Atresia Bilier - Ika Aulia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PRESENTASI KASUS ATRESIA BILIER



Disusun oleh: Ika Aulia Kirana 1106007243



Pembimbing: dr. Fatima Safira Alatas, SpA, Ph.D.



MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK DAN REMAJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA Maret 2016



1



SURAT PERNYATAAN



Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.



Jakarta, 4 Maret 2016



Ika Aulia Kirana



2



BAB I PENDAHULUAN Ikterik atau kuning merupakan gejala yang umum ditemui pada bayi. Gejala ini sering dianggap wajar oleh orang tua bahkan petugas kesehatan, sehingga meningkatkan risiko luputnya diagnosis suatu kondisi patologis yang bermanifestasi sebagai ikterik. Salah satu penyebab ikterik ialah kolestasis, berupa hiperbilirubinemia direk. Kolestasis sering terjadi pada neonatus. Etiologi terbanyak dari kolestasis ialah atresia bilier, yakni kondisi obliterasi duktus biliaris yang mengakibatkan terganggunya aliran empedu. Manifestasi penyakit ini selain ikterik ialah BAB dempul, urin teh, dan hepatomegali. Sirosis, asites, gagal tumbuh, dan kerentanan bayi terhadap infeksi merupakan beberapa contoh komplikasi atresia bilier yang jika tidak ditangani dapat bersifat fatal terutama dalam dua tahun pertama kehidupan. Oleh karena itu, diagnosis dan tatalaksana yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk memperbaiki prognosis penyakit ini.



3



BAB II ILUSTRASI KASUS



2.1 Identitas Pasien Nama



: An. FDB



Usia



: 10 bulan



Tempat, tanggal lahir



: Jakarta, 17 April 2015



Jenis kelamin



: Laki-laki



Agama



: Islam



Alamat



: Pangkalan Jati, Jakarta Timur



Nama orang tua



: Ny. DE



Usia orang tua



: 21 tahun



Pekerjaan



: Ibu Rumah Tangga



Pendidikan



: SMK



Agama



: Islam



Suku



: Betawi



Tanggal masuk IGD



: 20 Februari 2016



Tanggal masuk bangsal



: 22 Februari 2016



Ruangan



: Gedung A Lt. 1 Ruang 103 C



2.2 Anamnesis Aloanamnesis dengan ibu dan nenek pasien. 2.2.1



Keluhan Utama BAB cair sejak satu hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS).



2.2.2



Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dibawa ke IGD RSCM dengan keluhan BAB cair sejak satu hari SMRS. Frekuensi BAB lebih dari 10 kali sehari, berwarna kuning pucat seperti dempul, terdapat sedikit ampas, bercampur lendir, tidak ada darah, tidak seperti air cucian beras, volume tidak diketahui. Menurut ibu pasien, saat masuk IGD pasien tampak makin lemas, tetapi tidak terdapat penurunan kesadaran, tidak rewel,masih mau



4



minum susu, mata tidak cekung. Selama di rumah, pasien belum diberi obat untuk BAB cairnya. Saat di IGD, pasien mendapat cairan Resomal. Terdapat pula riwayat demam yang hilang timbul sejak 4 hari SMRS. Demam naik turun, dengan suhu tertinggi 39oC. Demam dirasakan sama saja baik pagi, siang, atau malam. Demam turun setelah diberi obat parasetamol sirup, tetapi kemudian naik kembali. Riwayat muntah, perdarahan, keluar cairan dari telinga atau hidung, rewel saat BAK, BAK sedikit, kemerahan di kulit disangkal. Empat hari SMRS, pasien pasca rawat inap selama 12 hari di RSCM dengan pneumonia. Satu bulan sebelumnya, pasien juga pernah dirawat karena diare dan pneumonia. Sejak satu bulan terakhir, pasien batuk tidak berdahak yang hilang timbul. Batuk tidak disertai darah. Riwayat berkeringat di malam hari dan penurunan berat badan disangkal. Jika batuk bertambah parah, pasien tampak sesak. Sesak tidak disertai bunyi “ngik-ngik”, tidak dipengaruhi perubahan posisi, suhu, atau pajanan debu. Tidak terdapat nafas cuping hidung maupun penarikan dinding dad a yang dalam saat sesak. Selain itu, menurut ibu pasien, pasien mengalami kuning yang memberat sejak usia 10 hari. Pada saat usia 10 hari, ibu menyadari bahwa bagian putih mata pasien tampak kuning, BAB berwarna pucat seperti dempul, dan BAK berwarna cokelat tua seperti teh. Demam, muntah, dan perut buncit saat itu disangkal. Ibu pasien lalu memeriksakan pasien ke dokter, dikatakan normal sehingga hanya perlu dijemur. Namun, kuning tidak menghilang justru bertambah dan meluas dari kepala, badan, hingga seluruh tubuh. Pada usia 2,5 bulan, ibu pasien membawa pasien ke dokter dengan kuning yang memberat, BAB dempul + 2 kali/hari, BAK seperti teh, dan perut yang membuncit. Demam, mual, dan muntah disangkal. Pada pasien dilakukan cek darah, dikatakan bilirubin tinggi dan pasien dicurigai atresia bilier. Pasien kemudian dirujuk ke RSCM, diperiksa darah kembali serta dilakukan USG perut, dikatakan kolestasis. Pada usia 3 bulan, pasien menjalani biopsi hati dan hasilnya dikatakan pasien mengalami sirosis dan atresia bilier. Sejak saat itu pasien rutin kontrol 1 kali/minggu ke RSCM, mendapat Aktavol dan Evion 1 kali sehari, susu Pregistimil, dan direncanakan transplantasi hati tetapi belum terlaksana. Sejak usia 3 bulan, pasien mengalami penurunan berat badan dari 8 kg menjadi 6 kg. Pasien tampak semakin



