Askep Digestive Kel.5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KELAINAN KONGENITAL PADA SISTEM DIGESTIVE



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5 1. 2. 3. 4. 5. 6.



CAHYO SULAKSONO DESVIA RAMDANI DWI UTAMI IKA FITRI RENGGANI INDAH SETYAWATI NISRINA ROSYADA



(920173056) (920173058) (920173063) (920173069) (920173071) (920173082)



KELAS



: 3B



PROGAM STUDI



: S1 ILMU KEPERAWATAN



UNIVERSITAS MUHAMADIYAH KUDUS Jl. Ganesha I Purwosari Kota Kudus Tahun pelajaran 2019 / 2020



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan izin dan kekuatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan MAKALAH ini dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KELAINAN KONGENITAL PADA SISTEM DIGESTIVE ” tepat pada waktunya. Tugas ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN ANAK II. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, dalam isi maupun sistematiknya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan wawasan kami. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata yang kami sampaikan, selamat mempergunakan dan mempelajari makalah ini sebaik-baiknya, semoga ada guna dan bermanfaat bagi setiap orang yang mempelajarinya.



Kudus, 23 Oktober 2019



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kelainan bawaan (kelainan kongenital) adalah sustu kelainan pada struktur fungsi maupun metabolism tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Sekitar 3-4 % bayi baru lahir memiliki kelainan bawaan yang berat. Beberapa kelainan baru ditemukan pada saat anak mulai tumbuh, yaitu sekitar 7,5% terdiagnosa ketika anak berusia 5 tahun, tetapi kebayakan bersifat ringan (Muslihatum, 2010). Malformasi kongenital (kelainan kongenital) adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian janin dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khususnya pada bayi berat badan diperkirakan kira- kira 20 % diantaranya meninggal karena kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya (Sofian, 2011). Sebab terjadinya kelainan kongenital dapat di sebabkan: kelainan kromosom, kekurangan nutrisi tertentu, agen teratogenic. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa kejadian kelainana kongenital dapat di sebabkan oleh: factor genetik 40%, gangguan perkembangan janin terdiri atas: akibat infeksi 5%, obat-obatan 5%, gangguan metabolisme ibu; pada kelainan kongenital mi;tipel kematiannya lebih dari 50-60%. Kelainana kongenital dimaksud dengan ketidakmampuan berfungsi normal atau ketidakmampuan hidup normal. Kejadian kelainan kongenital tergantung dari: factor lingkungan geografis dan factor rasia (Manuaba, 2013). Semua bayi baru lahir harus dinilai tanda-tanda kegawatan/kelainan yang menunjukkan suatu penyakit. Bayi baru lahir dinyatakan lahir sakit apabila mempunyai satu atau tandatanda sesak napas, frekuensi napas lebih dari 60 kali per menit, tampak tertraksi dinding dada, malas minum, panas atau suhu badan bayi rendah, kurang aktif berat badan lahir rendah dengan kesulitan umum sedangkan pada bayi labioskizis ditandai dengan adanyta kelainan pada bentuk bibir sumbing atau tidak sempurna (Muslihatun, 2010). Angka kejadian kalainan kongenital sekitar 1/700 kelahiran dan merupakan salah satu kongenital yang sering ditemukan, kelainan ini berwujud sebagai labioskizis di sertai palatoskizis 50%, labioskizis saja 25% dan palatoskizis saja 25%. Pada 20% dari kelompok ini ditemukan adanya riwayat kelainan sumbing dan keturunan. Kejadian ini mungkin



disebabkan adanya factor toksik dan lingkungan yang mempengaruhi gen pada periode fesi ke-2 belahan tersebut. Pengaruh toksik terhadap fusi yang telah terjadi tidak akan memisahkan lagi belahan tersebut (Muslihatun, 2010). Kejadian kelainan kongenital dijumpai sekitar 1,5-3,5% dari semua persalinan. Angka kejadian tersebut diindonesia masih belum ketahui, sekalipun angka kejaian di rumah sakit. Dari kejadian 1,5-3,5%, sebayak 2% kasus terdapat kelainan kongenital mayor sehingga kemampuan hidupnya praktis tidak mungkin. Dengan perkembangan ultrasonografi yang makin pesat maka diagnose kelainan kongenital sudah dapat ditegakkan sejak kehamilan dini. Bila dokter mengetahui bahwa pada kehamilannya dijumpai kelainan kongenital, pasien harus diberitahu dengan cara simpatik, dengan penjelasan dari berbagai aspek sehingga keluarganya memikirkan dapat kelanjutannya (Manuaba, 2013). Pada kelainan kongenital mayor sebaiknya dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan sedangkan kelainan kongenita minor dipertahankan akan dapat hidup ditengah keluarganya. Oleh karena itu penjelasan yang paling utama harus dapat menumbuh kembangkan pengertian tentang kelainan kongenital monir yang mungkin dapat hidup terus. Pada



