Askan Kraniotomi. Dari Uni Silvi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA Tn. A DENGAN DIAGNOSA MEDIS ICH, EDH, SAH DILAKUKAN KRANIOTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI DI IBS RSUD KOTA BEKASI Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Praktik Klinik Neuroanestesi Dosen Pembimbing: Abdul Gofur



Disusun Oleh: Silvia (P07120620033)



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA JURUSAN KEPERAWATAN SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI TAHUN 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan asuhan keperawatan anestesi ini dengan baik. Laporan ini penulis susun untuk memenuhi tugas individu Praktik Klinik Neuroanestesi dengan dosen pembimbing Bapak Abdul Gofur. Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan saran serta dukungan dari berbagai pihak. Harapan penulis semoga laporan pendahulan dengan judul “Asuhan Keperawatan Anestesi pada Tn. A dengan Diagnosa Medis ICH, EDH, SAH Dilakukan Kraniotomi dengan General Anestesi di IBS RSUD Kota Bekasi” ini dapat memberikan informasi dan menjadi acuan, petunjuk, serta pedoman kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak agar laporan ini menjadi lebih sempurna.



Bekasi, September 2021 Penulis



i



DAFTAR ISI Kata Pengantar.....................................................................................................................i Daftar Isi..............................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...............................................................................................................1 B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2 C. Tujuan Penulisan...........................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit..................................................................................................3 B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Anestesi ..............................................................27 C. Persiapan Tindakan General Anestesi...........................................................................40 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................................................49



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi tubuh, karena di dalam otak terdapat berbagai pusat kontrol seperti pengendalian fisik, intelektual, emosional, sosial, dan keterampilan. Walaupun otak berada dalam ruang yang tertutup dan terlindungi oleh tulang-tulang yang kuat namun dapat juga mengalami kerusakan. Salah satu penyebab dari kerusakan otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat terganggu (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012). Trauma menjadi penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45 tahun dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks, defisit kognitif psikis intelektual dan lain-lain yang dapat bersifat sementara ataupun menetap. Cedera kepala dapat menimbulkan risiko yang tidak ringan. Risiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan biasanya menyebabkan cacat seumur hidup pada orang yang bertahan hidup. Diantara jenis perdarahan dari cedera kepala, perdarahan subarakhnoid merupakan masalah kesehatan dunia dengan tingkat kematian dan tingkat kecatatan permanen yang tinggi. Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Diperkirakan lebih dari 30 % kasus cedera kepala berakibat fatal sebelum datang ke rumah sakit dan 20 % kasus cedera kepala mengalami komplikasi sekunder seperti iskemia serebral akibat hipoksia dan hipotensi, perdarahan serebral serta edema serebral (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012). Menurut Deem (2006, dalam Tarwoto, 2012) pada keadaan normal otak membutuhkan 30 – 40 % oksigen dari kebutuhan oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak tidak mempunyai cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk akan habis terpakai. Kesimbangan oksigen otak dipengaruhi oleh cerebral blood flow



yang besarnya berkisar 15 – 20 % dari curah jantung (Black & Hawks, dalam Tarwoto, 2012). Dalam penulisan laporan ini penulis membahas tentang kasus cedera kepala yang dilakukan pembedahan kraniotomi dengan teknik generalal anestesi dimana angka kejadian penyakit ini cukup tinggi dan menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas di dunia. B. Rumusan Masalah Bagaimana asuhan keperawatan anestesi pada Tn. A dengan diagnosa medis ICH, EDH, SAH dilakukan kraniotomi dengan general anestesi di IBS RSUD Kota Bekasi? C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Membantu meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa/mahasiswi, tenaga kesehatan dan pembaca tentang manajemen asuhan keperawatan anestesi pada kasus pembedahan kraniotomi dengan general anestesi. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit pada ICH, EDH, dan SAH b. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan anestesi pada pembedahan kraniotomi c. Untuk mengetahui persiapan-persiapan pada tindakan general anestesi dan intubasi ETT