5



kurus, perut makin membuncit. Pada usia 4 bulan, pasien didiagnosis gizi buruk sehingga operasi transplantasi belum dapat dilaksanakan. Saat diperiksa, pasien dalam perawatan hari ke-10. BAB lembek, frekuensi 3 kali perhari, warna kuning pucat seperti dempul, tidak ada lendir maupun darah.Tidak terdapat batuk, sesak, demam, muntah, atau penurunan kesadaran.



2.2.3



Riwayat Penyakit Dahulu Tidak terdapat penyakit penyakit sebelumnya. Riwayat operasi , asma, alergi disangkal.



2.2.4



Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit kuning, hepatitis, batuk lama, pengobatan TB, asma, alergi dalam keluarga disangkal.



2.2.5



Riwayat Kehamilan Ibu Selama hamil, ibu pasien sempat beberapa kali demam, tetapi membaik dengan paracetamol. Tidak ada riwayat darah tinggi, diabetes, keputihan, kejang, pandangan kabur, maupun perdarahan pada ibu ketika hamil. Ibu rutin kontrol ke dokter kandungan 1x/bulan, USG >3 kali dikatakan ibu dan bayi sehat. Ibu makan 3x/hari, selalu ada sayur dan lauk. Terdapat riwayat mengonsumsi vitamin dan obat penambah darah dari dokter. Riwayat minum jamu-jamuan disangkal.



2.2.6



Riwayat Kelahiran Pasien lahir cukup bulan (36 minggu) secara sesar karena air ketuban ibu sedikit (+ 10 cc). Pasien langsung menangis, tidak biru, tidak kuning, dikatakan sehat. Berat lahir 3.100 gram, panjang lahir 47 cm, lingkar kepala tidak diingat oleh ibu. Setelah lahir, pasien dirawat terpisah dengan ibu selama 4 hari di RS.



2.2.7



Riwayat Imunisasi Imunisasi lengkap hingga usia 9 bulan, pasien belum imunisasi campak.



6



2.2.8



Riwayat Tumbuh Kembang Usia 0-4 bulan, berat badan pasien bertambah. Saat usia 4 bulan, berat badan pasien 8 kg. Ibu pasien rutin membawa pasien ke bidan 1x/bulan, dikatakan pertumbuhan normal. Setelah usia 4 bulan, berat badan pasien tidak bertambah justru menurun, pasien tampak semakin kurus dan dikatakan oleh dokter mengalami gizi buruk. Pada usia 3bulan, pasien dapat tengkurap dan mengangkat kepala. Pasien dapat menggenggam mainan dan mengoceh spontan “mama-nyanya”. Namun, sejak usia 4 bulan, pasien menjadi tidak dapat tengkurap karena perut yang makin membesar Saat ini pasien masih dapat menggenggam benda, tetapi lebih jarang mengoceh. Kontak pasien lebih sering dengan mata, jarang membalas senyuman.



2.2.9



Riwayat Nutrisi



0 – 4 hari



: Susu formula dari RS, frekuensi tidak diketahui oleh ibu.