kelainan kongenital minor, ada kemungkinan untuk dapat melakukan operasi



rekonstruksi sehingga dapat berfungsi dengan normal (Manuaba, 2013). 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses terjadinya gangguan sistem pencernaan (Hirschprung) ? 2. Bagaimana proses terjadinya gangguan Atresia Ani (Anus Imperforata) ? 3. Bagaimana proses terjadinya gangguan Atresia Ductus Hepaticus (Atresia Bilier) ? 1.3 Tujuan Untuk mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan Kelainan Kongenital pada Anak.



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Penyakit Kongenital pada Anak A. Hirschprung 1. Pengertian Hirschsprung (megakolon/aganglionic congenital) adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus (Wong, 1996). Penyakit Hisprung (Hirschprung) adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Hirschprung adalah kelainan bawaan berupa obstruksi usus akibat dari tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik pada dinding saluran intestinal lapisan submukosa, dan biasa terjadi pada calon bagian distal (Fitri Purwanto, 2001). Hirschprung merupakan suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus yang dimulai dari sfingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Juga dikatakan sebagai kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbact di kolon (A. Aziz Alimul Hidayat,2006). 2. Etiologi Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas didaerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus dan pilorus. Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah diduga karena terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan submukosa pada dinding plexus. Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion yang terletak dibawah lapisan otot. Sedangkan menurut (Amiel, 2001) penyebab hisprung tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetic Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar (Edery, 1994). Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari factor gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin -3 (Marches, 2008).Penyakit Hirschprung juga terkait dengan Down



syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga memiliki trisomi 21 (Rogers, 2001). 3. Manifestasi Klinik Gejala dan tanda dapat bermacam-macam berdasarkan keparahan dari kondisi kadang-kadang mereka muncul segera setelah bayi lahir. Pada saat yang lain mereka mungkin saja tidak tampak sampai bayi tumbuh menjadi remaja ataupun dewasa.  Pada kelahiran baru tanda dapat mencakup :  Kegagalan dalam dalam mengeluarkan feses dalam hari pertama atau kedua kelahiran.  Muntah : mencakup muntahan cairan hijau disebut bile-cairan pencernaan yang diproduksi di hati.  Konstipasi atau gas.  Diare  Pada anak-anak yang lebih tua, tanda dapat mencakup :  Perut yang buncit  Peningkatan berat badan yang sedikit  Masalah dalam penyerapan nutrisi, yang mengarah penurunan berat badan, diare atau keduanyadan penundaan atau pertumbuhan yang lambat  Infeksi kolon, khususnya anak yang baru lahir atau yang masih muda, yang dapat mencakup enterocolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-kadang dilatasi kolon yang berbahaya. Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa, gejala dapat mencakup konstipasi dan nilai rendah dari sel darah merah (anemia) karena darah hilang dalam feses. 4. Pathofisiologi Istilah congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon. Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar. 5. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium



1) Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit. 2) Darah rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet preoperatiof. 3) Profil koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan. b. Pemeriksaan Radiologi 1) Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan adanya udara dalam rectum. 2) Barium enema  Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan kontras enema karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.  Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari kaburnya zona transisi dan beresiko terjadinya peforasi. foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi 24 jam kemudian.  Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami dilatasi merupakan gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit diinterpetasi dan sering kali gagal memperlihatkan zona transisi.  Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah adanya retensi kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan. c. Biopsi Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat ganglion atau tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan. 6. Penatalaksanaan Medis a) Pembedahan Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi loop atau double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10



Kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus aganglionik dan menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari anus. Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior. Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa. b) Konservatif Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara. c) Tindakan bedah sementara Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal. d) Perawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :  Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini.  Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.  Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).  Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang. Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total.