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Penyakit 1. Anatomi Fisiologi a. Anatomi Kepala



Gambar 1. Lapisan kulit kepala 1) Skin atau kulit adalah lapisan yang bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat (Sebacea) (Japardi, 2004:3). 2) Connective tissue atau jaringan subkutis merupakan jaringan ikat lemak yang memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna (Japardi, 2004:3). 3) Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada tiga otot (Japardi, 2004:3), yaitu: a) ke anterior – m. frontalis b) ke posterior – m. occipitslis c) ke lateral – m. temporoparietalis Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N. VII) 4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar adalah lapisan yang mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan mudah menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut Subgaleal hematom, yakni hematoma yang paling sering ditemukan setelah cedera kepala (Japardi, 2004:3). 3



5) Pericranium (perikranium) merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung berhubungan dengan endosteum (yang melapisi permukaan dalam tulang tengkorak) (Japardi, 2004:3). 6) Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat. Pada bagian tengkorak terdiri dari periost (selaput) tulang tengkorak dan durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah dari vena otak. Rongga ini dinamakan sinus vena. Diafragma sellae adalah lipatan berupa cincin dalam duramater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi kelenjar hipofisis. 7) Araknoidea adalah selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral. Otak dan medulla spinalis berada dalam balon yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Di bawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang keluar dari media spinalis. Pada bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal. 8) Piameter adalah selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trebekhel. b. Otak Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai pusat pengatur dari segala kegiatan manusia. Otak terletak di dalam rongga tengkorak. Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengonsumsi 25% oksigen dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian utama otak adalah otak besar (Cerebrum), otak kecil (Cerebellum), dan batang otak.



4



Gambar 2. Anatomi Otak Manusia 1) Otak Besar (Cerebrum) Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari, yaitu berpikir, berbicara, melihat, bergerak, mengingat, dan mendengar. Otak besar dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan belahan kiri. Masing-masing belahan pada otak tersebut disebut hemister. Otak besar belahan kanan mengatur dan mengendalikan kegiatan tubuh sebelah kiri, sedangkan otak belahan kiri mengatur dan mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan (Pearce, 2007). 2) Otak Kecil (Cerebellum) Otak kecil terletak di bagian belakang otak besar, tepatnya di bawah otak besar. Otak terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan luar berwarna kelabu dan lapisan dalam berwarna putih. Otak kecil dibagi menjadi dua bagian, yaitu belahan kiri dan belahan kanan yang dihubungkan oleh jembatan varol. Otak kecil berfungsi sebagai pengatur keseimbangan tubuh dan mengkoordinasikan kerja otot ketika seseorang akan melakukan kegiatan dan pusat keseimbangan tubuh. Otak kecil dibagi tiga daerah yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang. Otak depan meliputi: Hipotalamus, merupakan pusat pengatur suhu, selera makan, keseimbangan cairan tubuh, rasa haus, tingkah laku, kegiatan reproduksi, meregulasi pituitari. Talamus, merupakan pusat pengatur sensori, menerima semua rangsan yang berasal dari sensorik cerebrum. Kelenjar pituitary, sebagai sekresi hormon. Otak tengah dengan bagian atas merupakan lobus optikus yang merupakan pusat refleks mata. Otak belakang, terdiri atas 5