5 hari – 7 bulan 7 bulan – 10 bulan



Pasien tidak minum ASI karena ASI tidak keluar. : ASI perah, 10-12 x 120 ml/hari, interval 2-3 jam. : Susu Pregistimil®, 8 x120 ml/hari, interval 2-3 jam,



Saat ini



ditambah bubur susu instan + 2-3 x 50 g/hari : Susu Pregistimil® 8x125 ml/hari via NJFT, interval 2-3 jam



2.2.10 Riwayat Sosial-Ekonomi Keluarga Pasien



merupakan anak pertama, tidak memiliki saudara kandung dan tinggal



bersama ibu, nenek serta kakeknya. Ayah pasien tinggal terpisah sejak pasien berusia 2,5 bulan. Ibu pasien tidak bekerja. Riwayat merokok, konsumsi alkohol, dan penggunaan narkoba disangkal oleh ibu pasien. Lingkungan rumah pasien cukup bersih, tidak ada yang merokok di dalam rumah.



7



2.3 Pemeriksaan Fisis (1 Maret 2016)



Keadaan umum : Tampak sakit sedang Kesadaran



: Kompos mentis



Tekanan darah



: Sulit dinilai



Nadi



: 132 kali/menit, regular, isi cukup, sama di keempat ekstremitas



Suhu



: 37,3oC pada aksila



Pernapasan



: 40 kali/menit dengan oksigen nasal kanul 2 lpm, regular, Abdominotorakal, tampak retraksi dinding dada.



Berat badan



: 6,7 kg (dengan asites)



Panjang badan



: 66 cm



Lingkar kepala



: 41,5 cm (mikrosefali)



Lingkar lengan atas



: 9 cm



Status gizi



: Gizi buruk



Kulit



: Ikterik, lemak subkutis tipis, turgor baik, tidak pucat, tidak sianosis



Kepala



: Mikrosefali, tidak ada deformitas



Rambut



: Warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut



Mata



: Konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik (+/+), tidak cekung , refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), gerak bola mata baik, kontak baik, dapat mengikuti benda bergerak.



Telinga



: Normotia, tidak ada sekret, tidak ada serumen, membran timpani sulit diperiksa



Hidung



: Tidak ada nafas cuping hidung, tidak ada deformitas, tidak ada deviasi septum, tidak ada sekret



Mulut



: Mukosa dan lidah tidak kering, tidak ada oral thrush 8



Leher



: Tidak ada pembesaran KGB maupun tiroid, JVP sulit dinilai



Jantung



:



-



Inspeksi



 iktus kordis tidak terlihat



-



Palpasi



 iktus kordis teraba di sela iga 3 linea midklavikula kiri



-



Perkusi



 batas jantung sulit dinilai



-



Auskultasi



 BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop



Paru



:



-



 tidak tampak sesak, terdapat retraksi dinding dada, pergerakan



Inspeksi



dinding dada simetris -



Palpasi



 ekspansi dada simetris, tidak teraba massa



-



Perkusi



 sulit dinilai



-



Auskultasi



 vesikuler (+/+), tidak ada ronki maupun wheezing.



Abdomen



:



-



Inspeksi



 buncit, ada venektasi, tidak ada spider nevy



-



Palpasi



 tegang, hepar teraba 5 cm di bawah arkus costae kanan, lien teraba Schuffner 3



-



Perkusi



 tidak ada shifting dullness



-



Auskultasi



 bising usus (+) 5 x/menit



Ekstremitas



: Akral hangat, CRT < 3detik, tidak ada edema, tampak baggy pants, wasting, refleks biseps 2+/2+, refleks trisep 2+/2+, refleks patella 2+/2+, refleks babinsky -/-



Genitalia & anus : Tidak diperiksa 2.4 Pemeriksaan Penunjang 2.4.1



Laboratorium DPL (29 Februari 2016) Hb



: 7,0 g/dL (10,5-14,0)



Ht



: 21,5 % (32-42)



Eritrosit



: 2,2 juta/uL (3,95-5,26)



MCV



: 97,7 fL (72-88)



MCH



: 31,8 pG (24-30)



MCHC



: 32,6 % (32-36) 9



Trombosit



: 30 ribu/mm3 (150-400)



Leukosit



: 14.330 /mm3 (6-14)



Hitung jenis Neutrofil



: 77,7 % (25-60)



Monosit



: 6,7%



Limfosit



: 15,1 %



Eosinofil



: 0,4 %



Basofil



:0%



Kimia klinik (4 Januari 2016) Bilirubin total



: 9,65 mg/dl



Bilirubin direk



: 7,94 mg/dl



Bilirubin indirek



: 1,71 mg/dl



Gamma-GT



: 349 U/L



ALP



: 493 U/L



Ur/Cr



: 15 / 0,1



SGOT/SGPT



: 118/55



Kimia klinik (29 Februari 2016)



