Akses Vaskular Hemodialisa [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDAHULUAN Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Tahun 1995-1999 di Amerika Serikat dinyatakan bahwa insidens PGK diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. terdapat lebih dari 2 juta pasien yang saat ini menjalani Hemodialisa (HD) di seluruh dunia, HD terbanyak dilakukan di Amerika Serikat mencapai sekitar 350.000 orang, Jepang 300.000 orang, sedangkan di Indonesia mendekati 15.000 orang.1 Penyakit Ginja Kronis stadium akhir, pasien dipersiapkan untuk mendapatkan terapi pengganti ginjal (TPG).2 Hemodialisis (HD) merupakan suatu tindakan terapi dengan dialisa sebagai pengganti fungsi ginjal untuk menurunkan kadar ureum dalam darah. Zat-zat racun (toksik), air dan elektrolit yang tidak bisa dikeluarkan lagi oleh ginjal yang sakit, dibersihkan melalui proses HD. 1 Masalah utama dan penyebab kegagalan HD adalah disebabkan karena akses vaskuler yang tidak baik.3 Jika HD menjadi pilihan untuk TPG, maka harus diambil keputusan mengenai pemilihan mengenai akses vaskuler yang tepat untuk masing-masing pasien.2 Pasien yang akan menjalani HD, pemilihan akses vaskuler yang tepat merupakan hal yang vital terutama untuk mencegah komplikasi dan tercapainya adekuasi dari proses HD.2 Setelah diperkenalkannya fistula oleh Cimino-Brescia, pada beberapa dekade terakhir, teknik graft dan kateter vena sentral memberikan pilihan bagi tenaga medis untuk memilih akses yang paling tepat. Namun fistula arteri-vena masih menjani pilihan utama untuk akses vaskuler, karena komplikasi infeksi dan trombotik lebih sering berhubungan dengan akses graft maupun kateter intra vena.4 JENIS AKSES VASKULER PADA HEMODIALISA Pilihan untuk akses vaskuler meliputi penggunaan fistula arteri-vena, graft arteri-vena, dan kateter vena sentral, yang berfungsi untuk mengalirkan darah saat HD.2



1



Fistula arteri-vena Fistula arteri-vena dibuat melalui pembedahan dengan teknik anastomosis arteri ke vena yang mengakibatkan dilatasi dan dipertahankannya aliran darah arteri di dalam vena. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 sehingga tindakan HD menjadi tindakan yang digunakan secara luas di seluruh dunia.2 Fistula arteri-vena harus direncanakan setidaknya 2 bulan sebelum dilakukan HD, dimana itu adalah waktu untuk maturasi dari akses vaskuler ini. Pemantauan yang baik termasuk didalamnya fase preoperatif, fase operatif, dan fase post operatif. Evaluasi klinis dan instrumental diperlukan untuk menentukan tipe akses vaskuler, teknik, dan pemantauan yang baik untuk menangani komplikasi sedini mungkin. Mempertahankan sistem vaskuler, adalah penting untuk menghindari pengambilan darah atau pemasangan akses intra vena pada lengan dan lengan atas.3 Fase perioperatif dari fistula termasuk didalamnya riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan evaluasi dengan peralatan. Anamnesa yang penting mengenai penyakit jantung, untuk menilai perubahan pada curah jantung. Konsekuensi dari fistula, dapat terjadi perubahan aliran darah, tekanan paru, dan curah jantung, terutama pada aliran darah fistula yang lebih dari 2.000 ml/m. Sebelum dilakukan kateterisasi arteri/vena, diperlukan investigasi risiko stenosis vena sentral yang dikemudian hari mengurangi curah vena pada akses vaskuler ini. Penting untuk mengidentifikasi anggota gerak yang dominan digunakan, guna mempertahankan kualitas hidup dari penderita.5 Pemeriksaan fisik dimaksudkan untuk investigasi fungsi dari sistem arterivena, dan untuk mengeksklusi adanya edema, bekas luka operasi, pulsasi dari radial, ulna, brakial dan sirkulasi vena superfisial. Standar emas untuk menentukan tipe dan lokasi dari akses vena adalah ultrasound duplex. Pemeriksaan ini memperbolehkan kita menilai diameter dari arteri dan vena, dimana diameter vena> 2mm dan arteri> 1,6 mm dianggap adekuat. Kedua parameter ini dapat digunakan untuk prediksi maturasi dari fistula.