dua bagian yaitu otak kecil dan medulla oblongata. Medula oblongata berfungsi mengatur denyut jantung, tekanan darah, mengatur pernapasan, sekresi ludah, menelan, gerak peristaltik, batuk, dan bersin (Pearce, 2007). 3) Batang Otak Batang otak merupakan struktur pada bagian posterior (belakang) otak. Batang otak merupakan sebutan untuk kesatuan dari tiga struktur yaitu medulla oblongata, pons dan mesencephalon (otak tengah). a) Medula Oblongata Medula oblongata merupakan sumsum lanjutan atau sumsum penghubung, terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan dalam dan luar berwarna kelabu karena banyak mengandung neuron. Lapisan luar berwarna putih, berisi neurit dan dendrit. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan menjulur dari pons sampai medulla spinalis dan terus memanjang. Bagian ini berakhir pada area foramen magnum tengkorak. Pusat medulla adalah nuclei yang berperan dalam pengendalian fungsi seperti frekuensi jantung, tekanan darah, pernapasan, batuk, menelan dan muntah. Nuclei yang merupakan asal syaraf cranial IX, X, XI dan XII terletak di dalam medulla. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengatur reflex fisiologis, seperti kecepatan napas, denyut jantung, suhu tubuh, tekanan, darah, dan kegiatan lain yang tidak disadari (Pearce, 2007). b) Pons Pons terletak di bagian atas dari batang otak, antara medulla oblongata dan talamus, dan dalam banyak hal bertindak sebagai penghubung antara kedua daerah. Pons dibuat terutama dari “materi putih,” yang berbeda, baik secara fungsional dan biologis, dari “abu abu” dari serebral otak, dan umumnya berukuran cukup kecil, sekitar satu inci (2,5 cm) di kebanyakan orang dewasa. Ukuran dan lokasi membuat ide untuk mengendalikan dan mengarahkan banyak sinyal syaraf, yang sebagian besar berhubungan dengan wajah dan sistem pernapasan (Pearce, 2007). Tiga fungsi utama dari pons adalah sebagai jalur untuk mentransfer sinyal antara otak besar dan otak kecil; membantu mengirimkan sinyal syaraf kranial keluar dari otak dan ke wajah dan telinga; dan mengendalikan fungsi yang tidak disadari seperti respirasi dan kesadaran. Meskipun pons adalah bagian kecil dari otak itu adalah salah satu yang 6



sangat penting. Lokasi pons di batang otak, cocok untuk melakukan sinyal masuk dan keluar, dan berfungsi sebagai titik asal bagi banyak saraf kranial yang penting. Kegiatan mengunyah, menelan, bernapas, dan tidur menggunakan pons. Pons juga memainkan peran dalam pendengaran, berfungsi sebagai titik asal untuk empat dari dua belas syaraf kranial utama yaitu: trigeminal yang abdusen, wajah, dan vestibulokoklear. Karena berfungsi sebagai jalur untuk syaraf ini dan membawa sinyal mereka ke korteks utama. Sebagian besar sinyal ini berhubungan dengan fungsi wajah, termasuk gerakan dan sensasi di mata dan telinga (Pearce, 2007). 4) Otak Tengah (Mesensefalon) Otak tengah merupakan penghubung antara otak depan dan otak belakang, bagian otak tengah yang berkembang adalah lobus optikus yang berfungsi sebagai pusat refleksi pupil mata, pengatur gerak bola mata, dan refleksi akomodasi mata. c. Fisiologis Cairan Otak (TIK) Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan relatif di dalam rongga kepala yang dihasilkan oleh keberadaan jaringan otak, cairan serebrospinal (CSS), dan volume darah yang bersirkulasi di otak (Satyanegara, 2014:225). Menurut hipotesa MonroKellie,



adanya



peningkatan



volume



pada



satu



komponen



haruslah



dikompensasikan dengan penurunan volume salah satu dari komponen lainnya. Dengan kata lain, terjadinya peningkatan tekanan intrakranial selalu diakibatkan oleh adanya ketidakseimbangan antara volume intrakranial dengan isi kranium (Krisanty, Paula dkk, 2009:71). Tabel 1. Perbandingan volume komponen penyusun rongga intrakranial Isi



