Askep Luka Bakar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPERAWATAN KRITIS II ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN LUKA BAKAR INTRAHOSPITAL DAN METODE RESUSITASI CAIRAN



Disusun oleh: Kelompok 1 Kelas A2 Angkatan 2014



Dwida Rizky Pradiptasiwi



131411131015



Moh Thoriq Hidayatullah



131411133011



Sacharisa Agape Sudiani



131411133004



Putri Mei Sundari



131411131067



Amalia Fardiana



131411131017



Widya Fathul Jannah



131411131073



Roudhotul Jannah



131411131035



Gilang Dwi Kuncahyono



131411131030



Lidia Inneke Wendey



131411133012



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2018



KATA PENGANTAR



Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Luka Bakar Intrahospital Dan Metode Resusitasi Cairan”. Makalah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas Keperawatan Kritis II Semester 8 tahun ajaran 2017/2018. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada: 1. Nadia Rohmatul Laili, S.Kep, Ns., M.Kep selaku fasilitator kelompok 1 kelas A2 Keperawatan Kritis II. 2. Teman-teman kelompok 1 yang telah membantu penyusunan makalah ini. 3. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.



Surabaya, 7 Maret 2018



Penulis



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .............................................................................................2 DAFTAR ISI ............................................................................................................3 BAB 1 ......................................................................................................................5 PENDAHULUAN ...................................................................................................5 1.1



Latar Belakang ..........................................................................................5



2.1



Rumusan Masalah .....................................................................................6



3.1



Tujuan ........................................................................................................6



3.1.1.



Tujuan Umum ................................................................................... 6



3.1.2.



Tujuan Khusus .................................................................................. 6



BAB 2 ......................................................................................................................7 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................7 2.1



Definisi ......................................................................................................7



2.2



Etiologi ......................................................................................................7



2.3



Patofisiologi...............................................................................................8



2.4



Karakteristik luka bakar ............................................................................9



2.4.1



Fase luka bakar .................................................................................. 9



2.4.2



Zona luka bakar ............................................................................... 10



2.4.3



Kedalaman luka bakar ..................................................................... 11



2.4.4



Luas luka bakar ............................................................................... 12



2.4.5



Berat dan ringannya luka bakar....................................................... 16



2.5



Penatalaksanaan Luka Bakar ...................................................................16



2.5.1



Pertolongan Awal Pada Luka Bakar ............................................... 16



2.5.2



Waktu Hospitalisasi Pasien Dengan Luka Bakar ............................ 19



2.5.3



Intra Hospital ................................................................................... 19 3



2.5.4 Komplikasi pada pasien luka bakar intrahospital ....................................33 2.5.5 WOC ........................................................................................................35 2.5.6 Asuhan keperawatan ................................................................................36 PENUTUP ..............................................................................................................46 3.1



Kesimpulan ..............................................................................................46



3.2



Saran ........................................................................................................46



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................47



4



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi, jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan juga cukup mahal untuk penanganannnya. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% , dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sama-sama 3,8% sedangkan di Provinsi Lampung tercatat sebesar 1,7% dari keseluruhan kasus cedera. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan luka bakar pun cukup tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2004; DEPKES RI, 2007). Penyebab luka bakar selain karena api ( secara langsung ataupun tidak langsung ), juga karena pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api ( misalnya tersiram panas ) banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2005 ). Dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat yang tepat diharapkan akan dapat menurunkan sekecil mungkin angka- angka tersebut diatas. Prinsip- prinsip dasar tersebut meliputi kewaspadaan akan terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita yang mengalami trauma inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal dengan resusitasi



cairan,



mengetahui



dan



mengobati



penyulit-



penyulit



yangmungkin terjadi akibat trauma listrik, misalnya rabdomiolisis dan disritmia jantung. Mengendalikan suhu tubuh dan menjuhkan / mengeluarkan penderita dari lingkungan trauma panas juga merupakan prinsip utama dari penanganan trauma termal ( American College of Surgeon Committee on Trauma, 1997). Kulit adalah organ kompleks