Berdasarkan panduan dari National Kidney Foundation – Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI), lokasi yang baik untuk dilakukan tindakan intervensi fistula untuk HD adalah lipatan lengan (fistula radio-sefalik atau distal), siku (fistula brakio-sefalik atau proksimal), lengan (fistula brakialbasilik dengan fistula transposisi atau proksimal). 7 Fistula pada pergelangan tangan dianggap sebagai standar emas untuk akses vena. Lebih mudah untuk dibuat dan komplikasinya rendah, dengan rata-rata penggunaan jangka panjang yang baik, dan tidak menghalangi kemungkinan akses baru dikemudian hari. Tipe anastomosis arteri-vena yang dimungkinkan antara lain: side-to-end of the vein on the artery, latero-lateral, terminalized side-to-side, side-to-end of the artery on the vein, and end-to-end (Gambar 1 dan 2).4



Gambar 1. Fistula arteri-vena (Brescia- Cimino) radio-sefalik natif (proximal) Dikutip dari : Santoro D, Benedetto F, Mondello P, et al. Vascular access for hemodialysis: current perspectives. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease 2014;7:281-294.3



Rata-rata patensi dari akses distal dalam setahun pada beberapa literatur bervariasi antara 56-79%. Pilihan kedua penanganan adalah fistula proksimal, memiliki beberapa keuntungan seperti dapat dilakukan insersi alat dengan kaliber besar dan rata-rata patensi akses yang lebih baik dari fistula distal. Akan tetapi komplikasi yang cukup serius dapat terjadi seperti steal syndrome, dan perubahan curah jantung. Tipe fistula brakio-basilik juga memerlukan teknik tambahan, yakni superfisialisasi dari vena basilika. Patensi dalam setahun dari akses proksimal dari beberapa literatur bervariasi mulai dari 70-84%.8



Gambar 2. Fistula arteri-vena (Brescia- Cimino) pada daerah lengan distal Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Sebelum mendapatkan



mulai



perubahan



menggunakan struktur



dari



fistula, dinding



waktu vena



diperlukan yang



untuk



dinamakan



“arterialization” dan aliran turbulensi merupakan hasil dari aliran turbulen. Menurut NKF-K/DOQI 2006, sebuah akses dapat dikatakan fungsional jika aliran > 600ml/m, vena dengan diameter minimal 0.6 cm, batas dapat terlihat dengan jelas , panjang 6 cm dan tidak melebihi kedalaman 0.6 cm atau parameter ini sering disebut sebagai “Rule of Six” . Waktu yang diperlukan agar karakteristik ini terpenuhi adalah sekitar 1-3 bulan sejak pembedahan. Evaluasi parameter tersebut diperlukan pemantauan klinis dan dengan instrumental secara hati-hati.7 Graft arteri-vena Tipe ini merupakan akses vaskuler yang dibuat dengan interposisi prostetik antara arteri dan vena dengan 2 tujuan yaitu dapat menghubungkan 2 pembuluh darah yang tidak mungkin berhubungan karena jaraknya, dan untuk menempatkan suatu segmen prostetik berkapasitas tinggi antara arteri dan vena yang juga dapat digunakan untuk memasukkan kateter HD.3 Graft merupakan lini kedua penanganan sesudah fistula arteri-vena. Pada beberapa kasus, graft merupakan lini pertama penanganan, misalnya pada kasus kurangnya bahan autologous, untuk periode HD yang singkat (misalnya pada anak),



pada pasien obesitas dengan lengan pendek, dimana vena superfisial berada jauh dalam jaringan subkutan, atau pada pasien dengan kelainan vaskuler ekstrim seperti purpura trombositopenia dimana tusukan vena dapat menyebabkan hematoma yang serius.9 Perencanaan graft yang optimal, evaluasi klinis dari ekstremitas atas sangat diperlukan. Integritas kulit, adanya vena superfisial, dan adanya denyut perifer harus dievaluasi. Hal penting kedua adalah melakukan pemeriksaan doppler ultrasound. Pemetaan pembuluh darah sangat penting untuk menurunkan prosedur bedah maupun endovaskuler sekunder. Doppler ultrasound menyediakan indikasi patensi arteri ekstremitas atas dan bila terdapat stenosis atau oklusi dapat ditangani dengan mengembalikan aliran yang adekuat. Pemantauan aliran diperlukan untuk mengevaluasi patensi dan diameter pembuluh darah, yang merupakan faktor prediktif untuk kegagalan. Silva dkk melakukan doppler ultrasound preoperatif pada baik aliran arteri dan vena dan menyimpulkan bahwa diameter vena minimal 4 mm diperlukan untuk kesuksesan anastomosis polytetrafluoroethylene.3 Graft prostetik diklasifikasikan menjadi biologikal atau sintetik. Pada umumnya, prostesa biologikal terbatas ketersediaannya, mahal, dan pada ukuran dan jumlahnya (Tabel 1).3 Tabel 1. Bahan graft



Dikutip dari : Santoro D, Benedetto F, Mondello P, et al. Vascular access for hemodialysis: current perspectives. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease 2014;7:281-294.3



