut adalah contoh penafsiran yang dilakukan oleh Ibnu Sina, dalam menafsirkan surat an-Nur ayat 35 :
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapislapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” Ibnu
Sina
mengatakan
bahwa Nur mempunyai
makna
ganda, denotatif dan konotatif. Makna denotatifnya adalah penerangan yang sempurna, sedangkan makna konotatfnya adalah kebaikan dan faktor penyampai kepada kebaikan. Makna yang dimaksudkan disini adalah kedua-duanya, yakni bahwa alloh SWT adalah dzat yang maha baik dan penyebab dari semua kebaikan. Ungkapan as-samawati wal-ardhi merupakan ungkapan dari universalitas. Kata misykat (lentera) merupakan ungkapan dari
akal
material (al-aqlul-huyuli) dan
jiwa
yang
berakal.
Karena misykat itu dekat dengan dinding, maka daya pantulnya lebih kuat dan cahayanya lebih banyak. Demikian juga dengan akal, sebenarnya menyerupai cahaya (nur). Yang dilambangkan dengan misykat (lentera) adalah akal material
yang
kaitannya
dengan
akal mustafad (acquired
intelect)adalah
bagaikan
kaitan misykat dengan
cahaya.
Sementara mishbah(lampu) sebenarnya merupakan ungkapan dari akal mustafad itu sendiri. Hubungan akal mustafad dengan akal material adalah seperti hubungan mishbah dengan misykat. Adapun kata fi zujajah (kaca), ditafsirkan bahwa hubungan antara akal material dan akal mustafad pada sisi lain adalah seperti hubungan yang terjadi antara penerang dan mishbah. Hubungan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan perantara sumbu. Dari sumbu itu muncul az-zujajah karena dia adalah penerang yang menerima cahaya[8].
D.
PENGARUH PERBEDAAN PENAFSIRAN Dari perbedaan penafsiran yang terjadi karena perbedaan
suatu
madzhab
ini
tentunya
menambah
warna
dari
perkembangan tafsir. Ditengah perdebatan penafsiran ini kita bisa mencermati lahirnya para intelektual rasional meskipun sifatnya sektarian. Namun nilai penting yang lahir dibelakangnya yakni
berpikir
kritis
terhadap
makna
al-Qur’an
untuk
mendapatkan kesimpulan yang lebih bisa dijadikan rujukan ataupun diinterpretasi ulang. Oleh karenanya, kesadaran berpikir filosofis terhadap historisitas munculnya aliran-aliran tafsir dari klasik, tengah sampai modern-kontemporer menjadi sangat penting. Sebab
kadang orang lupa bahwa al-Qur’an dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang ini ternyata merupakan bagian dari proses sejarah. Demikian halnya, perbedaan aliran-aliran dalam pemikiran Islam, baik dalam fikih, kalam tasawuf maupun tafsir. Hal itu merupakan bagian dari dinamika sejarah pemikiran umat Islam yang sebetulnya tidak lain adalah karena perbedaan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
E. CONTOH FALSAFI BAHWA ALAM QADIM Menurut Aristoteles, untuk menunjukkan dan menjelaskan keberadaan
Tuhan
terdapat
yaitu waktu dan gerak. Ia sesuatu
yang
tidak
ketika waktu dijadikan diasumsikan haruslah
menjelaskan berawal
sebagai
dan
tidak
patokan,
melingkar
berakhir. Gerakkan ini
fenomena,
bahwa waktu adalah berakhir.
maka
adanya gerak yang azali dan
harus
pun
Dan pula
abadi. Gerak itu
dan
dalam tempat, sehingga gerak ini
mengasumsikan
dua
bersambung tidak
berawal
adalahgerakan pertama adanya Penggerak
dan yang
pertama yang
bersifat azali dan substantif. Lebih lanjut Aristoteles menetapkan bahwa Penggerak pertama ini haruslah diam karena Ia lah yang menggerakkan gerak yang azali tadi.