5



yang memberikan pertahanan tubuh pertama terhadap kemungkinan lingkungan yang merugikan. Kulit melindungi tubuh terhadap infeksi, mencegah kehilangan cairan tubuh, membantu mengontrol suhu tubuh, berfungsi sebagai organ eksretoridan sensori, membantu dalam proses aktivasi vitamin D, dan mempengaruhi citra tubuh. Luka bakar adalah hal yang umum, namun merupakan bentuk cedera kulit yang sebagian besar dapat dicegah. 2.1 Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari luka bakar? 2. Bagaimana etiologi dari luka bakar? 3. Bagaimana patofisiologi dari luka bakar? 4. Bagaimana karakteristik luka bakar (fase, zona, kedalaman, luas, serta penilaian berat dan ringannya luka bakar) 5. Bagaimana resusitasi luka bakar pada pasien dengan intrahospital? 3.1 Tujuan 3.1.1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami konsep dan pelaksanaan luka bakar serta resusitasi pada pasien intrahospital 3.1.2. Tujuan Khusus 1. Memahami definisi dari luka bakar 2. Memahami etiologi dari luka bakar 3. Memahami patofisiologi dari luka bakar 4. Memahami karakteristik luka bakar (fase, zona, kedalaman, luas, serta penilaian berat dan ringannya luka bakar 5. Memahami resusitasi luka bakar pada pasien dengan intrahospital



6



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/ gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel (Yepta, 2003). Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka bakar dan menyebabkan kerusakan organ. Bahan kimia terutama asam menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang menyebabkan gangguan proses penyembuhan. Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalaman kerusakan jaringan. Semakin lama waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi (Moenadjat, 2003).



2.2 Etiologi Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah: a.



Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya (logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2005).



b.



Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn) Luka bakar bahan kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam bidang industry militer ataupun bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat, 2005).



7



c.



Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn) Listrik menyebabkan kerusakan yang disebabkan karena arus, api dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak,baik kontak dengan sumber arus maupun grown (Moenadjat, 2005).



d.



Luka bakar radiasi (Radiasi Injury) Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industry. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat, 2005). 2.3 Patofisiologi Jaringan lunak akan mengalami cedera bila terkena suhu diatas 1150F (460C). Luasnya kerusakan bergantung pada suhu permukaan dan lama kontak. Sebagai contoh pada kasus luka bakar tersiram air panas pada orang dewasa, kontak selama 1 detik dengan air yang panas dari shower dengan suhu 68,90C dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis dan dermis sehingga terjadi cedera derajat tiga (full-thickness injury). Sebagai manifestasi dari cedera luka bakar panas, kulit akan melakukan pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan pembentukan oksigen reaktif dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan menyebabkan penurunan tekanan onkotik. Hal ini menyebabkan kehilangan cairan serta viskositas plasma meningkat dengan menghasilkan suatu formasi mikrotrombus. Cedera luka bakar dapat menyebabkan keadaan hipermetabolik yang dimanifestasikan dengan adanya demam, peningkatan laju metabolisme, peningkatan ventilasi, peningkatan curah jantung, peningkatan glukoneogenesis, serta meningkatkan katabolisme otot viseral dan rangka. Adanya luka pada sistem pernafasan misalnya pada wajah yang merusak mukosa sehingga terjadi udema pada laring dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan menyebabkan



8



ketidakefektifan pola nafas. Terjebak kebakaran dalam ruangan tertutup juga dapat menyebabkan cedera inhalasi sehingga terjadi cedera alveolar yang ditandai dengan adanya sputum berkarbon yang memunculkan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang diakibatkan karena keracunan gas (PCO2 yang meningkat sedangkan PO2 turun). Keracunan gas tersebut dan sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan adanya penurunan cairan intravaskuler sehingga terjadi hipovolemia dan hipoksia jaringan



dan memunculkan diagnosa ketidakefektifan perfusi



jaringan perifer (Muttaqin & Kumala, 2012, Nurarif dan Hardhi, 2015). Bila luas bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam (Wim De Jong, 2004). Untuk luka bakar yang lebih kecil, tanggapan tubuh terhadap cedera terlokalisasi pada area yang terbakar. Namun, pada luka yang lebih luas (misalnya, meliputi 25% atau lebih total area permukaan tubuh [total body surface area-TBSA]), tanggapan tubuh terhadap cedera bersifat sistemik dan sebanding dengan luasnya cedera. Tanggapan sistemik terhadap cedera luka bakar biasanya bifasik, ditandai oleh penurunan fungsi (hipofungsi) yang diikuti dengan peningkatan fungsi (hiperfungsi) setiap sistem organ. (Black & Hawk, 2009)



2.4 Karakteristik luka bakar 2.4.1



Fase luka bakar



Menurut Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase : 1. Fase akut Disebut fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera



atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi



obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca



9



trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut.Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. 2. Fase sub akut Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan: a) Proses inflamasi dan infeksi b) Problem penutupan luka c) Keadaan hipermetabolisme 3. Fase lanjut Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur. 2.4.2



Zona luka bakar



Menurut Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar, yaitu: 1.