Walaupun situs insersi pada ekstremitas atas menjadi pilihan utama karena risiko yang berhubungan sepsis jauh lebih rendah, bila situs tersebut tidak bisa digunakan, paha menjadi situs pilihan berikutnya. Slater dan Raftery10 melaporkan



angka patensi graft kumulatif 80.5% dalam 2 tahun. Englesbe dkk10 dalam studinya menemukan bahwa 27% graft femoral hilang karena sepsis, dengan angka patensi sekunder keseluruhan yaitu 26% dalam 2 tahun.10 Graft loop aksilaris diindikasikan bila akses yang lebih distal tidak bisa digunakan atau bila risiko sindroma steal tinggi (Gambar 3).3



Gambar 3. Graft arteri-vena sintetik pada daerah antebrachi anterior. Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Kateter vena sentral Kateter vena sentral merupakan pilihan yang baik bila HD segera diperlukan baik pada awal terapi pengganti ginjal atau saat akses permanen tidak berfungsi lagi. Alat ini digunakan secara universal, dapat dimasukkan pada lokasi yang berbeda pada tubuh, dan tidak dibutuhkan waktu pematangan, sehingga dapat digunakan pada HD yang segera.11 Lokasi yang lebih dipilih untuk insersi adalah pada vena femoral dan jugular internal, atau pada vena subklavia (Tabel 2). Ultrasonografi dapat secara akurat melokalisasi vena target dan juga menyediakan informasi



tentang



tekanan



vena



dan



adanya



trombus



intravaskuler.



Penggunaannya sebaiknya menjadi bagian yang terintegrasikan dari kateterisasi vena sentral.3



Tabel 2. Pendekatan vena sentral untuk kateter dialisis



Dikutip dari : Santoro D, Benedetto F, Mondello P, et al. Vascular access for hemodialysis: current perspectives. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease 2014;7:281-294. 6



Vena jugular internal merupakan pilihan utama untuk insersi kateter vena sentral karena beberapa alasan. Pertama, karena merupakan vena superfisial yang besar yang memiliki visualisasi yang mudah dengan ultrasound. Selain itu, aksesnya yang lurus ke vena cava superior atau atrium kanan, tanpa banyak sudut, menurunkan permintaan skrining saat insersi dan memungkinkan aliran darah yang baik untuk HD.3 Normalnya, vena berada pada posisi anterolateral dari arteri, namun pada sebagian kecil pasien, vena terdapat anterior dari arteri atau bahkan lebih medial. Insersi kateter ke vena jugular internal, pasien harus diposisikan secara optimal pada posisi trendelenburg dengan kepala ekstensi 10º untuk membantu distensi vena dan menurunkan risiko emboli udara.11 Posisi kepala pasien lebih aman berada pada posisi netral. Vena dapat berada tepat di atas arteri sehingga meningkatkan risiko tusukan ke arteri. Sedikit rotasi kepala menjauh dari sisi kanulasi mungkin diperlukan, namun rotasi yang terlalu ekstrim harus dihindarkan karena dapat memperkecil diameter vena.12 Metode yang paling umum digunakan untuk insersi langsung ke vena sentral adalah dengan teknik Seldinger, menggunakan kawat penuntun lewat jarum. Setelah kawat penuntun berhasil masuk, jangan memasukkan terlalu jauh karena dapat mencederai atrium kanan dan menyebabkan aritmia, yang paling sering irama ektopik atrium. Sebelum memasukkan kateter, dilator perlu dimasukkan lewat kawat penuntun dengan hati-hati. Panjang kateter yang dimasukkan lewat vena jugular internal kanan biasanya 15 cm, namun harus 17 cm bila melalui sebelah



kiri. Idealnya untuk kateter temporer, ujung kateter harus berada di luar atrium kanan, dan posisinya harus diperiksa dengan rontgen dada, sebelum memulai HD (Gambar 4) .3,13



Gambar 4. Kateter melewati Vena Jugular Interna, letak ujung kateter tepat berada pada atrium kanan (tampakan x-ray thorax). Dikutip dari :Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Vena femoral dipertimbangkan sebagai pendekatan kedua untuk insersi kateter dialisis temporer pada pasien rawat inap. Keuntungannya adalah angka perdarahan yang rendah, dan pemantauan radiologikal tidak dibutuhkan. Namun, verifikasi dengan rontgen mungkin berguna untuk akses yang lebih jangka panjang untuk memastikan tidak ada belitan dan bahwa ujung kateter tidak masuk pada vena lumbaris atau cabang lainnya. Pasien berada pada posisi terlentang dan abduksi dan rotasi paha eksternal. Titik insersi jarum ke vena femoral berada dibawah ligamen inguinal (kira-kira 2 cm) dan medial dari arteri femoral. Jarum diinsersi dengan sudut 10º-15º pada potongan frontal dan sedikit medial pada potongan sagital, dan biasanya dimasukkan dengan kedalaman 2-4 cm. Manuver valsava digunakan untuk memperbesar diameter vena femoral. Lokasi yang optimal dari ujung kateter sebaiknya berada pada vena cava inferior atau atrium kanan.3 Vena subklavia dipertimbangkan sebagai pilihan ketiga karena risiko tinggi trombosis subklavia dengan komplikasi membentuk fistula arteri-vena pada sisi yang sama. Identifikasi yang benar dari sudut klavisternomastoid yang dibentuk dari pertemuan kaput lateral dari otot sternokleidomastoideus dan klavikula



diharuskan. Kerugian paling utama adalah angka perdarahan yang tinggi dan risiko trombosis.3 KOMPLIKASI DAN PENANGANANNYA Fistula arteri-vena Komplikasi tersering dari AVF adalah kurangnya pematangan dari fistula, stenosis, trombosis, infeksi, aneurisme, steal syndrome, dan aliran tinggi dari fistula (gambar 5).14 Kegagalan dari fistula dapat dihubungkan dengan stenosis arteri dari vena. Komplikasi seperti ini dapat dikoreksi dengan prosedur endovaskuler atau pembedahan, stenosis yang pendek dapat ditangani dengan angioplasti perkutan transluminal, namun jika stenosis yang besar harus dilakukan pembedahan sebagai standar baku emas.3 Sindroma steal merupakan lesi iskemin yang diakibatkan oleh fenomena “pencurian”, biasanya didapatkan pada pasien dengan komorbid seperti diabetes mellitus. Tipe sindroma steal yang pertama dinamakan “high flow steal phenomenon” yang umumnya berhubungan dengan aliran tinggi pada anastomosis, sehingga mengakibatkan iskemia pada jari-jari tangan, tipe yang kedua berhubungan dengan aliran rendah pada anastomosis, dan adanya oklusi pada daerah tertentu.



Sekarang ini, peningkatan rata-rata penderita dialisis dengan usia diatas 75 tahun, dimana 75% dari mereka memiliki 4 atau 5 komorbid dan 90% memiliki masalah jantung. Cimino dan Brescia pada tahun 1966 ketika mengenalkan fistula ini pada pasien rata-rata usia 43 tahun sebagian besar menderita glomerulonefritis. Suatu studi perioperatif, prediksi klinis untuk menentukan keberhasilan fistula didapatkan bahwa pada usia tua lebih memungkinkan untuk gagal terjadinya maturasi. Oleh karena itu, akses fistula yang tidak seharusnya pada usia tua dan dengan angka harapan hidup yang rendah tidak direkomendasikan.8 A



C



B



Gambar 5. Komplikasi pada Fistula arteri-vena. A) steal syndrome, B) Aneurisme, C) stenosis vena sentral. Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Graft arteri-vena Survival dari graft jauh lebih pendek daripada fistula. Penyebab utamanya adalah trombosis yang disebabkan oleh stenosis vena oleh karena hiperplasia neointima. Peningkatan produksi sel otot polos, miofibroblas, dan vaskulerisasi pada



neointima



merupakan



penyebab



utama



trombosis.



Terdapat



juga



angiogenesis dan penumpukan makrofag pada jaringan di sekitar graft. Trombosis graft biasanya merupakan hasil dari banyak faktor seperti stenosis, hipotensi, dan kompresi untuk hemostasis.3,15 Risiko trombosis meningkat seiring menurunnya aliran darah. Tidak semua graft dengan stenosis berisiko terjadi trombosis. Terdapat 2 studi observasional, pasien dengan risiko tinggi stenosis graft memiliki kecenderungan rendah (sekitar 40%) untuk kejadian Trombosis saat kontrol 3 bulan.16 Pengaruh sudut anastomosis pada hemodinamik telah diinvestigasi dengan menggunakan sampel aorta babi dengan graft interposisi polyurethane 8 mm dan dengan konfigurasi end-to-end. Anastomosis distal dibentuk dengan sudut 90º, 45º, atau 15º. Baik konfigurasi 90º dan 45º menunjukkan zona resirkulasi pada anastomosis, sedangkan anastomosis 15º tidak menunjukkan gangguan aliran.3 Trombosis meliputi kira-kira 80% kegagalan graft.17 Memperbaiki graft yang mengalami trombosis memerlukan trombektomi, angioplasti, atau perbaikan bedah bila ada stenosis. Namun, patensi primer dipertimbangkan akan lebih buruk setelah penanganan graft yang mengalami trombosis dibandingkan dengan angioplasti elektif graft paten dengan stenosis. Setelah angioplasti elektif, patensi graft primer 70% menjadi 85% dalam 3 bulan dan 47% menjadi 63% dalam 6 bulan. Sebaliknya, setelah trombektomi dan angioplasti untuk graft yang mengalami trombosis, patensi primer hanya 33% menjadi 63% dalam 3 bulan dan 11% menjadi 39% dalam 6 bulan.18 Karena hasil tersebut, maka perlu untuk mengidentifikasi graft yang dapat memiliki risiko trombosis dan membuat tindakan profilaksis. Karena trombosis graft sering disertai stenosis yang signifikan, maka deteksi dan koreksi stenosis



