Bell's Palsy, Referat Saraf [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Bell’s palsy merupakan paresis fasialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui dengan pasti / idiopatik, bersifat akut, dapat terjadi pada semua umur. Paresis nervus fasialis lebih sering terjadi dibanding paresis saraf kranialis lainnya. 75 % dari seluruh lesi nervus fasialis termasuk dalam kelompok ini dimana idiopatik bila setelah dilakukan pemeriksaan lengkap tidak ditemukan tanda-tanda lainnya1,2,3,4 Masih banyak kontroversi teori-teori tentang Bell’s palsy mengenai definisi, etiologi, evaluasi, dan terapinya. Kontroversi yang tajam terlihat pada konsep etiologi, konsep sindrom kompresi N.VII, tindakan bedah dekompresi. Disamping masih didapatkannya laporan bahwa 10% - 15% dari penderita Bell’s palsy belum tersembuh dengan baik.3 Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat ia bercermin atau sikat gigi. Pada ssat penderita menyadari ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya maka timbul rasa takut, malu, tertekan terutama pada wanita, hal ini menggangu dalam kehidupannya.Seringkali timbul perasaan cemas apakah wajahnya dapat kembali atau tidak,1,3 Rehabilitasi medik pada penderita Bell;s palsy diperlukan dengan tujuan membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari. Disamping itu membantu memulihkan keadaan psikologi penderita, sehingga penderita dapat kembali melaksanakan kegiatan sehari-hari.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif, non neoplasmatik, non degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh Sir Charles Bell (1774 – 1842).5,6 Epidemiologi Di Amerika Serikat ditemukan 23 penderita Bell’s palsy pada 100.000 penduduk pertahun ( Hauser dkk )4. Di Indonesia belum ada data yang pasti. Bell’s palsy dapat terjadi pada semua umur dan insiden pada pria dan wanita hampir sama. Pada wanita hamil insiden tidak tinggi tetapi pada penderita DM insiden lebih tinggi dan tidak terdapat perbedaan insiden antara musim panas maupun dingin.4 Sering ditemukan adanya riwayat terekspose udara dingin atau angin berlebihan.7 Anatomi Nervus Fasialis5,7,8 Nervus fasialis sebenarnya adalah saraf motorik, tetapi dalam perjalanannya ketepi, nervus intermedius bergabung. Nervus intermedius tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian lidah ke nukleus traktus solitarius. Inti motorik nervus fasialis terletak di bagian ventrolateral tegmentum pontis bagian kaudal. Inti ini dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu kelompok dorsal dan ventral. Kelompok dorsal inti nervus fasialis mensarafi otot-otot frontalis, zygomatikus, belahan atas orbikulasi okuli dan bagian atas otot wajah. Inti ini mempunyai inervasi kortikal secara bilateral. Kelompok ventral inti nervus fasialis mensarafi otot-otot belahan bawah