2.4.2



Albumin



: 3,59 g/dl (3,8-5,4)



Na



: 138 mEq/L



K



: 3,32 mEq/L



Cl



: 104,5 mEq/L



Radiologi Foto Toraks AP (4 Februari 2016) Jantung kesan tidak membesar, jantung mengisi 1 mg/dL pada kadar bilirubin total 5 mg/dL; atau bilirubin direk >20% pada kadar bilirubin total >5 mg/dL. Berbeda dengan hiperbilirubinemia indirek yang dapat bersifat fisiologis, kolestasis selalu bersifat patologis. 1 Pada kolestasis, terjadi penurunan aliran empedu akibat gangguan sistem hepatobilier. Berdasarkan etiopatogenesisnya, kolestasis diklasifikasikan menjadi kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik.1 Beberapa etiologi tersering kolestasis neonatal antara lain atresia bilier (35–41%), progressive familial intrahepatic cholestasis (PFIC) (10%), kelahiran preterm (10%), kelainan metabolik dan endokrin (9–17%), sindrom Alagille (2–6%), infeksi (1–9%), mitokondriopati (2%), biliary sludge (2%), dan idiopatik (13–30%).2



Gambar. Klasifikasi kolestasis neonatal intrahepatik dan ekstrahepatik. 1



Gejala klinis yang ditimbulkan oleh kondisi kolestasis ialah ikterik, BAB berwarna pucat seperti dempul, urin berwarna gelap seperti teh, dan hepatomegali. 14



Gambar. Langkah diagnosis kolestasis neonatal2



3.2 Atresia Bilier Definisi, Etiopatogenesis, dan Klasifikasi Penyebab tersering kolestasis neonatal ialah atresia bilier, yang merupakan suatu kolangiopati berupa obliterasi duktus biliaris. Insiden atresia bilier dilaporkan 1:10.000-15.000 kelahiran hidup dan lebih sering terjadi di negara Asia Timur. Etiologi kondisi ini belum diketahui secara pasti, tetapi terdapat hipotesis mengenai berbagai etiopatogenesis kondisi ini. Adanya injuri pada duktus akibat interaksi berbagai faktor risiko seperti infeksi, genetik, dan imunitas, menyebabkan inflamasi pada duktus dan berlanjut menjadi fibrosis.1,3 Terdapat dua tipe atresia bilier berdasarkan waktu munculnya, yakni embrionik dan perinatal. Atresia bilier embrionik (fetal/kongenital) terjadi pada sekitar 10-20% kasus dan disertai dengan malformasi kongenital lainnya, seperti polisplenia, situs inversus, malrotasi intestinal, atau anomali kardiovaskular. Bayi biasanya lahir premature, berat lahir rendah, dan tampak ikterik sejak awal kelahiran. Sementara itu, 80-90% kasus atresia bilier terjadi pada masa perinatal (postnatal/didapat), di mana awalnya terdapat duktus bilier paten tetapi karena suatu proses inflamatorik, terjadi fibrosis yang



15



menyebabkan obliterasi duktus biliaris. Atresia jenis ini tidak disertai malformasi kongenital lainnya. Pada awal kehidupan, biasanya terdapat periode non ikterik, bayi lahir cukup bulan, berat lahir normal, dan tampak sehat. 2,4,5



Gambar 4. Etiopatogenesis atresia bilier4



Secara anatomis, atresia bilier diklasifikasikan menjadi 3 tipe.4 - Tipe 1 (~5%)



: Obliterasi duktus biliaris komunis, kantung empedu terisi.



- Tipe 2 (~3%)



: Obliterasi duktus hepatikus, kantung empedu tidak terisi.



- Tipe 3 (>90%)



: Obliterasi seluruh sistem bilier.



16



Gambar. Tipe atresia bilier berdasarkan lokasi obliterasi 3



Diagnosis1,3 Manifestasi klinis atresia bilier merupakan gejala dan tanda kolestasis, meliputi: - Ikterik yang progresif, terjadi akibat hiperbilirubinemia direk - Feses berwarna pucat seperti dempul (acholic stool), terjadi akibat terhambatnya aliran empedu ke usus sehingga feses tidak terwarnai - Urin berwarna gelap seperti teh, terjadi akibat hiperbilirubinemia - Hepatomegali Selain manifestasi klinis, dalam anamnesis perlu juga ditanyakan mengenai riwayat kehamilan, kelahiran, dan tumbuh kembang. Untuk menegakkan diagnosis atresia bilier, diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain: -



Pemeriksaan laboratorium Bertujuan untuk menilai jenis hiperbilirubinemia, peningkatan gamma glutamil transpeptidase yang khas pada atresia bilier, peningkatan alkali fosfatase, dan peningkatan enzim transaminase untuk mengetahui fungsi



17



hepar.