Dari
pola
pemikiran
Aristoteles seperti inilah, kemudian Al Farabi dalam membangun
kerangka kerja dasar analisis filosofis mengenai Tuhan dan dunia, berangkat dari pengakuan bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang tak bersebab di alam semesta dan segala sesuatu di alam semesta selain Tuhan dihasilkan oleh sejumlah “sebab” di luar dirinya. Menurut al Farabi, segala sesuatu keluar dari Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Bagi Tuhan, cukup dengan mengetahui zat-Nya dapat menjadi sebab terjadinya alam. Alam keluar / terjadi
dari
Tuhan
karena emanasi (pancaran)
adalah
tanpa gerak atau alat, pekerjaan
akal
semata.
Dalam hal ini, al Farabi menjelaskan teori emanasinya, yang mirip dengan teori emanasinya Ibn Sina, yaitu adanya “akal pertama” sampai “akal kesepuluh” yang biasa disebut sebagai al ‘aql al fa’al. ‘Aql
fa’al inilah
yang
melakukan
aktifitas
di
karena ‘aql fa’al ini sebagai penghasil materi dan
dunia
pemberi
bentuk setiap materi serta jiwa bagi setiap benda ketika benda tersebut
siap
menerimanya. Jadi, ‘aql
fa’al juga
merupakan
sumber eksistensi jiwa manusia. Dengan kata lain, alam semesta diciptakan
bukan
dari tiada,
melainkan
dari
sesuatu
yangada. Dan hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa alam ini qadim, yakni tidak bermula dalam waktu, bersifat kekal dan tidak hancur.
Sebenarnya, selaku seorang Muslim, al Farabi tidak menolak bahwa Tuhan adalah “Pencipta abadi” alam semesta, tetapi selaku Aristotelian sejati, ia percaya bahwa aktifitas Tuhan hanya
mencakup
memunculkan
kemungkinan-kemungkinan
dalam
yang
keadaan
aktualitas
sebetulnya inheren dalam
“materi pertama” (hayula), yang dinyatakan sebagai “abadi bersama Tuhan” (co-eternal). Ini sesuai dengan pemahaman Aristotelian
tentang
perubahan,
bukan
sebagai
jalan
pintasdari tidak ada menjadi ada, karena hal itu dianggap tidak dapat dipahami. Akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembang melalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku “Pencipta abadi” konstan mengkombinasikan “materi” dengan “bentuk-bentuk” baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ke-tiadaan belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Dan sebagai akibat logisnya, al Farabi percaya kepada “keabadian” waktu. Hal demikian itu oleh al Ghazali, dalam kitabnya al Tahafut al Falasifah, dianggap menyalahi kemutlakan Tuhan, karena menganggap segala sesuatu abadi (co-eternal) bersama Tuhan adalah melanggar prinsip penting monotheisme. Menurut al Ghazali, dunia diciptakan oleh Tuhan dari ke-tiada-an mutlak. Bahkan, Tuhan tidak hanya menciptakan “bentuk” (forma)tetapi juga “materi” dan “waktu” bersama keduanya, sehingga memiliki
permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas. Lebih lanjut
al
Ghazali
menyatakan
bahwa qodim berartitidak
bermula, tidak pernah ada pada masa lampau dan oleh karena itu bisa membawa kepada pengertian tidak diciptakan. Dalam masalah ini, menurut al Ghazali, yang terpenting hanyalah Tuhan. Oleh karena itu, bagi al Ghazali, selain dari Tuhan haruslah bermula (hadits).Dan sebagai konsekuensi logisnya, alam
(dunia)
ini
harus
diasumsikan
dari tidak
ada menjadiada sebab diciptakan oleh Tuhan. Dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa penciptaan alam yang tidak bermula adalah pendapat yang tidak dapat diterima oleh teologi, karena menurut teologi, Tuhan adalah Pencipta. Disini, yang dimaksud dengan “Pencipta” dalam paham teologi adalah “penciptaan
sesuatu
dari
tiada” (creation
ex
nihilo). Masih
menurut al Ghazali, kalau dikatakan alam tidak bermula, maka alam ini bukanlah diciptakan , dan Tuhan bukanlah sebagai “Pencipta”, padahal dalam al Qur’an telah jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta dari segala-galanya. Pendapat al Ghazali yang demikian itu dibantah oleh Ibn Rusyd. Menurutnya, pendapat para teolog tentang penciptaan alam sebagaimana dikemukakan oleh al Ghazali itu tidak mempunyai dasar yang kuat, karena tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa pada mulanya Tuhan berwujud sendiri,