7. Asuhan Keperawatan A. Pengkajian 1) Identitas Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997). 2) Riwayat kesehatan a. Keluhan utama Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare. b. Riwayat kesehatan sekarang Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi c. Riwayat kesehatan dahulu Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung d. Riwayat kesehatan keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya 3) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis



Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan a. Inspeksi: Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum dan fese akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk. b. Auskultasi: Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya bisng usus. c. Perkusi: Timpani akibat abdominal mengalami kembung. d. Palpasi: Teraba dilatasi kolon abdominal.  Sistem kardiovaskuler: Takikardia.  Sistem pernapasan: Sesak napas, distres pernapasan.  Sistem pencernaan: Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang menyemprot.  Sistem saraf : Tidak ada kelainan.  Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri  Sistem endokrin: Tidak ada kelainan.  Sistem integument: Akral hangat, hipertermi  Sistem pendengaran: Tidak ada kelainan B. Diagnosa keperawatan 1. Risiko konstipasi b.d penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik 2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh b.d keluar cairan tubuh dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal 3. Risiko injuri b.d pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal sekunder dari kondisi obtruksi usus 4. Resiko infeksi b.d pasca prosedur pembedahan C. Intervensi keperawatan No.Dx



Tujuan



Intervensi



Rasionl



1.



Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan BAB normal kembali Kriteria hasil:  pasien tidak mengalami konstipasi  pasien dapat mempertahanka n defekasi setiap hari



Mandiri — Observasi bising usus dan periksa adanya distensi abdomen pasien, Pantau dan catat frekuensi dan karakteristik feses — Catat asupan haluaran secara akurat —











1.



Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan tubuh dapat terpenuhi. Kriteria hasil:



Dorong pasien untuk mengkonsumsi cairan 2.5 L setiap hari, bila tidak ada kontraindikasi Lakukan program defekasi, Letakkan pasien di atas pispot atau commode pada saat tertentu setiap hari, sedekat mungkin kewaktu biasa defekasi (bila diketahui) Berikan laksatif, enema, atau supositoria sesuai instruksi.



Mandiri — Timbang berat badan pasien setiap hari sebelum sarapan — Ukur asupan cairan dan haluaran urin untuk mendapatkan status cairan — Pantau berat jenis urin







Untuk menyusun rencana penanganan yang efektif dalam mencegah konstipasi dan impaksi fekal







Untuk meyakinkan terapi penggantian cairan dan hidrasi Untuk meningkatkan terapi penggantian cairan dan hidrasi











Untuk membantu adaptasi terhadap fungsi fisiologi normal







Untuk meningkatkan eliminasi feses padat atau gas dari saluran pencernaan, pantau keefektifannya







Untuk membantu mendeteksi perubahan keseimbangan cairan Penurunan asupan atau peningkatan haluaran meningkatkan defisit cairan Peningkatan berat jenis urin mengindikasikan dehidrasi. Berat jenis urin rendah, mengindikasikan kelebihan volume cairan Membran mukosa kering merupakan suatu indikasi dehidrasi











 turgor kulit elastik dan normal, CRT < 3 detik —



Periksa membran mukosa mulut setiap hari















2.



Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan reseksi kolon tidak mengalami injuri Kriteria hasil:



Tentukan cairan apa yang disukai pasien dan simpan cairan tersebut di samping tempat tidur pasien, sesuai instruksi Pantau kadar elektrolit serum.



Mandiri — Observasi faktorfaktor yang meningkatkan resiko injuri







Untuk meningkatkan asupan







Perubahan nilai elektrolit dapat menandakan awitan ketidakseimbangan cairan







Pasca bedah terdapat resiko rekuren dari hernia umbilikalis akibat peningkatan tekanan intra abdomen Perawat yang mengantisipasi resiko terjadinya perforasi atau peritonitis. Tanda dan gejala yang penting adalah anak rewel tibatiba dan tidak bisa dibujuk atau diam oleh orang tua atau perawat, muntah-muntah, peningkatan suhu tubuh dan hilangnya bising usus. Adanya pengeluaran pada anus yang berupa cairan feses yang bercampur darah merupakan tanda klinik penting bahwa telah terjadi peforasi. Semua perubahan yang terjadi didokumentasikan oleh perawat dan laporkan pada dokter Tujuan memasang selang nasogatrik adalah intervensi dekompresi akibat respon dilatasi dan kolon obstruksi dari







Monitor tanda dan gejala perforasi atau peritonitis











Lakukan pemasangan selang nasogatrik







 TTV normal  Kardiorespirasi optimal, tidak terjadi infeksi pada insisi







Monitor adanya komplikasi pasca bedah











Pertahankan status hemodinamik yang optimal











Bantu ambulasi dini











Hadirkan orang terdekat







kolaborasi — Kolaborasi pemberian antibiotik pasca bedah







kolon aganglionik. Apabila tindakan ini dekompresi ini optimal, maka akan menurunkan distensi abdominal yang menjadi penyebab utama nyeri abdominal pada pasien hirschprung Perawat memonitor adanya komplikasi pasca bedah seperti mencret ikontinensia fekal, kebocoran anastomosis, formasi striktur, obstruksi usus, dan enterokolitis Pasien akan mendapatkan cairan intravena sebagai pemeliharaan status hemodinamik Pasien dibantu turun dari tempat tidur pada hari pertama pasca operasi dan disorong untung mulai berpartisipasi dalam ambulasi dini Pada anak, menghadirkan orang terdekat dapat mempengaruhi penurunan respon nyeri. Sedangkan pada dewasa merupakan tambahan dukungan psikologis dalam menghadapi masalah kondis nyeri baik akibat kolik abdomen atau nyeri pasca bedah Antibiotik menurunkan resiko infeksi yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan dapat memperlama



proses penyembuhan pasca funduplikasi lambung 3.



Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tidak ada tanda-tanda infeksi pada klien Kriteria hasil:



 suhu dalam rentang D. E normal. v a  tidak ada patogen l yang terlihat dalam u kultur, luka dan a insisi terlihat bersih, s merah muda, dan i bebas dari drainase purulen



Mandiri — Minimalkan risiko infeksi dengan : mencuci tangan sebelum dan setelah memberikan perawatan, menggunakan sarung tangan untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan perawatan langsung — Observasi suhu minimal setiap 4 jam dan catat pada kertas grafik. Laporkan evaluasi kerja







Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk mencegah patogen, sarung tangan dapat melindungi tangan pada saat memegang luka yang dibalut atau melakukan berbagai tindakan







Suhu yang terus meningkat setelah pembedahan dapat merupakan tanda awitan komplikasi pulmonal, infeksi luka atau dehisens.



S e telah mendapat implementasi keperawatan, maka pasien dengan hisrchprung diharapkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.



Tidak adanya konstipasi dan BABnya normal. Kebutuhan cairan pasien terpenuhi Tidak adanya injuri Tidak adanya tanda-tanda atau reksi infeksi.



B. Atresia Ani 1. Pengertian Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002) Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)



Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003). Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu: 1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus 2. Membran anus yang menetap 3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacammacam jarak dari peritoneum 4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung 2. Etiologi Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur 2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan 3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan. 3. Manifestasi Klinik 1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran. 2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi. 3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya. 4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula). 5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.



6) Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal. 7) Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002) 4. Pathofisiologi 5. Pemeriksaan Penunjang a) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini. b) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium. c) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal. d) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong. e) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi. f) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut. b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum. c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur. 6. Penatalaksanaan Medis a. Pembedahan Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk



kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel b. Pengobatan 1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan) 2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen) 7. Asuhan Keperawatan A. Pengkajian 1) Biodata klien 2) Riwayat keperawatan a. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang b. Riwayat kesehatan masa lalu 3) Riwayat psikologis Koping keluarga dalam menghadapi masalah 4) Riwayat tumbuh kembang a. BB lahir abnormal b.Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami trauma saat sakit c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium 5) Riwayat sosial Hubungan sosial 6) Pemeriksaan fisik B. Diagnosa Keperawatan



Dx Pre Operasi 1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion. 2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah. 3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan. Dx Post Operasi 1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi. 2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah. C. Rencana Keperawatan 1. Diagnosa Pre Operasi Dx. 1 Konstipasi berhubungan dengan aganglion Tujuan : Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur. Kriteria Hasil : Penurunan distensi abdomen. Meningkatnya kenyamanan. Intervensi : a. Lakukan enema atau irigasi rectal sesuai order R/ Evaluasi bowel meningkatkan kenyaman pada anak. b. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam R/ Meyakinkan berfungsinya usus c. Ukur lingkar abdomen R/ Pengukuran lingkar abdomen membantu mendeteksi terjadinya distensi Dx. 2 Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah Tujuan : Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan Kriteria Hasil : Output urin 1-2 ml/kg/jam Capillary refill 3-5 detik Turgor kulit baik



Membrane mukosa lembab Intervensi : a. Monitor intake – output cairan R/ Dapat mengidentifikasi status cairan klien b. Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV R/ Mencegah dehidrasi c. Pantau TTV R/ Mengetahui kehilangan cairan melalui suhu tubuh yang tinggi Dx 3 Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan. Tujuan : Kecemasan orang tua dapat berkurang Kriteria Hasil : Klien tidak lemas Intervensi : a. Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran pencernaan normal. Gunakan alay, media dan gambar R/ Agar orang tua mengerti kondisi klien b. Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua R/ Pengetahuan tersebut diharapkan dapat membantu menurunkan kecemasan c. Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi R/ Membantu mengurangi kecemasan klien 2. Diagnosa Post Operasi Dx 1 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi. Tujuan : Klien tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut. Intervensi : a. Gunakan kantong kolostomi yang baik b. Kosongkan kantong ortomi setelah terisi ¼ atau 1/3 kantong c. Lakukan perawatan luka sesuai order dokter Dx 2 Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.



Tujuan : Orang tua dapat meningkatkan pengetahuannya tentang perawatan di rumah. Intervensi : a. Ajarkan pada orang tua tentang pentingnya pemberian makan tinggi kalori tinggi protein. b. Ajarkan orang tua tentang perawatan kolostomi. D. Evaluasi Pre Operasi



Post operasi



1. Tidak terjadi konstipasi



1. Kerusakan integritas kulit tidak terjadi



2. Defisit volume cairan tidak terjadi



2. Klien memiliki pengetahuan perawatan di rumah



3. Lemas berkurang



C. Atresia Ductus Hepaticus (Atresia Bilier) 1. Pengertian Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluransaluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier). 2. Etiologi Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah



bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:  infeksi virus atau bakteri  masalah dengan sistem kekebalan tubuh  komponen yang abnormal empedu  kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu  hepatocelluler dysfunction 3. Manifestasi Klinik Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk:  Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir  Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.  Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak akibat pembesaran hati.  Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat  degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam air serta gagal tumbuh Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:



 Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.  Gatal-gatal  Rewel  splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati). 4. Pathofisiologi Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan



progresif pada



duktus bilier



ekstrahepatik



sehingga menyebabkan



hambatan aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati. Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal tumbuh.Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat



diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung 5. Pemeriksaan Penunjang Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan : a) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi hati (darah,urin, tinja) b) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati c) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis atresia bilier. 1) Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan rutin Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.  Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.  Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.



 Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time, partial thromboplastin time. b. Pemeriksaan khusus Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier. 2) Pencitraan a. Pemeriksaan ultrasonografi Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosisatresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal. b. Sintigrafi hati Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung



dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan



bahwa



dalam



mendetcksi



atresia



bilier,



yang



terbaik



adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi. c. Liver Scan Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu. d. Pemeriksaan kolangiografi Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasisintrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier. 3) Biopsi hati Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi



yang berpengalaman, akurasi



diagnostiknya mencapai 95%,sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu 6. Penatalaksanaan Medis a) Terapi medikamentosa



Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :  Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.  Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi



toksin),



enzim



Na+



K+



ATPase



(menginduksi



aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder b) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolatmempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik. c) Terapi nutrisi Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :  Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.  Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D, E, K d) Terapi bedah  Kasai Prosedur Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.



 Pencangkokan atau Transplantasi Hati Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak. Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver" transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier. 7. Asuhan Keperawatan



BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Malformasi kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan selama dalam kandungan. Diperkirakan 10 – 20 % dari kematian janin dalam kandungan dan kematian neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khususnya pada bayi berat badan diperkirakan kira- kira 20 % diantaranya meninggal karena kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya ( Sofia, 2011 ). Penyebab sebenarnya malformasi kongenital tidak diketahui. Secara umum pertumbuhan embrio dan janin dalam kandungan dapat dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain genetic, lingkungan, atau keduanya ( Sofia, 2011 ).



DAFTAR PUSTAKA



Bulechek,G. 2016. Nursing Interventions Classification, 6th ed. Elsevier :USA Herdman, H. 2011. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta : EGC Manuaba, dkk. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC Maryanti, Dwi. 2011. Buku ajar Neonatus dan balita. Jakarta : CV. Trans Infomedia Moorhead, S. 2016. Nursing Outcomes Classifications 5th ed. Elsevier : USA Muslihatun, Wati Nur. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Balita. Yogyakarta : Fitramaya Saputra, Dr. Lyndon. 2014. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Balita. Tangerang : Binarupa Aksara Sofian, Dr. Amru. 2011. Sinopsis Obstetri. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta : EGC Sodikin. 2011. Keperawatan Anak. Jakarta : EGC Willian & Wilkins. 2011. Kapita Selekta Penyakit. Edisi 2. Jakarata : EGC