yang teratur dapat mencegah trombosis graft. Untuk tujuan ini, membutuhkan metode yang mudah, murah, dan sensitif untuk memonitor stenosis graft.17 Terdapat 3 pendekatan utama untuk deteksi stenosis graft. Pemantauan klinis yang terdiri dari pemeriksaan fisik (thrill, bruit abnormal, atau edema distal), abnormalitas yang teridentifikasi saat dialisis (perdarahan berkepanjangan dari daerah jarum atau sulitnya kanulasi), atau suatu penurunan Kt-V pada peresepan dialisis konstan.19 Pengawasan graft bergantung pada dokumentasi peningkatan tekanan intra akses atau penurunan aliran akses yang disebabkan oleh stenosis yang signifikan.17 Sejumlah studi meneliti tentang pendekatan farmakologik untuk mencegah hiperplasia neointimal (Tabel 3). Walaupun agen-agen tersebut menunjukkan angka perdarahan yang rendah pada pasien dialisis, belum ada bukti definitif tentang efikasi masing-masing agen tersebut. Dipiridamole dapat menghambat proliferasi sel otot polos vaskuler pada in vitro. Suatu studi kecil mendapatkan penurunan 50% trombosis graft pada pasien yang mendapat dipiridamole, bila dibandingkan dengan subyek kontrol.17 Efek fish oil pada patensi graft sintetik diteliti pada suatu studi klinis dan mereka mendapatkan bahwa konsumsi harian fish oil gagal mencapai hasil primer yang baik. Namun hasil sekunder lainnya seperti patensi graft, angka trombosis, dan intervensi menunjukkan perbaikan.20 Infeksi graft merupakan komplikasi serius dan merupakan penyebab kedua terbanyak dari hilangnya akses dialisis. Insidens HD yang berhubungan dengan bakteremia yaitu lebih dari 10 kali lipat pada graft dibandingkan fistula, dimana sekitar 2,5 episode per 1000 prosedur dialisis dibandingkan 0,2 episode per 1000 pada fistula. Pasien harus lebih memperhatikan kebersihan karena hal tersebut merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang sangat penting.21



Tabel 3. Profilaksis farmakologik dari stenosis/trombosis graft



Dikutip dari : Allon M. Current management of vascular access. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 786-800.17



Isu yang paling kritis mengenai penanganan infeksi graft merupakan perlunya mengeradikasi infeksi dan untuk mendapatkan HD dengan penurunan morbiditas. Penanganan meliputi antibiotika intravena dan eksisi graft total pada pasien sepsis atau pada kasus dimana graft sudah dipenuhi pus. Eksisi subtotal yaitu graft dikeluarkan kecuali suatu bagian kecil dari bahan prostetik, dan eksisi parsial yaitu bagian kecil dari graft dikeluarkan lalu dimasukkan graft baru.22 Pseudoaneurisme harus dirujuk ke bagian bedah untuk reseksi bila sudah dua kali lebih besar dibandingkan graft atau ukurannya cepat membesar atau bagian kulit terlihat tertarik. Iskemia sebagai hasil dari penempatan akses lebih sering terjadi pada graft juga dibandingkan fistula. Vascular steal syndrome dan neuropati monomelik iskemia merupakan 2 entitas klinis yang penting yang harus dibedakan. Penanganan endovaskuler dengan stent graft pada akses yang sulit dipertimbangkan pada baik aneurisme dan stenosis (gambar 6).23,24



A



B



Gambar 6. Komplikasi pada graft arteri-vena. A) Stenosis Vena Sentralis, B) PseudoAneurisme Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Kateter vena sentral Komplikasi yang berhubungan dengan insersi kateter berkisar 5-19%. Komplikasi meliputi cedera vaskuler (seperti tusukan arteri, pseudoaneurisme, dan fistula arteri-vena), hematoma, emboli udara, pneumothoraks, dan malposisi. Tusukan arteri merupakan risiko paling sering terjadi saat kanulasi vena, karena vena berjalan bersebelahan dengan arteri. Walaupun risiko meningkat pada insersi femoral dibandingkan jugular atau subklavia, komplikasi tusukan arteri subklavia lebih berat karena pembuluh darah tidak dapat dikompresi secara manual dari luar karena posisinya yang berada di bawah klavikula, dan pada kasus berat dapat menyebabkan hemothoraks. Begitu juga risiko pneumothoraks lebih besar pada area subklavia dengan angka insidens 2-3%.25 Komplikasi lain seperti infeksi, trombosis, kinking kateter, dan fraktur kateter dengan embolisasi. Secara klasik, trombosis lebih sering terjadi saat terdapat kombinasi aliran darah rendah, turbulensi, dan peningkatan koagulopati (Gambar 7). Derajat keparahannya bergantung pada situs insersi. Trombosis pada vena femoral dapat menyebabkan emboli paru yang mengancam nyawa. Komplikasi seperti stenosis pada vena dapat muncul setelah kerusakan dinding vena yang disebabkan oleh infeksi atau tekanan mekanik. Risiko stenosis menurun jika kateter berada pada bagian tengah vena besar dengan aliran darah yang besar



dan jauh dari percabangan.26



Gambar 7. Komplikasi pada pemasangan kateter vena sentralis. A) serat fibrin sepanjang tip kateter B) Trombus terdeposit pada ujung kateter , C) Sumbatan yang terlepas dari dalam kateter. Dikutip dari : Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45.14



Tusukan arteri karotis saat kanulasi pada vena jugular interna dapat menyebabkan emboli dari jaringan aterosklerotik ke otak, dengan konsekuensi terberatnya adalah stroke.3 Untuk menghindari trombosis kateter, petugas harus secara rutin mengisi cairan antikoagulan pada kedua cabang kateter pada akhir dialisis. Heparin merupakan pilihan utama di Amerika. Sedangkan di Eropa umumnya menggunakan sitrat. Konsentrasi optimal dari heparin yakni 1000 - 5000 unit per mililiter. Namun belum ada konsensus yang membahas tentang hal tersebut. Suatu studi prospektif didapatkan bahwa blok menggunakan heparin 5000 unit dalam lumen kateter sesaat setelah dialisis dapat memperpanjang partial thromboplastin (PT) hingga 3 sampai 4 jam, sehingga ini dapat menjadi komplikasi perdarahan yang serius pada pasien tertentu.17 Kateter untuk HD memiliki 2 tipe yaitu kateter akut (non-tunneled) dan kronik (tunneled). Pemilihannya bergantung pada beberapa faktor seperti durasi penggunaan, bakteremia, dan kondisi pasien. Kateter akut biasanya digunakan pada pasien gagal ginjal akut tirah baring dan untuk penggunaan jangka pendek dari pasien dengan malfungsi akses permanen. Penggunaan jangka panjang dari kateter akut tidak direkomendasikan. Kebanyakan kateter akut terbuat dati polyurethane, dengan ukuran lumen yang lebih besar dan mampu mengalirkan darah 300 ml/menit berdasarkan panduan NKF-K/DOQI. 3 Kateter akut dibatasi pada minggu



pertama dan kedua dari HD, karena infeksi meningkat pada lebih dari 1 minggu. Selain itu, dari panduan juga merekomendasikan bahwa kateter temporer penggunaannya tidak boleh melebihi 5 hari khususnya pada vena femoral.39 Kateter kronik dapat digunakan untuk beberapa bulan hingga tahun. Insersinya direkomendasikan segera setelah diketahui bahwa dibutuhkan terapi pengganti ginjal jangka panjang (lebih dari 2 minggu).3,7 Infeksi akses vaskuler Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan dialisis dengan akses kateter meningkatkan risiko infeksi. Infeksi bertanggung jawab untuk penggantian kateter sekitar 30-60% HD dengan kateter, dan angka hospitalisasi lebih tinggi pada pasien dengan kateter dibandingkan fistula. Infeksi dapat terlokalisasi ataupun sistemik. Awalnya, infeksi dapat terjadi pada tempat insersi atau dapat menyebar ke rute subkutan. Infeksi pada tempat keluar kateter dikarakterisir oleh eritema, kerutan, indurasi, maupun eksudasi hingga 2 cm dari tempat keluar.27 Komplikasi paling berbahaya adalah catheter-related bloodstream infection (CRBSI), berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Patogen yang bertanggungjawab untuk infeksi adalah stafilokokus, basilus enterik gram negatif, pseudomonas aeruginosa, dan kandida. Patogen ini memiliki kesamaan yaitu dapat membentuk biofilm pada dinding kateter yang membuatnya resisten terhadap antibiotik.28 Telah berkembang dengan pesat hipotesis mengenai hubungan biofilm dalam patogenesis CRBSI. Biofilm terbentuk pada lumen kateter setelah 24 jam insersi. Antibiotic lock adalah cairan antibiotic dosis tinggi yang dimasukkan ke dalam kateter dialisis yang dicampurkan dengan antikoagulan. Tujuannya adalah untuk sterilisasi biofilm kateter, sambil menyelamatkan kateter tersebut. Keberhasilan dari antibiotic lock ini sangat bergantung pada organisme bakteri (Tabel 4). Cara administrasi antibiotic lock adalah petugas mencampur sebagian dari antibiotik yang biasa digunakan secara sistemik, digabungkan dengan heparin atau sitrat dalam suatu tabung suntik, kemudian diisi ke dalam lumen kateter.17



Tabel 4. Antibiotic lock untuk profilaksis terhadap CRBSI



Dikutip dari : Allon M. Current management of vascular access. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 786-800.17



Infeksi pada tempat keluar kateter tanpa gejala demam dapat diterapi dengan pemberian antibiotik lokal, dan bila tidak ada perbaikan, dapat diberikan antibiotik sistemik. Bila gagal, maka kateter harus dikeluarkan. Kemungkinan pasien dengan kateter terkena CRBSI harus diperhatikan bila terdapat demam, menggigil, atau hipotensi. Beberapa metode diagnostik dilakukan seperti kultur kuantitatif maupun semi kuantitatif yang diambil dari kateter ataupun vena perifer.17 Antibiotik yang ideal untuk penanganan CRBSI harus 1) aktif terhadap patogen yang bertanggungjawab untuk infeksi; 2) memiliki aksi bakterisida yang cepat; 3) memiliki aksi yang bergantung konsentrasi; 4) tidak dikeluarkan lewat ginjal; 5) memiliki waktu paruh biologikal yang panjang yang memungkinkan administrasi harian dosis tunggal setelah HD; dan 6) memiliki kapasitas penetrasi yang baik ke biofilm.3 Cefazolin bisa efektif pada kasus infeksi dari stafilokokus yang sensitif metisilin, sedangkan daptomisin memiliki komponen yang diindikasikan pada kasus stafilokokus yang sensitif metisilin. Untuk bakteri gram negatif, antibiotik yang menjadi pilihan adalah ceftazidime, aminoglikosida, dan karbapenem, dimana ekinokandins dan liposomal amfoterisin B digunakan untuk CRBSI yang disebabkan jamur.3 Durasi terapi sangat bervariasi. Terapi singkat (5-7 hari) cukup untuk penanganan CRBSI yang diprovokasi stafilokokus negatif koagulase jika kateter dikeluarkan, sedangkan terapi jangka panjang (4-6 minggu) dibutuhkan untuk



CRBSI dengan komplikasi (tromboflebitis supuratif atau infeksi metastatik lain seperti abses paru atau otak, osteomielitis, dan endokarditis) dari stafilokokus aureus.3,17 Beberapa intervensi telah terbukti efektif pada prevensi CRBSI, seperti skrining



periodik



untuk



infeksi,



kebersihan



tangan,



perawatan



akses



vaskuler/kateter, edukasi staf dan kompetensi, edukasi pasien, reduksi kateter, antisepsis kulit, desinfeksi kateter, aplikasi salep antibiotik atau povidone-iodine di tempat keluar kateter.3 RINGKASAN Hemodialisa diindikasikan untuk pasien dengan PGK stadium akhir, untuk itu akses vaskuler harus dipersiapkan pada pasien. Akses vaskuler beragam seperti Fistula Arteri-Vena, Graft Arteri-Vena, dan Kateter Vena Sentral. Pemilihan akses vaskuler yang tepat diperlukan untuk mencapai efektivitas dari HD sendiri. Masing- masing akses vaskuler ini memiliki keuntungan dan kerugiannya, namun akses vaskuler fistula arteri-vena merupakan pilihan pertama, karena memiliki komplikasi yang sedikit, tapi apabila pasien tersebut memerlukan tindakan HD yang cepat dan dalam waktu singkat maka pemilihan akses jatuh pada kateter vena sentrali. Graft Arteri-Vena diindikasikan pada pasien dengan kegagalan akses fistula arteri-vena, terutama pada pasien dengan usia tua yang umumnya gagal dalam maturasi anastomosis. Komplikasi yang tersering pada setiap akses vaskuler adalah infeksi, maka diperlukan tindakan pencegahan, pengobatan dan monitoring untuk pasien-pasien yang sedang menjalani HD, pencegahan menjadi sangat penting sebagai faktor yang dapat dimodifikasi. Komplikasi lain seperti aneurisme, trombosis, stenosis dapat bersifat ringan sampai berat, dan untuk koreksi bisa dengan medikamentosa, sedangkan kondisi berat dapat dilakukan tindakan pembedahan endovaskuler.



DAFTAR PUSTAKA 1. Suhardjono. Hemodialisis ; Prinsip dasar dan pemakaian kliniknya. Lestariningsih, Aru W S, Idrus A, Marcellus S, Sitti S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam. 2014. p2192-4. 2. Figurek A, Papachristou E, Goumenos DS. Vascular access for hemodialysis: when and how? Bantao Journal 2014;12(2):84-89. 3. Santoro D, Benedetto F, Mondello P, et al. Vascular access for hemodialysis: current perspectives. International Journal of Nephrology and Renovascular Disease 2014;7:281-294. 4. Vascular Access 2006 Work Group. Clinical practice guidelines for vascular access. Am J Kidney Dis. 2006;48 Suppl 1:S176–S247. 5. Santoro D, Savica V, Bellinghieri G. Vascular access for hemodialysis and cardiovascular complications. Minerva Urol Nefrol 2010;62(1):81-85. 6. Mendes RR, Farber MA, Marston WA, et al. Prediction of wrist arteriovenous fistula maturation with preoperative vein mapping with ultrasonography. J Vasc Surg 2002;36(3):460-463. 7. National Kidney Foundation, Inc. K/DOQI Guidelines – Updates 2006. New York:



National



Kidney



Foundation,



Inc;



2001.