yakni tidak ada wujud lain selain diri-Nya, dan kemudian barulah dijadikan alam. Kata Ibn Rusyd, ini hanyalah pendapat dan interpretasi para teolog saja. Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi: وهوالششذي خلششق السششموات والضرض فششى سششتة ايششام وكششان عرشششه على الماء ليبلوكم ايكم احسن عمل Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7) Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi: اولم يرالذين كفرواان السموات والضرض كانتا ضرتقا ففتقنهما وجعلنششا من الماء كل شيء حي افل يوءمنون Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30)
Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari
“uap”
atau
“air”,
dan
bukan
dari ketiadaan. Dengan
demikian, alam, dalam arti unsurnya, adalah bersifat kekal dari zaman lampau atau qadim. Menurut Ibn Rusyd, sungguh pun alam ini diciptakan karena “sebab” yang lain, namun boleh bersifat qadim, yaitu tidak
mempunyai
permulaan
dalam
wujudnya. Dengan
demikian,qadim berarti sesuatu yang dalam kejadiannya bersifat kekal, terus menerus, tak bermula dan tak berakhir. Selanjutnya, Ibn Rusyd menambahkan bahwa antara teolog dan filosof memiliki
perbedaan
pemahaman
itu qadim dan hadits. Hadits menurut mewujudkan mewujudkan
dari tiada, sedangkan yang
tak
tentang
para bagi
bermula
teolog
apa berarti
filosof, hadits berarti dan
tak
berakhir.
Adapun qadim menurut filosof tidak selalu berarti tanpa sebab, tetapi bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab. F. PENUTUP Tafsir
falsafi
berati
pernafsiran
al-Qur’an
dengan
menggunakan perserktif falsafah, yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang
mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat alQur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Hal ini berarti bahwa
ayat-ayat
al-Qur’an
dapat
ditafsirkan
dengan
menggunakan filsafat. Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat. Karakteristik yang paling menonjol dari 2 corak penafsiran di atas yakni terletak pada penggunaan akal yang lebih aktif dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang sering kita kenal dengan istilah tafsir bi al-ra’yi, berbeda dengan tafsir bi al-matsur yang menafsirkan al-Qur’an dengan nash-nash penguat yang lain baik al-Qur’an dengan al-Qur’an ataupun alQur’an dengan hadis dst. Kesimpulannya sebagai seorang mukmin hendaklah bisa berfikir panjang tentang sebuah kajian yang masih perlu pembuktian jangan asal menerima apa yang cocok dengan aqal semata karena aqal takkan mampu mencapai perasaan (qolb sanubari) sedang al-qur'an & al-hadis itu petunjuk alloh serta rosululloh SAW sebagai bekal kita untuk menkaji setiap rahasia yang termaktub di dalam nya . Corak penafsiran ini akan sangat bermanfaat nantinya untuk membuka khazanah keislaman kita, sehingga kita nantinya akan mampu mengetahui maksud dari ayat tersebut dari
berbagai aspek, terutama aspek filsafat. Metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih valid walaupun keberannya masih tetap relatif.
[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2010), hlm. 24 [2] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah tafsir al-Qur’an, hlm. 131 [3] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Quran ,, hlm. 132 [4] Filsafat Islam. [5] Adz-Dzahabi, tafsir wal mufassirun. Hal: 421 [6] DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu. Hal: 23. [7] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Karim li Ibni al-Katsir (Beirut: Maktabah al-Aulad as-Syaikh li At-Turats), hlm. 115 [8] DR. Husein Aziz, MA. Bahasa al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu.