Tugas Akhir (Nike Melinda - 15303037) Complete [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

No. 12182/1007/D/2007



PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMAHI DI KOTA CIMAHI



TUGAS AKHIR Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana



Oleh Nike Melinda NIM: 15303037



Program Studi Teknik Lingkungan



Fakultas Teknik Sipil Dan Lingkungan



INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007



LEMBAR PENGESAHAN Tugas Akhir Sarjana



PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI CIMAHI DI KOTA CIMAHI Adalah benar dibuat oleh saya sendiri dan belum pernah dibuat dan diserahkan sebelumnya baik sebagian ataupun seluruhnya, baik oleh saya maupun orang lain, baik di Institut Teknologi Bandung maupun institusi pendidikan lainnya. Bandung, 26 September 2007 Penulis,



Nike Melinda NIM: 15303037



Bandung, 26 September 2007 Pembimbing,



Dr. Ir. Edwan Kardena NIP: 131860378



Mengetahui, Program Studi Teknik Lingkungan Ketua,



Dr. Ir. Agus Jatnika Effendi NIP: 132061764



Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rizki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (Q.S. Ibrahim: 32)



Tugas Akhir ini kupersembahkan untuk Papa, Mama, dan Kak Windi yang tercinta



ABSTRAK Dalam rencana pengembangan wilayah Metropolitan Bandung, Kota Cimahi memiliki fungsi sebagai daerah pemukiman dan industri, yang sekaligus diidentifikasikan sebagai kawasan yang tumbuh pesat. Perkembangan Kota Cimahi yang pesat telah meningkatkan penggunaan lahan dan mengurangi daerah resapan. Total areanya yang belum terbangun sebesar 32,76%. Curah hujan rata-rata di Kota Cimahi mencapai 2000 mm/tahun dan hasil perhitungan debit limpasan air hujan dengan Metode Modifikasi Rasional menunjukkan angka yang tinggi, yaitu 20.287.820 m3/tahun. Sistem drainase eksisting tidak lagi mampu menampung debit limpasan yang besar sehingga setiap tahun Kota Cimahi mengalami banjir. Langkah yang dapat diambil untuk mengatasi banjir di Kota Cimahi adalah penerapan sistem drainase berwawasan lingkungan. Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi dipilih sebagai wilayah perencanaan drainase berwawasan lingkungan ini. Prioritas utama kegiatan adalah pengelolaan limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas penampungan air hujan, yaitu sumur resapan dan kolam retensi. Nilai koefisien permeabilitas tanah di Kota Cimahi yang cukup besar (1,67 x 10-3 cm/detik) menjadi faktor pendukung penerapan sumur resapan. Potensi sumur resapan yang dapat dibangun sebanyak 28.922 buah. Sumur resapan akan diterapkan hampir di seluruh wilayah perencanaan kecuali Kelurahan Cibeber dan Kelurahan Leuwigajah yang tidak memenuhi persyaratan kemiringan lereng. Kolam retensi yang direncanakan berjumlah empat buah dengan kapasitas debit total sebesar 10,34 m3/detik. Penerapan sumur resapan dan kolam retensi ini mampu meresapkan air sebesar 11.876.650,48 m3/tahun. Kata kunci: Daerah Aliran Sungai Cimahi, limpasan air hujan, drainase berwawasan lingkungan, fasilitas penampungan air hujan.



ABSTRACT In Development Planning of Bandung Metropolitan Area, Cimahi City has function as residence and industrial area, also identified as a rapid growth city. Rapid growth of Cimahi City increase land use and reduce infiltration area. Only 32.76% of its area has been developed. Average rainfall in Cimahi City is 2000 mm/year and its runoff discharge is 20,287,820 m3/year from calculation by modification rational method. The existing drainage system can not hold runoff in great quantities anymore. Consequently, flood happen in Cimahi City when rainy season. The solution of flood problem in Cimahi City is environmental drainage system application. Cimahi watershed has been chosen as a study area for this environmental drainage system application. The main priority is runoff management by developing rainfall retention facilities, specifically shallow infiltration well and detention basin. The great permeability of Cimahi City soil (1.67 x 10-3 cm/s) becomes support factor to build shallow infiltration well. Shallow infiltration well potential which can be built is 28,922. Shallow infiltration well will be applied in almost every part of study area, except Kelurahan Cibeber and Kelurahan Leuwigajah where not fulfill slope criteria. Four detention basins have been planned in Cimahi watershed with total discharge capacity 10.34m3/s. Shallow infiltration well and detention basin can infiltrate 11,876,650.48 m3/year of water. Key words: Cimahi watershed, runoff, environmental drainage system, rainfall retention facilities



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan kekuatan, berkah, dan rahmat dari-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Pada tugas akhir ini penulis merencanakan sistem drainase dan pengendalian banjir di Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi. Dalam pengerjaannya, penulis telah mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Edwan Kardena selaku dosen pembimbing. Terima kasih atas kesabaran, kesediaan waktu, kemurahan hati, dan ilmu yang telah Bapak berikan dari awal bimbingan hingga saat sidang sarjana. Semoga kebaikan Bapak selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. 2. Ir. James Nobelia I., MT dan Dr. Rofiq Iqbal, ST, M.Eng selaku dosen penguji. Terima kasih telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membaca, menguji, serta memberikan saran-saran yang bermanfaat untuk tugas akhir ini. 3. Dr. Ir. Benno Rahardyan dan Dr. Sukandar, Ssi, MT sebagai koordinator seminar dan koordinator sidang sarjana. 4. Drs. Moch. Irsyad, Msi selaku dosen wali. 5. Mama, Papa, dan Kak Windi yang tercinta Terima kasih yang tiada hentinya untuk dukungan, doa, dan kasih sayang tulus yang kalian berikan selama ini. Semuanya sangat berarti dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. 6. Keluarga besar Bapak Sugianto Terima kasih atas doa dan dukungannya selama penulis mengeyam pendidikan di Bandung. 7. Pegawai BAPPEDA Kota Cimahi, Dinas Tata Kota Cimahi, BMG Cemara, BMG Husein Sastranegara, PUSAIR Kota Bandung, dan Perpustakaan Geologi Tata Lingkungan Bandung. Terima kasih atas bantuannya saat penulis mengumpulkan data-data untuk keperluan tugas akhir ini. 8. Pegawai Tata Usaha dan Perpustakaan Teknik Lingkungan Terima kasih atas bantuan Ibu Sri, Mba Titi, Pak Wawan, Pak Tjetjep, Pak Asep, dan Pak Ade.



9. Eva Kumala Sari Makasi udah jadi sahabat yang paling setia. Dirimu memang orang yang paling sanggup ngadepin gw, mulai dari ngadepin gw saat ada masalah yang bikin gw nangis semaleman sampe kegilaan gw yang tentu saja ga semua orang bisa mentolerirnya. Makasi udah nyemangatin saat gw penat ama TA. 10. ORIENTAL 2003 Pare dan Dira, sahabat yang membuat hari-hari selama kuliah sangat menyenangkan. Gw bersyukur banget punya sobat kalian berdua saat kuliah. Pritta si lucu nan gempal. Cepet nyusul jadi ST ya! Makasi udah sering jadi tempat curhat dadakan dan selalu aja bisa buat suasana hati gw yang buruk jadi seger lagi Cuma dengan ngeliat mimik wajah lo doang. Maryam, temen seperjuangan TA desain. Nice to know u, walopun telat karena baru tingkat ahir. Makasi udah ngenalin gw ama XL, komunikasi saat ngerjain TA jadi begitu lancar begitu nyata. Oia, orang yang paling rajin dalam hal pengerjaan TA. Kalo dengerin kemajuan TA lo, gw langsung semangat lagi. Saputra, temen seperjuangan mengejar Pak Edwan. Lucky, makasi atas pinjeman buku ’Hidrologi dan Hidrolika’ dan bincangbincang singkat untuk berbagi ilmu. Dinotz, makasi pinjeman buku-buku Hidrologinya. Anggi, makasih udah nemenin latihan seminar dan nungguin sidang. Aie, My Nyoy Sista, makasih udah dateng pagi-pagi dengan Ophie dan Anggi untuk nungguin aku sidang. Adis, makasi udah nemenin latihan seminar, nungguin sidang, dan ide buat ngerekam waktu gw seminar. Denia, makasi udah nemenin waktu pertama kali ke Cimahi, nemenin latihan seminar, dan ngasi banyak masukan. Muti, Ei, dan Mike, temen seperjuangan TA desain. Ratri yang selalu ngjailin dan tertawa puas dengan kelemotan gw. Makasi ya tips fashion kebayanya. Choi yang sesekali nganterin martabak keju kismis di malem hari menjelang pertandingan bola. Moga cepet nyusul jadi ST ya.



Kania yang secara ga langsung ngajarin gw untuk ngadepin segala sesuatu dengan santai. Carya, sering banget gw ngerasa bodoh di depan lo Car, tapi itu yang buat gw pengen lebih banyak belajar. Makasi udah nganterin ke PemKot Cimahi dan cukup bisa mengendalikan diri untuk tidak tertawa puas saat gw nangis ☺ Opik si beruang madu dari padang pasir yang selalu menghibur dengan obrolan santap pagi, santap siang, santap malam, dan santap-santap lainn pada waktu yang tidak lazim. Ninda, makasih buat pinjeman Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Cimahinya. Hasti, makasi infonya tentang Perpustakaan Geologi. Krisna yang selalu ngajarin untuk optimis. Verta dan Omdoz, uwak yang selalu ngjailin tapi mudah juga untuk dianiaya. Eka, temen belajar bareng yang suka minep dikosan gw kalo musim ujian. Codet, Imam, Chandra, Mel, Aso, Cindy, Vidya, Umi, Novi, Dyah C, Donal, Pandu, Luthfi, Hadi, Puti, Haryo, Toguh, Abe, Emy, Niken, Ochi, Bluher, Orig, Emon, Heni, Ricky, Picky, Wening, Alim, Puput, Danu, Citra, Deo, Wahyu, Anna, Imla, Diah P, Korentz, CingCing, Tiza, Ophie, Yuli, Girsang, Indri, Manda. 11. Keluarga Baru-ku di CB 70 Sari yang udah nemenin ke PemKot Cimahi dan bersedia kayak anak ilang nongkrong di depan kantor BAPPEDA. Makasih juga buat pinjeman laptopnya waktu gw sidang. Mei yang sering banget gw pinjem digicamnya. Ahirnya kita bisa lulus bareng. Evi, yang selalu menghibur dengan tingkah lucunya. Makasih udah ngingetin untuk produktif dan selalu nyemangatin. Mba Mitha, Wini, dan Vina atas doanya sebelum gw sidang. Zara, Oliv, Lisa, trio penghuni baru. Mba Sum, yang paling tahan ngadepin kejailan gw di kosan dan selalu masakin makanan yang yummy banget sampe berat badan gw naek 3 kg dalam waktu 3 bulan pertama gw tinggal di CB 70. 12. TL 2002 Adji dan Dika, makasi pinjeman mobil dan motornya. Teh QQ Sari, makasi udah banyak ngasi masukan buat TA. Kak Fanny, makasi banget buat peta-



peta digital yang sangat mahal harganya tapi ahirnya gw dapatkan gratis dari Kak Fanny. Tya, makasi buat pinjeman master TA drainasenya. Arum, makasi buat tips-tips sidang dan trik-trik ACAD. Cintya, temen seperjuangan mengejar Pak Edwan. Senangnya kita bisa lulus bareng. 13. TL 2001 Teh Mitha, makasi buat obrolan singkatnya menjelang deadline masukin UGB TA dan pinjeman master TA drainasenya. Bang Nico, makasi pinjeman laptopnya buat latihan presentasi sidang di depan Pak Edwan. Ipeth, makasih atas tips bimbingan dengan Pak Edwan. 14. TL 2004 Jack yang udah dipinjem motornya buat ke Cimahi ngambil foto-foto. Rinta, Manda, Sapi, Ngkong, Pepeng, Safrul, Bunga, Suci, geng PABD yang sering ngdoain gw biar cepet lulus. Doa kalian sungguh ampuh. 15. Geng GarTek Eji, Nasti, Yeni, Dita, Widya, Dewa, Ijal, Tiwi, yang juga sering ngdoain biar gw bisa cepet lulus. Makasi banget ya. 16. Last but not least, Krishna Bayumurti Terima kasih untuk doa, kasih sayang, dukungan, kesabaran, dan kejailanmu selama ini. Terima kasih pula karena telah menjadi kekasih, sahabat, dan saudara yang terbaik. Kamu benar-benar bisa membuat aku percaya diri dengan semua yang aku miliki. 17. Dan semua pihak yang telah banyak membantu penulis



Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran dapat dikirimkan ke alamat email penulis : [email protected]



Bandung, 26 September 2007



Nike Melinda



DAFTAR ISI



Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan I.3 Lokasi Perencanaan I.4 Ruang Lingkup I.5 Metodologi I.6 Sistematika Penyusunan Laporan BAB II Gambaran Umum Wilayah Perencanaan II.1 Karakteristik Lingkungan Fisik II.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif II.1.2 Kondisi Topografi II.1.3 Formasi Geologi II.1.4 Litologi II.1.5 Air Tanah II.1.6 Hidrologi II.1.7 Cuaca dan Iklim II.2 Kependudukan II.3 Struktur Pemanfaatan Ruang Kota II.4 Prasarana Kota II.4.1 Penyediaan Air Bersih II.4.2 Pengelolaan Air Limbah II.4.3 Sistem Drainase II.5 Masalah Lingkungan BAB III Metodologi Perencanaan III.1 Metode Perencanaan Sistem Drainase III.2 Penjelasan Metodologi Perencanaan Sistem Drainase III.2.1 Tahap Pengumpulan Data III.3.2 Tahap Analisis Hidrologi III.3.3 Tahap Perencanaan Sistem Drainase BAB IV Teori Dasar IV.1 Umum IV.2 Drainase IV.2.1 Pengertian Drainase IV.2.2 Fungsi dan Kiat Sistem Drainase IV.2.3 Pembagian Saluran Drainase



i iv vii viii I-1 I-2 I-2 I-2 I-3 I-3 II-1 II-1 II-2 II-3 II-4 II-5 II-5 II-6 II-7 II-7 II-9 II-9 II-10 II-11 II-13 III-1 III-1 III-1 III-2 III-3 IV-1 IV-1 IV-1 IV-2 IV-3



i



IV.3 Kriteria Hidrologis IV.3.1 Periode Ulang Hujan (PUH) IV.3.2 Perhitungan Debit Banjir IV.3.3 Waktu Konsentrasi IV.3.4 Perubahan PUH IV.3.5 Tinggi Hujan Rencana IV.3.6 Koefisien Limpasan IV.3.7 Koefisien Storasi IV.3.8 Intensitas Hujan IV.3.9 Luas Daerah Pengaliran IV.3.10 Pengaruh DPS Parsial IV.4 Kriteria Hidrolis IV.4.1 Kapasitas Saluran IV.4.2 Kecepatan Aliran IV.4.3 Kemiringan Saluran dan Talud Saluran IV.4.4 Penampang Saluran IV.4.5 Ambang Bebas IV.4.6 Perlengkapan Saluran IV.5 Profil Aliran IV.5.1 Profil Aliran Akibat Pengaruh Debit Limpasan IV.5.2 Profil Aliran Akibat Pengaruh Penampang Saluran IV.6 Usaha Konservasi Sumber Daya Air IV.6.1 Sumur Resapan IV.6.2 Kolam Retensi BAB V Analisis Hidrologi V.1 Umum V.2 Analisis Data Curah Hujan V.2.1 Penentuan Stasiun Utama V.2.2 Pelengkapan Data Curah Hujan V.2.3 Tes Konsistensi V.2.4 Tes Homogenitas V.3 Analisis Curah Hujan Harian Maksimum V.3.1 Metode Gumbel V.3.2 Metode Log Pearson Tipe III V.3.3 Metode Distribusi Normal V.3.4 Uji Kecocokan V.4 Analisis Intensitas Hujan V.4.1 Metode Van Breen V.4.2 Metode Bell Tanimoto V.4.3 Metode Hasper dan Der Weduwen V.4.4 Penentuan Metode Perhitungan Intensitas Hujan V.4.5 Penggambaran Kurva IDF BAB VI Dasar Perencanaan Sistem Drainase



IV-4 IV-4 IV-5 IV-6 IV-13 IV-14 IV-14 IV-17 IV-17 IV-18 IV-18 IV-19 IV-19 IV-19 IV-26 IV-27 IV-29 IV-30 IV-40 IV-40 IV-41 IV-44 IV-46 IV-52 V-1 V-1 V-1 V-3 V-6 V-8 V-10 V-11 V-13 V-15 V-16 V-21 V-21 V-22 V-24 V-25 V-27



ii



VI.1 Umum VI.2 Dasar Perencanaan Saluran Drainase VI.2.1 Sistem Penyaluran VI.2.2 Prinsip Pengaliran VI.2.3 Jalur Saluran VI.2.4 Bentuk dan Keadaan Saluran VI.2.5 Bangunan Pelengkap yang Digunakan VI.2.6 Debit Banjir VI.2.7 Penentuan Dimensi Saluran VI.3 Dasar Perencanaan Sumur Resapan dan Kolam Retensi VI.3.1 Identifikasi Kelayakan Sumur Resapan VI.3.2 Penentuan Lokasi Sumur Resapan VI.3.3 Penentuan Dimensi Sumur Resapan VI.3.4 Identifikasi Kebutuhan Kolam Retensi VI.3.5 Penentuan Dimensi Kolam Retensi VI.3.6 Jumlah Air Teresapkan BAB VII Usulan Perencanaan Sistem Drainase VII.1 Konsep Umum VII.2 Usulan Perencanaan Sistem Drainase VII.2.1 Perencanaan Saluran Drainase VII.2.2 Sumur Resapan VII.2.3 Kolam Retensi BAB VIII Spesifikasi Teknis dan Rencana Anggaran Biaya VIII.1 Lingkup Pekerjaan VIII.2 Pekerjaan Saluran Drainase dan Bangunan Pelengkap VIII.2.1 Pekerjaan Tanah VIII.2.2 Pekerjaan Timbunan Tanah VIII.2.3 Pekerjaan Pemadatan Tanah VIII.2.4 Pekerjaan Pemasangan Batu VIII.2.5 Pekerjaan Plesteran VIII.2.6 Pekerjaan Siaran VIII.2.7 Pekerjaan Beton VIII.2.8 Pekerjaan Bekisting VIII.2.9 Pekerjaan Perlengkapan Saluran VIII.3 Pekerjaan Sumur Resapan VIII.4 Pekerjaan Kolam Retensi VIII.5 Operasi dan Pemeliharaan VIII.5.1 Kegiatan Pengamanan dan Pencegahan VIII.5.2 Kegiatan Perawatan VIII.5.3 Kegiatan Perbaikan dan Penggantian VIII.7 Rencana Anggaran Biaya Daftar Pustaka



VI-1 VI-1 VI-1 VI-2 VI-3 VI-3 VI-4 VI-5 VI-5 VI-5 VI-6 VI-7 VI-8 VI-12 VI-13 VI-18 VII-1 VII-1 VII-1 VII-1 VII-2 VII-3 VIII-1 VIII-1 VIII-1 VIII-1 VIII-1 VIII-2 VIII-2 VIII-2 VIII-3 VIII-3 VIII-4 VIII-4 VIII-5 VIII-7 VIII-7 VIII-7 VIII-7 VIII-9 VIII-9



iii



DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14 Tabel 4.15 Tabel 4.16 Tabel 4.17 Tabel 4.18 Tabel 4.19 Tabel 4.20 Tabel 4.21 Tabel 4.22



Luas Wilayah Kecamatan dan Kelurahan Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kota Cimahi tahun 2005 Jumlah Kelurahan, RW, dan RT di Kota Cimahi tahun 2005 Pambagian Wilayah Kota Cimahi Penggunaan Lahan di Kota Cimahi tahun 1986 dan 2005 Persentase Penggunaan Air Bersih Kondisi Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik Eksisting Kota Cimahi Dimensi Drainase Jalan Raya Kota Cimahi Perkiraan Limpasan dan Resapan Air Hujan pada Tahun 2012 Cara Penyaluran Air Hujan PUH Desain Rinci Durasi Hujan Terpendek untuk Berbagai Tinggi Hujan Harian Maksimum Harga Kekasaran Manning Pendekatan Kecepatan Rata-Rata Berdasarkan Kemiringan Saluran Nilai Koefisien Retardasi Nilai Koefisien Manning Overland Flow Harga Koefisien Limpasan Untuk Berbagai Tata Guna Lahan Harga Kekasaran Manning untuk Berbagai Keadaan Saluran Harga Kekasaran Manning yang Dianjurkan dalam Saluran Drainase Harga Kekasaran Manning untuk Saluran Alami atau Sungai Harga τ Bazin untuk Berbagai Saluran Pendekatan Kecepatan Trial Berdasarkan Kemiringan Pendekatan Kecepatan Setempat Trial Berdasarkan Debit Puncak Faktor Koreksi dari Kecepatan Maksimum yang Diperbolehkan untuk Berbagai Kedalaman Faktor Koreksi untuk Kecepatan Saluran yang Diijinkan untuk Saluran Lengkung Kemiringan Dinding Saluran yang Sesuai untuk Berbagai Jenis Bahan Besaran Penampang Hidrolis Optimum Hubungan Dimensi Penampang Melintang Saluran Hidrolis Optimum Harga Cf untuk Suatu Rentang Debit Faktor Reduksi dalam Penentuan Kapasitas Inlet Nilai Koefisien Energi dari Berbagai Macam Saluran



Tabel 4.23 Unsur-Unsur Geometris Penampang Saluran



II-2 II-7 II-7 II-8 II-9 II-10 II-11 II-12 II-13 IV-2 IV-3 IV-6 IV-9 IV-10 IV-11 IV-12 IV-14 IV-19 IV-20 IV-21 IV-23 IV-23 IV-24 IV-25 IV-25 IV-26 IV-27 IV-27 IV-29 IV-31 IV-40 IV-41



iv



Tabel 4.24 Jarak Minimal Bangunan Lain Dengan Sumur Resapan Tabel 4.25 Efisiensi Penyisihan Polutan dari Kolam Retensi dan Kolam Retensi Tingkat Lanjut Tabel 4.26 Rekomendasi Alokasi Luas Permukaan dan Volume yang Diolah untuk Kedalaman Rawa Tabel 5.1 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 1977-2006 Tabel 5.2 Pelengkapan Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 1977-2006 Tabel 5.3 Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cimahi Terkoreksi Tabel 5.4 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cimahi yang Telah Homogen Tabel 5.5 Reduce Mean (Yn) Tabel 5.6 Reduce Standard Deviation (Sn) Tabel 5.7 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Gumbel Tabel 5.8 Nilai K untuk Distribusi Log Pearson Tipe III Tabel 5.9 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Log Pearson Tipe III Tabel 5.10 Nilai Variabel Reduksi Gauss Tabel 5.11 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Distibusi Normal Tabel 5.12 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat Tabel 5.13 Uji Chi Kuadrat Metode Gumbel Tabel 5.14 Uji Chi Kuadrat Metode Log Pearson Tipe III Tabel 5.15 Uji Chi Kuadrat Metode Distribusi Normal Tabel 5.16 Perbandingan Data Curah Hujan Harian Maksimum Tabel 5.17 Intensitas Hujan dengan Metode Van Breen Tabel 5.18 Pedoman Pola Hujan Menurut Bell Tanimoto Tabel 5.19 Intensitas Hujan dengan Metode Bell Tanimoto Tabel 5.20 Intensitas Hujan dengan Metode Haspers dan Der Weduwen Tabel 5.21 Deviasi antara Data Terukur dan Hasil Prediksi Tabel 5.22 Intensitas Hujan menurut Metode Van Breen dengan Persamaan Talbot Tabel 6.1 Rencana Perletakan Sumur Resapan di Kompleks KPAD Sriwijaya Tabel 6.2 Perhitungan Kedalaman Sumur Resapan dengan Metode SNI Tabel 6.3 Perhitungan Kedalaman Sumur Resapan dengan Metode Sunjoto Tabel 6.4 Perhitungan Dimensi Sumur Resapan untuk Berbagai Ukuran Rumah Tabel 6.5 Debit Total Teresapkan Dari Fasilitas Sumur Resapan dan Kolam Retensi Tabel 7.1 Dimensi Sumur Resapan Tabel 7.2 Kapasitas dan Dimensi Kolam Retensi Tabel 7.3 Rekapiltulasi Jumlah Street Inlet Tabel 8.1 Bahan-Bahan untuk Sumur Resapan



IV-50 IV-54 IV-54 V-2 V-4 V-8 V-10 V-12 V-12 V-13 V-14 V-15 V-16 V-16 V-17 V-19 V-20 V-20 V-20 V-22 V-23 V-24 V-25 V-27 V-27 VI-8 VI-9 VI-9 VI-10 VI-18 VII-3 VII-3 VII-4 VIII-6



v



Tabel 8.2 Tabel 8.3 Tabel 8.4 Tabel 8.5



Harga Upah Tukang Harga Bahan Bangunan Analisis Satuan Kerja Rencana Anggaran Biaya Sistem Drainase Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi



VIII-10 VIII-10 VIII-10 VIII-11



vi



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Flowchart 3.1 Flowchart 3.2 Flowchart 3.3 Flowchart 3.4 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3



Peta Orientasi Kota Cimahi Terhadap Propinsi Jawa Barat Peta Orientasi Kota Cimahi Terhadap Wilayah Metropolitan Bandung Peta Administrasi Kota Cimahi Peta Sistem Drainase Kota Cimahi Diagram Alir Metodologi Perencanaan Sistem Drainase Langkah-Langkah Analisis Hidrologi Langkah-Langkah Perhitungan Debit Limpasan Banjir Langkah-Langkah Perhitungan Dimensi Saluran Drainase Tipe-Tipe Street Inlet Terjunan Miring Klasifikasi Fasilitas Penahan Air Hujan Diagram Persyaratan Pembangunan Sumur Resapan Faktor Geometri untuk Sumur Resapan dalam Berbagai Kondisi Tipe Hidrograf Limpasan Metode Modifikasi Rasional Estimasi Volume Storasi Hidrograf Trapesium Kurva Tes Konsistensi Kurva Intensity Duration Frequency Poligon Thiessen



II-15 II-16 II-17 II-18 III-4 III-5 III-6 III-7 IV-32 IV-36 IV-45 IV-49 IV-52 IV-57 IV-57 V-7 V-28 V-29



vii



DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A : ANALISIS HIROLOGI LAMPIRAN B : PENENTUAN DIMENSI SALURAN DAN BANGUNAN PELENGKAP LAMPIRAN C : DOKUMENTASI DAERAH PERENCANAAN



viii



BAB I I.1



PENDAHULUAN



Latar Belakang



Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disebutkan bahwa Kota Cimahi termasuk dalam Kawasan Andalan Cekungan Bandung. Kota Bandung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Kota Cimahi sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Kota Cimahi dalam konteks keruangan nasional ini selaras dengan konsep Wilayah Metropolitan Bandung. Dalam rencana pengembangan Wilayah Metrolopitan Bandung (Bandung Metropolitan Area), Kota Cimahi memiliki fungsi sebagai daerah pemukimam dan industri, yang sekaligus diidentifikasikan sebagai kawasan yang tumbuh pesat.



Kota Cimahi memiliki luas 4.025,73 Ha dan terdiri dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi Tengah, dan Kecamatan Cimahi Selatan. Perkembangan Kota Cimahi yang pesat meningkatkan penggunaan lahan antara lain sebagai daerah perumahan, daerah industri, daerah perdagangan, dan perkantoran. Pengunaan lahan yang meningkat telah mengurangi daerah resapan air. Kondisi ini meningkatkan limpasan air hujan dan jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan banjir. Dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Cimahi terdapat prediksi bahwa pada tahun 2012 hampir seluruh kelurahan akan mengalami banjir di musim hujan.



Selain permasalahan banjir, Kota Cimahi juga dihadapkan dengan permasalahan penurunan muka air bawah tanah. Hal ini disebabkan pengambilan air bawah tanah bebas maupun air bawah tanah dangkal yang telah melebihi cadangan air bawah tanah itu sendiri terutama di kawasan industri. Salah satu langkah yang dapat diambil untuk mengatasi banjir dan permasalahan penurunan muka air bawah tanah di Kota Cimahi adalah penerapan sistem drainase berwawasan lingkungan. Sistem drainase berwawasan lingkungan memiliki dua kiat penting, yaitu:



I-1



1.



Menyediakan daerah hijau sebagai daerah peresapan air yang optimum



2.



Sebesar mungkin meresapkan atau menampung limpasan air hujan dari hulu yang belum membahayakan sebagai sumber daya imbuhan air tanah dan air permukaan untuk kehidupan. Dengan demikian akan mengurangi arus limpasan ke hilir yang dapat mengurangi erosi dan bahaya banjir.



I.2



Maksud dan Tujuan



Maksud tugas akhir ini adalah untuk merencanakan sistem drainase dan pengendalian banjir di Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi. Tujuan tugas akhir ini adalah menyusun secara rinci sistem drainase dan pengendalian banjir di Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi.



I.3



Lokasi Perencanaan



Lokasi perencanaan adalah Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi. Daerah perencanaan ini meliputi: 1. Sebagian besar Kelurahan Citeureup 2. Sebagian kecil Kelurahan Cibabat 3. Sebagian besar Kelurahan Padasuka 4. Kelurahan Cimahi 5. Kelurahan Setiamanah 6. Kelurahan Karangmekar 7. Sebagian kecil Kelurahan Cigugur Tengah 8. Sebagian besar Kelurahan Baros 9. Sebagian kecil Kelurahan Cibeber 10. Sebagian besar Kelurahan Leuwigajah 11. Sebagian kecil Kelurahan Utama



I.4



Ruang Lingkup



Adapun ruang lingkup yang akan dibahas pada tugas akhir ini meliputi: 1.



Menganalisis kondisi eksisting di lapangan



I-2



2.



Usulan perencanaan sistem drainase



3.



Pembuatan jalur saluran drainase, sumur rersapan, dan kolam retensi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan.



I.5



Metodologi



Metodologi penyusunan tugas akhir ini adalah sebagai berikut : 1.



Studi literatur, yaitu mempelajari teori dasar perencanaan drainase berwawasan lingkungan.



2.



Pengambilan data primer, yaitu pengambilan gambar lokasi dan melakukan wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkepentingan.



3.



Pengumpulan data sekunder, yaitu faktor-faktor fisik yang berpengaruh dan pengambilan data curah hujan harian selama beberapa tahun di Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Bandung.



4.



Analisis hidrologi, mencakup analisis frekuensi curah hujan dan analisis intensitas hujan dengan beberapa metode hidrologi.



5.



Perencanaan sumur resapan, kolam retensi, dan analisis biaya untuk perencanaan tersebut.



6.



I.6



Penyusunan Laporan Akhir



Sistematika Penyusunan Laporan



Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini dapat dilihat sebagai berikut : Bab I



Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang, maksud dan tujuan, lokasi perencanaan, ruang lingkup, metodologi, dan sistematika penyusunan laporan.



Bab II



Gambaran Umum Wilayah Perencanaan Bab ini memaparkan tentang gambaran umum daerah perencanaan, meliputi kondisi fisik (geografi, topografi, geologi, litologi, hidrogeologi, hidrologi, dan iklim), kependudukan, struktur pemanfaatan ruang, prasaranan kota, dan masalah lingkungan.



I-3



Bab III



Metodologi Perencanaan Bab ini menyajikan penjelasan teknik mengenai metode-metode yang digunakan dalam perencanaan sistem drainase.



Bab IV



Teori Dasar Bab ini menjelaskan dasar-dasar perencanaan yang dipakai dalam merencanakan sistem penyaluran air hujan yang disesuaikan dengan kondisi daerah perencanaan.



Bab V



Analisis Hidrologi Bab ini menyajikan informasi hidrologi di lokasi perencanaan, penyiapan data curah hujan dengan tes statistika yang mendukung, analisis curah hujan harian maksimum, dan analisis intensitas hujan.



Bab VI



Dasar Perencanaan Sistem Drainase Bab ini memuat identifikasi dan analisis kondisi fisik dan kondisi eksisting sistem drainase untuk kemudian disesuikan dengan teori dasar sehingga diperoleh dasar perencanaan sistem drainase yang baik.



Bab VII



Usulan Perencanaan Sistem Drainase Bab ini menyajikan usulan-usulan perencanaan sistem drainase yang akan diterapkan, baik usulan perencanaan saluran drainase maupun usulan perencanaan sumur resapan dan kolam retensi.



Bab VIII Spesifikasi Teknik dan Rencana Anggaran Biaya Bab ini menjelaskan pekerjaan yang akan dilakukan, material yang digunakan, dan kebutuhan biaya untuk perencanaan sistem drainase di daerah perencanaan.



I-4



BAB II



GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN



II.1



Karakteristik Lingkungan Fisik



II.1.1



Kondisi Geografis dan Administratif



Kota Cimahi termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Barat dan terletak diantara 107o 30’ 30’’ – 107o 34’ 30’’ BT dan 65o 0’ 0’’ – 66o 56’ 00’’ LS. Batas-batas Kota Cimahi: •



Utara : Kecamatan Parongpong Kecamatan Cisarua Kecamatan Ngamprah







Timur : Kecamatan Sukasari Kecamatan Sukajadi Kecamatan Cicendo Kecamatan Andir







Selatan : Kecamatan Marga Asih Kecamatan Batujajar Kecamatan Bandung Kulon







Barat : Kecamatan Padalarang Kecamatan Batujajar Kecamatan Ngamprah



Kota Cimahi memiliki luas 4025.73 Ha dan terdiri dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Cimahi Tengah, dan Kecamatan Cimahi Selatan. Peta Kota Cimahi dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan luas wilayah tiap kelurahan dan kecamatan ditampilkan pada Tabel 2.1.



II-1



Tabel 2.1 Luas Wilayah Kecamatan dan Kelurahan Keterangan



No. 1.



2.



3.



Luas Wilayah (km2)



Cimahi Utara • Kelurahan Pasirkaliki • Kelurahan Cibabat • Kelurahan Citeureup • Kelurahan Cipageran Jumlah



3.23 2.87 1.27 5.94 13.31



Jumlah



2.25 1.31 1.98 2.25 1.37 0.84 10



Jumlah



3.13 2.75 3.33 3.93 3.80 16.94



Cimahi Tengah • Kelurahan Cimahi • Kelurahan Karang Mekar • Kelurahan Setiamanah • Kelurahan Baros • Kelurahan Cigugur Tengah • Kelurahan Padasuka Cimahi Selatan • Kelurahan Utama • Kelurahan Leuwigajah • Kelurahan Cibeber • Kelurahan Cibeureum • Kelurahan Melong



Sumber: BPS Kota Cimahi. 2002



II.1.2



Kondisi Topografi



Kota Cimahi merupakan lembah cekungan yang melandai ke daerah selatan, dengan ketinggian di bagian utara ± 1040 m dpl (Lereng Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Perahu) dan ketinggian di bagian selatan ± 685 m dpl (Kelurahan Melong, Kecamatan Cimahi Selatan) yang seterusnya melandai mengarah ke Sungai Citarum. Di bagian barat daya terdapat kompleks perbukitan minor, yaitu Gunung Bohong, Gunung Padakasih, Gunung Aseupan, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Puncak Salam.



II-2



Secara umum kondisi topografi dan kemiringan lahan Kota Cimahi diklasifikasikan menjadi 3, yaitu: 1.



Tingkat kemiringan 0 – 8%, terdapat di seluruh kawasan Kota Cimahi yang berada pada ketinggian antara 700 – 850 m dpl.



2.



Tingkat kemiringan 8 - 15%, terdapat di kawasan utara Kota Cimahi, yaitu di Kelurahan Cipageran dengaan ketinggian antara 850 – 1075 m dpl.



3.



Tingkat kemiringan 15 – 40%, terdapat di kawasan selatan Kota Cimahi, tepatnya di Perbukitan Gunung Bohong, Kelurahan Cibeber, dan Kelurahan Leuwigajah yang berada pada ketinggian antara 725 – 800 m dpl.



II.1.3



Formasi Geologi



Secara regional, batuan yang menyusun daerah Cimahi dan sekitarnya berupa hasil produk gunung api (Sunda Volcano) zaman kuarter, yang dapat diuraikan sebagai berikut : • Hasil gunung api tidak teruraikan (Qpm’V): merupakan hasil gunung api yang terdiri dari perselingan antara breksi gunung api, lahar, dan lava. Penyebaran di daerah Bandung Utara dikenal sebagai Formasi Cikapundung. Berumur plistosen, ketebalannya berkisar antara 0 - 350 m, kelulusan umumnya kecil sampai sedang, air tanah dijumpai pada zona lahan dan rekahan. • Aliran lava dominan (Qpu’L): merupakan hasil gunung api muda dari Gunung Tangkuban Perahu berwarna abu-abu kehitaman. Struktur vesikular dijumpai pada bagian permukaan dan bagian tengah serta bawahnya, berstruktur blocky dan kekar lembar. Penyebaran lava basalt ini menempati bagian lembah sungai Cibeureum (Cimahi Timur) dan daerah Dago Tenggara. • Endapan kipas aluvial dan batuan gunung api klasik (Qpu’f): merupakan hasil gunung api muda, Gunung Tangkuban Perahu, yang penyebarannya sangat luas menempati bagian lembah dan dataran tinggi Kota Bandung, membentuk morfologi kipas aluvial yang dikenal dengan Formasi Cibeureum. Batuan penyusunnya terdiri dari perulangan breksi gunung api dan tufa berbatu apung.



II-3



Formasi ini mempunyai ketebalan 0 – 180 m dan berumur plistosen atas hingga holosen. • Tufa pasiran didominasi abu vulkanik (Qpu’t): merupakan hasil gunung api muda, Gunung Tangkuban Perahu, yang penyebarannya luas di bagian utara Kota Cimahi dan Kota Bandung yang dikenal sebagai Formasi Cikidang. Batuan penyusunnya terdiri dari lelehan lava basalt, konglomerat, gunung api, tufa kasar, dan breksi gunung api.



Kota Cimahi secara geologi termasuk ke dalam Formasi Cikidang. Batuan yang menyusunnya adalah tufa pasir berwarna coklat, berbutir halus hingga kasar dan mengandung komponen batu apung berukuran kerikil dengan bentuk menyudut. Tufa batu apung sedang tersebar di sebagian besar wilayah Kecamatan Cimahi Tengah dan Kecamatan Cimahi Selatan. Batuan tufa dan basalt tinggi tersebar di wilayah Kecamatan Cimahi Utara dan sebagian kecil Kelurahan Cibeber. Batuan tufa pasir berada di sebagian kecil Kelurahan Cipageran. Adapula batuan breksi tufaan dengan komponen andesit dan basalt yang tersebar di Kecamatan Cimahi Selatan, khususnya Kelurahan Cibeber dan Kelurahan Leuwi Gajah.



Data pemboran tangan bahwa ketebalan lapisan tufa yang dapat ditembus oleh mata bor berkisar dari 6 meter hingga 8 meter di bawah muka tanah setempat. Adapun hasil infiltrasi dan perkolasi di permukaan tanah serta di bawah permukaan tanah hingga 1 meter yang masing-masing sebanyak 10 lokasi menunjukkan nilai permeabilitas (K) sebagai berikut (Kolopaking, M. Laporan Hidrogeologi Daerah Bandung Utara, Aplikasi Data Koefisien Permeabilitas bagi Penentuan Peruntukan Lahan dan Metode Peresapan Buatan. 1982): • Nilai permeabilitas (K) di permukaan = 1.67 x 10-3 – 1.67 x 10-2 cm/dt. • Nilai permeabilitas (K) di bawah permukaan (-1 m) = 5 x 10-4 – 6.67 x 10-3 cm/dt. II.1.4



Litologi



Wilayah tengah Kota Cimahi memiliki jenis tanah latosol merah. Jenis endapan



II-4



vulkanik terdapat di wilayah utara Kota Cimahi dan tanah podsolik merah terdapat di wilayah selatan Kota Cimahi. Keseluruhan Kota Cimahi memiliki tekstur tanah sedang dan tidak terdapat bahaya bencana alam. Kota Cimahi memiliki tekstur tanah yang sedang dan tidak terdapat bahaya bencana alam. Khususnya wilayah Cimahi Selatan memiliki kedalaman efektif tanah mencapai > 90 cm dan sebagian < 30 cm.



II.1.5



Air Tanah



Permukaan air tanah mempunyai kedalaman yang bervariasi, yaitu (-3 m) – (-8 m) di bawah muka tanah untuk sumur penduduk dan -55,48 di bawah muka tanah untuk sumur industri. Ada kenyataan bahwa terjadi penurunan muka air tanah di Kota Cimahi yang merupakan kerucut depresi (depression cone) air tanah, yang terbesar di zona industri Cimahi Selatan. Penurunan muka air tanah mencapai 40 m.



II.1.6



Hidrologi



Kota Cimahi yang terletak di hulu Sungai Citarum merupakan bagian dari daerah cekungan Bandung dan salah satu lembah Sungai Citarum. Berdasarkan nama sungai atau anak sungai yang bermuara ke Sungai Citarum, maka pola aliran sungai atau anak sungai yang melintasi wilayah Kota Cimahi dapat diklasifikasi dalam 4 sistem aliran hidrologi, yaitu: 1.



Sistem Sungai Cimahi, di bagian tengah wilayah Cimahi dengan anaknya Sungai Cisangkan. Sistem ini mengalir melintasi bagian pusat kota dan kawasan militer terus ke arah selatan bermuara di suangai Citarum di Desa Lagadar, Kecamatan Marga Asih.



2.



Sistem Sungai Cimancong, di bagian tengah hingga ke timur wilayah Cimahi dengan anaknya Sungai Cilember. Sistem ini mengalir melintasi Kelurahan Cibabat dan kawasan industri terus ke arah selatan bermuara di Sungai Citarum di perbatasan Desa Lagadar dengan Desa Nanjung, Kecamatan Marga Asih.



3.



Sistem Sungai Cibeureum atau Cibiuk, di bagian timur wilayah Cimahi yang menjadi batas dengan wilayah kota Bandung. Sistem ini mengalir di



II-5



perbatasan Kelurahan Pasir Kaliki dengan Kota Bandung (Kecamatan Cicendo dan Kecamatan Andir), kemudian di perbatasan Kelurahan Cibeureum dan Kelurahan Melong dengan Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, terus ke arah selatan bermuara di Sungai Citarum di perbatasan Desa Nanjung dengan Desa Cigondewah Hilir dan Desa Mekar Rahayu, Kecamatan Marga Asih. 4.



Sistem Sungai Cihaur, di bagian barat laut wilayah Cimahi dengan anaknya Sungai Cireungas. Sistem ini mengalir melintasi Kelurahan Cipageran dan perbatasannya dengan Kelurahan Citeureup dan Kelurahan Padasuka terus ke arah barat daya dan bermuara di Sungai Citarum atau Waduk Saguling (di tepi kompleks Kota Baru Parahyangan). Di bagian barat daya, yaitu di Kelurahan Cibeber dan Kelurahan Leuwigajah, juga merupakan bagian hulu dari sistem Sungai Cihaur dengan anak sungainya Citunjung yang melintasi Kecamatan Batujajar.



II.1.7



Cuaca dan Iklim



Kota Cimahi memiliki iklim sejuk. Menurut Koppen, Kota Cimahi termasuk dalam tipe iklim Af, yaitu tipe iklim tropika basah. Tipe iklim Af memiliki suhu rata-rata ≥ 18o C dan mengalami curah hujan yang cukup tinggi (± 2000 mm/tahun). Curah hujan rata-rata Kota Cimahi sebesar 2101 mm dengan jumlah hari hujan per tahun sebanyak 200 hari. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan November, yaitu 333.8 mm dan hari hujan maksimum terjadi pada bulan Januari, yaitu 25 hari. Sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan September, yaitu 66 mm dan hari hujan minimum terjadi pada bulan Agustus, yaitu 5 hari. Suhu udara Kota Cimahi berkisar antara 18o C – 29o C. Suhu maksimum tercatat 30.1o C terjadi pda bulan September dan suhu minimum terjadi pada bulan Agustus tercatat 17o C. Kelembaban rata-rata terendah, yaitu 64% yang terjadi pada bulan September, pada saat suhu udara yang tinggi. Sementara itu kelembaban tertinggi terjadi pada bulan November, yaitu 83% pada saat suhu udara bukan yang terendah.



II-6



II.2



Kependudukan



Jumlah penduduk Kota Cimahi pada tahun 2005 adalah 509,189 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 2.6%. Tingkat kepadatan penduduk Kota Cimahi tahun 2005 adalah 12,666 jiwa/km2. Kecamatan Cimahi Tengah memiliki kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan dua kecamatan lainnya, yaitu 16,308 jiwa/km2. Hal ini disebabkan mobolitas penduduk yang cukup tinggi dan terkonsentrasi di pusat Kota Cimahi dengan keanekaragamannya.



Tabel 2.2 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk di Kota Cimahi tahun 2005 No.



Kecamatan



Luas Wilayah (km2) 1. Cimahi Utara 13.31 2 Cimahi Tengah 10.00 3. Cimahi Selatan 16.92 Sumber: BPS Kota Cimahi. 2005



Jumlah Penduduk (jiwa) 127,538 163,084 218,567



Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 9,589 16,308 12,933



Tabel 2.3 Jumlah Kelurahan, RW, dan RT di Kota Cimahi tahun 2005 No. Kecamatan Jumlah Kelurahan Jumlah RW Jumlah RT 1. Cimahi Utara 4 86 456 2 Cimahi Tengah 6 110 563 3. Cimahi Selatan 5 111 654 Jumlah 15 307 1,673 Sumber: BPS Kota Cimahi. 2005



II.3



Struktur Pemanfaatan Ruang Kota



Dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi Jawa Barat tahun 2001 disebutkan bahwa posisi Kota Cimahi, yaitu: 1.



Kota Cimahi merupakan bagian dari kawasan andalan cekungan Bandung.



2.



Kota Cimahi tercakup dan terkait dalam Pusat Kegiatan Nasional Metropolitan Bandung.



3.



Sebagian Kota Cimahi merupakan Kawasan Cadangan Hutan Lindung, yaitu Kelurahan Leuwigajah, Kelurahan Cipageran, dan Kelurahan Cibeber.



II-7



Total area belum terbangun mencapai 32.76% dari luas Kota Cimahi, tersebar di Kecamatan Cimahi Utara dan Kecamatan Cimahi Selatan. Area ini terdiri dari sawah, kebun, tegalan, semak, dan tanah kosong. Alokasi penggunaan lahan Kota Cimahi tahun 2005 sebagian besar untuk pemukiman sebesar 48.22%. Lahan militer mendapat alokasi cukup tinggi, yaitu 7.15% sehingga identik dengna ciri Kota Militer. Tabel 2.4 Pembagian Wilayah Kota Cimahi No.



1.



Bagian Wilayah Kota (BWK) BWK Pusat Kota



2.



BWK A / Utara 1



3.



BWk B / Utara 2



4.



BWK C / Tengah



5.



BWK D / Selatan 1



6



BWK E / Selatan 2



Cakupan Wilayah Kel. Cimahi (sebagian besar) Kel. Setiamanah (sebagian) Kel. Karang Mekar (sebagian) Kel. Cipageran Kel. Citeureup Kel. Cimahi (sebagian kecil) Kel. Padasuka (sebagian kecil) Kel. Cibabat Kel. Pasir Kaliki Kel. Padasuka (sebagian besar) Kel. Setiamanah (sebagian) Kel. Baros (sebagian besar) Kel. Utama (sebagian kecil) Kel. Leuwigajah (sebagian kecil) Kel. Cibeber (sebagian kecil) Kel. Cigugur Tengah (sebagian) Kel. Cibeureum Kel. Melong Kel. Utama (sebagian) Kel. Cigugur Tengah (sebagian) Kel. Baros (sebagian kecil) Kel. Leuwigajah (sebagian kecil) Kel. Cibeber (sebagian besar) Kel. Leuwigajah (sebagian besar) Kel. Utama (sebagian)



Kawasan Fungsional Terkait



Kawasan Pusat Kota Central Business Dictrict Kawasan Perumahan Koridor Perdagangan dan Jasa Kawasan Perumahan Koridor Perdagangan dan Jasa Kawasan Militer Kawasan Perumahan Koridor Perdagangan dan Jasa Kawasan Hutan Konservasi



Kawasan Industri dan Perdagangan 1 Kawasan Perumahan Kawasan Perdagangan dan Jasa Kawasan Industri dan Pergudangan 1 Kawasan Industri dan Pergudangan 2 Kawasan Perumahan Kawasan Hutan Konservasi Kawasan Rekreasi Air



Sumber: RTRW Kota Cimahi 2002



II-8



Tabel 2.5 Penggunaan Lahan di Kota Cimahi tahun 1986 dan 2005 No.



Jenis Penggunaan



Tahun



1986 2005 Luas Luas % % (Ha) (Ha) 1 Pemukimam 1929.65 45.99 2023.2 48.22 2 Pemerintahan 9.27 0.22 17.22 0.41 3 Kompleks Militer 207.14 4.94 300.02 7.15 4 Perdagangan dan Jasa 32.46 0.77 126.46 3.01 5 Industri 211.08 5.03 285.04 6.79 6 Sawah 1059.58 25.25 1029.71 24.54 7 Lahan Kering 560.41 13.36 321.68 7.67 8 Sungai 24.58 0.59 24.48 0.58 9 Jalur Hijau 80.31 1.91 23.14 0.55 10 Lain-lain 81.69 1.95 45.22 1.08 Sumber: RTRW Kota Cimahi 2002 dan BPS Kota Cimahi 2005



Perkembangan % 2.23 0.19 2.21 2.24 1.76 -0.71 -5.69 0.00 -1.36 -0.87



Ditinjau dari perkembangannya, perkembangan terbesar terjadi pada lahan perdagangan dan jasa (2.24%) dan pemukiman (2.23%), sedangkan lahan untuk jalur hijau dan sawah mengalami penurunan.



II.4



Prasarana Kota



II.4.1



Penyediaan Air Bersih



Penduduk Kota Cimahi mendapat pelayanan air bersih melalui sistem non-perpipaan (berupa sumur pompa tangan, sumur pompa listrik, dan artesis) dan hanya sebagian kecil saja, yaitu sekitar 17,61% dari penduduk kota yang telah mendapatkan pelayanan air bersih melalui sistem perpipaan dari PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung. Persentase penyediaan air bersih dari PDAM maupun dari sumur dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut.



II-9



Tabel 2.6 Persentase Penggunaan Air Bersih Pemakaian Air Bersih (PDAM, SPT, Sbor, Artesis) 1 Cimahi Tengah 71.60% 2 Cimahi Utara 86.70 % 3 Cimahi Selatan 55.10 % Rata-Rata 71.10 % Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cimahi, 2004 No



Kecamatan



Sehubungan dengan semakin kritisnya kondisi air tanah tersebut, maka untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan non domestik lainnya perlu diupayakan pengembangan dan perluasan sistem perpipaan. Sementara untuk sektor industri perlu dibatasi pemanfaatan air tanah dalam tersebut. Oleh karena itu, pengembangan industri di masa datang diarahkan pada industri yang tidak lapar air.



Khusus untuk melayani wilayah Kecamatan Cimahi Selatan, PDAM Tirta Raharja telah merencanakan pengembangan pelayanan air bersih secara terpadu antara Kecamatan Cimahi Selatan, Padalarang, Batujajar, dan Ngamprah. Untuk pelayanan ini, sumber air baku direncanakan dari Waduk Saguling dengan kapasitas desain bagi pengolahan adalah 400 l/detik dan IPAB berlokasi di Desa Pangambaan. Dengan demikian maka wilayah Kota Cimahi direncanakan akan dilayani oleh 2 sistem tersebut di atas, masing-masing Kecamatan Cimahi Utara dan Cimahi Tengah dilayani dari IPAB Cipageran dengan ekspansi dan intensifikasi pelayanan, sementara Kecamatan



Cimahi



Selatan



oleh



IPAB



Pangambaan



(Saguling)



dengan



pengembangan baru.



II.4.2



Pengelolaan Air Limbah



Sampai saat ini, Kota Cimahi belum memiliki sarana IPAL. Hal ini didukung dengan belum adanya sistem penyaluran air buangan yang memadai. Sehingga penduduk Kota Cimahi membuang air buangannya ke berbagai macam saluran pembuangan, sebagian membuang langsung ke selokan dan sebagian lagi membuang ke saluran drainase, sedangkan sebagian membuang ke sarana yang telah tersedia, yaitu berupa



II-10



tangki septik atau cubluk maupun yang langsung dibuang ke badan air atau sungai yang ada.



Berdasarkan hasil survei dan pengumpulan data yang didapat dari 3 kecamatan yang ada di Kota Cimahi, kondisi sarana pembuangan air limbah rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 2.7.



Tabel 2.7 Kondisi Sarana Pengelolaan Air Limbah Domestik Eksisting Kota Cimahi Jumlah Sarana Pengelolaan Air Limbah Kecamatan Penduduk Domestik Eksisiting (jiwa) Tangki Septik Cubluk Cemplung Cimahi Utara 103,283 10,500 2,968 1,695 Cimahi Tengah 125,366 18,479 1,837 610 Cimahi Selatan 211,460 19,696 6,282 1,827 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Cimahi, 2004



II.4.3



MCK 27 18 -



Sistem Drainase



Induk dari seluruh saluran drainase Kota Cimahi adalah Sungai Citarum karena Sungai Citarum merupakan muara dari sungai-sungai yang ada di Kota Cimahi. Saluran lainnya yang berupa anak-anak sungai dapat diklasifikasikan sebagai saluran primer, sekunder, dan tersier. Arah aliran sungai yang ada umumnya dari utara ke selatan. Di Kota Cimahi mengalir 4 sungai yang merupakan saluran drainase utama, yaitu: 1.



Sistem Cihaur



2.



Sistem Cimahi – Cisangkan



3.



Sistem Cilember – Cimancong



4.



Sistem Cibeureum



Kondisi drainase jalan raya eksisting di Kota Cimahi saat ini belum memadai. Permasalahan yang dialami secara umum pada sistem drainase jalan raya di Kota Cimahi adalah sebagai berikut:



II-11



1.



Saluran drainase tidak dapat berfungsi secara optimal karena adanya endapan lumpur dan sampah.



2.



Dimensi saluran drainase dan gorong-gorong tidak sesuai dengan debit air hujan sehingga meluap saat musim hujan.



3.



Saluran drainase juga digunakan sebagai saluran air buangan domestik dan buangan kota.



Tabel 2.8 Dimensi Drainase Jalan Raya Kota Cimahi No. Keterangan Panjang (m) Lebar (m) 1 Saluran Primer 0.6 7000 - Jln. Raya Cimindi 0.6 5000 - Alun-alun dan pasar atas 2 Saluran Sekunder - Jln. Kol. Masturi 3600 1.0 – 1.5 - Jln. Cihanjuang 2400 0.8 – 1.0 - Jln. Gatot Subroto 2600 0.6 – 0.8 - Jln. Cimindi – Leuwigajah 6400 0.6 – 0.8 - Jln. Najung - Baros 1800 0.6 – 0.8 3 Saluran Sekunder 1.5 2000 - Kel. Melong 1.5 8 - Kel. Padasuka 1.5 8 - Kel. Cibabat 1.2 10 - Kel. Cipageran Sumber: RTRW Kota Cimahi 2002



Pada tahun 2012 diperkirakan hampir seluruh kelurahan akan mengalami banjir pada musim hujan. Kondisi ini disebabkan areal terbangun terus meningkat sehingga limpasan hujan semakin besar dan tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik. Perkiraan limpasan dan resapan dapat dilihat pada Tabel 2.9.



II-12



Tabel 2.9 Perkiraan Limpasan dan Resapan Air Hujan pada Tahun 2012 Keterangan



Perkiraan Limpasan dan Resapan Tahun 2012 Luas Limpasan Resapan Produk Sisa (Ha) (m3) (m3) (m3) 1 Kec. Cimahi Utara 1348.32 9,402,474 415,215 8,987,259 Kel. Cipageran 571.25 3,983,597 175,916 3,807,681 Kel. Citeureup 325.62 2,270,702 100,275 2,170,427 Kel. Cibabat 309.68 2,159,545 95,366 2,064,179 Kel. Pasir Kaliki 141.77 988,629 43,658 944,971 2 Kec. Cimahi Tengah 1096.88 7,649,064 337,784 7,311,28 Kel. Padasuka 243.67 1,699,226 75,038 1,624,188 Kel. Setiamanah 111.67 778,728 34,389 744,339 Kel. Cimahi 76.6 534,168 23,589 510,579 Kel. Karang Mekar 120.73 841,907 37,179 804,728 Kel. Cigugur Tengah 273.34 1,906,129 84,175 1,821,954 Kel. Baros 270.87 1,888,905 83,414 1,805,491 3 Kec. Cimahi Tengah 1616.31 11,271,295 497,742 10,773,553 Kel. Cibeber 337.15 2,351,107 103,825 2,247,282 Kel. Leuwi Gajah 352.83 2,460,451 108,654 2,351,797 Kel. Utama 362.33 2,526,699 111,579 2,415,12 Kel. Cibeureum 243.53 1,698,250 74,995 1,623,255 Kel. Melong 320.47 2,234,789 98,689 2,136,100 Total 4,0691.51 28,322,833 1,250,740 27,072,092 Sumber: RTRW Kota Cimahi 2002



No.



II.5



Masalah Lingkungan



Seiring dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan, maka tingkat kebutuhan air bersih juga semakin meningkat. Saat ini pemenuhan kebutuhan air bersih sudah mengarah kepada penggunaan air tanah dengan cara membaat sumur bor dalam, terutama di kawasan industri yang dilakukan untuk pemenuhan proses produksi. Eksploitasi air tanah yang tak terkendali diperkirakan sebesar 34,250 m3/hari yang dilakukan industri. Penggunaan kebutuhan air bersih oleh rumah tangga juga meningkat hingga 42,525.79 m3/hari. (Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi. 2003).



II-13



Adapun faktor-faktor penyebab penurunan muka air tanah, yaitu: 1.



Meningkatnya jumlah penduduk yang memanfaatkan lahan resapan sebagai pemukiman sehingga limpasan air hujan meningkat.



2.



Pengambilan air bawah tanah bebas maupun air bawah tanah dangkal yang telah melebihi cadangan air bawah tanah itu sendiri.



3.



Penyadapan air bawah tanah yang dilakukan dari akifer dangkal dan tengah oleh industri secara ilegal.



Dalam jangka waktu 5 – 10 tahun yang akan datang, kondisi air bawah tanah di Kota Cimahi diperkirakan semakin berkurang ± 20 m setiap tahunnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya pelestarian air bawah tanah dengan cara antara lain: 1.



Penghijauan kembali daerah resapan serta menghindari alih fungsi lahan dari kawasan resapan menjadi kawasan pemukiman.



2.



Pembuatan sumur resapan di daerah industri dan daerah pemukiman.



3.



Pemanfaatan air permukaan di daerah Ciseupan dan Cibeber bila memungkinkan.



4.



Pembuatan ‘embung-embung’ di Cimahi Utara dan di daerah Paneungteung dan Sukawarna yang berdaya tampung tiga juta m3.



5.



Daur ulang limbah cair dari industri.



6.



Pengawasan dan tindakan tegas terhadap industri yang mengambil air bawah tanah secara ilegal.



II-14



BAB III III.1



METODOLOGI PERENCANAAN



Metodologi Perencanaan Sistem Drainase



Dalam perencanaan sistem drainase ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan yang dapat menunjang keseluruhan perencanaan, yaitu pengumpulan data, analisis data, dasar perencanaan sistem drainase, usulan perencanan sistem drainase, penentuan dimensi saluran dan bangunan pelengkap, serta spesifikasi teknis dan rencana anggaran biaya. Adapun bagan langkah-langkah perencanaan yang lebih lengkap dapat dilihat pada Flow Chart 3.1 dan selanjutnya akan diuraikan mengenai metode yang digunakan tersebut pada sub bab berikutnya.



III.2



Penjelasan Metodologi Perencanaan Sistem Drainase



III.2.1



Tahap Pengumpulan Data



1.



2.



Studi Literatur •



Teori yang mendukung perencanaan sistem drainase







Kriteria desain sistem drainase



Pengumpulan Data Primer



Data primer merupakan hasil pengamatan langsung di Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi. Data yang dihasilkan merupakan data yang menggambarkan kondisi wilayah dengan mengkhususkan pada informasi yang tidak didapatkan dari pihak pengelola kawasan atau data sekunder. Data primer yang dikumpulkan antara lain:



3.







Kondisi eksisting sistem drainase di daerah perencanaan







Kondisi badan air penerima di sekitar daerah perencanaan



Pengumpulan Data Sekunder



Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yang berhubungan langsung dengan perencanaan sistem drainase di Daerah Aliran Sungai Cimahi di Kota Cimahi, antara lain:



III-1







Data permeabilitas tanah yang diperoleh dari Perputakaan Geologi Lingkungan Kota Bandung







Data curah hujan yang diperoleh dari BMG Kota Bandung dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (PUSAIR) Kota Bandung.







Karakteristik lingkungan fisik (geografis, topografi, iklim, hidrologi, geologi, dan hidrogeologi) dari instansi terkait.







Peta-peta yang berkaitan dengan perencanaan sistem drainase, yaitu peta topografi, peta tata guna lahan, dan peta jaringan jalan.



III.2.2



Tahap Analisis Hidrologi



Tahapan dalam melakukan analisis hidrologi, yaitu: 1.



2.



Analisis data curah hujan yang terdiri dari: -



Pelengkapan data curah hujan



-



Tes konsistensi



-



Tes homogenitas



Analisis curah hujan harian maksimum dengan tiga metode, yaitu: -



Metode Gumbel



-



Metode Log Pearson Tipe III



-



Metode Distribusi Normal



Pemilihan metode analisa curah hujan harian maksimum dilakukan dengan menggunakan Metode Chi Kuadrat. 3.



4.



Analisis intensitas hujan dengan menggunakan tiga metode, yaitu: -



Metode Van Breen



-



Metode Hasper dan Der Weduwen



-



Metode Bell Tanimoto



Pemilihan metode analisis intensitas hujan dengan mensubstitusikan ketiga metode ke dalam Persamaan Talbot, Sherman, dan Ishiguro.



5.



Pemilihan metode analisis intensitas hujan dilakukan dengan menggunakan Metode Kuadrat Terkecil.



III-2



Langkah - langkah selengkapnya pada tahapan analisa hidrologi dapat dilihat pada Flow Chart 3.2.



III.2.3



Tahap Perencanaan Sistem Drainase



Dalam perencanaan suatu sistem drainase perlu dilakukan langkah-langkah berikut: 1.



2.



Perencanaan fasilitas penahan air hujan •



Penentuan dimensi sumur resapan







Penentuan dimensi kolam retensi



Perencanaan saluran drainase •



Penentuan jalur saluran







Penentuan bentuk saluran







Perhitungan debit limpasan (Flow Chart 3.3)







Perhitungan dimensi saluran drainase (Flow Chart 3.4)







Perhitungan dimensi bangunan pelengkap



3.



Desain dan detail gambar



4.



Spesifikasi teknis dan rencana anggaran biaya



5.



Penyusunan laporan akhir



III-3



Pengumpulan Data 1. Studi Literatur 2. Pengumpulan Data Primer 3. Pengumpulan Data Sekunder



Analisis Hidrologi



Perencanaan Sistem Drainase 1. Perencanaan Fasilitas Penahan Air Hujan 2. Perencanaan Saluran Drainase 3. Desain dan Detail Gambar 4. Spesifikasi Teknis dan Rencana Anggaran Biaya



Draft Laporan



Diskusi



Laporan Akhir



Flow Chart 3.1 Diagram Alir Metodologi Perencanaan Sistem Drainase



III-4



Data Curah Hujan Harian Maksimum



Test Konsistensi Test Homogenitas



  



Analisis Curah Hujan Harian Maksimum



Metode Gumbel Metode Log Pearson Tipe III Metode Distribusi Normal



Pemilihan metode dengan Chi Kuadrat



Analisis Intensitas Hujan



  



Metode Van Breen Metode Hasper Weduwen Metode Bell Tanimoto



  



Persamaan Talbot Persamaan Sherman Persamaan Ishiguro



Pemilihan Metode



Pendekatan Matematis Intensitas Hujan



Pemilihan Metode dengan Kuadrat Terkecil



Persamaan Intensitas Hujan



Flow Chart 3.2 Langkah-Langkah Analisis Hidrologi



III-5



Daerah Tangkapan



C



Ai



Cr



A



Ld



So,Lo ,n,Co



Lda, S, Ld, R, A, Cr



PUH



to



R



te



Ie



td



tc



tcd



Pers I



Cr.A



I



Cs



Q Flow Chart 3.3 Langkah-Langkah Perhitungan Debit Limpasan Banjir



III-6



Perhitungan Dimensi Saluran Drainase Q Bentuk penampang



Vas



Ac,d,f,B,H



Ss 100 ha)



2.



Saluran Drainase Induk Madya (DPS 50-100 ha)



3.



Saluran Drainase Cabang Utama (DPS 25-50 ha)



4.



Saluran Drainase Cabang Madya (DPS 5-25 ha)



5.



Saluran Drainase Tersier (DPS 0-5 ha)



Saluran drainase induk (utama dan madya dengan DPS > 50 ha) dapat dikategorikan ke dalam sistem drainase mayor karena akibat kerusakan banjir dianggap besar, sedangkan saluran drainase cabang utama dan seterusnya (DPS < 50 ha) dapat dikategorikan ke dalam sistem drainase minor karena akibat kerusakan banjir dianggap kecil. a.



Sistem Drainase Minor



Sistem drainase minor merupakan bagian dari sistem drainase yang menerima debit limpasan maksimum dari mulai aliran awal, yang terdiri dari inlet limpasan permukaan jalan, saluran dan parit drainase tepian jalan, gorong-gorong, got air hujan, saluran air terbuka dan lain-lain, yang didesain untuk menangani limpasan



IV-3



banjir minor sampai DPS sama dengan 50 ha. Saluran drainase minor didesain untuk Periode Ulang Hujan (PUH) 2-10 tahun, tergantung dari tata guna lahan di sekitarnya (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998). b.



Sistem Drainase Mayor



Selain untuk menerima limpasan banjir minor, sarana drainase harus dilengkapi dengan suatu saluran yang dapat mengantisipasi terjadinya kerusakan-kerusakan besar akibat limpasan banjir yang mungkin terjadi setiap 25-100 tahun sekali. Sarana sistem drainase mayor meliputi saluran alami dan buatan, daerah banjir, dan jalur saluran drainase pembawa aliran limpasan besar serta bangunan pelengkapnya (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998).



IV.3



Kriteria Hidrologis



IV.3.1



Periode Ulang Hujan (PUH)



PUH dalam desain dihitung dengan menggunakan rumus (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):  1 1 T = N  −  µ 2 keterangan:



T



= PUH setiap T tahun (tahun)



N



= Umur bangunan efektif (tahun)



µ



= faktor resiko, biasanya bernilai 1/3



(4.1)



PUH desain sistem saluran dan bangunan-bangunan drainase kota untuk berbagai tata guna lahan mengacu pada Tabel 4.2 berikut ini.



Tabel 4.2 PUH Desain Rinci No. Tata Guna Lahan 1. Saluran awalan pada daerah : - lahan rumah, taman, kebun, kuburan, lahan tak terbangun - perdagangan, perkantoran dan industri 2. Saluran minor - DPS < 5 ha (saluran tersier) - resiko kecil



T (tahun) 2 5 2



IV-4



No. 2.



Tata Guna Lahan - resiko besar - DPS 5-25 ha (saluran sekunder) - tanpa resiko - resiko kecil - resiko besar - DPS 25-50 ha (saluran primer) - tanpa resiko - resiko kecil - resiko besar 3. Saluran mayor - DPS 50-100 ha - tanpa resiko - resiko kecil - resiko besar - DPS > 100 ha - tanpa resiko - resiko sedang - resiko besar - pengendalian banjir kiriman 4. Gorong-gorong/jembatan - jalan biasa - jalan by-pass - jalan bebas hambatan 5. Saluran tepi jalan - jalan lingkungan - jalan kota - jalan by-pass - jalan bebas hambatan Sumber: Moduto. Drainase Perkotaan, Volume I. 1998



IV.3.2



T (tahun) 5 2 5 10 5 10 25 5 10 25 10 25 50 100 5-10 10-25 25-50 2-5 5-10 10-25 25-50



Perhitungan Debit Banjir



Persamaan yang digunakan untuk memperkirakan debit puncak limpasan adalah Persamaan Modifikasi Rasional (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998). Pemilihan persamaan ini didasarkan pada kemudahan dan kesederhanaan dalam mencari parameter-parameternya. Persamaan Modifikasi Rasional tersebut adalah sebagai berikut:



Q = F .C s .C. A.I = F .C s (∑ Ci . Ai )I keterangan:



Q



(4.2)



= Debit puncak



IV-5



F



= Faktor konversi, F = 1/360 untuk Q dalam m3/detik F = 100/36 untuk Q dalam l/detik



Cs



= Koefisien storasi



C



= Koefisien limpasan



A



= Luas DPS, untuk beberapa DPS harga C.A diganti menjadi (∑Ci.Ai)



I



= Intensitas hujan (mm/jam) pada waktu konsentrasi tc (menit) dan PUH T (tahun)



IV.3.3



Waktu Konsentrasi



Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk air hujan dari daerah yang terjauh dalam DPS untuk mengalir menuju ke suatu titik atau profil melintang saluran tertentu yang ditinjau. Waktu konsentrasi tc, jika nilainya lebih kecil dari waktu durasi hujan te, maka dalam perhitungan intensitas hujannya dianggap sama dengan waktu durasi hujannya, yaitu tc = te dan Ic = Ie. Nilai te dapat didekati dengan persamaan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): te = keterangan:



R1.92 1.11R



(4.3)



te



= waktu durasi hujan



R



= tinggi hujan harian maksimum



Untuk hujan harian maksimum yang dipakai sebagai dasar perhitungan, dianjurkan untuk memakai data seperti yang tertera pada Tabel 4.3.



Tabel 4.3 Durasi Hujan Terpendek untuk Berbagai Tinggi Hujan Harian Maksimum R (mm/hari) 50 75 100



Durasi Hujan Rentang 24-42 32-64 44-80



te tipikal (menit) 33 48 62



Ic tipikal (mm/jam) 59.9 63 66.3



IV-6



R Durasi Hujan te tipikal Ic tipikal (mm/hari) Rentang (menit) (mm/jam) 150 67-115 91 71.1 170 76-128 102 73.2* 200 94-142 118 76.4 230 108-160 134 79.4* 250 120-170 145 81.3 300 150-192 171 86.2 350 178-216 197 91* 400 212-234 223 95.6 450 240-260 249 100.2 470 250-270 259 102.1* *Tanimoto Sumber: Moduto. Drainase Perkotaan, Volume I. 1998 Dalam drainase perkotaan, pada umumnya tc merupakan penjumlahan dua komponen, yaitu: •



Waktu merayap di permukaan tanah, to (menit), yaitu waktu yang diperlukan untuk titik air yang terjauh dalam DPS mengalir pada permukaan tanah menuju ke alur saluran permulaan yang terdekat. Rumus yang digunakan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):



6.33(n.Lo )



0.6



to = keterangan:



(Co .I e )0.4 (S o )0.3



(4.4)



n



= Koefisien kekasaran Manning



Lo



= Panjang rayapan (m), syaratnya L < 300 m



Co



= Koefisien limpasan permukaan tempat air merayap



Ie



= Intensitas hujan (mm/jam), dimana tc = te



So



= Kemiringan tanah rayapan (m/m)



Bila panjang rayapan, L > 300 m, maka perhitungan to harus menggunakan rumus di bawah ini (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): 108.n.Lo to = s1 / 5



1/ 3



(4.5)



IV-7



keterangan:







n



= Harga kekasaran Manning



Lo



= Panjang limpasan (m)



s



= Kemiringan medan limpasan rata-rata (%)



Waktu mengalir di saluran, td (menit), yaitu waktu yang diperlukan untuk air mengalir dari alur saluran permulaan menuju ke suatu profil melintang saluran tertentu yang ditinjau. Rumus yang digunakan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):



td = td =



Lda 60.v d



(4.6) 4.762 Lda



(R.Ld ) ( A.C r )0.1 (S r )0.2 0.5



Ld = 88.33( A)



0.6



keterangan:



(4.7) (4.8)



Lda



= Panjang saluran aktual yang ditinjau (m)



Ld



= Panjang saluran ideal (m)



vd



= Kecepatan rata-rata dalam saluran (m/detik)



Cr



= Koefisien limpasan rata-rata



R



= Tinggi hujan (mm/hari)



A



= Luas DPS (ha)



Sr



= Kemiringan DPS searah alur saluran (m/m)



Sehingga perhitungan tc menjadi: (4.9)



tc = to + td



Untuk DPS gabungan, nilai td harus dikalikan dengan Fg, suatu angka yang menyatakan besaran gabungan. Rumus perhitungan yang dipakai adalah:  L .A  Fg =  da 2 1   Lda1 . A2 



2



(4.10)



IV-8



Sedangkan untuk nilai S dan C rata-ratanya:  ∑ Li . S i Sr =   ∑ Li  Cr =



   



2



(4.11)



∑ C .A ∑A i



i



(4.12)



i



Besarnya kecepatan rata-rata dalam saluran vd, dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan: v d = 0.0035(R.Ld )



1/ 2



keterangan:



( A.C )0.1 (S )0.2



A



= Luas DPS (ha)



S



= Kemiringan DPS searah alur saluran (m/m)



C



= Koefisien limpasan



R



= Tinggi hujan (mm/hari)



Ld



= Panjang saluran ideal (m)



(4.13)



Seperti halnya pada rumus perhitungan td, untuk DPS gabungan menerus, harga vd harus dikalikan dengan 1/Fg dan rumus perhitungan S dan C rata-rata sama. Harga koefisien kekasaran Manning yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4.4.



Tabel 4.4 Harga Kekasaran Manning No. Jenis Permukaan Tanah n 1. Permukaan diperkeras 0.015 2. Permukaan tanah terbuka 0.0275 3. Permukaan berumput sedikit 0.035 4. Permukaan berumput rata-rata 0.045 5. Permukaan berumput tebal 0.066 6. Permukaan siaran semen atau beton 0.014 Sumber: Road Design Manual for Rural and Urban Roads Other than Freeways. National Association of Australian State Road Authorites. Reprint 1977.



IV-9



Untuk menentukan td pada saluran alami, mengingat karakter hidrauliknya tidak mudah ditetapkan maka digunakan pendekatan kecepatan aliran rata-rata dalam saluran berdasarkan kemiringan saluran yang terdapat pada Tabel 4.5.



Tabel 4.5 Pendekatan Kecepatan Rata-Rata Berdasarkan Kemiringan Saluran Kemiringan Rata-Rata Kecepatan Rata-Rata dalam Saluran (%) (m/detik) 0-1 0.4 1-2 0.6 2-4 0.9 4-6 1.2 6-10 1.5 10-15 2.4 Sumber: BUDSP. Drainage Design for Bandung. 1978. Seiring dengan luas daerah tangkapan yang semakin kecil, maka waktu mengalir pada permukaan tanah menjadi dominan dalam perhitungan waktu konsentrasi. Mengacu pada kondisi tersebut, terdapat beberapa pendekatan untuk menentukan waktu konsentrasinya, dimana tc menjadi sama dengan to. Rumus-rumus yang digunakan: •



Rumus Izzard (Wanielista, 1997) Rumus ini digunakan untuk I x L < 500 dalam in.ft/jam dan dianggap tc = te



tc = K= keterangan:



41.K .Lo I 2/3



1/ 3



0.00071I + C r So



2/3



Lo



= Panjang limpasan (ft)



I



= Intensitas hujan (in./hour)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



Cr



= Koefisien retardasi (Tabel 4.6)



tc



= Waktu konsentrasi (min)



(4.14) (4.15)



IV-10



Tabel 4.6 Nilai Koefisien Retardasi No. Jenis Permukaan Tanah Cr 1. Aspal sangat halus 0.007 2. Jalan aspal dan tanah 0.0075 No. Jenis Permukaan Tanah Cr 3. Jalan batu 0.0082 4. Beton 0.012 5. Jalan aspal dan pasir 0.017 6. Berumput jarang 0.046 7. Berumput lebat 0.06 Sumber: Wanielista, M. Hydrology: Water Quantity and Quality Control. 1997 •



Persamaan Kerby (Wanielista, 1997) Persamaan ini digunakan untuk panjang limpasan < 365 m (1000 ft).



(



t c = c Lo .n.S o keterangan:







)



− 0.5 0.467



Lo



= panjang limpasan (ft)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



c



= 0,83 (ft) atau 1,44 (m)



n



= Koefisien retardasi (Tabel 4.6)



tc



= Waktu konsentrasi (min)



(4.16)



Persamaan Kirpich (Wanielista, 1997) Biasa diterapkan pada daerah pedesaan yang tanahnya ditumbuhi kayukayuan antara 0-56 % dan daerah tangkapan yang luasnya antara 1,2-112 are. Rumusnya:  Lo 0.77  t c = 0.0078 0.385   So  keterangan:



Lo



= Panjang limpasan (ft)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



tc



= Waktu konsentrasi (min)



(4.17)



IV-11







Persamaan Gelombang Kinematika Persamaan ini digunakan jika terdapat gelombang kinematika dimana kecepatan tidak berubah terhadap jarak melainkan berubah terhadap titik. Panjang limpasan kurang dari 300 ft. Rumusnya: 0.6



0.93Lo N 0.6 tc = I 0.4 .S 0.3 keterangan:



(4.18)



Lo



= Panjang limpasan (ft)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



N



= Koefisien Manning untuk overland flow (Tabel 4.7)



I



= Intensitas hujan (in./hour)



tc



= Waktu konsentrasi (min)



Tabel 4.7 Nilai Koefisien Manning Overland Flow No Jenis Permukaan Tanah n 1. Tanah gundul 0.01 2. Tanah alami 0.13 3. Tanah berumput 0.45 4. Tanah berumput pendek 0.15 5. Tanah berkayu 0.45 Sumber: Wanielista, M. Hydrology : Water Quantity and Quality Control. 1997 • Persamaan Bransby Williams (Wanielista, 1997) Rumus yang digunakan: tc = keterangan:



21.3L0 A 0.1 .S o



0.2



Lo



= Panjang limpasan (ft)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



A



= Luas daerah tangkapan (mil2)



(4.19)



IV-12







Persamaan Federal Aviation Agency (Wanielista, 1997) Rumus yang digunakan:



1.8(1.1 − C )Lo tc = 0.33 So keterangan:



IV.3.4



0.5



Lo



= Panjang limpasan (ft)



So



= Kemiringan medan limpasan (ft/ft)



C



= Koefisien limpasan



(4.20)



Perubahan PUH



Apabila dalam saluran yang direncanakan mengalami perubahan PUH, maka nilai tc, td, to juga akan mengalami perubahan. Jika pada awal perhitungan menggunakan asumsi pendekatan kecepatan berdasarkan kemiringan dan perhitungan to dan td tidak memakai persamaan yang berunsur R, I dan C, maka perubahannya dapat didekati dengan persamaan berikut (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):   



1/ 2



t 0T 2



a = t 0T 1  T 1  aT 2



  



2/5



t dT 2



a = t dT 1  T 1  aT 2



(4.21)



a = 54 R + 0.07 R 2 keterangan:



IV.3.5



(4.22)



(4.23)



tT1



= t pada PUH n tahun yang dicari (menit)



tT2



= t pada PUH m tahun (menit)



aT1



= konstanta pada persamaan Talbot untuk PUH n tahun



aT2



= konstanta pada persamaan Talbot untuk PUH m tahun



R



= tinggi hujan (mm/hari)



Tinggi Hujan Rencana



Tinggi hujan R adalah tinggi hujan harian maksimum untuk PUH T tahun, dapat diperoleh dengan regresi dari satu urutan N tahun data hujan harian maksimum (dianjurkan N = 20-30 tahun data yang berkelanjutan) dan setelah dikoreksi dengan



IV-13



faktor koreksi konsistensinya Fk, lalu dicari standar deviasi SD dengan persamaan berikut ini (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):  (r − R )2 SD =  ∑ i N −1  keterangan:



   



1/ 2



(4.24)



ri



= Tinggi hujan pada tahun ke-i (mm/hari)



R



= Tinggi hujan rata-rata satu urutan data (mm/hari)



Setelah itu, dicari data ekstrem maksimum dengan distribusi Metode Modifikasi Gumbel ( umumnya digunakan untuk aplikasi di Indonesia) dengan persamaan :     T  RT = R −  0.78 ln ln   + 0.45  SD   T −1   keterangan:



IV.3.6



RT



(4.25)



= Tinggi hujan dengan PUH T tahun (mm/hari)



Koefisien Limpasan



Harga koefisien limpasan diambil berdasarkan PUH 5 – 10 tahun. Koefisien limpasan merupakan variabel Metode Rasional yang ketepatannya tergantung kepekaan designer. Harga-harga C yang digunakan dalam desain harus berdasarkan tata guna lahan menurut Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota. Koefisien limpasan diperoleh dari hasil perbandingan antara jumlah hujan yang jatuh dengan yang mengalir sebagai limpasan dalam permukaan tanah tertentu. Harga koefisien limpasan dari berbagai tata guna lahan dapat dilihat pada Tabel 4.8.



Tabel 4.8 Harga Koefisien Limpasan Untuk Berbagai Tata Guna Lahan



No. 1. 2.



Tata Guna Lahan PERDAGANGAN Pusat kota, terbangun penuh pertokoan Sekeliling pusat kota DAERAH KEDIAMAN Keluarga tunggal Keluarga ganda (tidak kopel)/beraneka ragam Keluarga ganda (kopel)/beraneka ragam



C 0.70-0.95 0.50-0.70 0.30-0.50 0.40-0.60 0.60-0.75



IV-14



No. 2.



Tata Guna Lahan DAERAH KEDIAMAN Pinggiran kota (sub-urban) Apartemen (rumah susun) Perumahan dengan kerapatan : 10 rumah/ha 15 rumah/ha 20 rumah/ha 25 rumah/ha 30 rumah/ha 3. DAERAH INDUSTRI Industri ringan Industri berat 4. TAMAN, KUBURAN HUTAN LINDUNG 5. LAPANGAN BERMAIN 6. PEKARANGAN REL KA 7. DAERAH TAK TERBANGUN/TERBENGKALAI 8. JALAN Aspal Beton Bata 9. HALAMAN PARKIR & TROTOIR 10. ATAP 11. PEKARANGAN TANAH PASIRAN Datar (2 %) Rata-rata (2-7 %) Terjal (7 %) 12. PEKARANGAN TANAH KERAS Datar (2 %) Rata-rata (2-7 %) 13. TANAH GUNDUL 14. LAHAN GALIAN PASIR Sumber : Moduto. Drainase Perkotaan, Volume I. 1998



C 0.25-0.40 0.50-0.70 0.45-0.55 0.50-0.65 0.60-0.70 0.65-0.75 0.75-0.85 0.50-0.80 0.60-0.90 0.10-0.30 0.20-0.35 0.20-0.40 0.10-0.30 0.70-0.95 0.80-0.95 0.70-0.85 0.75-0.85 0.75-0.95 0.05-0.10 0.10-0.15 0.15-0.20 0.13-0.17 0.18-0.22 0.70-0.80 0.05-0.15



Persamaan pendekatan untuk mencari harga koefisien limpasan pada daerah perumahan dengan kerapatan bangunan z rumah/ha adalah sebagai berikut (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): C = (0.3 hingga 0.4 ) + 0.015 z



(4.26)



IV-15



Pada suatu daerah dengan tata guna lahan yang berbeda-beda, besarnya koefisien limpasan ditetapkan dengan mengambil rata-rata berdasarkan bobot (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998), seperti berikut ini: Cr =



∑ C .A ∑A i



i



(4.27)



i



keterangan:



Cr



= Harga rata-rata limpasan



Ci



= Koefisien limpasan pada tiap-tiap daerah



Ai



= Luas pada masing-masing daerah (ha)



Perubahan harga C yang berubah setiap perubahan PUH dapat didekati dengan persamaan: CT 2 = 1 − (1 − CT 1 )



IT1 IT 2



I CT 2 = 1 − (1 − CT 1 ) T 1  IT 2 keterangan:



IV.3.7



  



, untuk daerah normal



(4.28)



, untuk daerah becek



(4.29)



CT1,CT2



= Harga C pada PUH T1 dan T2 berurutan



IT1, IT2



= Harga I pada PUH T1 dan T2 berurutan



Koefisien Storasi



Storasi saluran ditandai dengan adanya kenaikan kedalaman air dalam saluran. Debit aktual yang akan ditumpahkan di akhir saluran adalah debit total dikurangi dengan massa air yang masih berada dalam saluran. Rumus perhitungan koefisien storasi adalah (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998):



Cs =



2t c , untuk tc > te 2t c + t d



(4.30)



Cs =



2t e , untuk te > tc 2t e + t d



(4.31)



IV-16



IV.3.8



Intensitas Hujan



Intensitas hujan di Indonesia dapat mengacu pada pola grafik IDF (Intensity Duration Frequency) dari Van Breen yang didekati dengan persamaan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): 54 RT + 0.07 RT IT = t c + 0.3RT keterangan:



2



(4.32)



IT



= Intensitas hujan pada PUH T tahun, dengan tc > te (mm/hari)



RT



= Tinggi hujan pada PUH T tahun (mm/jam)



Jika tc < te, maka tc diganti dengan te



IV.3.9



Luas Daerah Pengaliran



Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu luas daerah pengaliran, yaitu: 1.



Tata guna lahan eksisting dan pengembangannya di masa mendatang.



2.



Karakteristik tanah dan bangunan di atasnya.



3.



Kemiringan tanah dan bentuk daerah pengaliran.



IV.3.10 Pengaruh DPS Parsial Modifikasi Metode Rasional ini berdasarkan asumsi bahwa hasil debit puncak dari suatu hujan dengan durasi dimana seluruh DPS di atas titik profil saluran yang ditinjau telah memberikan kontribusi. Makin jauh saluran, DPS akan makin bertambah, waktu konsentrasi akan bertambah, sehingga intensitas hujannya menurun ( jika tc > te ) (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998). Pengaruh itu semua dapat mengakibatkan perbedaan pada debit puncak yang dihitung dengan asumsi bahwa seluruh DPS sudah memberikan kontribusi. Keadaan ini disebut pengaruh DPS parsial dan harus dicek pada tempat-tempat sebagai berikut: 1.



Pertemuan dua saluran



2.



Keluaran dari DPS yang besar dengan waktu konsentrasi pendek



3.



Keluaran dari DPS yang kecil dengan waktu konsentrasi panjang



IV-17



Untuk penentuan debit puncak akibat pengaruh DPS parsial ini, dipakai pedoman sebagai berikut: 1.



Jika kedua tc saluran < te, maka debit puncak saluran sama dengan jumlah debit dari kedua saluran.



2.



Jika tidak, harus dihitung dua kali dimana seluruh ruas dengan tc terkecil dan terbesar, dengan harga terbesar digunakan untuk debit desain.



Perhitungan yang dilakukan untuk pedoman yang kedua adalah (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): •



Untuk tc terbesar, semua daerah memberikan kontribusi: Q=







1 (∑ Csi .Ai .Ci )Itc terbesar 360



(4.33)



Untuk tc terkecil, tidak semua DPS memberikan kontribusi : Q=



1 (∑ Csi . Ai .Ci )Itc terkecil 360



(4.34)



Sedangkan faktor y dihitung dengan : y=



t dkecil t dbesar



IV.4



Kriteria Hidrolis



IV.4.1



Kapasitas Saluran



(4.35)



Untuk menghitung kapasitas saluran, dipergunakan persamaan kontinuitas dan rumus Manning (Chow, Ven Te. Hidrolika Saluran Terbuka. 1992): Q = A× v keterangan:



IV.4.2



Q



= Debit pengaliran (m3/detik)



v



= Kecepatan rata-rata dalam saluran



A



= Luas penampang basah (m2)



(4.36)



Kecepatan Aliran



Penentuan kecepatan aliran air di dalam saluran yang direncanakan didasarkan pada kecepatan minimum yang diperbolehkan agar tetap terjadi self - cleansing dan



IV-18



kecepatan maksimum yang diperbolehkan agar konstruksi saluran tetap aman. Kedua kecepatan ini sangat tidak menentu dan nilainya tidak dapat ditentukan dengan tepat. Beberapa rumus yang digunakan untuk menghitung kecepatan aliran adalah: 1.



Persamaan



Manning



(Suripin.



Sistem



Drainase



Perkotaan



yang



Berkelanjutan. 2004) v= keterangan: v



1 2 / 3 1/ 3 R S n



(4.37)



= Kecepatan aliran (m/detik)



n



= Koefisien kekasaran Manning



R



= Jari-jari hidrolis (m)



S



= Kemiringan memanjang saluran



Harga n Manning tergantung hanya pada kekasaran sisi dan dasar saluran. Tabel 4.9, 4.10 dan 4.11 berikut menyajikan beberapa harga n Manning yang diperoleh dari berbagai sumber sebagai bahan perbandingan.



Tabel 4.9 Harga Kekasaran Manning untuk Berbagai Keadaan Saluran No.



1.



2.



Jenis Saluran



SALURAN BUATAN Saluran tanah, lurus, teratur Saluran tanah, digali alat besar Seperti 1, tetapi di batuan Seperti 3, tidak lurus, tak teratur Seperti 4, dengan ledakan, sisi vegetasi Dasar tanah, sisi batu belah Saluran berbelok-belok, v rendah SALURAN ALAMI Bersih, lurus, tanpa onggokan pasir dan lubang Seperti 1, sedikit vegetasi dan kerikil Belok-belok, bersih, sedikit onggokan pasir dan lubang Seperti 3, dangkal, kurang teratur Seperti 3, sedikit vegetasi dan batuan



Keadaan Bagus Bagus Cukup Sekali



Jelek



0.017 0.023 0.023 0.035 0.025 0.028 0.020



0.020 0.028 0.030 0.040 0.030 0.030 0.025



0.023 0.030 0.033 0.045 0.035 0.033 0.028



0.025 0.040 0.035 0.040 0.035 0.030



0.025



0.028



0.030



0.033



0.030



0.033



0.035



0.040



0.033



0.035



0.040



0.045



0.040 0.035



0.045 0.040



0.050 0.045



0.055 0.050



IV-19



No.



Jenis Saluran



Keadaan Bagus Bagus Cukup Sekali



SALURAN ALAMI Seperti 4, sedikit ada penampang batuan 0.045 0.050 0.055 Lambat, banyak vegetasi dan lubang dalam 0.050 0.060 0.070 Banyak vegetasi tinggi dan lebat 0.075 0.100 0.125 3. SALURAN PASANGAN Pasangan batu kosong 0.025 0.030 0.033 Seperti 1, dengan adukan 0.017 0.020 0.025 Beton tumbuk 0.014 0.016 0.019 Beton, sangat halus 0.010 0.011 0.012 Beton biasa, cetakan baja 0.013 0.014 0.014 Seperti 5, cetakan kayu 0.015 0.016 0.016 Sumber : Kinori, BZ. Manual of Surface Drainage Engineering. 1970



Jelek



2.



0.060 0.080 0.150 0.035 0.030 0.021 0.013 0.015 0.018



Tabel 4.10 Harga Kekasaran Manning yang Dianjurkan dalam Saluran Drainase No. Jenis Saluran dan Bahan Minimum Normal 1 Beton 0.010 0.011 Gorong-gorong lurus dan bebas kotoran Gorong-gorong dengan lengkungan dan 0.011 0.013 sedikit kotoran 0.011 0.012 Beton dipoles 0.013 0.015 Saluran pembuang dengan bak kontrol 2 Tanah, lurus, dan seragam 0.016 0.018 Bersih baru 0.018 0.022 Bersih telah melapuk Tanah, lurus, dan seragam 0.022 0.025 Berkerikil Berumput pendek, sedikit tanaman 0.022 0.027 pengganggu 3 Saluran alam 0.025 0.030 Bersih lurus 0.033 0.040 Bersih berkelok-kelok 0.050 0.070 Banyak tanaman pengganggu 0.025 0.030 Dataran banjir berumput pendek - tinggi 0.035 0.050 Saluran belukar Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004



Maksimum 0.013 0.014 0.014 0.017 0.020 0.025 0.030 0.033 0.033 0.045 0.080 0.035 0.070



IV-20



Tabel 4.11 Harga Kekasaran Manning untuk Saluran Alami atau Sungai No. Jenis Peruntukan 1. SALURAN MINOR (lebar muka air banjir < 30 m) Cukup teratur a. Sedikit rumput, tanpa semak b. Rumput liar lebat, d air < h rumput Tak teratur, berlubang, sedikit meander a. Sedikit rumput, tanpa semak b. Rumput liar lebat, d air < h rumput Saluran bukit, tanpa vegetasi, tebing terjal, pohon dan semak sepanjang tebing tenggelam selama banjir besar a. Dasar kerikil, batu dan sedikit batu besar b. Dasar batu dengan banyak batu besar 2. BANTARAN BANJIR Padang rumput, tanpa semak a. Rumput pendek b. Rumput tinggi Daerah bercocok tanam Rumput liar lebat, semak menyebar Semak dan pepohonan kecil Vegetasi medium sampai lebat Lahan bersih dengan tunggul pohon (250-625 batang/ha) a. Tanpa anak-anak pohon b. Dengan anak pohon lebat Tonggak kayu lebat, sedikit tumbang/tumbuh 3. SALURAN MAYOR (B banjir > 30 m), teratur, bersih Sumber : Moduto. Drainase Perkotaan, Volume I. 1998



n 0.030-0.035 0.035-0.050 0.040-0.055 0.045-0.070 0.040-0.050 0.050-0.070 0.030-0.035 0.035-0.050 0.035-0.045 0.050-0.070 0.060-0.080 0.100-0.120 0.040-0.050 0.060-0.080 0.100-0.120 0.028-0.330



Untuk mendesain dimensi saluran tanpa perkerasan, dipakai harga n Manning normal atau maksimum, sedangkan harga n Manning minimum hanya dipakai untuk pengecekan bagian saluran yang mudah terkena gerusan. Jika kedalaman dalam satu lajur saluran berubah, maka harga koefisien kekasaran Manning rata-ratanya harus dicari dengan persamaan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): 5/3



nr =



Pr .Rr  Pi .Ri 5 / 3  ∑  n  i  



(4.38)



IV-21



keterangan: nr : Harga n rata-rata sepanjang saluran Pr : Harga keliling basah rata-rata sepanjang saluran (m) Rr : Harga jari-jari hidrolis rata-rata sepanjang saluran (m) Pi : Harga keliling basah rata-rata setiap bagian i saluran (m) Ri : Harga jari-jari hidrolis rerata setiap bagian i saluran (m) ni : Harga n setiap bagian i saluran 2.



Persamaan Chezy (Nemec. Engineering Hydrology. 1973) v = C (R.S )



1/ 2



keterangan: v



(4.39)



= Kecepatan aliran (m/detik)



C



= Koefisien Chezy



R



= Jari-jari hidrolis (m)



S



= Kemiringan saluran (m/m)



Dalam persamaan Chezy, nilai koefisien C dipengaruhi oleh jari-jari hidrolis dan kekasaran dinding-dinding sisi dan dasar saluran. Ada 3 persamaan untuk menyatakan harga C sebagai fungsi dari kekasaran dan jari-jari hidrolis (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): a. Jika dibandingkan dengan persamaan Manning C=



1 1/ 6 R n



(4.40)



b. Persamaan Ganguilet-Kutter (Nemec. Engineering Hydrology. 1973)  1   0.00155  23 +   +   S  n  C= 0.00155  n  1 +  23 +  S  R 



(4.40)



Persamaan ini dinilai kurang teliti, tetapi dalam beberapa hal dapat memberikan



hasil yang memadai jika dipakai dalam perhitungan



saluran alami.



IV-22



c. Rumus Bazin C=



87 R 1 / 2 τ + R1 / 2



(4.41)



Harga-harga τ untuk berbagai jenis saluran dapat dilihat pada Tabel 4.12



Tabel 4.12 Harga τ Bazin untuk Berbagai Saluran No.



Jenis Saluran Bagus Sekali



Keadaan Bagus Cukup



SALURAN BUATAN 0.05 0.70 1. Saluran tanah, lurus, teratur 1.05 1.38 2. Saluran tanah, ada vegetasi, batu, dll 3. Saluran kerukan di batuan 1.38 1.75 SALURAN ALAMI 1. Saluran terpelihara baik 1.05 1.38 2. Saluran ada vegetasi, batu, dll 1.75 2.40 SALURAN PASANGAN 1. Pasangan beton, permukaan disemen halus 0.055 2. Papan kayu atau pasangan batu halus 0.055 0.220 3. Pasangan batu adukan semen, potongan 0.500 0.690 kasar 4. Pasangan batu kosong, potongan kasar 1.050 1.380 Sumber: Kinori, BZ. Manual of Surface Drainage Engineering. 1970



Jelek



0.88 1.75 2.05



1.05 2.10 2.30



1.75 3.50



2.10 4.85



0.140 0.275



0.22 0.33



1.050



1.38



1.600



1.75



Persamaan Manning dianjurkan dipakai untuk tipe saluran buatan baik yang diperkeras atau tidak. Sebelum persamaan Manning ini diterapkan, biasanya dicari kecepatan rata-rata dengan metode trial and error. Pendekatan kecepatan aliran ratarata dalam saluran dapat dilihat pada Tabel 4.13 dan 4.14.



Tabel 4.13 Pendekatan Kecepatan Trial Berdasarkan Kemiringan Kemiringan Rata-Rata dalam Saluran (%) Kecepatan Rata-Rata (m/detik) 1-2 0.6 2-4 0.9 4-6 1.2 6-10 1.5 10-15 2.4 Sumber: Moduto. Drainase Perkotaan, Volume I. 1998



IV-23



Tabel 4.14 Pendekatan Kecepatan Setempat Trial Berdasarkan Debit Puncak Debit Aliran, Kecepatan Setempat, Qp (m3/detik) Vt (m/detik) 8 0.23-0.25 Sumber: Chow, Ven Te. Hidrolika Saluran Terbuka.1992



IV.4.6



Perlengkapan Saluran



Perlengkapan saluran merupakan sarana pelengkap yang dapat menunjang kinerja penyaluran air hujan. Pada umumnya perlengkapan saluran pada sistem penyaluran air hujan terdiri dari: 1.



Street Inlet



Street inlet merupakan lubang atau bukaan di sisi-sisi jalan yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan yang berada di sepanjang jalan menuju ke saluran. Pada jenis penggunaan saluran terbuka tidak diperlukan street inlet karena ambang saluran yang ada merupakan bukaan bebas (kecuali untuk jalan dengan trotoar terbangun). Perletakan street inlet mempunyai ketentuanketentuan sebagai berikut : •



Diletakkan pada tempat yang tidak memberikan gangguan terhadap lalu lintas jalan maupun pejalan kaki.







Ditempatkan pada daerah yang rendah dimana limpaan air hujan menuju ke arah tersebut.







Air yang masuk street inlet harus secepatnya menuju ke dalam saluran.







Jumlah street inlet harus cukup untuk menangkap limpasan air hujan pada jalan yang bersangkutan, dengan rumus (Moduto, 1998): D= keterangan:



280 S W



(4.44)



D



= Jarak antar street inlet (m), D < 50 m



S



= Kemiringan (%)



W



= Lebar jalan (m)



IV-29



a. Gutter Inlet Gutter inlet adalah bukaan horisontal dimana air jatuh ke dalamnya. Kapasitas gutter inlet dapat dihitung dengan menggunakan modifikasi persamaan Manning untuk aliran dalam saluran yang sangat dangkal (Moduto, 1998), yaitu: z Q = 0.56 S 1 / 2 d 8 / 3 n keterangan:



(4.45)



Q



= Kapasitas gutter inlet (m3/detik)



z



= Kemiringan potongan melintang jalan (m/m)



n



= Koefisien kekasaran Manning = 0.016



S



= Kemiringan longitudinal gutter inlet (m/m)



d



= Kedalaman aliran di dalam gutter inlet (m)



Gutter inlet didesain sedemikian rupa sehingga lebar aliran di atas permukaan jalan tidak lebih dari 2 mm selama terjadinya hujan.



b. Curb Inlet Curb inlet adalah bukaan vertikal dimana air masik ke dalamnya. Kapasitas curb inlet dapat dihitung dengan rumus (Moduto, 1998) berikut ini :



keterangan:



Q = 0.2 gd 3 / 2 (British Unit) L



(4.46)



Q = 0.36 gd 3 / 2 (Metric Unit) L



(4.47)



Q



= Kapasitas curb inlet (cfs, m3/detik)



L



= Lebar bukaan curb inlet (ft, m)



g



= Gaya gravitasi (m/s2)



d



= Kedalaman total air dalam curb inlet (ft, m)



Tinggi air pada permukaan jalan dekat gutter atau curb dapat didekati dengan rumus (Moduto, 1998):



IV-30



0.0474(D.I ) d= S 0.2 keterangan:



0.5



(4.48)



d



= Kedalaman air (mm) pada ¼ lebar jalan



D



= Jarak antara street inlet



I



= Intensitas hujan (mm/jam)



S



= Kemiringan jalan



Dalam perencanaan, kapasitas gutter inlet maupun curb inlet harus diturunkan (sekitar 10-30 %) untuk memperhitungkan gangguan penyumbatan dimana penurunan ini tergantung pada kondisi jalan serta jenis inletnya. Besarnya faktor reduksi dalam penentuan kapasitas inlet dapat dilihat pada Tabel 4.21.



Tabel 4.21 Faktor Reduksi dalam Penentuan Kapasitas Inlet



Kondisi Jalan



Tipe Inlet



Presentase dari Kapasitas Teoritis yang Diijinkan (%)



Sump Curb 80 Continuous grade Curb 80 Continuous grade Deflector 75 Sumber: BUDSP. Drainage Design for Bandung. 1978



Gambar 4.1 Tipe-Tipe Street Inlet



IV-31



2.



Bangunan Terjunan



Bangunan terjunan diperlukan jika kemiringan permukaan tanah lebih curam daripada kemiringan maksimum saluran yang diijinkan. Selain itu, bangunan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya penggerusan pada badan saluran akibat kelebihan kecepatan dalam saluran melewati kecepatan maksimum yang diijinkan. Bangunan ini mempunyai empat bagian fungsional yang masing-masing mempunyai sifat perencanaan yang khas. Keempat bagian tersebut adalah : •



Bagian hulu pengontrol, yaitu bagian dimana aliran menjadi superkritis.







Bagian dimana air dialirkan ke elevasi yang lebih rendah.







Bagian tepat di sebelah hilir potongan U, yaitu tempat dimana energi diredam.







Bagian peralihan saluran memerlukan perlindungan untuk mencegah erosi.



a. Bagian Pengontrol Pada bagian pertama dari bangunan ini, aliran di atas ambang dikontrol. Hubungan tinggi energi yang memakai ambang sebagai acuan dengan debit pada pengontrol bergantung pada ketinggian ambang, potongan memanjang mercu bangunan, kedalaman bagian pengontrol yang tegak lurus terhadap aliran dan lebar bagian pengontrol. Bangunan-bangunan pengontrol yang mungkin digunakan adalah alat ukur ambang lebar atau flum leher panjang. b. Terjunan Tegak Pada terjunan tegak ini air akan mengalami jatuh bebas pada pelimpah terjunan, kemudian akan terbentuk suatu loncatan hidrolis pada hilir. Ketentuan yang berlaku adalah: •



Untuk Q < 2.5 m3/detik, tinggi terjun maksimum = 1,5 m







Untuk Q > 2,5 m3/detik, tinggi terjun maksimum = 2,5 m



IV-32



Untuk menentukan terjunan tegak digunakan rumus (Chow, 1992):



(Overton, 1976)



Yc = 2 / 3h



(4.49)



Q = b.q



(4.50)



q = Yc D=



keterangan:



(Yc .g )



Yc H



(4.51) (4.52)



Y1 = 0.54 HD 0.425



(4.53)



Y2 = 1.66 HD 0.27



(4.54)



Y p = HD 0.22



(4.55)



Ld = 4.3HD 0.27



(4.56)



L j = 6.9(Y2 − Y1 )



(4.57)



Lt = Ld + L j



(4.58)



Yc



= Kedalaman air kritis (m)



h



= Kedalaman air normal (m)



Q



= Debit aliran (m3/detik)



b



= Lebar saluran (m)



q



= Debit per satuan lebar ambang (m3/detik)



g



= Gaya gravitasi (m/detik2)



Y1



= Kedalaman sebelum terjadi lompatan (m)



Y2



= Kedalaman setelah terjadi lompatan (m)



Yp



= Panjang terjunan (m)



Ld



= Panjang terjunan (m)



Lj



= Panjang lompatan air (m)



Lt



= Panjang total (m)



c. Terjunan Miring Terjunan miring dipakai untuk tinggi terjun > 2 m. Mulai dari awal terjunan miring, airnya mendapat tambahan kecepatan sehingga sepanjang terjunan



IV-33



miring tersebut berangsur-angsur terjadi penurunan muka air. Supaya perubahan kecepatan air dari kecepatan normal ke kecepatan maksimum berjalan secara teratur dan tidak secara mendadak, dibuatlah suatu bagian peralihan. Tipe yang umum digunakan adalah tipe Vlugther. Kecepatan maksimum pada akhir bagian peralihan besarnya tergantung pada ketahanan dasar dan dinding-dinding salurannya terhadap penggerusan (erosi). Jika dibuat dari pasangan batu kali dengan spesi semen yang baik, kecepatan maksimumnya berkisar antara 5-10 m/detik. Jika dibuat dari beton, tentunya nilai yang dicapai akan lebih besar lagi. Dimensi bangunan terjunan miring dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Vlugther (Dirjen Pengairan,1986): H = h1 +



(4.60)



H S = C .H    z 



(4.61)



C



= 0,4



untuk 1/3 < z/H < 4/3, maka D = 0,6.H + 1,1.z a = 0,2.H(H/z) untuk 4/3 < z/H < 10, maka D = H + 1,1.z a = 0,15.H(H/z) keterangan: H



(4.59)



2 h1 3



h2 =



keterangan:



v2 2g



(4.62) (4.63) (4.64) (4.65)



= Tinggi energi (m)



h1



= Kedalaman air di hilir (m)



h2



= Kedalaman kritis (m)



S



= Ketinggian air pada bagian yang miring (m)



IV-34



z



= Beda tinggi air sebelum dan sesudah terjunan (m)



v



= Kecepatan aliran (m)



Gambar 4.2 Terjunan Miring 3.



Gorong-gorong



Gorong-gorong adalah bangunan yang dipakai untuk membawa aliran air melewati bawah jalan air lainnya, bawah jalan atau jalan kereta api. Goronggorong mempunyai potongan melintang yang lebih kecil daripada luas basah saluran hulu maupun hilir. Sebagian dari potongan melintang mungkin berada di atas muka air. Dalam hal ini gorong-gorong berfungsi sebagai saluran terbuka dengan aliran bebas. Pada gorong-gorong aliran bebas, benda-benda yang hanyut dapat lewat dengan mudah tetapi biaya pembuatannya umumnya lebih mahal dibandingkan dengan gorong-gorong tenggelam. Pada gorong-gorong tenggelam, seluruh potongan melintang berada di bawah permukaan air. Biaya pelaksanaan gorong-gorong tenggelam lebih murah dibandingkan gorong-gorong aliran bebas tetapi bahaya terjadinya penyumbatan lebih besar. Batas kecepatan dalam gorong-gorong harus lebih besar atau sama dengan kecepatan self cleansing agar gorong-gorong terbebas dari endapan lumpur.



IV-35



Kehilangan tekanan oleh pengaliran di dalam gorong-gorong dapat dihitung dengan persamaan (Patterson,1984): ∆h =



keterangan:



∆h



v2  l. p   1 + a + b + 2g  4A 



(4.66)



= Perbedaan tinggi muka air di muka dan di belakang gorong-gorong (m)



v



= Kecepatan air di dalam gorong-gorong (m/detik)



g



= Gaya gravitasi (m/detik2)



l



= Panjang gorong-gorong (m)



p



= Keliling basah gorong-gorong (m)



A



= Luas penampang basah gorong-gorong (m2)



a



=Koefisien kontraksi pada perlengkapan gorong-gorong = 1/µ – 1,



b



dengan µ = 0.8 - 0.83



(4.67)



= Koefisien dinding pada gorong-gorong untuk gorong-gorong bulat: 0.0005078   b = 1.5 ×  0.01989 +  d  



(4.68)



untuk gorong-gorong segi empat: 0.0005078   b = 1.5 ×  0.01989 +  4R   4.



(4.69)



Perubahan Saluran



Apabila dalam perencanaan saluran terjadi perubahan bentuk atau luas potongan melintang, maka diperlukan bangunan transisi yang berfungsi untuk melindungi saluran dari kerusakan yang mungkin timbulakibat perubahan tersebut. Struktur pelindung yang dapat digunakan berupa head wall yang lurus atau setengah lingkaran dengan besar sudut perubahan saluran 12,5° dari sisi saluran. Akibat perubahan sudut aliran pada bangunan ini terjadi kehilangan energi yang besarnya tergantung pada perubahan kecepatan dan bentuk dinding pada bangunan tersebut. Kehilangan energi dapat dihitung dengan rumus (Chow,1992):



IV-36



ht = (1 + C k )hv



keterangan:



(4.70)



ht



= Kehilangan tekanan melalui bangunan transisi (m)



hv



= Perubahan tinggi kecepatan (m)



Ck



= Koefisien yang besarnya tergantung pada jenis perubahan, yaitu: Dari saluran besar ke saluran kecil : -



Untuk dinding lurus



: Ck = 0,3



-



Untuk dinding ¼ lingkaran



: Ck = 0,15



Dari saluran kecil ke saluran besar :



5.



-



Untuk dinding lurus



: Ck = 0,5



-



Untuk dinding ¼ lingkaran



: Ck = 0,25



Pertemuan Saluran



Pertemuan saluran atau junction adalah pertemuan dua saluran atau lebih dari arah yang berbeda pada suatu titik. Pada kenyataannya pertemuan saluran ini mempunyai ketinggian dasar saluran yang tidak selalu sama, sehingga kehilangan tekanan sulit ditentukan. Dalam perencanaan ini pertemuan saluran diusahakan mempunyai ketinggian yang sama untuk mengurangi konstruksi yang berlebihan, yaitu dengan jalan optimasi kecepatan untuk menghasilkan kemiringan saluran yang diinginkan. Untuk mengurangi kehilangan tekanan yang terlalu besar dan untuk keamanan konstruksi, maka dinding pertemuan dibuat tidak bersudut atau dibuat melengkung dan diperhalus. 6.



Belokan



Kesulitan dalam merancang suatu belokan seringkali ditimbulkan oleh kompleksitas aliran di sekitar belokan tersebut. Kehilangan tekanan akibat belokan dapat dihitung dengan persamaan (Wanielista, 1997): hb = k b



v2 2g



(4.71)



IV-37



keterangan:



hb



= Kehilangan tekanan akibat belokan (m)



v



= Kecepatan aliran (m/detik)



kb



= Koefisien belokan, harganya berdasarkan penyelidikan yang dilakukan ASCE dalam buku Design and Construction of Sanitary and Strom Sewerage, yaitu : -



untuk belokan 90°, kb = 0,4



-



untuk belokan 45°, kb = 0,32



7. Pintu Air Pintu air atau klep merupakan bangunan penunjang sistem drainase di daerah dataran. Pintu air difungsikan terutama pada saat terjadi hujan dan pasang naik. Hal ini dilakukan untuk mencegah aliran balik (backwater) yang dapat terjadi akibat banjir makro, sehingga tidak mengganggu kelancaran air keluar dari daerah perencanaan yang dapat menyebabkan banjir mikro. Pintu air biasanya diletakkan pada lokasi outfall di tepi sungai dan pada tepi dimana akumulasi air dalam saluran drainase kota menuju muara cukup tinggi. 8.



Bangunan Pembuangan



Bangunan pembuangan atau outfall merupakan ujung saluran yang ditempatkan pada sungai atau badan air penerima lainnya. Struktur outfall ini hampir sama dengan struktur bangunan terjunan lain karena biasanya titik ujung saluran terletak pada elevasi yang lebih tinggi dari badan air penerima, sehingga dalam perencanaan outfall ini merupakan bangunan terjunan. Untuk menghitung dimensinya digunakan persamaan Manning. Kecepatan aliran direncanakan antara 6-10 m/detik. Lebar mulut bagian peralihan dapat dihitung dengan persamaan (Chow, 1992):



 v2  v2 Q = 0.35b1  h + 2 g 29  2g 



(4.72)



IV-38



Nilai v di atas adalah kecepatan aliran pada saluran, sedangkan kecepatan aliran pada bagian awal peralihan (v1) dihitung dengan persamaan: Q = A.v1



(4.73)



2 bh 3



(4.74)



A=



Sedangkan panjang pada bagian peralihan dihitung dengan persamaan: L=



H S



(4.75)



v 2 − v1 = m (2 g .H ) keterangan:



H



(4.76)



= Perbedaan tinggi profil awal dan akhir pada bagian peralihan (m)



S



= Kemiringan saluran (%)



v2



= Kecepatan aliran pada bagian normal (m/detik)



v1



= Kecepatan aliran pada bagian awal peralihan (m/detik)



IV.5



Profil Aliran



Dalam perencanaan saluran drainase selalu diasumsikan bahwa dalam satu jalur saluran ketinggian airnya selalu sama karena dianggap bahwa air dari daerah tangkapan langsung dilimpaskan secara bersamaan ke dalam saluran. Tujuan pembahasan profil aliran ini adalah untuk menunjukkan profil aliran sebenarnya yang terjadi dalam saluran drainase agar dalam perencanaannya tidak terjadi kesalahan pengertian tentang kedalaman air dalam saluran.



IV.5.1



Profil Aliran Akibat Pengaruh Debit Limpasan



Debit limpasan mempengaruhi pembentukan profil aliran disebabkan hal-hal sebagai berikut: •



Tidak semua air terlimpaskan ke saluran secara bersamaan -



Ada yang merayap pada medan limpasan terlebih dahulu



-



Ada masukan dari saluran persil ke sepanjang saluran yang ditinjau



IV-39







Adanya penambahan debit limpasan dari jalur saluran sesudahnya yang diakibatkan adanya aliran balik.



Rumus-rumus penting yang digunakan dalam perhitungan profil aliran adalah perhitungan debit dan perhitungan penurunan muka air. Persamaan yang digunakan: (4.77)



Q = q.L



keterangan:



Q



= Debit dalam saluran (m3/detik)



q



= Debit per satuan lebar (m3/detik/m)



L



= Panjang segmen (m)



∆y = keterangan:



α .Q1 (V1 + V2 )  g (Q1 + Q2 )



 V  ∆V + 2 ∆Q  Q1  



∆y



= Penurunan muka air karena benturan (m)



α



= Koefisien energi (Tabel 4.22)



Qx



= Debit pada segmen ke-x (m3/detik)



Vx



= Kecepatan aliran pada segmen ke-x (m/detik)



g



= Percepatan gravitasi (m/detik2)



(4.78)



Tabel 4.22 Nilai Koefisien Energi dari Berbagai Macam Saluran



Nilai α Minimum Rata-Rata Maksimum Saluran biasa, talang, pelimpah 1.1 1.15 1.2 Sungai alam dan sungai deras 1.15 1.3 1.5 Sungai tertutup es 1.2 1.5 2 Lembah sungai terlimpas banjir 1.5 1.75 2 Sumber : Chow, Ven Te. Hidrolika Saluran Terbuka. 1970 Saluran



IV.5.2



Profil Aliran Akibat Pengaruh Penampang Saluran



Penampang saluran mempengaruhi pembentukan profil aliran karena: •



Saluran tidak selalu mempunyai dimensi yang sama karena dalam perencanaannya tergantung pada debit yang masuk ke dalamnya, sedangkan debit yang masuk belum tentu sama besarnya.



IV-40







Adanya energi dalam suatu aliran, seperti tinggi tekan, tinggi kecepatan dan kehilangan tekanan. Energi ini akan semakin ekstrim jika terjadi perubahan kondisi-kondisi saluran, perubahan kemiringan dasar saluran, perubahan kekasaran saluran, serta perubahan bentuk penampang saluran.







Adanya aliran balik dari jalur saluran sesudahnya.



1.



Geometri Saluran



Unsur-unsur geometri saluran adalah sifat-sifat suatu penampang saluran yang dapat diuraikan seluruhnya berdasarkan bentuk penampang dan kedalaman aliran. Penampang saluran buatan biasanya dirancang berdasarkan bentuk geometri yang umum. Pada Tabel 4.23 terdapat bentuk-bentuk geometri saluran yang sering dipakai.



Tabel 4.23 Unsur-Unsur Geometris Penampang Saluran Penampang



A



P



R



T



D



z



Persegi panjang Trapesium



by y(b + zy)



b + 2y b + 2y√(1 + z2)



by/(b +2y) y(b + zy)/[b + 2y√(1 + z2)]



b b + 2 zy



Segitiga



zy2



2y√(1 + z2)



zy/(2√(1 + z2)



2zy



y y(b + zy) (b + 2zy) 1 /2y



by 1,5 [y(b + zy)]1,5 √(b + 2zy) (√2/2)zy 2,5



Sumber : Chow, Ven Te. Hidrolika Saluran Terbuka. 1970 keterangan:



A



= Luas penampang (m2)



P



= Keliling basah (m)



R



= Jari-jari hidrolis, merupakan rasio A dan P



T



= Lebar puncak penampang (m)



D



= Kedalaman hidrolik, merupakan rasio A dan T



z



= Talud saluran



b



= Lebar dasar saluran (m)



y



= Ketinggian muka air dalam saluran (m)



IV-41



2.



Energi Spesifik



Energi spesifik dalam suatu penampang saluran dinyatakan sebagai energi air setiap pon pada setiap penampang saluran, diperhitungkan terhadap dasar saluran. Perumusannya adalah sebagai berikut (Chow, 1992): E = y +α keterangan:



3.



v2 Q2 = y +α 2g 2 gA 2



E



= Energi spesifik (ft)



y



= Ketinggian muka air dari dasar saluran (ft)



α



= Koefisien energi



v



= Kecepatan aliran (ft/detik)



g



= Percepatan gravitasi (ft/detik2)



Q



= Debit aliran (m3/detik)



A



= Luas penampang basah (m2)



(4.79)



Aliran dalam Keadaan Kritis



Keadaan kritis dari suatu aliran adalah keadaan aliran dimana energi spesifiknya untuk suatu debit tertentu adalah minimum. Dengan diferensiasi persamaan (5.79) serta energi spesifik untuk keadaan kritis adalah minimum (∂E/∂x = 0), maka persamaan untuk keadaan kritis adalah sebagai berikut (Chow, 1992):



α keterangan:



4.



D



v2 D = 2g 2



(4.80)



= kedalaman hidrolik (ft).



Profil Aliran



Profil aliran menunjukkan lengkung permukaan aliran. Jenis lengkung yang umum terjadi pada saluran terbuka adalah: a. Lengkung Air Balik Profil ini terjadi bila ujung hilir dari saluran panjang yang landai terendam pada suatu kolam yang kedalamannya lebih besar daripada



IV-42



kedalaman normal, sehingga profil ini terjadi pada zona kedalaman di atas garis kedalaman normal (GKN). b. Lengkung Surut Muka Air Lengkung ini terjadi jika dasar saluran pada ujung hilir terendam pada suatu kolam yang kedalamannya lebih kecil daripada kedalaman normal.



IV.6



Usaha Konservasi Sumber Daya Air



Air hujan memiliki potensi bencana yang sangat merugikan. Oleh karena itu, konsep dasar pengembangan drainase berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Untuk mencapai tujuan ini, prioritas kegiatan utama harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan (rainfall retention facilities). Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe (Flowchart 4.1), yaitu tipe penyimpanan dan tipe peresapan. (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004) Fasilitas penyimpanan air hujan di luar lokasi berfungsi mengumpulkan dan menyimpan limpasan air hujan di ujung hulu saluran atau tempat lain dengan membangun retarding basin atau kolam pengatur banjir (flood regulation pond). Mengingat bangunan ini mampu menampung limpasan air yang cukup besar, efektivitas pengendalian banjir juga sangat tinggi dan tingkat kehandalan dapat dipercaya. Bangunan ini mampu meminimalisir banjir akibat air limpasan dari bagian hulu. Penyimpanan setempat dikembangkan untuk menyimpan air hujan yang jatuh di kawasan itu sendiri yang tidak dapat dibuang langsung ke saluran. Hal ini disebabkan saluran tidak mampu menampung air hujan atau adanya aliran balik (back water). Fasilitas penyimpanan tidak harus berupa bangunan tetapi juga dapat memanfaatkan lahan terbuka yang ada, misalnya tempat parkir, lapangan olahraga, atau taman yang



IV-43



dirancang multi fungsi. Hal ini mungkin dilakukan mengingat kejadian banjir tidak terjadi setiap hari sehingga fungsi utamanya tidak banyak terganggu.



Penyimpanan di luar lokasi (off-site storage)



Tipe penyimpan (storage types)



Kolam regulasi (regulation pond) Retarding basin



Taman Halaman sekolah Lahan terbuka (open space)



Penyimpanan di dalam lokasi (in-site storage)



Lahan parkir Lahan antar blok rumah



Fasilitas penahan air hujan (rainfall retention facilities)



Ruang terbuka lainnya



Parit resapan (infltration trench)



Sumur resapan (infiltration well) Tipe peresapan (infiltration types)



Kolam resapan (infiltration pond)



Perkerasan resapan (infiltration pavement)



Gambar 4.3 Klasifikasi Fasilitas Penahan Air Hujan



Fasilitas resapan dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki permeabilitas tinggi dan secara teknis pengisian air tanah ini tidak mengganggu stabilitas geologi. Pengimbuhan air tanah dari air hujan atau air permukaan lainnya memiliki kegunaan sebagai berikut: •



Menyimpan kelebihan air permukaan di dalam tanah.



IV-44







Memperbaiki kualitas air tanah lokal melalui percampuran dengan pengisian air tanah yang berasal dari air hujan.







Pembentukan tabir tekanan (pressure barriers) untuk mencegah terjadinya intrusi air laut.







Meningkatkan produktivitas air tanah, baik untuk air minum maupun keperluan lainnya.







Pengurangan biaya operasi pompa dengan meningginya muka air tanah







Mencegah terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence)



IV.6.1



Sumur Resapan



Sumur resapan adalah sumur yang dibuat sebagai tempat penampungan air hujan berlebih agar memiliki waktu dan ruang untuk meresap ke dalam tanah melalui proses infiltrasi dan perkolasi. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong yang memiliki kapasitas atau volume cukup besar untuk menampung air hujan sementara sebelum diresapkan ke dalam tanah. 1.



Penentuan Dimensi Sumur Resapan



Penentuan dimensi dan ukuran sumur resapan yang diperlukan pada suatu lahan atau kavling bergantung pada beberapa faktor berikut: •



Luas permukaan penutup, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap, lapangan parkir, dan perkerasan lainnya.







Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan. Semakin tinggi hujan dan lama, maka dibutuhkan volume sumur yang makin besar. Sementara selang waktu hujan yang besar dapat mengurangi volume sumur yang diperlukan.







Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas yang lebih besar daripada tanah berlempung.







Tinggi muka air tanah. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena pengimbuhan air tanah



IV-45



sangat diperlukan. Sebaliknya pada kondisi muka air tanah dangkal, seperti di daerah pasang surut atau rawa, penerapan sumur resapan tidak efektif. Ada beberapa metoda penentuan dimensi sumur resapan dangkal, yaitu: •



Metoda Sunjoto



Penentuan dimensi (kedalaman) sumur ini menggunakan pendekatan dinamis. Volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah (Sunjoto, 1988) dan dapat ditulis sebagai berikut: Q  1− e H = F .K  keterangan:



− FKT



πR 2



   



H



= tinggi muka air dalam sumur (m)



F



= faktor geometrik (m)



Q



= debit air masuk (m3/dtk)



T



= waktu pengaliran (detik)



K



= koefisien permeabilitas tanah (m/dtk)



R



= jari-jari sumur (m)



(4.81)



Faktor geometrik sumur resapan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Nilai F ini tergantung dari berbagai keadaan. Keadaan lapisan tanah serta konstruksi sumur akan berpengaruh besar terhadap besar nilai faktor geometrik sumur (F). Untuk menghitung debit run-off (Q) maka formula yang dipakai adalah sebagai berikut: keterangan:



Q



= CIA



(4.82)



Q



= Debit air masuk dari atap/lahan (run-off) (m3/s)



C



= Koefisien aliran permukaan atap atau lahan



I



= Intensitas hujan (m/s)



A



= Luas atap/lahan (m2)



IV-46



-



Nilai C adalah nilai koefisien limpasan (runoff) yang besarnya tergantung dari jenis material tanah atau areal yang dilalui oleh aliran air tersebut.



-



Intensitas hujan didapat secara statistik, dalam hal ini intensitas fungsi dari durasi hujan serta periode ulang yang direncanakan.



Jumlah air yang diresapkan (Qresap) adalah: Qres = F.k.H (m3) •



(4.83)



Metode Departemen Pekerjaan Umum



Dasar dari penurunan formula ini adalah hukum kontinuitas, yakni volume tampungan adalah selisih jumlah volume yang masuk dengan jumlah volume yang keluar. Namun konsep ini dikembangkan dengan suatu keseimbangan sesaat untuk suatu waktu tertentu tanpa mempertimbangkan proses dari waktu ke waktu. Standar perencanaan teknis sumur resapan dengan formula ini ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum melalui SK SNI T-12-1990 F. Adapun persamaan yang digunakan untuk penentuan dimensi sumur resapan adalah sebagai berikut: H= keterangan:



D.i. At − D.k . As As + D.K .L



(4.84)



i



= Intensitas hujan (m/jam)



At



= Luas tadah hujan (m2), berupa atap atau permukaan tanah yang diperkeras



2.



K



= Permeabilitas (m/jam)



L



= Keliling penampang sumur (m)



As



= Luas penampang sumur (m2)



D



= Durasi hujan (jam)



H



= Kedalaman sumur (m)



Persyaratan Pembangunan Sumur Resapan



Berdasarkan SK SNI 1990, persyaratan sumur resapan disajikan dalam Gambar 4.4.



IV-47



3.



Konstruksi Sumur Resapan



Pada dasarnya sumur resapan dapat dibuat dari berbagai macam bahan yang tersedia di lokasi. Bahan-bahan yang diperlukan untuk sumur resapan meliputi: •



Saluran pemasukan atau pengeluaran dapat menggunakan pipa besi, pipa paralon, buis beton, pipa tanah liat, atau dari pasangan batu.







Dinding sumur dapat menggunakan anyaman bambu, drum bekas, tangki fibreglass, pasangan batu bata, atau buis beton.







Dasar sumur dan sela-sela antara galian tanah dan dinding tempat air meresap dapat diisi dengan ijuk atau kerikil.



MAT



tidak > 3m



Permeabilitas tanah



tidak > 2 cm/jam



Persyaratan Jarak



Memenuhi syarat



Sumur Resapan Air Hujan



tidak



Sistem Penampungan Air Hujan Terpusat



Gambar 4.4 Diagram Persyaratan Pembangunan Sumur Resapan



IV-48



4.



Persyaratan Sumur Resapan



Sekalipun sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, tetapi pembuatannya harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan untuk menghasilkan hasil yang optimal. Persyaratan umum yang harus dipenuhi antara lain: a.



Persyaratan Umum •



Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang lolos air dan tahan longsor.







Sumur resapan air hujan harus bebas dari pencemaran limbah







Air yang masuk sumur resapan adalah air hujan.







Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya menampung dari atap dan disalurkan melalui talang.



• b.



Mempertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi, dan hidrologi



Keadaan Muka Air Tanah



Sumur resapan dibuat pada awal daerah aliran yang dapat ditentukan dengan mengukur kedalaman dari permukaan air tanah ke permukaan tanah di sumur sekitarnya pada musim hujan. c.



Permeabilitas Tanah



Permeabilitas tanah yang dapat dipergunakan untuk sumur resapan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :



d.







Permeabilitas tanah sedang (geluh/lanau)



: 2,0-6,5 cm/jam







Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus)



: 6,5-12,5 cm/jam







Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar)



: >12,5 cm/jam



Penempatan



Untuk memberikan hasil yang baik serta tidak menimbulkan dampak negatif, penempatan



sumur resapan harus



memperhatikan kondisi



lingkungan setempat. Tabel 4.24 memberikan batas minimum jarak sumur resapan terhadap bangunan lainnya.



IV-49



Tabel 4.24 Jarak Minimal Bangunan Lain Dengan Sumur Resapan Jarak minimal dengan sumur resapan (m) 3 1 Bangunan/rumah 1.5 2 Batas pemilikan lahan/kavling 10 3 Sumur untuk air minum 5 4 Septic tank 30 5 Aliran air (sungai) 3 6 Pipa air minum 1.5 7 Jalan umum 3 8 Pohon besar Sumber: Cotteral and Norris dalam Suripin, 2004



No



e.



Bangunan yang ada



Kondisi Topografi •



Lahan dengan kemiringan >15o seyogyanya tidak diizinkan untuk dibuat sumur resapan untuk menghindari kelongsoran di areal permukiman penduduk.







Lahan dengan kemiringan 11° - 15° merupakan lahan dengan sudut kemiringan kritis.







Lahan dengan kemiringan tc



  Q t   q t   3q t V = Qi t c +  i e  −  o c  −  o e  4   2   4 



  60 



 untuk tc > te



Keterangan:



V



= volume storasi (m3)



Qi



= debit masukan maksimum (m3/s)



tc



= waktu konsentrasi (menit)



td



= durasi hujan (menit)



q0



= debit keluaran yang diijinkan



q0 diasumsikan sebagai debit saat luas daerah resapan sama dengan luas daerah terbangun.



IV-55



Gambar 4.6 Tipe Hidrograf Limpasan Metode Modifikasi Rasional



Gambar 4.7 Estimasi Volume Storasi Hidrograf Trapesium



IV-56



BAB V V.1



ANALISIS HIDROLOGI



Umum



Perencanaan sistem drainase suatu daerah sangat terkait dengan kondisi hidrologi daerah tersebut. Kondisi hidrologi seperti curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya penyinaran matahari, kecepatan angin, debit sungai, tinggi muka air selalu berubah menurut waktu. Untuk keperluan tertentu, data–data ini dapat dikumpulkan, dihitung, disajikan, dan ditafsirkan dengan menggunakan metode tertentu.



Analisis data curah hujan dilakukan melalui beberapa tahap yaitu analisis data curah hujan, analisis curah hujan harian maksimum, dan analisis intensitas hujan. Keseluruhan analisis curah hujan ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang sedekat-dekatnya, sebab proses hujan merupakan proses stokastik yang acak. Resiko dalam desain diminimalisir dengan perhitungan yang teliti dan pengambilan keputusan yang matematis. Interpretasi yang tepat dari data hujan diperlukan untuk menghindari kesimpulan yang keliru.



V.2



Analisis Data Curah Hujan



V.2.1



Penentuan Stasiun Utama



Penentuan stasiun utama perlu ditentukan dari pos-pos yang tersebar di sekitar wilayah perencanaan sebagai dasar perhitungan selanjutnya. Penentuan stasiun utama ini dilakukan dengan Metode Poligon Thiessen. Metode Poligon Thiessen memberikan proporsi luas daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat (Gambar 5.1). Metode ini menggunakan asumsi bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawasan terdekat dan cocok untuk daerah datar dengan luas 500 km2 – 5000 km2 (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004).



V-1



Prosedur penerapan metode ini meliputi (Sosrodarsono, Suyono. Hidrologi untuk Pengairan. 2003): 1.



Cantumkan titik-titik pengamatan di dalam dan di sekitar daerah itu pada peta.



2.



Hubungkan tiap titik yang berdekatan dengan sebuah garis lurus. Dengan demikian akan terbentuk jaringan segitiga



yang menutupi seluruh



daerah. 3.



Daerah yang bersangkutan dibagi dalam poligon-poligon yang didapat dengan cara menggambar garis tegak lurus pada tiap sisi segitiga. Curah hujan dalam tiap poligon dianggap diwakili oleh curah hujan dari titik pengamatan dalam tiap poligon itu.



Berdasarkan jarak stasiun pengamatan dari lokasi dan ketersediaan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, maka dipilih beberapa stasiun yang akan dimanfaatkan data curah hujannya, yaitu Stasiun Padalarang (150), Stasiun Lembang (156A), Stasiun Dago Pakar 160), Stasiun Cemara (163), Stasiun Husein Sastranegara (163g), dan Stasiun Cimahi (152). Data curah hujan dapat dilihat pada Tabel 5.1



Tabel 5.1 Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 1977-2006 Data Curah Hujan Maksimum Tahun 19757-2006 (mm/hari) No. Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14



1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990



(150)



(156 A)



45 70



69 47 56 72 61 77 38 69



Stasiun Pengamat Hujan (160) (163) (163 g) 290 81 115 60 91 90 80 80 98 52 64 75 77 80 90 51 110 60 81 57 74 85 82 72 55 93 66 72.1 74 59.7 80 195 90 231



(152) 64 72 44 27 29 17 28 40 89 64 46 45 48 50



V-2



Data Curah Hujan Maksimum Tahun 19757-2006 (mm/hari) No. Tahun Stasiun Pengamat Hujan (150) (156 A) (160) (163) (163 g) 15 1991 68.5 64 16 1992 98 92 100 17 1993 95 64.5 61.7 18 1994 55 59 68 19 1995 89 69.2 58 20 1996 72 81 79.9 21 1997 90 105 60 22 1998 70 87 108.2 23 1999 75 70 74.5 66 24 2000 68.4 62.3 50 98 51.6 25 2001 42 67.2 62 54 69.5 26 2002 98.2 64 84 82.4 290 27 2003 67 75.5 105 76 93 28 2004 56 82 80 70.2 75 29 2005 81 81 50 81 71.1 30 2006 48.5 53.9 66 94.3 108 Sumber: BMG Kota Bandung dan PUSAIR Kota Bandung



(152) 44 21 53



Melalui Metode Polygon Thiessen, didapat stasiun utama yang akan digunakan adalah Stasiun Cimahi (152).



V.2.2



Pelengkapan Data Curah Hujan



Data curah hujan yang disiapkan dalam laporan ini adalah kejadian hujan selama 30 tahun pada 6 Stasiun Pengamat Hujan di sekitar wilayah perencanaan sehingga dapat dianggap representatif. Apabila terdapat kekosongan data maka diperlukan nilai pendekatan untuk stasiun tersebut. Perkiraan data curah hujan yang kosong memerlukan data-data curah hujan minimal dari dua stasiun hujan terdekat pada tahun yang sama, sebagai data pembanding (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998).



Pelengkapan data curah hujan dapat dilakukan 2 metode berikut: 1.



Metode Aljabar



Metode ini digunakan jika perbedaan curah hujan tahunan normal antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data kurang dari 10% (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998).



V-3



1 n R x = ∑ Rn n n =1 2.



(5.1)



Metode Perbandingan Normal



Metode ini digunakan jika perbedaan curah hujan tahunan normal antara stasiun pembanding dengan stasiun yang kehilangan data lebih dari 10% (Subarkah. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. 1980):



1 n rn × R x rx = ∑ n n =1 Rn



(5.2)



keterangan: n



: jumlah stasiun pembanding



rx : tinggi curah hujan yang dicari rn : tinggi curah hujan pada tahan yang sama dengan rx pada setiap stasiun pembanding Rx : harga rata-rata tinggi curah hujan pada stasiun pengukur yang salah satu curah hujannya sedang dicari Rn : harga rata-rata tinggi curah hujan pada setiap stasiun pembanding selama kurun waktu yang sama



Perhitungan perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang kehilangan data dilakukan dengan persamaan: ∆= S= R=



S × 100% R



Σ( Ri − R) 2 n −1 ΣRi n



(5.3)



(5.4) (5.5)



keterangan: ∆



: Persen perbedaan curah hujan antara stasiun pembanding dan stasiun yang kehilangan data



Ri : Nilai rata-rata curah hujan selama pengamatan tiap stasiun R : Rata-rata curah hujan dari n jumlah stasiun pengamat



V-4



n



: Jumlah stasiun pengamat



Dari hasil perhitungan diperoleh perbedaan curah hujan tahunan normal untuk seluruh stasiun lebih dari 10%, yaitu 23,75%. Data curah hujan tahunan yang telah dilengkapi disajikan pada Tabel 5.2.



Tabel 5.2 Pelengkapan Data Curah Hujan Harian Maksimum Tahun 1977-2006 Data Curah Hujan Maksimum Tahun 1977-2006 (mm/hari) No Tahun Stasiun Pengamat Hujan (150) (156 A) (160) (163) (163 g) 1 1977 290 81 115 113.98 116.85 2 1978 45 69 60 91 90 3 1979 70 47 80 80 98 4 1980 56 52 64 75 46.99 5 1981 72 77 80 90 59.15 6 1982 61 51 110 60 50.46 7 1983 77 81 59.94 77.89 88.52 8 1984 57 50.98 52.26 66.25 75.29 9 1985 38 74 85 82 68.50 10 1986 69 72 55 63.03 81.90 11 1987 93 66 72.1 59.51 61.00 12 1988 74 59.7 54.38 55.75 70.66 13 1989 80 195 87.94 90.15 114.26 14 1990 90 231 99.70 102.20 129.54 15 1991 68.5 64 53.40 54.74 69.39 16 1992 98 92 100 61.75 84.41 17 1993 95 64.5 61.7 60.26 82.37 18 1994 55 59 68 45.41 46.55 19 1995 89 69.2 58 54.63 56.00 20 1996 72 81 79.9 58.40 59.87 21 1997 90 105 60 65.02 66.65 22 1998 70 87 108.2 65.90 67.56 23 1999 75 70 74.5 66 58.04 24 2000 68.4 62.3 50 98 51.6 25 2001 42 67.2 62 54 69.5 26 2002 98.2 64 84 82.4 290 27 2003 67 75.5 105 76 93 28 2004 56 82 80 70.2 75 29 2005 81 81 50 81 71.1 30 2006 48.5 53.9 66 94.3 108



(152) 64 72 44 27 29 17 28 40 89 64 46 45 48 50 44 21 53 32.59 39.21 41.92 46.66 47.30 41.65 40.49 35.33 70.12 49.68 43.82 44.83 43.28



V-5



V.2.3



Tes Konsistensi



Pengamatan curah hujan dapat mengalami perubahan akibat perubahan dalam lokasi pengukuran, pemaparan, instrumentasi, perubahan lingkungan yang mendadak, maupun cara pengamatannya. Penelitian yang dilakukan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukan bahwa sekitar 15% dari data yang tersedia menunjukan gejala ketidakpanggahan



(inconsistency ), sehingga tes



konsistensi perlu dilakukan. Tes ini menggunakan analisis kurva massa ganda (double-mass curve) dengan membandingkan nilai akumulasi hujan tahunan pada pos yang bersangkutan dengan nilai akumulasi hujan rata-rata tahunan suatu kumpulan stasiun di sekitarnya.



Analisis kurva massa ganda ini dilakukan berdasarkan prinsip bahwa setiap pencatatan data yang berasal dari populasi yang sekandung akan konsisten, sedangkan yang tidak sekandung tidak konsisten dan akan terjadi penyimpangan. Apabila terdapat perubahan dalam trend data, maka perubahan tersebut perlu dikoreksi agar tetap konsisten.



Tahapan tes konsistensi adalah sebagai berikut: 1.



Sejumlah stasiun dalam wilayah iklim yang sama diseleksi sebagai stasiun dasar (pembanding). Rerata aritmatika dari semua stasiun dasar dihitung untuk setiap tahun yang sama. Rerata tersebut kemudian ditambahkan mulai dari tahun awal pengamatan (akumulasi). Demikian pula curah hujan pada stasiun hujan yang akan dianalisis trend-nya. Kemudian titik-titik akumulasi curah hujan stasiun dasar dan stasiun utama diplot pada kurva massa ganda.



2.



Pada kurva massa ganda, titik-titik yang tergambar akan berdeviasi di sekitar garis trend. Jika ada data yang terlalu jauh menyimpang maka dikatakan data tersebut tidak mengikuti trend sehingga data tersebut perlu dikoreksi. Pengoreksian data tersebut dilakukan dengan persamaan berikut:



H z=



tan α H 0 (Nemec. Engineering Hydrology. 1973) tan α 0



(5.6)



V-6



keterangan: Hz



: Curah hujan yang diperkirakan



H0



: Curah hujan hasil pengamatan



α



: Slope sebelum perubahan



α0



: Slope sesudah perubahan



fk



: Faktor koreksi



fk =



tan α tan α 0



(5.7)



Perhitungan selengkapnya dijelaskan pada lampiran A. Di bawah ini disajikan kurva massa ganda dan tabel curah hujan Stasiun Cimahi yang telah dikoreksi.



1600



1400 y = 0.4897x + 205.92 R2 = 0.9711



Kumulatif Stasiun Utama



1200 Kurva Massa Ganda



1000



y = 0.5653x - 7.2761 R2 = 0.9841



Trend 1 Trend 2



800



Trend Utama Perubahan Trend 1



600



Perubahan Trend 2



400 y = 0.5816x + 4.3969 R2 = 0.9974



200



0 0



500



1000



1500



2000



2500



Kumulatif Stasiun Dasar



Gambar 5.1 Kurva Tes Konsistensi



V-7



Tabel 5.3 Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cimahi Terkoreksi No. Tahun R (mm/hari) No. Tahun R (mm/hari) 1 1977 64.00 16 1992 21.00 2 1978 72.00 17 1993 53.00 3 1979 44.00 18 1994 32.59 4 1980 27.00 19 1995 39.21 5 1981 29.00 20 1996 41.92 6 1982 17.00 21 1997 46.66 7 1983 33.25 22 1998 47.30 8 1984 47.51 23 1999 41.65 9 1985 105.70 24 2000 40.49 10 1986 64.00 25 2001 35.33 11 1987 47.33 26 2002 70.12 12 1988 46.30 27 2003 49.68 13 1989 49.38 28 2004 43.82 14 1990 51.44 29 2005 44.83 15 1991 44.00 30 2006 43.28



V.2.4



Tes Homogenitas



Tes homogenitas biasanya dilakukan bila data-data pokok untuk studi diperoleh dari sekitar lebih dari sepuluh stasiun pengamat hujan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998). Namun untuk menyempurnakan perhitungan dan untuk mengikuti prosedur yang berlaku, maka tes homogenitas perlu dilakukan. Tes homogenitas ini dilakukan pada kurva tes homogenitas dengan mengeplotkan data-data curah hujan terpilih. Apabila titik tersebut berada pada corong kurva, maka data tersebut bersifat homogen. Apabila tidak homogen, dapat dipilih sebagian dari data-data yang ada dan dihitung kembali kehomogenitasannya sedemikian rupa sehingga array baru yang terpilih bersifat homogen.



Tes ini menggunakan kertas grafik dari US Geological Survey dengan memplot titik-titik yang mempunyai koordinat H (N, TR). N merupakan jumlah data curah hujan dan harga TR ditentukan dengan rumus: TR =



R10 R



× Tr



(5.8)



keterangan: TR



: occurence



interval atau PUH untuk curah hujan tahunan rata-rata (tahun)



Tr



: PUH untuk curah hujan tahunan rata-rata



V-8



R10



: curah hujan tahunan dengan PUH 10 tahun (mm/hari)



R



: curah hujan rata-rata (mm/hari)



Untuk mendapatkan R10 dan Tr yang diinginkan, dapat diterapkan beberapa metode, diantaranya persamaan modifikasi Gumbel yang diturunkan dengan cara sebagai berikut: RT = µ +



µ = R− 1



α



=



1



α



1



α



(5.9)



YT



(5.10)



YN



σR σN



(5.11)



 n 2   ∑ ( Ri − R)   σ R =  n =1 n −1    



1/ 2



Tr   YT = − Ln Ln   Tr − 1 



(5.12)



(5.13)



Dengan mensubstitusikan persamaan (5.10) dan (5.11) ke persamaan (5.9) diatas, diperoleh persamaan Gumbel:



RT = R +



YT − YN



σN



σR



(5.14)



Atau dengan menstubstitusi persamaan (5.13) ke persamaan (5.14):



Tr    ln(ln T − 1) + YN  r σ R RT = R −  σN      



(5.15)



Menurut Lattenmair & Burges, perkiraan hidrologi yang lebih tepat didapat dengan menggunakan harga limit standar deviasi dan limit rata-rata (bila n = ~ ). Harga limit YN sama dengan konstanta Euler (YN=0.5772), sedangkan limit



σN =



η 6



= 1.2825



maka diperoleh:



V-9



1



α



=



σR



(5.16)



1.2825



µ = R − 0.45σ R



(5.17)



Dengan mensubstitusikan kedua persamaan keatas kedalam persamaan (5.9), maka: RT = R + (0.78 YT − 0.45)σ R



(5.18)



Lalu persamaan (5.13) disubstitusikan ke persamaan (5.18) sehingga:



    T RT = R − 0.78 Ln( Ln R )  + 0.45σ R TR − 1    



(5.19)



keterangan: Yt



: reduced variate



YN



: reduced mean



σR



: standar deviasi data hujan



σN



: reduced standar deviation



Tabel 5.4 Data Curah Hujan Harian Maksimum Stasiun Cimahi yang Telah Homogen No. Tahun R (mm/hari) No. Tahun R (mm/hari) 1 1987 47.33 11 1997 46.66 2 1988 46.30 12 1998 47.30 3 1989 49.38 13 1999 41.65 4 1990 51.44 14 2000 40.49 5 1991 44.00 15 2001 35.33 6 1992 21.00 16 2002 70.12 7 1993 53.00 17 2003 49.68 8 1994 32.59 18 2004 43.82 9 1995 39.21 19 2005 44.83 10 1996 41.92 20 2006 43.28



V.3



Analisis Curah Hujan Harian Maksimum



Sistem hidrologi terkadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti hujan lebat, banjir, dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang sangat ekstrim kejadiannya sangat langka (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004).



V-10



Tujuan analisis frekuensi data hidrologi berkaitan dengan besaran peristiwaperistiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan. Data hidrologi yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung (independent), terdistribusi secara acak, dan bersifat stokastik.



Frekuensi hujan adalah besaran kemungkinan suatu besaran hujan disamai atau dilampaui. Sebaliknya, periode ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui. Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di masa yang akan datang dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan di masa akan datang akan masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu.



Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi. Metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah sebagai berikut: 1.



Metode Gumbel



2.



Metode Log Pearson Tipe III



3.



Metode Distribusi Normal



V.3.1



Metode Gumbel



Menurut Gumbel, curah hujan untuk PUH tertentu (Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004):  Y − Yn  X Tr = X + S  Tr   Sn 



(5.20)



  Tr   YTr = − Ln Ln     Tr − 1  



(5.21)



 n 2   ∑ ( Ri − R)   S =  n=1 n −1    



1/ 2



(5.22)



V-11



keterangan: YTr



: reduced variate



Yn



: reduced mean (Tabel 5.6)



S



: standar deviasi data hujan



Sn



: reduced standar deviation (Tabel 5.7)



Tabel 5.5 Reduce Mean (Yn) N



0



1



2



3



4



5



6



7



8



9



10 20 30 40 50 60 70 80 90 100



0.4952 0.5236 0.5362 0.5436 0.5485 0.5521 0.5548 0.5569 0.5586 0.5600



0.4996 0.5252 0.5371 0.5442 0.5489 0.5524 0.5550 0.5570 0.5587 0.5602



0.5035 0.5268 0.5380 0.5448 0.5493 0.5527 0.5552 0.5572 0.5589 0.560.3



0.5070 0.5283 0.5388 0.5453 0.5497 0.5530 0.5555 0.5574 0.5591 0.5604



0.5100 0.5296 0.8396 0.5458 0.5501 0.5533 0.5557 0.0558 0.5592 0.5606



0.5128 0.5309 0.5403 0.5463 0.5504 0.5535 0.5559 0.5578 0.5593 0.5607



0.5157 0.5320 0.5410 0.5468 0.5508 0.5538 0.5561 0.5580 0.5595 0.5608



0.5181 0.5332 0.5418 0.5473 0.5511 0.5540 0.5563 0.5581 0.5596 0.5609



0.5202 0.5343 0.5424 0.5477 0.5515 0.5543 0.5565 0.5583 0.5598 0.5610



0.5220 0.5353 0.5436 0.5481 0.5518 0.5545 0.5567 0.5585 0.5599 0.5611



Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004



Tabel 5.6 Reduce Standard Deviation (Sn) N



0



1



2



3



4



5



6



7



8



9



10 20 30 40 50 60 70 80



0.9496 1.0628 1.1124 1.1413 1.1607 1.1747 1.1854 1.1938



0.9676 1.0696 1.1159 1.1436 1.1623 1.1759 1.1863 1.1945



0.9833 1.0754 1.1193 1.1458 1.1638 1.1770 1.1873 1.1953



0.9971 1.0811 1.1226 1.1480 1.1658 1.1782 1.1881 1.1959



1.0095 1.0864 1.1255 1.1499 1.1667 1.1793 1.1890 1.1967



1.0206 1.0915 1.1285 1.1519 1.1681 1.1803 1.1898 1.1973



1.0316 1.0961 1.1313 1.1538 1.1696 1.1814 1.1906 1.1980



1.0411 1.1004 1.1339 1.1557 1.1708 1.1824 1.1915 1.1987



1.0493 1.1047 1.1363 1.1574 1.1721 1.1834 1.1923 1.1994



1.0565 1.1080 1.1388 1.1590 1.1734 1.1844 1.1930 1.2001



90



1.2007



1.2013



1.2020



1.2026



1.2032



1.2038



1.2044



1.2049



1.2055



1.2060



100



1.2065



1.2069



1.2073



1.2077



1.2081



1.2084



1.2087



1.2090



1.2093



1.2096



Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004



Setelah dilakukan perhitungan dengan Metode Gumbel, maka diperoleh curah hujan harian maksimum untuk berbagai PUH yang tersaji pada Tabel 5.7.



V-12



Tabel 5.7 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Gumbel PUH (tahun) 2 5 10 25 50 100



V.3.2



R (mm/hari) 43.07 53.13 59.79 68.21 74.45 80.65



Metode Log Pearson Tipe III



Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004): 4.



Harga rata-rata ( R )



5.



Simpangan baku (S)



6.



Koefisien kemencengan (G)



Hal yang menarik adalah jika G = 0 maka distribusi kembali ke distribusi Log Normal.



Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log Pearson Tipe III (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004): 1.



Ubah data ke dalam bentuk logaritmis R = Log R



2.



(5.23)



Hitung harga rata-rata n



Log R = 3.



∑ Log R i =1



Hitung harga simpangan baku



 n 2   ∑ ( Log Ri − Log R)   S =  i =1 n −1     4.



(5.24)



n



1/ 2



(5.25)



Hitung koefisien kemencengan



V-13



n



G= 5.



(



n ∑ Log Ri − Log R



)



3



i =1



(5.26)



(n − 1)(n − 2) S 3



Hitung logaritma hujan dengan periode ulang T dengan rumus Log RT = Log R + KS K



(5.27)



: variabel standar untuk R yang besarnya tergantung G



Nilai K dapat dilihat pada Tabel 5.9. 6.