Available



from:



http://www.kidney.org/PROFESSIONALS/kdoqi/guideline_upHD_PD_VA/i ndex.htm. Accessed June 12, 2017. 8. Lok CE, Allon M, Moist L, et al. Risk equation determining unsuccessful cannulation events and failure to maturation in arteriovenous fistulas (REDUCE FTM I). J Am Soc Nephrol. 2006;17(11):3204-3212. 9. Davidson I, Gallieni M, Saxena R, Dolmatch B. A patient centered deci- sion making dialysis access algorithm. J Vasc Access. 2007;8:59-68. 10. Englesbe MJ, Al-Holou WN, Moyer AT, et al. Single centre review of femoral arteriovenous grafts for hemodialysis. World J Surg. 2006;30:171– 175. 11. Clenaghan S, McLaughlin RE, Martyn C, et al. Relationship between Trendelenburg tilt and internal jugular vein diameter. Emerg Med J 2005;22:867-868.



12. Graham AS, Ozment C, Tegtmeyer K, et al. Videos in clinical medicine. Central venous catheterization. N Engl J Med 2007;356(21):e21. 13. Jankovic Z, Boon A, Prasad R. Fatal haemothorax following large-bore percutaneous cannulation before liver transplantation. Br J Anaesth 2005;95(4):472-476. 14. Vaccharajani T. J. Atlas of dyalisis vascular access. North Carolina : Wake Forest University 2010 : 42-45. 15. Roy-Chaudhury P, Kelly BS, Miller MA, et al. Venous neointimal hyperplasia



in



polytetrafluoroethylene



dialysis



grafts.



Kidney



Int.



2001;59:2325–2334. 16. Dember LM, Holmberg EF, Kaufman JS. Value of static venous pressure for predicting arteriovenous graft thrombosis. Kidney Int 2002;61:1899-1904. 17. Allon M. Current management of vascular access. Clin J Am Soc Nephrol 2007;2:786-800. 18. Turmel-Rodrigues L, Pengloan J, Baudin S, et al. Treatment of stenosis and thrombosis in haemodialysis fistulas and grafts by interventional radiology. Nephrol Dial Transplant 2000;15:2029-2036. 19. Maya ID, Oser R, Saddekni S, et al. Vascular access stenosis: comparison of arteriovenous grafts and fistulas. Am J Kidney Dis 2004;44:859-865. 20. Lok CE, Moist L, Hemmelgarn BR, et al; Fish oil Inhibition of Steno- sis in Hemodialysis Grafts (FISH) Study Group. Effect of fish oil supplementation on graft patency and cardiovascular events among patients with new synthetic arteriovenous hemodialysis grafts: a randomized controlled trial. JAMA. 2012;307(17):1809-1816. 21. Taylor G, Gravel D, Johnston L, Embil J, Holton D, Paton S. Prospective surveillance for primary bloodstream infections occur- ring in Canadian hemodialysis units. Infect Control Hosp Epidemiol. 2002;23:716-720. 22. RyanSV,CalligaroKD,ScharffJ,DoughertyMJ.Managementofinfected prosthetic dialysis arteriovenous grafts. J Vasc Surg. 2004;39:73–78. 23. Shemesh D, Goldin I, Zaghal I, et al. Stent graft treatment for hemodialysis access aneurysms. J Vasc Surg 2011;54:1088-1094. 24. Shah AS, Valdes J, Charlton-Ouw KM, et al. Endovascular treatment of



hemodialysis access pseudoaneurysms. J Vasc Surg 2012;55:1058-1062. 25. Lamperti M, Bodenham AR, Pittiruti M, et al. International evidence-based recommendations on ultrasound-guided vascular access. Intensive Care Med 2012;38(7):1105–1117. 26. Merrer J, De Jonghe B, Golliot F, et al. Complications of femoral and subclavian venous catheterization in critically ill patients. JAMA. 2001;286:700–707. 27. McCann



M,



Moore



ZEH.



Interventions



for



preventing



infectious



complications in haemodialysis patients with central venous catheters. Cochrane Database Syst Rev 2010;(1):CD006894. 28. Maki DG, Kluger DM, Crinich CJ. The risk of bloodstream infection in adults with different intravascular devices: a systematic review of 200 published prospective studies. Mayo Clin Proc 2006;81(9): 1159–1171.