Zona koagulasi, zona nekrosis Daerah yang mengalami kontak langsung. Kerusakan jaringan berupa koagulasi (denaturasi) protein akibat pengaruh trauma termis.Jaringan ini bersifat non vital dan dapat dipastikan mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak, karenanya disebut juga zona nekrosis.



2.



Zona statis Daerah di luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona koagulasi.Kerusakan yang terjadi di daerah ini terjadi karena perubahan endotel



pembuluh



darah,



trombosit,



dan



respon



inflamasi



lokal;



mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi (no flow phenomena).Proses tersebut biasanya berlangsung dalam 12-24 jam pasca trauma; mungkin berakhir dengan zona nekrosis. 3.



Zona hiperemia



10



Daerah di luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi sel. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan; atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (perubahan derajat luka yang menunjukkan perburukan disebut degradasi luka).



2.4.3



Kedalaman luka bakar



Luka bakar derajat I a.



Kerusakan terbakar pada lapisan epidermis (superficial).



b.



Kulit kering, hiperemik berupa eritema.



c.



Tidak dijumpai bulae.



d.



Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.



e.



Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari.



f.



Contohnya adalah luka bakar akibat sengantan matahari.



Luka bakar derajat II a.



Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.



b.



Dijumpai bullae.



c.



Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.



d.



Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal. Luka bakar derajat II dibedakan menjadi:



11



a.



Derajat II dangkal (superficial). 1.



Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.



2.



Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh.



3.



Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari, tanpa operasi penambalan kulit (skin graft).



b.



Derajat II dalam (deep). 1.



Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.



2.



Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.



3.



Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan. Bahkan perlu dengan operasi penambalan kulit (skin graft).



Luka bakar derajat III a.



Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam.



b.



Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea mengalami kerusakan.



c.



Tidak dijumpai bulae.



d.



Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, karena kering letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar.



e.



Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar.



f.



Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.



g.



Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka.



2.4.4



Luas luka bakar



12



Banyak cara menghitung luas luka bakar, tetapi yang banyak dipakai adalah cara Rule of Nine dari Wallace, adalah sebagai berikut (untuk dewasa): TABEL 1 Luas Luka Bakar Berdasarkan Rule Of Nine NO



AREA



%



1.



Head and neck



9



2.



Anterior trunk



18



3.



Posterior trunk



18



4.



Genitalia



1



5.



Right arm



9



6.



Left arm



9



7.



Right thigh



9



8.



Left thigh



9



9.



Right leg



9



10.



Left leg



9



Total



100



Perhitungan luas luka bakar untuk anak ≤ 15 tahun ditetapkan berdasarkan modifikasi dari Rule of Nine sebagai berikut:



13



Tabel 2. Luas luka bakar berdasarkan Rule of Nine untuk usia kurang dari sama dengan 15 tahun NO DAERAH PERMUKAAN TUBUH



0-1 TH



5 TH



15 TH



1



Kepala, muka dan leher



18 %



14 %



10 %



2



Badan sebelah depan



18 %



18 %



18 %



3



Badan sebelah belakang



18 %



18 %



18 %



4



Alat gerak atas kanan



9%



9%



9%



5



Alat gerak atas kiri



9%



9%



9%



6



Alat gerak bawah kanan



14 %



16 %



18 %



7



Alat gerak bawah kiri



14 %



16 %



18 %



100 %



100 %



100 %



Jumlah total



Antara umur 1-5 tahun, tiap tahun tiap tungkai bertambah 0,4 % dan antara umru 5-15 tahun, tiap tahun tiap tungkai bertambah 0,2 %. Satu telapak tangan penderita mempunyai luas 1 % dari luas tubuhnya. Disamping dengan cara Rule of Nine, ada cara yang kadang dipakai untuk menghitung luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar sesuai dengan golongan usia. Cara ini menggunakan Lund and Browder Chart. TABEL 3 Luas Luka Bakar Berdasarkan Lund And Browder Chart AGE-YEARS NO