2



orbikulasi okuli, otot wajah bagian bawah dan platisma. Inti ini mempunyai hubungan hanya dengan korteks motorik sisi kontralateral. Akar nervus fasialis menuju ke dorsomedial kemudian melingkari inti nervus abdusens dan setelah itu berbelok ke ventrolateral kembali untuk meninggalkan permukaan lateral pons. Disitu ia berdampingan dengan nervus intermedius dan nervus oktavus. Mereka bertiga memasuki meatus akustikus internus untuk melanjutkan perjalannya di dalam liang os petrosum yang dikenal sebagai kanalis fasialis. Sekeluarnya itu nervus fasialis merupakan berkas saraf yang mengandung serabut somatomotorik, viseromotorik dan sensorik khusus. Kedua serabut tambahan itu diperoleh dari ganglion genikuli. Cabang pertama yang dikeluarkan oleh nervus fasialis setibanya di kavum timpani ialah nervus stapedius. Cabang kedua ialah khorda timpani. Sebelum berkas induk membelok ke belakang memasuki os mastoideum, khorda timpani memisahkan dirinya untuk menuju ke depan. Melalui tepi atas membrana timpani ia berjalan ke depan dan di fosa pterigoidea ia bergabung dengan nervus lingualis. Induk berkas yang terdiri dari serabut somatomotorik dan viseromotorik meneruskan perjalanannya ke dalam os mastoideum dan keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoideum. Dari situ berjalan ke depan untuk bercabang-cabang. Sebelum melintas glandula parotis nervus fasialis memberikan cabang aurikular untuk otot-otot telinga dan cabang untuk otot stilohioid dan venter posterior digastrikus. Nervus fasialis yang melintas jaringan glandula parotis bercang-cabang lagi untuk mensarafi seluruh otot wajah. Adapun otot-otot tersebut mempunyai arti klinis penting ialah; otot Frontalis yang berfungsi mengangkat alis, mengerutkan dahi, otot Corrugator Supercilii yang berfungsi menggerakkan kedua alis mata ke medial bawah sehingga terbentuk kerutan vertikal diantara kedua alis, otot Procerus yang berfungsi mengangkat tepi lateral cuping hidung sehingga terbentuk kerutan diagonal sepanjang pangkal hidung, otot Nasalis yang berfungsi melebarkan/ mengembangkan cupung hidung, otot Orbicularis Oculi yang berfungsi menutup mata / memejamkan mata, otot Orbicularis Oris yang berfungsi menggerakkan mulut/ mencucu/ bersiul/ mengecup., otot levator labii superioris yang berfungsi untuk mengangkat bibir atas dan melebarkan lubang hidung, otot levator anguli oris yang berfungsi untuk mengangkat sudut mulut, otot



3



Zygomatikus Minor yang berfungsi untuk memoncongkan bibir atas, otot Zygomatikus Mayor yang berfungsi untuk gerakan tersenyum, otot Risorius yang berfungsi untuk gerakan meringis, otot Businator berfungsi untuk gerakan meniup dengan kedua bibir dirapatkan, otot Levator Mentalis yang berfungsi mengangkat dan menjulurkan bibir bawah, otot Depresor Anguli Oris dan Platysma untuk menarik sudut mulut ke bawah dengan kuat akan tampak kontraksi otot platysma terutama di daerah leher.



Gambar 1 : Distribusi nervus fasialis



4



Gambar 2 : Skema otot-otot dan inervasinya2



5



Gambar 3: Skema otot-otot yang dipersarafi N.VII 11



6



Etiologi Masih adanya kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu:1,3 1.Teori iskemik vaskuler Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan sirkulasi darahnya di kanalis fasialis. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan saraf perifer, terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah yang mengaliri saraf tersebut, tidak karena akibat tekanan langsung pada sarafnya. Dan juga mungkin terdapat respons simpatis yang berlebihan sehingga terjadi spasme arteriolar dan stasis vena pada bagian bawah kanalis fasialis yang kemudian menimbulkan edema , sehingga menambah kompresi terhadap supai darah dan menambah iskemi. 2. Teori Infeksi Virus. Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV). Bell’s palsy terjadi karena proses reaktivasi dai herpes simplex. HSV tipe 1 sesudah suatu infeksi akut primer dalam jangka waktu yang cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion sensorik. Reaktivasi ini dapat terjadi jika daya tahan tubuh menurun sehingga terjadi neuritis / neuropati dengan proses inflamasi, edema kemudian terjadi sekunder , gangguan vaskuler yang akhirnya menimbulkan degenerasi lebih lanjut di nervus fasialis perifer. Tetapi teori ini masih diragukan kebenarannya karena pada pemeriksaan mikroskopis dari nervus fasialis penderita Bell’s palsy, baik dari mereka yang sudah meninggal maupun yang masih hidup memperlihatkan adanya edema dan gangguan vaskuler tanpa adanya gambaran inflamasi. 3. Teori Herediter. Bell’s palsy terjadi mungkin karena fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. 4.Teori Immunologi Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi immunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya .



7



Patofisiologi1,3 Adapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah proses edema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus fasialis. Pulec memandang Bell’s palsy sebagai suatu sindroma kompresi saraf fasialis. Stennert mengemukakan patomekanismenya sebagai berikut: Gangguan atau kerusakan pertama adalah endothelium dari kapiler menjadi edema dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi edema pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gangguan aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan



hadirnya enzim proteolitik, terbentuknya peptida-peptida toksik dan



pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nucleus dan lysosome. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang permanen. Stennert menambahkan satu tingkat baru dalam klasifikasi kerusakan saraf yaitu neurodyspraxia pada tingkat dimana terjadi disfungsi metabolik, sebagai tingkat mula sebelum tingkat lainnya. Pada tingkat ini hanya didapatkan gangguan fungsional neurit akibat gangguan metabolisme dari sel-sel Schwann. Stadium ini reversible dan dapat dikoreksi melalui perbaikan sirkulasi. Tingkat kerusakan nervus fasialis pada Bell’s palsy dapat dilihat dari klasifikasi Sunderland, yaitu: Tingkat 1,2,3 sama dengan neuropraxia, axonotmesis dan neurotmesis dari Seddon Tingkat 4: neurometsis dan distrupsi perinerium ( partial transaction ). Tingkat 5: kondisi tingkat 4 dan distrupsi epineurium ( total transaction ) Pada Bell’s palsy sebagian kerusakan hanya sampai tingkat 1 dan 2. Gambaran klinis1,5,6,7 Biasanya timbul secara mendadak, penderita mengetahui sesisi wajahnya mengalami kelumpuhan pada waktu bangun pagi, berkaca, sikat gigi, berkumur atau diberitahukan oleh teman bahwa salah satu sudut mulutnya lebih rendah. Tetapi dapat juga berkembang perlahan-lahan, yang biasanya maksimum 5 hari. Umumnya unilateral dan jarang sekali



8



bilateral. Biasanya awalnya dapat didahului dengan rasa nyeri dibelakang telinga. Gambaran kllinis dapat berupa: hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena maka ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura palpebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh memejamkan mata maka kelopak mata pada sisi yang terkena akan tetap terbuka dan terlihat bola mata berputar ke atas. Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Pada waktu bernafas maka pipi sisi lumpuh akan menggembung, hal ini disebabkan karena kelumpuhan dari otot bucinator, disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benarbenar bersifat Bell’s palsy. Diagnosis Diagnosis kelumpuhan nervus fasialis dapat ditegakkan atas dasar anamnesa yang cermat dan beberapa pemeriksaan untuk menentukan lokalisasi lesi dan derajat kerusakan saraf. Anamnesa - Lamanya gejala - Rasa nyeri, biasanya di belakang telinga. - Gangguan atau kehilangan pengecapan - Riwayat pekerjaan, aktivitas yang dilakukan pada malam hari,diruang terbuka - Riwayat penyakit yang pernah diderita seperti DM, ISPA, Otitis, Herpes. Pemeriksaan8 -Pemeriksaan neurologis ditemukan paresis n.VII tipe perifer. -Otot-otot yang sering diperiksa pada Bell;s palsy adalah Frontalis, Corrugator, Supercilii, Orbicularis Oculi, Nasalis, Zygomaticus Mayor, Orbicularis Oris dan mental. -Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal



9



1. Mengerutkan dahi 2. Memejamkan mata 3. Mengembangkan cuping hidung 4. Tersenyum. 5. Bersiul. 6. Mengencangkan kedua bibir. Metode penilaian kekuatan otot fasialis8, ada beberapa metode penilaian kekuatan otot fasialis : * The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery * Skala Daniel& Worthingham and Modifeid MMT * Skala UGO FISCH * Metode Adour- Swanson * Skala Wisconsin * Linear Measurement Index. Di Divisi Rehabilitasi Medik RS.Dr Kariadi Semarang memakai skala Ugo Fisch untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bell’s palsy. Skala Ugo Fisch Dinilai kondisi simetris - asimetris antara sisi sakit dengan sisi sehat pada 5 posisi Posisi



Point



Presentasi %



Score



0,30,70,100 Istirahat



20



Mengerutkan dahi



10



Menutup mata



30



Tersenyum



30



Bersiul



10 Total



Penilaian persentase:



10



0 % : Asimetris komplit,tidak ada gerakan volunteer 30 % : Simetris : poor / jelek, kesembuhan yang ada, lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal. 70 % : Simetris: fair / cukup, kesembuhan parsial yang lebih cenderung ke arah normal. 100%: Simetris : normal / komplit. Tes- tes yang dapat dilakukan 1. Tes lakrimasi: Schirmer tes Berkurangnya airmata menunjukkan level lesi trans atau supra genikulatum. Maka Selain gangguan lakrimasi juga terdapat gangguan pada semua cabang distal dari ganglion genikulatum. 2. Tes fungsi pengecapan lidah 2/3 depan Gangguan rasa pengecapan menunjukkan level lesi di dan proksimal dari cabang chorda tympani. 3. Pemeriksaan sekresi kelenjar ludah submaksilaris. Untuk mengetahui fungsi chorda tympani dan dianggap lebih objektif Saliva bagian sakit x 100% Saliva bagian sehat Kriteria Blatt > 40%



: dapat diharapkan sembuh sempurna



25 - 40%



: tiap minggu diperiksa ulang dan bila dalam 3 minggu tidak mencapai > 40% atau malah turun maka diperlukan tindakan operasi.



11 - 25%



: tiap minggu periksa ulang dan bila dalam 2 minggu tidak mencapai 40% perlu tindakan operasi.



Elektrodiagnostik3,9



11



Elektrodiagnostik untuk Bell’s palsy masih kontroversi, berkaitan dengan prognosa yang dihubungkan dengan perlu tidaknya tindakan bedah dekompresi nervus fasialis pada Bell’s palsy. Untuk menentukan ada tidaknya degenerasi saraf dapat dilakukan pemeriksaan: 1. Nerve Excitability Test ( NET ) Dimana kedua nervus dirangsang sehingga terjadi kontraksi otot muka. Bila terdapat perbedaan intensitas melebihi 2 mA maka dapat dipastikan adanya degenerasi saraf. Pemeriksaan ini bisa mendeteksi degenerasi sesudah 3 hari terjadi Bell’s palsy. 2. Nerve Conduction Velocity Test ( NCV ). Stimulator diletakkan tepat dibawah telinga, anterior dan mastoid ( daerah tragus ), bila terjadi neuropraksia maka latensi tidak berbeda. Adanya perbedaan kiri dan kanan menunjukkan adanya degenerasi dan ini dapat dideteksi sesudah 7 hari terjadi Bell’s palsy. 3. Electromyography Adanya gambaran fibrilasi. Tetapi gelombang ini hanya dapat muncul setelah hari ke 14. Umumnya 4 otot fasialis siperiksa untuk 1x pemeriksaan EMG, tetapi terkadang 1 atau 2 otot saja sudah cukup untuk mewakili gambaran kondisi adanya denervasi. 4. Blink Reflex Test Merupakan suatu multifaceted reflex yang menyangkut komponen neural N.V dan N.VII. Blink reflex dapat ditimbulkan dengan mengetuk dapat ditimbulkan dengan mengetuk glabella didahi maupun dengan memberi stimulasi listirk pada saraf supraorbitalis pada foramen supraorbitalis. Refleks tersebut adalah hasil kontraksi otot orbicularis oculi sehubungan dengan aktifitas reflektoris motorneuron N.VII. 5. Penetapan ratio amplitude EMAP antara sisi sakit dan sisi sehat = EEMG ( Evoked Electromyography). Diperlukan dalam mengambil



keputusan tindakan bedah kompresi N.VII



pada Bell’s palsy, bagaimana deteksi dini derajat denervasi, sehingga kasus yang sukar untuk sembuh dengan baik secara alamiah maupun dengan terapi



12



konservatif dapat segera direncanakan untuk tindakan bedah. Yang mungkin dapat menjawabnya adalah elekromiografi dengan mencatat ratio amplitude evoked muscle action potensial (EMAP) sisi sakit / sisi sehat dari otot-otot fasialis, sehingga mendapatkan ratio dalam %. Ratio ini dianggap menunjukkan sisa dari serabut saraf motorik yang masih normal dari masing-masing otot tersebut. Van Harreved (1945), Weiss & Edds (1946), berkesimpulan bahwa terjadinya sprouting dimulai setelah 2 minggu lesi. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya



secara nyata respons kontraksi otot dengan denervasi atas



stimulasi listrik mulai saat itu. Pemeriksaan EEMG dilakukan hari ke 6 setelah onset, karena sampai hari ke 5 masih dapat terlihat respons motor pada stimulasi distal dari level lesi. 6. Galvanisasi dan Faradisasi Reaksi listrik dari saraf dan otot yang paresis menandakan perjalanan dari Bell’s palsy. Degenerasi Wallerian, jika terjadi memerlukan paling sedikit 18 hari untuk menjadi total. Pada banyak kasus degenerasi Wallerian tidak terjadi, degenerasi Wallerian dimanisfetasikan dengan peningkatan fungsional sebelum hari ke 18.