Volume



Volume Total



Otak



1400 ml



80%



Darah



150 ml



10%



Cairan serebro spinal



150 ml



10%



Total



1700 ml



100%



Adanya suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi awal adalah penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara 7



resprokal. Keadaan ini dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows, yang telah dibuktikkan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya masih belum menutup, sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan volume intrakranial). Sistem vena akan menyempit bahkan kolaps dan darah akan diperas keluar melalui vena jugularis atau melaui vena-vena emisaria dan kulit kepala. Kompensasi selanjunya adalah CSS juga akan terdesak melalui foramen magnum ke arah rongga subarachnoid spinalis. Mekanisme kompenasi ini hanya berlangsung sampai batas tertentu yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkim otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi tersebut di atas (Satyanegara, 2014:225). Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan yang patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak 14 otak serta berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan tinggi intrakranial (TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan kedua adalah sebaga akibat proses mekanisme pergeseran otak yang kemudian menimbulkan pergeseran dan herniasi jaringan otak (Satyanegara, 2014:226). 2. Definisi a. Perdarahan Intraserebral (ICH) Perdarahan intraserebral adalah perdarahan parenkim otak akibat pecahnya arteri intraserebral, biasanya karena cedera kepala berat. Ciri khas hematoma intraserebral adalah hilang kesadaran dan nyeri kepala berat jika pasien sadar kembali. Perdarahan intraserebral spontan nontraumatik didefinisikan sebagai ekstravasasi spontan darah ke dalam parenkim otak yang dapat meluas ke ventrikel otak atau pada kasus yang jarang dapat sampai ke ruang subarachnoid. ICH dapat diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. ICH primer terjadi akibat ruptur spontan pembuluh darah kecil yang telah mengalami kerusakan akibat proses hipertensi kronis atau amyloid angiopathy dan kasusnya mencapai sekitar 80% dari semua kasus ICH. ICH sekunder berkaitan dengan adanya abnormalitas pembuluh darah (malformasi arterivena, aneurisma), gangguan koagulasi, dan perdarahan pada tumor otak.



8



b. Perdarahan Epidural (EDH) Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah epidural hematoma (EDH) merupakan salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik (trauma kepala). Epidural hemorrhage (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang epidural, biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun posterior. Bentuknya biasanya lentikuler dan dibatasi oleh garis sutura di mana lapisan perikranial dura melekat ke kranium. Secara klasik, pasien EDH memiliki lucid interval, yakni periode adanya kesadaran yang jernih sebelum terjadinya penurunan kesadaran. Sumber utama perdarahan hematoma epidural adalah rupturnya arteri meningea media. Lokasi perdarahan epidural yang paling sering adalah daerah temporoparietal dan daerah temporal pada 2-5% pasien dapat terjadi bilateral. c. Perdarahan Subaraknoid (SAH) Perdarahan subaraknoid dapat diartikan sebagai proses pecahnya pembuluh darah di ruang yang berada dibawah arakhnoid (subaraknoid). Kejadian ini bervariasi dari 26% hingga 53% pada pasien dengan cedera kepala. Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges). 3. Etiologi a. Perdarahan Intraserebral (ICH) Faktor resiko paling penting dan paling sering untuk ICH adalah hipertensi, yang rata-rata mencapai 60–70% dari semua kasus ICH. Faktor-faktor resiko lain yang



dapat



memicu



timbulnya



ICH



antara



lain



konsumsi



alkohol,



hipokolesterolemia, pemakaian antikoagulan dan antitrombotik, penyalahgunaan obat-obatan seperti kokain, obat-obat simpatomimetik serta genetik tertentu. b. Perdarahan Epidural (EDH) Perdarahan epidural utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur akibat trauma kapitis, tengkorak retak. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau 9



fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak. Beberapa keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. c. Perdarahan Subarakhnoid (SAH) Etiologi yang paling sering menyebabkan perdarahan subarakhnoid adalah ruptur aneurisma salah satu arteri di dasar otak dan adanya malformasi arteriovenosa (MAV). Terdapat beberapa jenis aneurisma yang dapat terbentuk di arteri otak seperti: 1) Aneurisma sakuler (berry), yaitu aneurisma yang terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. 2) Aneurisma fusiformis, yaitu aneurisma yang terjadi pada segmen intrakranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. 3) Aneurisma mikotik, yaitu aneurisma yang umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. 4. Patofisiologi a. Perdarahan Intraserebral (ICH) Patofisiologi dari ICH banyak mengalami perubahan beberapa tahun terakhir ini, dahulu dianggap sebagai suatu kejadian perdarahan yang cepat dan sederhana dan saat ini dipahami sebagai suatu proses yang dinamis dan kompleks. Terdapat dua hal baru yang penting dan dipahami saat ini, yang pertama adalah banyak dari perdarahan tersebut akan terus berkembang dan membesar dalam beberapa jam setelah onset gejala pertama yang dikenal dengan early hematoma growth, hal 10



kedua adalah edema dan cedera otak dapat timbul beberapa hari setelah ICH sebagai akibat proses inflamasi yang disebabkan trombin dan produk akhir dari proses pembekuan (perihematomal injury). Hampir semua kasus menunjukkan adanya ekspansi hematoma dan hal ini disebabkan oleh perdarahan yang masih aktif yang didukung oleh kondisi hipertensi serta defisit koagulasi lokal. Hematoma memicu terjadinya cedera sekunder berupa edema dan cedera otak melalui proses peradangan yang dikenal sebagai cedera otak perihematomal. Edema awal timbul disekitar hematoma terjadi akibat pelepasan dan akumulasi protein dari bekuan darah yang bersifat osmotik. Edema vasogenik dan sitotoksik muncul beberapa hari kemudian akibat disrupsi sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan pelepasan mediator karena adanya kerusakan dan kematian sel. b. Perdarahan Epidural (EDH) Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital. Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum melalui durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan EDH, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis. Tekanan dari herniasi pada sirkulasi arteria yang mengatur formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuklei saraf cranial ketiga (oculomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda Babinsky positif.



11



Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intrakranial antara lain gangguan tandatanda vital dan fungsi pernafasan. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada EDH. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. c. Perdarahan Subaraknoid (SAH) Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior. Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko ruptur menjadi rendah. Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur. 12



Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada aneurisma yang tidak ruptur. Puncak kejadian aneurisma pada SAH terjadi pada dekade keenam kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang ruptur terjadi pada pasien berusia antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas berat. Hampir 50% dari pasien yang memiliki SAH, ketika dianamnesis pasti memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum perdarahan besar. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan. Sekitar 20-25% kembali ruptur dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua hampir 70%. 5. Manifestasi Klinis a. Perdarahan Intraserebral (ICH) Tanda dan gejala klinis dari ICH dapat berupa defisit neurologis yang cepat serta tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial (TIK) seperti nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran. Hampir semua pasien disertai peningkatan tekanan darah dan dapat juga mengalami disautonomia seperti bradikardia, takikardia, hiperventilasi, febris, dan hiperglikemia. Gejala klinis ini biasanya muncul pada 24 jam pertama dan disebabkan oleh kombinasi antara ekspansi perdarahan, edema perihematoma, kejang dan hidrosephalus. b. Perdarahan Epidural (EDH) Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala klinis hematoma epidural yang sering tampak yaitu sebagai berikut. 1) Lucid interval (+), awalnya pasien tidak sadar kemudian sadar dan kembali tidak sadar. 2) Kesadaran makin menurun 3) Late hemiparesis 4) Pupil anisokor 13



5) Refleks Babinski (+) satu sisi 6) Fraktur di daerah temporal 7) Pada saat pasien sadar dapat ditemukan gejala defisit fokal (deserebrasi, kejang, afasia 8) Nyeri kepala progresif 9) Saat pasien kembali tidak sadar sering terjadi spastisitas tungkai bilateral 10) Kadang ditemukan bradikardi (