AREA 0-1



1-4



4-9



10-15



ADULT



1



Head



19



17



13



10



7



2



Neck



2



2



2



2



2



3



Anterior trunk



13



17



13



13



13



4



Posterior trunk



13



13



13



13



13



5



Right buttock























6



Left buttock























7



Genitalia



1



1



1



1



1



8



Right upper arm



4



4



4



4



4



9



Left upper urm



4



4



4



4



4



14



NO



AGE-YEARS



AREA 0-1



1-4



4-9



10-15



ADULT



10



Right lower arm



3



3



3



3



3



11



Left lower arm



3



3



3



3



3



12



Right hand























13



Left hand























14



Right thigh























15



Left thigh























16



Right leg



5



5







6



7



17



Left leg



5



5







6



7



18



Right foot























19



Left foot























Gambar 10. Estimation of burn size using Lundand Browder Chart



15



2.4.5



Berat dan ringannya luka bakar



Berdasarkan berat / ringan luka bakar, diperoleh beberapa kategori penderita (Yefta Moenadjat, 2003): 1)



Luka bakar berat / kritis (major burn) a. Derajat II-III > 20% pada klien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun. b. Derajat II-III > 25% pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama. c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki dan perineum. d. Adanya



trauma



pada



jalan



napas



(cedera



inhalasi)



tanpa



memperhitungkan luas luka bakar. e. Luka bakar listrik tegangan tinggi. f. Disertai trauma lainnya (misal fraktur iga / lain-lain). g. Klien-klien dengan risiko tinggi. 2)



Luka bakar sedang (moderate burn) a. Luka bakar dengan luas 15-25% pada dewasa, dengan luka bakar derajat III < 10%. b. Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III < 10%. c. Luka bakar dengan derajat III < 10% pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka, tangan, kaki dan perineum.



3)



Luka bakar ringan (mild burn) a. Luka bakar dengan luas < 15% pada dewasa. b. Luka bakar dengan luas < 10% pada anak dan usia lanjut. c. Luka bakar dengan luas < 2% pada segala usia; tidak mengenai muka, tangan, kaki dan perineum. 2.5 Penatalaksanaan Luka Bakar 2.5.1



Pertolongan Awal Pada Luka Bakar



Pertolongan pertama saat kejadian menurut Sjamsuhidayat (2010) : a. Luka bakar suhu atau thermal Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar dengan



16



kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan bergulingguling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas. Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air mengalir selama sekurangkurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas. b. Luka bakar kimia Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya rusak masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam. Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan. Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan elektrolit. Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10% dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam, mungkin diperlukan debridemen yang disusul skin grafting dan rekonstruksi.



17



Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit. c. Luka bakar arus listrik Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang diperkirakan karena kerusakan sering jauh lebih luas. Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus dirubah menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan, maka harus diberikan diuretik yang kuat bersama manitol. Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram per dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel. Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada tahap segera setelah cedera karena arus yang melewati kavitas peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan. d. Luka bakar radiasi Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan sehingga harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong



18



penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang terkontaminasi dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di tempat aman. Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang. 2.5.2



Waktu Hospitalisasi Pasien Dengan Luka Bakar



Indikasi hospitalisasi pasien dengan luka bakar yaitu : a.



Luka bakar pada wajah, tangan, daerah kemaluan



b.



Luka bakar akibat bahan kimia dan listrik



c.



Menderita gangguan atau penyakit lain: penyakit jantung, ginjal, diabetes.



d.



Luka bakar derajat 2 dengan luas ≥15% (dewasa) dan ≥10% pada anak dan lansia



e.



2.5.3



Luka bakar derajat 3 ≥10% Intra Hospital 2.5.3.1 Initial



1. Penatalaksanaan ABC (airway, breathing, circulation) a. Airway Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas dari sekret



19



yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan. Pemasangan pipa Nasofaringeal yang berbentuk pipa bulat lunak yang sesuai dengan anatomi nares, nasofaring dan hipofaring. Dimasukkan melalui satu atau kedua nares sehingga ujungnya mencapai tepat di atas epiglotis. Pipa nasal mempunyai keuntungan karena bisa dipasang pada penderita yang masih mempunyai reflek muntah tanpa menyebabkan muntah. b. Breathing Moenadjat (2009), Pastikan pernafasan adekuat dengan : 1) Pemberian oksigen Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif. 2) Humidifikasi Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa. 3) Terapi inhalasi Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan steroid.



20



4) Lavase bronkoalveolar Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas. 5) Rehabilitasi pernafasan Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat dilakukan sejak fase akut antara lain: a. Pengaturan posisi b. Melatih reflek batuk c. Melatih otot-otot pernafasan. Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif 6) Penggunaan ventilator Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distresparpernafasan secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernafasan dengan positive end-expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol. c. Circulation Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi 1. Pemasangan infus intravena atau IV line



21



Pemasangan dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP 2. Pemasangan CVP (Central Venous Pressure) Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter dalam menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia yang ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP. 3. Melepaskan penghalang Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat edema 4. Resusitasi cairan. Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial mengakibatkan



terjadinya



hipovolemik



intravaskuler



dan



edema



interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau jaringan atau organ. Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan massif di jaringan interstisial intravaskuler



menyebabkan mengalami



kondisi defisit,



hipovolemik. timbul



Volume



cairan



ketidakmampuan 22



menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian. 2.5.3.2 Resusitasi Cairan Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal penanganan luka bakar terutama pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang adekuat akan mencegah syok yang disebabkan karena kehilangan cairan berlebihan pada luka bakar. Penyebab kematian pada fase akut (48 jam pertama) ialah syok luka bakar dan inhalation injury. Syok luka bakar dapat terjadi karena kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi. Terapi cairan yang tidak memadai dapat menyebabkan perubahan fisiologi pasien luka bakar diantaranya perfusi pada ginjal dan mesenteric vascular beds yang berkurang, kerusakan ginjal akut, iskemik, kolaps kardiovaskular dan kematian. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menimbulkan fluid creep, sindrom kompartemen ekstermitas, meningkatkan tekanan intraokular, sindrom kompartemen okular, edema paru dan otak, acute respiratory distress syndrome, serta gangguan berbagai organ. Tatalaksana resusitasi cairan dan pertimbangan terjadinya edema perlu diperhatikan selama 24-48 jam pertama setelah timbul luka bakar. Sebanyak 13% dari korban kecelakaan meninggal selama 48 jam pertama karena kegagalan resusitasi. Abdominal Compartment Syndrome merupakan akibat dari kelebihan cairan yang telah teridentifikasi sebagai komplikasi utama dari upaya resusitasi. Perhatian terhadap titrasi dari resusitasi cairan setiap jam dibutuhkan untuk menghindari dampak tersebut dan “resuscitation morbidities” (Cancio, 2014). Hal yang perlu dianalisis dalam kasus ini adalah pemberian cairan yang melebihi rumus yang diperkirakan (Luo et al.,2015). Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring terhadap terapi cairan dengan cara melihat jumlah urin yang diproduksi, pengukuran hemodinamik, pengukuran tegangan gas jaringan subkutan dan penentuan saturasi oksigen jaringan menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS) (Tricklebank, 2008). Salah satu monitoring terapi cairan adalah produksi urin. Perfusi organ yang memadai ditunjukkan oleh produksi urin lebih dari 30 ml/jam (0,5ml/kgBB/jam) untuk dewasa dan 1 ml/kgBB/jam untuk 23



anak-anak. (Mlcak et al.,2012). Diuretik kuat seperti furosemid biasanya diberikan saat terjadi akumulasi cairan untuk mencapai keseimbangan cairan negatif dan memperbaiki hasil terapi setelah dilakukan pengaturan keseimbangan cairan (Rewa dan Bagshaw, 2015) Terapi cairan yang diberikan pada pasien luka bakar adalah cairan kristaloid dan koloid. Cairan kristaloid mengandung elektrolit yang terdistribusi 20% di intravaskular dan 80% di ekstravaskular. Sesuai dengan hal ini, efisiensi cairan untuk mengembang di volume plasma hanya 20% (Nuevo et al., 2013). Sedangkan koloid berisi elektrolit dan makromolekul organik yang memiliki kemampuan terbatas dalam melintasi membran endotelial (Lira dan Pinsky, 2014). Salah satu contoh koloid adalah albumin yang memiliki kemampuan mengembangkan volume sampai 5 kali volume asal dalam waktu 30 menit, kecuali bila dijumpai kebocoran kapiler (Moenadjat, 2009). Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada : 1. Rumus Parkland yaitu: 4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dalam ringer laktat yang jumlahnya disesuaikan dengan berat badan: ≤10 Kg: 100 mL/kg 11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 mL >20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam pertama dan 50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara luas sejak 40 tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka bakar selama 24 jam pertama setelah trauma, namun penelitian terbaru mengatakan bahwa formula Parkland tidak dapat memprediksi kehilangan cairan secara akurat khususnya pada pasien dengan luka bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan jumlah cairan lebih sedikit dibandingkan seharusnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk yang melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland menyebabkan penurunan kebutuhan