Selain itu juga untuk mengeksklusi galaktosemia, hepatitis, dan



hipotiroid. -



USG abdomen Pada atresia bilier tampak ukuran kantung empedu yang kecil atau tidak tervisualisasi disertai gambaran triangular cord. Diagnosis banding koledokolitiasis serta perforasi duktus biliaris juga dapat dieksklusi melalui USG.



-



Biopsi hepar (percutaneous liver biopsy) Merupakan gold standard untuk diagnosis atresia bilier. Akan tampak gambaran proliferasi duktus bilier, bile plugs, serta fibrosis dan edema portal atau perilobular, dengan lobus basal hepar yang intak.



Tatalaksana Tabel. Tatalaksana kolestasis1



Prosedur pembedahan standar pada atresia bilier ialah hepatoportoenterostomi dengan metode Kasai yang bertujuan untuk drainase cairan empedu dari hepar. Prosedur ini bukanlah terapi definitif, melainkan untuk meningkatkan prognosis dan survival pasien. Portoenterostomi Kasai memiliki nilai keberhasilan 40-60%, sedangkan sisanya memerlukan transplantasi hati pada 1 tahun pertama kehidupan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kegagalan Kasai ialah usia, atresia bilier tipe III, dan makin kecilnya ukuran duktus bilier.1,3



18



Komplikasi Atresia bilier yang tidak segera terdiagnosis atau ditatalaksana dengan tepat memiliki berbagai komplikasi yang dapat bersifat fatal dalam dua tahun pertama kehidupan.3



Gambar. Komplikasi atresia bilier3



19



BAB IV PEMBAHASAN Atresia bilier merupakan penyebab kolestasis ekstrahepatik tersering pada neonatal yang bermanifestasi sebagai gejala ikterik, acholic stool, choluria, dan hepatomegali.1 Pasien dalam kasus memiliki riwayat kuning progresif sejak usia satu minggu. Ikterik yang menetap dan melebihi dua minggu pertama kehidupan menandakan kondisi patologis, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan pada kadar bilirubin dan jenis bilirubin mana yang meningkat. Selain itu, pasien juga mengalami BAB berwarna pucat seperti dempul, BAK cokelat gelap seperti teh, dan perut yang makin membuncit, yang mengarah pada manifestasi klinis kolestasis. BAB pucat akibat terhambatnya aliran empedu ke usus sehingga feses tidak terwarnai. Sementara BAK seperti teh diakibatkan penumpukan bilirubin dalam darah yang akhirnya dikeluarkan melalui urin. Kolestasis diindikasikan dengan kadar bilirubin direk > 1 mg/dL pada kadar bilirubin total 5 mg/dL; atau bilirubin direk >20% pada kadar bilirubin total >5 mg/dL.1 Berdasarkan ketentuan tersebut, pasien didiagnosis mengalami kolestasis pada usia 2,5 bulan. Kadar bilirubin tidak diketahui. Kadar bilirubin total pasien saat ini 9,65 mg/dLdengan bilirubin direk7,94 mg/dL yang memenuhi kiteria kolestasis. Kadar gamma GT serta alkaline phosphatase juga tinggi pada pasien. Pasien juga diperiksa USG serta biopsi dan didapatkan hasil gambaran asites, obstruksi bilier ekstrahepatik, dan sirosis. Dengan demikian pasien didiagnosis atresia bilier. Pada pasien telah terdapat berbagai komplikasi dari kolestasis neonatal tersebut. Sirosis merupakan komplikasi yang diawali inflamasi progresif pada hepar akibat penumpukan bilirubin. Inflamasi yang terus berlanjut menyebabkan jaringan hepar mengalami fibrosis dan terjadilah sirosis. Hasil laboratorium juga menunjukkan peningkatan SGOT yang mengindikasikan kerusakan hepar. Komplikasi lanjutan dari sirosis ialah hipertensi porta yang dibuktikan dari USG Dopler. Hasil pemeriksaan penunjang lain yang mendukung ialah adanya bisitopenia yang dipikirkan akibat peningkatan aliran darah balik ke limpa, asites, dan varises esofagus.3,4 Komplikasi lain pada pasien ialah kondisi malnutrisi berupa gizi buruk, yang ditandai dengan ukuran lingkar lengan atas 9 cm (