Tema - Tema Sentral Dalam Konseling Lintas Budaya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Konseling multicultural TEMA – TEMA SENTRAL DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA



Dosen



: Rischa Yuliani, M.Pd



Penyusun



: Zainal Nuraidin



Jurusan



: BKI IV Pagi



A.Berbagai Tema Sentral Dalam Konseling Lintas Budaya 1. Bahasa Bahasa merupakan sistem lambang bunyi berartikulasi yg bersifat sewenang-wenang dan konvensional yg dipakai sbg alat komunikasi untuk mela-hirkan perasaan dan pikiran.(Kamus Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional ). Bahasa menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Budaya bilamana: a. Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun kosa kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang orang lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi yang berbeda. Contoh: konseli yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya “makan dia sudah”, maka akan menimbulkan kebingungan bagi konselor untuk mengartikan ucapan konseli tersebut. b. Miskin dalam kosa kata Seseorang yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata. Contoh: Seorang konseli yang tidak bisa merangkai kosa kata dalam mengungkapkan apa yang akan dia katakana akan membuat konselor atau pun orang lain bingung dalam menerima atau pun mengartikan kata-katanya tersebut. c. Miskin dalam ungkapan- ungkapan



Contoh: Lia tidak nyambung ketika teman- temannya berbicara tentang istilah “ Ayam Kampus”. Kemudian Lia menanyakan pada temannya tentang istilah tersebut , temannya kemudian tertawa terbahak- bahak dan menganggap Lia sebagai orang bego. d. Penggunaan dialek yang berbeda- beda. Contoh: orang malang yang menggunakan kata dibalik- balik misalnya: berapa(orip) dan mengginakan dialeg tegas(terkesan kasar).Orang Yogyakarta menggunakan karma alus dalam kebanyakan pembicaraannya. e. Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan. Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal konselinya berasal dari Madura, Konselor menganggap Konseli mengerti semua apa yang oleh konselor. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa yang diucapkan konselor. f. Perbedaan kelas sosial Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara dengan bahasa yang kelasnya tinggi(eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang dengan status social rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN menjelaskan pada warga desa terpencil dengan menerangkan tentang penyebaran penyakit dengan menggunakan istilah- istilah tinggi misalnya: inkubasi, injeksi. Tanpa menjelaskan arti yang lebih mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti apa ia katakana. Seharusnya kata tersebut dijelaskan inkubasi= penularan penyakit dalam tubuh dan injeksi= menyuntik. g. Usia Contoh: Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/ masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal itu adalah kurang ajar. h. Latar pendidikan keluarga



Contoh: Konseli yang memilki orang tua berlatar pendidikan tinggi akan dianggap berasal dari keluarga kelas atas. i. Penggunaan bahasa gaul. Contoh: Konseli yang menggunakan bahasa gaul missal ; pembokat,Lekong dll. Jika Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan menjadi tidak bersambungan dalam komunikasi. 2. Nilai Nilai ( Value) merupakan kecenderungan/ disposisi mengenai preferensi (kelebih-sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/ diinginkan dan disukai orang banyak yang berkenaan dengan baik/buruk, patut/ tidak patut, pantas/ tidak pantas. Nilai menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Budaya bilamana: a. Memaksakan Nilai diri terhadap orang lain Contoh: Konselor yang memaksakan konseli untuk melaksanakan nilai sub- budaya konselor. Konselor merupakan orang yang rapi dan wangi, konselor tidak melayani konseli yang tidak rapi dan tidak wangi sebelum mereka rapi dan wangi. b. Memaksakan Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas. Contoh: Konselor yang menganggap konseli tidak sopan karena tidak membungkuk ketika lewat di depan orang yang lebih tua. Konselor tersebut tidak mau membantu konseli sebelum ia mau mengubah kebiasaan mereka untuk membungkukkan badan ketika lewat didepan orang yang lebih tua. Tohang berasal dari Timor Leste yang mempunyai kebiasaan menepuk bahu orang yang dijumpainya sekalipun ia lebih tua darinya.



3. Stereotip Stereotip



merupakan



opini/



pendapat



yang



terlalu



disederhanakan,



dan



tidak



disertai



penilaian/kritikan( Brown et al, 1988). Stereotip juga merupakan generalisasi mengenai orang- orang dari kelompok lain, dimana seseorang memberi definisi dulu baru mengamati. Stereotip menjadi kendala konseling( termasuk hambatan sikap)karena terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit untuk diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang berulang- ulang.Hal itu merupakan hasil belajar sehingga semakin lama semakin susah di ubah.



Contoh: konselor yang menganggap konseli laki- laki yang memakai anting pasti pembuat onar dan brandal. Sehingga ketika konseling konselor mengalami kesulitan untuk mengubah pandangannya tentang konseli laki- laki tersebut yang memakai anting. 4. Kelas Sosial Kelas sosial muncul karena latar pendidikan, pekerjaan, kekayaan, penghasilan, dan perilaku orang tersebut membelanjakan uang. Ada 3 kelas sosial yang masih dapat dibagi lagi menjadi 9 yaitu atas- atas, atasmenengah, atas bawah).Situasi yang menjadi kedala: tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien , persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia.Konselor dari kelas sosial menegah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan konseli dari kelas sosial tinggi/ rendah. Contoh: Bu Ana dari kelas sosial sedang yang mempunyai konseli dari kelas sosial tinggi benama Grace yang kesekolah mengendarai mobil sendiri, hobi shoping dan ke salon ketika Grace bercerita terhadap Bu Ana , Bu Ana kurang memahami Grace sepenuhnya karena perbedaan kelas sosial diatas. 5. Ras atau suku Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa, Sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam satu kelompok. Perbedaan suku yang menjadi kendala dalam konseling karena masing- masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda- beda. Selain itu golongan minoritas terkadang disamaratakan oleh golongan mayoritas. Contohnya: konseli yang berasal dari suku bali dan konselor yang berasal dari suku jawa melaksanakan konseling 6. Jenis kelamin(gender) Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin mempengaruhi konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap lakilaki tidak boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka terkadang konselor menganggap aneh dan salah. Contoh : konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara selayaknya laki-laki. 7. Usia



Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut. Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai budaya usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya perbedaan kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentangan usia. Contoh : anak laki-laki jika dijemput orang tua, terutama ibu, terkadang ia malu dan memilih pulang sendiri atau pulang



bersama teman-temannya. Akan tetapi menurut orang tua hal itu merupakan suatu bentuk perhatian orang tua terhadap anaknya.



B.Konseling Dengan Keanekaragaman Budaya Dalam Masyrakat Struktural . Dalam rangka memahami hubungan yang erat antara konseling dan kultur, konseling harus mempertimbangkan dalam konteks budayanya. Tak dapat disangkal, klien yang secara kultural berbeda mempersepsikan sesi konseling sebagai gagal, tidak relevan, dan benar-benar tidak menolong. Penekanan yang sekarang pada konseling multikultural yang lebih lanjut menggambarkan bahwa konselor tidak mengenali kenyataan klien menjadi produk dari latar belakang budaya yang berbeda (Draguns,1989). Langkah pertama dalam konseling adalah untuk memahami klien , isu, permasalahan, gejala, dan rasa sakit/keluhan yang membimbing klien untuk mencari bantuan dan membebaskan diri dari distress. Di dalam situasi konseling yang multikultural, perlu untuk menilai klien sebagai satu kesatuan budaya sebelum perencanaan dan implementasi intervensi konseling(Ibrahim&Arre-Dondo, 1986). Untuk itu dibutuhkanlah beberapa karakteristik seorang Konselor yang dipandang efektif dalam konseling multikultural untuk meamahami masalah ataupun hal yang berkaitan dengan klien tersebut, beberapa karakteristik tersebut menurut Sue adalah : 1. Konselor yang secara kultural efektif mengenali nilai-nilai dan asumsi mana yang mereka pegang mengenai perilaku manusia yang diinginkan atau tidak diinginkan. 2. Konselor yang secara kultural efektif adalah mereka yang menyadari karakteristik umum dari konseling yang melintasi beberapa pikiran/anggapan. 3. Konselor yang secara kultural efektif bisa berbagi pandangan duniadengan klien mereka tanpa meniadakan hak kekuasaan mereka. 4. Konselor yang secara kultural efektif sungguh-sungguh eklektif dalam konseling. (Sue, 1978). Kemudian di dalam artikelnya pada tahun 1981, Sue mengemukakan tambahan karakteristik yang efektif dalam konseling multikultural yang perlu dikuasai Konselor yaitu : 1. Orang yang telah berpindah dari yang tidak menyadari secara budaya kepada adanya kesadaran dan kepekaan terhadap budaya yang dimilikinya. 2. Menyadari nilai-nilai dan bias yang dimilikinya dan bagaimana hal ini mempengaruhi klien yang berbeda budayanya. 3. Merasa nyaman dengan oerbedaan yang ada dengan klien dalam kaitan dengan masalah ras dan kepercayaan.



4. Harus menguasai informasi dan pengetahuan yang spesifik tentang kelompok tertentu dimana Ia bekerjasama dengannya. 5. Harus mempunyai informasi dan pengetahuan secara eksplisit dan jelas tentang konseling. 6. Harus mampu menghasilkan suatu tanggapan nonverbal dan verbal/lisan yang luas. 7. Harus mampu mengirim dan meneima pesan baik secara verbal maupun nonverbal dengan teliti dan sewajarnya. Persiapan Profesional dan Pelatihan Perbedaan kesukuan dan kebudayaan yang luas mendorongkonselor untuk mempunyai pengalamanpengalaman profesional yang sesuai secara kultural dalam pelatihan konselor. Sehingga perlu persiapan profesional khusus didalam memberikan pelayanan pada klien yang berasal dari beragam budaya. Menurut Drandea dan Daniels (1991) mengusulkan program pelatihan konseling multikultural untuk para profesional (konselor) melalui dua tingkat yaitu : 1. Tingkat Cultural Encapsulation dimana teori konseling diajarkan dengan latar budaya aslinya. Pada tingkatan ini, konseling diajarkan berdasar stereotip dosennya(pengajarnya), alih-alih memperhatikan pandangan kelompok budaya tertentu. Perbedaan budaya cenderung diabaikan , dan hanya memakai asumsi latar belakang budaya konselor sendiri. 2. Tingkat Concentius, dimana kandidat konselor peran penting bagi budaya, ras, kelamin, faktor kelas sosial dalam perkembangan seseorang, dan perubahan-perubahan konseptual yang perlu dalam konseling yang perlu agar konseling dapat bersifat multikultural. Bahan pengajaran dapat diambil dari jurnal yang memuat hasil penelitian mutakhir, atau dari praktikum studi kasus (Lewis&Hayes, 1991).



Daftar Pustaka http://counselingc1.blogspot.com/2010/04/kendala-konseling-lintas-budaya.html Dardiri, A. 2004. Pendidikan Multikultural. Makalah : disampaikan dalam stadium general FIP. Dayakisni, Tri. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang : UMM Press