cairan pada 84% pasien. Penelitian ini juga



24



menyebutkan jumlah cairan yang diberikan pada pasien luka bakar tidak hanya



memperhatikan



luas



serta kedalaman luka,



namun



harus



diperhatikan apakah pasien ini membutuhkan bantuan ventilasi mekanik atau tidak karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan kebutuhan cairan. 2. Rumus Baxter pada tahun 1979, ia memberikan teknik resusitasi cairan pada 954 pasien luka bakar dengan menggunakan formulasi cairan : 3,7– 4,3 mL/Kg/total luas permukaan tubuh (TLPT) dan didapatkan hasil sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak mengalami keluaran yang baik. 3. Rumus Gavelstron (5000 mL x LPT yang mengalami luka bakar) + (2000 mL x TLPT) Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan formulasi 2– 4 mL/kg/% LPT selama 24 jam pertama. Setelah pemberian terapi cairan, dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan yaitu terdapatnya gangguan hemodinamik pasien seperti sesak napas, hepatomegali atau terdapatnya ronkhi basah halus pada basal paru. Pemantauan ini kerap kali harus dilakukan karena pemberian cairan berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema yang merupakan komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi menimbulkan kompikasi misalnya abdominal compartement syndrome dan edema paru. 4. Rumus Evans l.



Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =



jumlah NaCl / 24 jam 2.



Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg



=jumah plasma / 24 jam (no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)



25



3. 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat penguapan) Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari kedua. 5. Rumus Curreri Rumus ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kalori pada pasien luka bakar. 25 kcal/kgBB/hari ditambah dengan 40 kcal%luka bakar/hari Petunjuk perubahan penggunaan cairan bisa diketahui dengan : 1. Pemantauan urin output tiap jam 2. Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral 3. Kecukupan sirkulasi perifer 4. Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi 5. Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa 2.5.3.3 Penatalaksanaan Luka Bakar Mayor Minor Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup. Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya rasa sakit. Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar. 1. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup dengan pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan melembabkan



26



kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk mengatasi rasa sakit dan pembengkakan 2. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap harinya, pertamatama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain luka dapat ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari bahan alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver skin) ) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra) 3. Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal dan cangkok kulit (early exicision and grafting ). 2.5.3.4 Perawatan Kritis Pasien Luka Bakar Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Luka BakarTerapi nutrisi merupakan bagian dari tatalaksana pasien luka bakar mulai dari fase akut hingga fase rehabilitasi. Tujuan tatalaksana nutrisi pada pasien luka bakar ditujukan untuk memenuhi



kebutuhan



energi,



mempertahankan



status



gizi,



mengatasi



hiperkatabolik dan kehilangan nitrogen, mencegah muscle wasting, mempercepat penyembuhan luka, meningkatkan fungsi imun, dan menurunkan resiko overfeeding. Penatalaksanaan untuk mencegah resiko overfeeding yaitu diberikan sebesar 20-25 kkal/kg/hari pada fase akut dan fase awal kritis, sedangkan pada fase anabolitik (flow) atau penyembuhan dapat diberikan 25-30 kkal/kg/hari. Pemberian nutrisi pada pasien luka bakar perlu mempertimbangkan fase ebb maupun fase flow sesuai dengan respons metabolisme yang dialami pasien. Fase ebb ditandai dengan kondisi hipometabolisme, berlangsung dalam beberapa menit sampai dengan 48-72 jam pasca trauma, namun lama berlangsungnya fase ini tidak dapat diketahui secara pasti. Karakteristik fase ini antara lain hipovolemia, gangguan perfusi, penurunan utilisasi oksigen, curah jantung, suhu tubuh, tekanan darah. Sedangkan pada fase flow terjadi hipermetabolisme dan hperkatabolisme sebelum terjadi anabolisme, pada luka bakar fase hiperkatabolisme terjadi lebih lama. ESPEN 2013 merekomendasikan terapi nutrisi diberikan dalam 12 jam pasca luka bakar dan sebaiknya melalui jalur enteral. Pemberian nutrisi enteral dapat dimulai pada keadaan hemodinamik tidak stabil, weaning vasopresor, abdomen supel atau



27



tidak distensi, dan berkurangnya gastric output. Pasien dengan residu lambung rendah (