Hitung curah hujan dengan menghitung antilog dari Log RT



Tabel 5.8 Nilai K untuk Distribusi Log Pearson Tipe III



Koef. G 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6 -0.7 -0.8 -0.9 -1 -1.2 -1.6



2 50 -0.307 -0.282 -0.254 -0.225 -0.195 -0.164 -0.148 -0.132 -0.116 -0.099 -0.083 -0.066 -0.050 -0.033 -0.017 0 0.017 0.033 0.050 0.066 0.083 0.099 0.116 0.132 0.148 0.164 0.195 0.254



Periode Ulang 5 10 25 50 Persentase Peluang Terlampaui 20 10 4 2 0.609 1.302 2.219 2.912 0.643 1.318 2.193 2.848 0.675 1.329 2.163 2.780 0.705 1.337 2.128 2.700 0.732 1.340 2.087 2.626 0.758 1.340 2.043 2.542 0.769 1.339 2.018 2.498 0.780 1.336 1.998 2.453 0.790 1.333 1.967 2.407 0.800 1.328 1.939 2.359 0.806 1.323 1.910 2.311 0.816 1.317 1.880 2.261 0.824 1.309 1.849 2.211 0.830 1.301 1.818 2.159 0.836 1.292 1.785 2.107 0.842 1.282 1.751 2.054 0.846 1.270 1.716 2.000 0.850 1.258 1.68 1.945 0.853 1.245 1.643 1.89 0.855 1.231 1.606 1.843 0.856 1.216 1.567 1.777 0.857 1.200 1.528 1.720 0.857 1.183 1.488 1.663 0.856 1.166 1.448 1.606 0.854 1.147 1.407 1.594 0.852 1.128 1.366 1.492 0.844 1.086 1.282 1.379 0.817 0.994 1.116 1.166



100 1 3.605 3.499 3.380 3.271 3.149 3.022 2.957 2.891 2.824 2.755 2.686 2.615 2.544 2.472 2.400 2.326 2.252 2.178 2.104 2.029 1.955 1.880 1.806 1.733 1.660 1.588 1.449 1.197



V-14



Periode Ulang 5 10 25 50 100 Koef. G Persentase Peluang Terlampaui 50 20 10 4 2 1 -1.8 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087 -2 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990 Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004 2



Setelah dilakukan perhitungan dengan Metode Log Pearson Tipe III, maka diperoleh curah hujan harian maksimum untuk berbagai PUH pada Tabel 5.9.



Tabel 5.9 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Log Pearson Tipe III PUH (tahun) 2 5 10 25 50 100



V.3.3



R (mm/hari) 45.65 52.75 55.41 57.77 59.07 59.77



Metode Distribusi Normal



Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004): X T = X + KT S KT =



XT − X S



(5.28) (5.29)



keterangan: XT



: Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T



X



: Nilai rata-rat hitung variat



S



: Standar devasi nilai variat



KT



: Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang. Nilai faktor frekuensi disajikan dalam Tabel 5.11.



V-15



Tabel 5.10 Nilai Variabel Reduksi Gauss PUH Peluang KT 1.0014 0.999 -3.05 1.005 0.995 -2.58 1.01 0.99 -2.33 1.05 0.95 -1.64 1.11 0.9 -1.28 1.25 0.8 -0.84 1.33 0.75 -0.67 1.43 0.7 -0.52 1.67 0.6 -0.25 2 0.5 0 2.5 0.4 0.25 3.33 0.3 0.52 4 0.25 0.67 5 0.2 0.84 10 0.1 1.28 20 0.05 1.64 50 0.02 2.05 100 0.01 2.33 200 0.005 2.58 500 0.002 2.88 1000 0.001 3.09 Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004



Setelah dilakukan perhitungan dengan Metode Distribusi Normal, maka diperoleh curah hujan harian maksimum untuk berbagai PUH pada Tabel 5.11.



Tabel 5.11 Curah Hujan Harian Maksimum dengan Metode Distibusi Normal PUH (tahun) 2 5 10 25 50 100



V.3.4



R (mm/hari) 44.47 52.39 56.54 60.07 63.80 66.44



Uji Kecocokan



Uji kecocokan diperlukan untuk mengetes kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang, yang diperkirakan dapat mewakili



V-16



distribusi frekuensi tersebut. Pengujian yang sering dipakai adalah Chi Kuadrat. Uji Chi Kuadrat bertujuan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang terpilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2 yag dapat dihitung dengan



persaman



berikut



(Suripin.



Sistem



Drainase



Perkotaan



yang



Berkelanjutan. 2004): G



(Oi − Ei )2



i =1



Ei



X =∑ 2 h



X h2



: Parameter Chi Kuadrat terhitung



G



: Jumlah sub kelompok



Oi



: Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i



Ei



: Jumlah nilai teoretis pada sub kelompok i



(5.30)



Parameter X h2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai X h2 sama atau leih besar dari nilai Chi Kuadrat sebenarnya (X2) dapat dilihat pada Tabel 5.12.



Tabel 5.12 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat dk



Derajat Kepercayaan 0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 1 0.00004 0.00016 0.00098 0.00393 3.841 2 0.01 0.0201 0.0506 0.103 5.991 3 0.0717 0.115 0.216 0.352 7.815 4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.07 6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 7 0.989 1.239 1.69 2.167 14.067 8 1.344 1.646 2.18 2.733 15.507 9 1.735 2.088 2.7 3.325 16.919 10 2.156 2.558 3.247 3.94 18.307 11 2.603 30.53 3.816 4.575 19.675 12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 14 4.075 4.66 5.629 6.571 23.685 15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587



0.025 5.024 7.378 9.348 11.143 12.832 14.449 16.013 17.535 19.023 20.483 21.92 23.337 24.736 26.119 27.488 28.845 30.191



0.01 6.635 9.21 11.345 13.277 15.086 16.812 18.475 20.09 21.666 23.209 24.725 26.217 27.688 29.141 30.578 32 33.409



0.005 7.879 10.597 12.838 14.86 16.75 18.548 20.278 21.955 23.589 25.188 26.757 28.3 29.819 31.319 32.801 34.267 35.718



V-17



dk



Derajat Kepercayaan 0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 18 6.265 7.015 8.231 9.39 28.869 31.526 34.805 19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 20 7.434 8.26 9.591 10.851 31.41 34.17 37.566 21 8.034 8.897 10.283 11.591 32.671 35.479 38.932 22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 23 9.26 10.196 11.689 13.091 36.172 38.076 41.638 24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 45.98 25 10.52 11.524 13.12 14.611 37.652 40.646 44.314 26 11.16 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.963 28 12.461 13.565 15.308 16.928 41.337 44.461 48.278 29 13.121 14.256 16.047 17.708 42.557 45.722 49.588 30 13.787 14.953 16.791 18.493 43.773 46.979 50.892 Sumber: Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004



0.005 37.156 38.582 39.997 41.401 42.796 44.181 45.558 46.928 48.29 49.645 50.993 52.336 53.672



Prosedur Uji Chi Kuadrat adalah sebagai berikut: 7.



Urutkan data pengamatan dari paling tinggi hingga paling rendah.



8.



Kelompokkan



data



menjadi



G



subgrup



yang



masing-masing



beranggotakan minimal 4 data pengamatan. 9.



Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap subgrup.



10. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesar Ei. 11. Jumlah nilai



(Oi − Ei )2 Ei



dari seluruh G subgrup untuk menentukan nilai



Chi Kuadrat hitung. 12. Tentukan derajat kebebasan dK (dK=G-R-1). R = 2 untuk distribusi normal dan binomial



Interpretasi hasil Uji Chi Kuadrat adalah sebagai berikut: 1.



Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima.



2.



Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima.



3.



Apabila nilai peluang di antara 1% - 5%, maka tidak mungkin diambil keputusan, perlu data tambahan.



V-18



Persamaan yang digunakan untuk menentukan besarnya peluang suatu data curah hujan (X) adalah Persamaan Weibull sebagai berikut (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004): P=



m N +1



(5.31)



T=



N +1 m



(5.32)



keterangan : N



: jumlah kejadian atau jumlah data



P



: periode terjadinya kumpulan nilai yang diharapkan selama periode pengamatan



m



: nomor urut data setelah diurutkan dari tinggi ke rendah



T



: periode ulang dari kejadian sesuai dengan sifat kumpulan nilai yang diharapkan



Data curah hujan yang telah dihitung besar peluangnya atau periode ulangnya, kemudian digambarkan pada kertas grafik peluang, yang umumnya akan membentuk suatu persamaan garis lurus. Persamaan umum yang digunakan adalah persamaan distribusi normal (5.28).



Hasil perhitungan Uji Chi Kuadrat masing-masing metode disajikan pada Tabel 5.13, Tabel 5.14, dan Tabel 5.15.



Tabel 5.13 Uji Chi Kuadrat Metode Gumbel No Nilai Batas Sub Grup Jumlah Data (Oi) 1 < 36.54 3 2 36.54 < x < 42.11 4 3 42.11 < x < 46.82 5 4 46.82 < x < 52.39 6 5 >52.39 2 Jumlah 20



Ei Oi-Ei 4 -1 4 0 4 1 4 2 4 -2 Chi Kuadrat



(Oi-Ei)2/Ei 0.25 0 0.25 1 1 2.5



V-19



Tabel 5.14 Uji Chi Kuadrat Metode Log Pearson Tipe III No Nilai Batas Sub Grup Jumlah Data (Oi) 1 < 1.55 2 2 1.55< x 1.72 2 Jumlah 20



Ei Oi-Ei 4 -2 4 -2 4 3 4 3 4 -2 Chi Kuadrat



(Oi-Ei)2/Ei 1 1 2.25 2.25 1 7.5



Tabel 5.15 Uji Chi Kuadrat Metode Distribusi Normal No Nilai Batas Sub Grup Jumlah Data (Oi) 1 < 36.54 3 2 36.54 < x < 42.11 4 3 42.11 < x < 46.82 5 4 46.82 < x < 52.39 6 5 >52.39 2 Jumlah 20



Ei Oi-Ei 4 -1 4 0 4 1 4 2 4 -2 Chi Kuadrat



(Oi-Ei)2/Ei 0.25 0 0.25 1 1 2.5



Berdasarkan Uji Chi Kuadrat yang dilakukan, ternyata Metode Gumbel dan Metode Distribusi Normal dapat diterima karena berpeluang lebih dari 5%. Untuk menentukan distribusi frekuensi CHHM digunakan cara perbandingan data CHHM agar diketahui metode yang menghasilkan CHHM terbesar. Cara ini digunakan agar diperoleh faktor keamanan yang baik untuk bangunan dan sistem infrastruktur yang direncanakan.



Tabel 5.16 Perbandingan Data Curah Hujan Harian Maksimum PUH 2 5 10 25 50 100



Gumbel 43.07 53.13 59.79 68.21 74.45 80.65



Distribusi Normal 44.47 52.39 56.54 60.07 63.80 66.44



Tabel 5.16 menunjukkan bahwa curah hujan harian maksimum terbesar dihasilkan dari Metode Gumbel. Curah hujan harian maksimum dengan metode inilah yang akan digunakan untuk perencanaan.



V-20



V.4



Analisis Intensitas Hujan



Analisis intensitas hujan digunakan untuk menentukan tinggi atau kedalaman air hujan per satu satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung, maka makin besar pula intensitasnya dan semakin besar periode ulangnya, maka makin tinggi pula intensitas hujan yang terjadi (Suripin. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. 2004).



Analisis tahap ini dimulai dari data curah hujan harian maksimum yang kemudian diubah ke dalam bentuk intensitas hujan. Pengolahan data dilakukan dengan metoda statistik yang umum digunakan dalam aplikasi hidrologi. Data yang digunakan sebaiknya adalah data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan jam-jaman. Bila tidak diketahui data untuk durasi hujan maka diperlukan pendekatan empiris dengan berpedoman pada durasi enam puluh menit dan pada curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Cara lain yang lazim digunakan adalah mengambil pola intensitas hujan dari kota lain yang mempunyai kondisi yang hampir sama (Wurjanto, A. dan Diding S. Hidrologi dan Hidrolika).



Metoda-metoda yang dapat digunakan untuk menganalisis intensitas hujan adalah sebagai berikut: 1. Metoda Van Breen 2. Metoda Bell dan Tanimoto 3. Metode Hasper dan Der Weduwen



V.4.1



Metode Van Breen



Berdasarkan penelitian Ir. Van Breen di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, hujan harian terkonsentrasi selama 4 jam dengan jumlah hujan sebesar 90% dari jumlah hujan selama 24 jam (Anonim. Penggunaan Data Curah Hujan untuk Analisa Hidrologi. 1987). Intensitas hujan dihitung dengan persamaan berikut: Ir =



90% × X r 4 × 25.4



(inch / jam)



(5.33)



V-21



keterangan: Ir



: intensitas hujan (inch/jam)



Xr



: curah hujan (mm/24jam)



Dalam pengembangan kurva pola hujan Van Breen, besarnya intensitas hujan di kota lain di Indonesia dapat didekati dengan persamaan (Moduto. Drainase Perkotaan. 1998): IT =



54 RT + 0.07 RT t c + 0.3RT



2



IT



: intensitas hujan pada PUH T tahun dan tc>te (mm/jam)



RT



: tinggi hujan pada PUH T tahun (mm/hari)



(5.34)



Apabila tc ≤ te, maka tc dibuat sama dengan te.



Nilai intensitas hujan menurut perhitungan Metode Van Breen adalah sebagai berikut:



Tabel 5.17 Intensitas Hujan dengan Metode Van Breen Durasi (menit) 5 10 20 40 60 80 120 240



V.4.2



Intensitas Hujan (mm/jam) pada PUH 2 5 10 25 50 100 43.07 53.13 59.79 68.21 74.45 80.65 127.44 134.55 138.25 142.12 144.56 146.68 100.16 109.13 114.03 119.31 122.71 125.73 70.13 79.21 84.44 90.31 94.22 97.79 43.84 51.16 55.59 60.77 64.35 67.70 31.89 37.78 41.43 45.79 48.86 51.77 25.05 29.95 33.02 36.74 39.38 41.91 17.54 21.17 23.49 26.33 28.37 30.35 9.23 11.26 12.59 14.23 15.43 16.61



Metode Bell Tanimoto



Data hujan dalam selang waktu yang panjang (paling sedikit 20 tahun) diperlukan dalam analisis data frekuensi hujan. Bila data ini tidak tersedia dan besarnya curah hujan selama enam puluh menit dengan periode ulang 10 tahun diketahui sebagai dasar, maka suatu rumus empiris yang disusun oleh Bell dapat digunakan untuk menentukan curah hujan dengan durasi 5 – 120 menit dan periode ulang 2 – 100



V-22



tahun. Rumus Bell dapat dinyatakan dalam persamaan (Subarkah. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. 1980):



(



)



menit RTt = (0.21 Ln T + 0.52) 0.54t 0.25 − 0.5 R1060tahun



R1060 =



(5.35)



X 10  R1 + R2    Xt  2 



(5.36)



keterangan: R



: curah hujan (mm)



T



: periode ulang (tahun)



t



: durasi hujan (menit)



R1



: besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 1



R2



: besarnya curah hujan pada distribusi jam ke 2



Data curah hujan maksimum untuk PUH sepuluh tahun dalam penggunaannya untuk Metoda Bell di atas, digunakan harga rata-rata distribusi hujan dua jam pertama. Intensitas hujan (mm/jam) menurut Bell dihitung dengan persamaan berikut:



I Tt =



60 t RT t



(5.37)



Tabel 5.18 Pedoman Pola Hujan Menurut Bell Tanimoto Jam ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15



170 87 28 18 11 8 6 6 4 2



Intensitas Hujan 230 350 90 96 31 36 20 26 14 20 11 16 9 14 8 13 7 12 5 10 5 10 4 9 4 9 4 9 4 9 3 8



470 101 42 31 25 22 20 19 18 15 15 14 14 14 14 13



V-23



Jam ke170 16 17 18 19 20 21 22 23



Intensitas Hujan 230 350 3 8 3 7 3 7 2 7 7 7 6 4



470 13 13 12 11 11 11 11 10



Tabel 5.19 menyajikan intensitas hujan dengan Metode Bell Tanimoto.



Tabel 5.19 Intensitas Hujan dengan Metode Bell Tanimoto Durasi (menit) 5 10 20 40 60 80 120 240



V.4.3



2 43.07 35.78 26.78 18.67 12.48 9.72 8.11 6.24 3.94



Intensitas Hujan pada PUH 5 10 25 50 53.13 59.79 68.21 74.45 56.89 74.89 101.81 124.65 42.58 56.05 76.20 93.29 29.69 39.09 53.14 65.06 19.84 26.12 35.51 43.48 15.46 20.35 27.67 33.88 12.89 16.97 23.07 28.25 9.92 13.06 17.76 21.74 6.27 8.25 11.21 13.73



100 80.65 149.67 112.02 78.12 52.21 40.68 33.92 26.11 16.48



Metode Hasper dan Der Weduwen



Rumus ini berasal dari kecendurungan curah hujan harian yang dikelompokkan atas dasar anggapan bahwa hujan memiliki distribusi yang simetris dengan durasi hujan lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan dari 1 sampai 24 jam.



 1218t + 54   Ri = X t   X t (1 − t ) + 1272t 



t



: durasi curah hujan dalam satuan jam



Xt



: curah



I=



(5.38)



hujan maksimum yang terpilih



R t



(5.39)



V-24



Untuk 1≤t52.39 2 Jumlah 20



Ei Oi-Ei 4 -1 4 0 4 1 4 2 4 -2 Chi Kuadrat



(Oi-Ei)2/Ei 0.25 0 0.25 1 1 2.5



Berdasarkan hasil perhitungan Chi Kuadrat, Metode Gumbel dan Metode Distribusi Normal dapat diterima karena berpeluang >5%. Untuk menentukan distribusi frekuensi CHHM digunakan cara perbandingan data CHHM agar diketahui metode yang menghasilkan CHHM terbesar. Cara ini digunakan agar diperoleh faktor keamanan yang baik untuk bangunan dan sistem infrastruktur yang direncanakan.



A-18



Tabel A.16 Perbandingan Data Curah Hujan Harian Maksimum PUH 2 5 10 25 50 100



Gumbel 43.07 53.13 59.79 68.21 74.45 80.65



Distribusi Normal 44.47 52.39 56.54 60.07 63.80 66.44



Tabel diatas menunjukkan bahwa curah hujan harian maksimum terbesar dihasilkan dari Metode Gumbel. Curah hujan harian maksimum dengan metode inilah yang akan digunakan untuk perencanaan.



VII.



Analisis Intensitas Hujan 1. Metode Van Breen Perhitungan Metode Van Breen menggunakan Persamaan (5.34). Contoh perhitungan di bawah ini pada PUH 2 tahun dengan durasi hujan 5 menit. IT =



54 RT + 0.07 RT t c + 0.3RT



I2 =



(54 × 43.07) + (0.07 × (43.07 )2 ) = 127.44 mm / jam 5 + (0.3 × 43.07 )



2



Tabel A.17 Perhitungan Intensitas Hujan dengan Metode Van Breen Durasi (menit) 5 10 20 40 60 80 120 240



Intensitas Hujan (mm/jam) pada PUH 2 5 10 25 50 100 43.07 53.13 59.79 68.21 74.45 80.65 127.44 134.55 138.25 142.12 144.56 146.68 100.16 109.13 114.03 119.31 122.71 125.73 70.13 79.21 84.44 90.31 94.22 97.79 43.84 51.16 55.59 60.77 64.35 67.70 31.89 37.78 41.43 45.79 48.86 51.77 25.05 29.95 33.02 36.74 39.38 41.91 17.54 21.17 23.49 26.33 28.37 30.35 9.23 11.26 12.59 14.23 15.43 16.61



2. Metode Bell Tanimoto Perhitungan Metode Bell Tanimoto menggunakan peersamaan (5.35), (5.36), dan (5.37). Contoh perhitungan di bawah ini pada PUH 2 tahun dengan



A-19



durasi hujan 5 menit. R1060 =



X 10  R1 + R2  43.07  87 + 28   =  = 14.57  Xt  2  170  2 



Xt, R1, dan R2



 lihat Tabel 5.18



(



)



menit RTt = (0.21 Ln T + 0.52) 0.54t 0.25 − 0.5 R1060tahun



(



(



)



)



R25 = ((0.21Ln 2 ) + 0.52) 0.54 5 0.25 − 0.5 14.57 = 2.98 I 25 =



60 2.98 = 35.78 mm / jam 5



Tabel A.18 Perhitungan Intensitas Hujan dengan Metode Bell Tanimoto PUH Durasi R (60,10) R (t,T) I(t,T) (tahun) (menit) 5 2.98 35.78 10 4.46 26.78 20 6.22 18.67 40 8.32 12.48 2 14.57 60 9.72 9.72 80 10.81 8.11 120 12.48 6.24 240 15.76 3.94 5 4.74 56.89 10 7.10 42.58 20 9.90 29.69 40 13.23 19.84 5 17.97 60 15.46 15.46 80 17.19 12.89 120 19.85 9.92 240 25.06 6.27 5 6.24 74.89 10 9.34 56.05 20 13.03 39.09 40 17.41 26.12 10 20.22 60 20.35 20.35 80 22.63 16.97 120 26.13 13.06 240 32.99 8.25 5 8.48 101.81 10 12.70 76.20 25 23.07 20 17.71 53.14 40 23.67 35.51 60 27.67 27.67



A-20



PUH Durasi R (60,10) R (t,T) I(t,T) (tahun) (menit) 80 30.76 23.07 25 23.07 120 35.52 17.76 240 44.85 11.21 5 10.39 124.65 10 15.55 93.29 20 21.69 65.06 40 28.99 43.48 50 25.18 60 33.88 33.88 80 37.67 28.25 120 43.49 21.74 240 54.91 13.73 5 12.47 149.67 10 18.67 112.02 20 26.04 78.12 40 34.80 52.21 100 27.28 60 40.68 40.68 80 45.23 33.92 120 52.22 26.11 240 65.93 16.48



3. Metode Hasper dan Der Weduwen Perhitungan Hasper dan Der Weduwen menggunakan Persamaan (5.38), (5.39), (5.40) dan (5.41). Contoh perhitungan di bawah ini pada PUH 2 tahun dengan durasi hujan 5 menit dan 60 menit.



 1218t + 54    (1218 × 0.08) + 54  = 43.07  = 46.038 Ri = X t  ( ) ( ) 43 . 07 1 0 . 08 1272 0 . 08 ( 1 ) 1272 − + × − + X t t   t   Untuk 0