B5 - Penatalaksanaan Komplikasi Pasca Anestesi - 20 Oktober 2020 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ASKAN PRE, INTRA, POST “PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI PASCA ANESTESI” Dosen Pengampu: Niken Anggraeni, S.Tr.Kep Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Praktikum Asuhan Keperawatan Anesetesi Pre, Intra, Post



Disusun oleh Kelompok B5 : Risma Hasanah 1911604106



Febiyati Vika.R 1911604111



Pramudya Wandayani



M. Fadhil Askari1911604112



1911604107



Muhammad Bentara 1911604113



Nabila Nur Amalia 1911604108



Ananda Moh Farid 1911604114



Aprimansyah 1911604109



M.Naufal Parigi 1911604115



Rahma Nafidzah 1911604110



Rizky Hakim 1911604116



PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA 2020



BAB I PENDAHULUAN 1.



LATAR BELAKANG Komplikasi yang sering terjadi setelah tindakan anestesi dan pembedahan adalah nyeri, mual, dan muntah. Post Operative Nausea Vomiting (PONV) adalah mual dan muntah yang terjadi setelah pembedahan dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit (Nileshwar, 2014). PONV dapatmemperlama masa pemulihan pasien, menghambat aktivitas dan berdampak pada membesarnya biaya perawatan yang harus dikeluarkan karena alasan tersebut PONV harus ditangani dengan serius. Mual dan muntah (PONV) dapat terjadi pada 80% pada pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi, keadaan ini menjadi perhatian utama pada perawatan di ruang pemulihan dan menjadi skala prioritas bagi seorang petugas anestesi (Gwinnutt, 2011). Post dural puncture headache (PDPH) atau nyeri kepala pasca-blok lumbal atau blok spinal adalah sakit kepala yang sering berlokasi di daerah frontal dan oksipital, terjadi akibat adanya kebocoran dari cairan serebrospinal melalui lubang di duramater akibat penusukan jarum anestesi. PDPH pertama kali dideskripsikan oleh August Bier tahun 1898 dan didefinisikan sebagai nyeri kepala setelah intervensi terapeutik dan diagnostik ruang epidural atau spinal. Menggigil pasca anestesi atau Post Anesthetic Shivering (PAS) merupakan komplikasi yang dijumpai pasca tindakan anestesi akibat hipotermia. Shivering post operasi disebabkan suhu kamar operasi yang dingin, operasi lebih dari 2 jam, perdarahan lebih dari 20%, penggunaan cairan infus bersuhu ruangan 2 dan efek dari penggunaan obat anestesi (Umah & Wulandari, 2013). Menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Harahap, et al, (2014), disebutkan terdapat 113 orang (87.6%) mengalami hipotermi pasca anestesi di ruang pemulihan.



2.



TUJUAN Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah



Praktikum Asuhan Keperawatan Anesetesi Pre, Intra, Post dan sebagai bahan referensi untuk menambah pengetahuan kepada Mahasiswa tentang penatalaksaan komplikasi pasca anestesi.



3.



RUMUSAN MASALAH 3.1



Apa itu PONV, PDPH, dan Shivering ?



3.2



Apa faktor resiko PONV,PDPH, dan shivering ?



3.3



Bagaimana cara menangani PONV, PDPH, dan Shivering ?



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi PONV, PDPH, dan Shivering 1) Postoperative Nausea and Vomiting (PONV), mual adalah rasa tidak nyaman di perut bagian atas. Muntah adalah dorongan dari dalam perut yang tidak disadari dan pengeluarannya melalui esofagus sampai ke mulut. Muntah biasanya disertai dengan mual tetapi mual tidak selalu menimbulkan muntah. Salah satu efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi adalah mual dan muntah. 2) Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah nyeri kepala yang khas, yang pada umumnya mengenai daerah bifrontal dan occipital yang semakin memburuk pada posisi tegak dan ketegangan. Mual dan muntah juga merupakan gejala yang umum. Nyeri kepala mungkin terjadi pertama kali beberapa jam atau hari setelah penyuntikan dura. 3) Shivering (menggigil) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan spinal anestesi berupa aktivitas otot involunter serta berulang pada satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan post anestesi. Shivering menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, menimbulkan peningkatan laju metabolisme dan intensitas nyeri pada daerah luka akibat tarikan luka operasi (Morgan, Maged,danMichael, 2013).



2.2



Faktor resiko 1) Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) PONV dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : faktor pasien, faktor prosedur dan faktor anestesi.5 Aspirasi paru merupakan komplikasi utama mual dan muntah. Penundaan jadwal operasi disebabkan oleh keadaan pasien yang mengalami mual dan muntah dan harus menjalani rawat inap.



Oleh karena itu, mual dan muntah sangat memprihatinkan sehingga merugikan bagi pasien. Sebagai seorang dokter anestesi harus memahami pengetahuan tentang faktor risiko yang dapat menimbulkan mual dan muntah. Selain memahami juga harus dapat menangani kejadian PONV dengan memberikan terapi antiemetik. -



Faktor pasien 



Umur : infant (5%), anak di bawah 5 tahun (25%), anak 6-16 tahun (42- 51%) dan dewasa (14-40%)







Jenis kelamin : wanita dewasa 3 kali lebih berisiko dibanding lakilaki(kemungkinan disebabkan oleh hormon)







Obesitas : BMI > 30 menyebabkan peningkatan tekanan intra abdominal yang disebabkan karena adanya refluks esofagus yang dapat menyebabkan PONV







Merokok : kejadian PONV lebih berisiko pada pasien yang tidak merokok







Kelainan metabolik (diabetes militus) : akibat waktu penundaan pengosongan lambung dapat menyebabkan terjadinya PONV.







Riwayat mual dan muntah sebelumnya : pasien dengan riwayat PONV sebelumnya memiliki potensi yang lebih baik terhadap kejadian mual dan muntah.







Kecemasan : akibat pasien cemas tanpa disadari udara dapat masuk sehingga dapat menyebabkan distensi lambung yang dapat mengakibatkan PONV



-



Faktor prosedur 



Operasi mata







Operasi THT







Operasi gigi







Operasi payudara







Operasi laparoskopi







Operasi strabismus



Durasi operasi yang lama dapat meningkatkan pemaparan obat-obatan anestesi dalam tubuh sehingga memiliki risiko yang tinggi terhadap



kejadian mual 7 dan muntah pasca operasi. Prosedur pembedahan dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. -



Faktor anestesi 



Premedikasi Pemberian opioid pada pasien dapat meningkatkan kejadian PONV. Reseptor opioid terdapat di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) yang dapat menimbulkan efek GABA meningkat. Akibat



peningkatan



GABA



dapat



menyebabkan



aktifitas



dopaminergik menurun sehingga terjadi pelepasan 5-HT3 di otak. 



Obat anestesi inhalasi Kejadian PONV akibat pemberian obat anestesi inhalasi tetap didasarkan atas lamanya pasien terpapar obatobat anestesi selama menjalani operasi. Tetapi biasanya terjadi dalam beberapa jam pasca operasi.







Obat anestesi intravena Pemberian propofol dapat menurunkan PONV. Walaupun cara kerja propofol belum di ketahui, tetapi sebagian besar menyebutkan bahwa propofol dapat menghambat antagonis dopamin D2 di area postrema.







Regional anestesi Tehnik regional anestesi lebih menguntungkan dibandingkan dengan tehnik general anestesi. Kejadian hipotensi dapat



menyebabkan



batang



otak



iskemik



sehingga



dapat



meningkatkan kejadian PONV. Namun kejadian PONV pada tehnik regional anestesi ini dapat diturunkan dengan pemberian opioid yang bersifat lipofilik. 



Nyeri pasca operasi Mual pasca operasi disebabkan akibat pengosongan lambung yang terjadi karena adanya nyeri. Selain itu perubahan posisi pasien pasca operasi dapat menimbulkan PONV.



2) Post Dural Puncture Headache (PDPH) Insiden terjadi komplikasi nyeri kepala tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum, teknik penusukan yang digunakan. Selain itu nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 – 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah (Finucane, 2007).



Pedoman yang diterbitkan dari American Academy of Neurology telah mendukung penggunaan jarum atraumatik. Pasien faktor risiko demografi meliputi: jenis kelamin perempuan (dua kali lebih sering dari pria); usia (terbesar pada mereka 18-30 tahun dan jauh lebih sedikit pada anak-anak muda dari 13 tahun dan orang dewasa yang lebih tua dari 65); tubuh bagian 6 bawah indeks massa; kronis sebelumnya atau sakit kepala berulang; dan PDPH sebelumnya. Penggunaan jarum Quincke dengan jarum yang lebih besar-diameter dan tip bevel konvensional bisa menjadi kemungkinan PDPH. Namun, jarum kecil berdiameter tidak praktis untuk pungsi lumbal diagnostik karena aliran lambat CSF. Menggunakan jarum Sprotte, terutama pada pasien berisiko tinggi untuk nyeri kepala (muda) akan membuat penurunan dramatis dalam nyeri kepala. 3) Shivering (menggigil) Kejadian shivering post anestesi bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah terpapar dengan suhu lingkungan yang dingin, status fisik ASA, umur, status gizi dan indeks massa tubuh yang rendah, jenis kelamin, lamanya operasi dan jumlah perdarahan. Jumlah perdarahan salah satunya dipengaruhi oleh kadar trombosityang berperan dalam proses pembekuan darah.



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN



3.1



HASIL Bagaimana cara menangani /penatalaksanaan komplikasi pasca anestesi meliputi: a. PDPH b. PONV c. Shivering



3.2



PEMBAHASAN 1) PDPH a) Konservatif Setelah dilakukan eksklusi komplikasi dari sistem saraf pusat dan mengkonfirmasi diagnosis PDPH, penanganan awal yang dapat diberikan untuk 24 jam pertama sampai 48 jam adalah konservatif karena lebih dari 85% PDPH akan membaik dengan terapi konservatif. Penanganan konservatif meliputi tirah baring dengan posisi terlentang akan meningkatkan kenyamanan pasien dan menghindari efek yang memperparah dengan posisi tegak. Namun, dalam penelitian tidak ditemukan tirah banding dapat mencegah PDPH. Berbaring dengan posisi telengkup juga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen, dimana akan mengubah transmisi ke ruang subarahnoid untuk meningkatkan tekanan CSS, tetapi posisi ini tidak nyaman untuk kebanyakan pasien pasca operasi. Selain tirah baring, terapi cairan juga dapat dilakukan ketika terjadi dehidrasi namun tidak ada bukti yang pasti bahwa hidrasi berlebihan itu efektif.



b) Terapi Farmakologi -



Analgetik : analgetik sederhana sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan PDPH. Paracetamol reguler dan non steroid antiinflamasi (NSAID) dapat mengontrol gejala secara adekuat. Opioid juga dapat diberikan namun efek samping mual muntah dari opioid dapat memperparah PDPH. Epidural dan morfin intratekal juga terbukti mencegah PDPH dan mengurangi kebutuhan akan epidural blood patch (EBP). Perlu diketahui bahwa morfin intratekal atau epidural dapat menyebabkan depresi pernapasan yang terjadi beberapa jam setelah injeksi sehingga perlu dilakukan monitoring secara ketat dan bila perlu sediakan noloksin sebagai antagonis opioid.



-



Kafein : kafein pertama kali dilaporkan sebagai pengobatan untuk PDPH pada tahun 1949. Kafein adalah stimulan sistem saraf pusat dan diperkirakan mempengaruhi PDPH dengan menginduksi vasokonstriksi serebral. Dosis dari 75 - 500 mg telah diteliti dan kafein diberikan secara oral, intramuskular dan intravena. Di Inggris yang dilakukan pada tahun 2005 menemukan bahwa 30% unit persalinan memberikan kafein untuk mengobati PDPH dan banyak ahli anestesi obstetrik menganjurkan cairan yang mengandung kafein. Ada bukti yang rendah bahwa kafein memberikan manfaat sementara pada PDPH, namun sebuah tinjauan dari konsensus Amerika baru-baru ini menyimpulkan bahwa kafein bermanfaat bagi PDPH tidak beralasan. Kafein dikaitkan dengan kejadian buruk termasuk aritmia jantung dan kejang ibu. Dalam dosis tinggi (> 300mg) kafein bisa masuk ke ASI dan berpotensi menyebabkan iritabilitas neonatal.



-



Gabapentin : Struktur analog asam gamma-aminobutyric dan modulasi keluarnya eksitasi neurotransmiter berikatan dengan voltage-dependent calcium channels. Gabapentin menurunkan keparahan dari PDPH yang tidak berespon terhadap EBP. Sebagai tambahan menurunkan nyeri, mual dan muntah akan menurun dibandingkan ergotamine tartrate dan kafein. Ero, dkk. melaporkan hasil dari suatu studi acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo



pada 20 pasien PDPH yang diberikan gabapentin 900 mg, 3 kali sehari selama 4 hari yang menunjukkan bahwa skor VAS nyeri secara bermakna lebih rendah pada kelompok terapi gabapentin (p