Diagnosis Klinis Ditegakkan dengan adanya paresis N.VII perifer dan bukan sentral. Umumnya unilateral.



Diagnosis Topik



13



Letak lesi



Kelainan



Gangguan



Gangguan



Hiposekresi



Hiposekresi Motorik



Pengecapan



Pendengaran



Saliva



Lakrimalis



Pons- miatus akusti cus internus



+



+



+



+



+



+



+



+



+



+



+



+



+



+



-



+



+



-



+



-



+



-



-



-



-



Miatus akusticus internus – ganglion geniculatum Ganglion geniculatumn. Stapedius. n.Stapedius – Chorda tympani Chorda tympani – Sekitar foramen Stilomastoideum. Diagnosis Etiologi1,3,4,5 Sampai saat ini etiologi Bell’s palsy yang jelas tidak diketahui. Maka dari itu untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan yang dapat menyingkirkan penyakitpenyakit lain. Pemeriksaan ini antara lain: - Pemeriksaan telinga dan audiometri. Untuk mrnyingkirkan kemungkinan adanya infeksi telinga tengah dan kolestestoma. - Pemeriksaan neurologi dengan penekanan pada kelainan saraf-saraf kranialis. - Pemeriksaan X foto os temporalis dan mastoid. Untuk melihat kemungkinan infeksi mastoid dan fraktur os temporalis. - Pemeriksaan gula darah. - Pemeriksaan jumlah lekosit - Pemeriksaan torak foto dan laju endap darah. - Pemeriksaan cairan serebro spinal. - Pemerikssan titer virus dalam darah. Diagnosis Banding1,7,10 14



Bell’s palsy harus dibedakan dengan keadaan – keadaan atau penyakit lain yang dapat menyebabkan paresis fasialis perifer, antara lain: - Herpes Zoster Oticus - Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis - Diabetes Melitus. - Idiopathic Infantile hypercalcemia - Koleateatoma - Sarkoidosis. - Trauma - Thiammine Deficiency. Prognosis4,7 Terjadinya sembuh spontan pada 75% - 90% dalam beberapa minggu atau dalam 1 atau 2 bulan. Otot fasial bagian atas lebih cepat pemulihannya. Pemulihan pengecepan mendahului pemulihan fungsi motorik, jika terjadi pada minggu I ini menandakan prognosa yang baik. Jika pemulihan otot fasialis sebelum hari ke 18 maka pasti penyembuhannya total atau mendekati total. !0 – 15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen. Testing saraf dan otot dengan arus galvan dan faradic kira-kira 2 minggu onset mempunyai nilai diagnosa. Bila terjadi partial RD pada waktu ini menandakan hasil fair atau poor pada 10 -15% kasus dan bila terjadi komplit RD menandakan hasil poor pada 40-45% kasus.



Komplikasi



15



1. Crocodile phenomenon Keluarnya air mata pada ssat penderita makan. Ini timbul beberapa bulan dari onset Bell’s palsy, ini karena regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju kelenjar lakrimalis.Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.1,6,7,11 Synkinesis Penyebabnya innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambungan dengan serabut-serabut oto yang salah. Bila ssat penderita menggerakkan satu bagian wajah maka semua otot wajah pada sisi yang lumpuh menjadi kontraksi.1,7 Hemifasial spasm Timbul tick / kedutan pada wajah dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal mengenai 1 sisi wajah tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme. Muncul dalam beberapa bulan atau ½ tahun kemudian.1,7,10 Kontraktur dari otot wajah Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah relaks tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.7 Terapi1,3,7 1.Golongan kortikosteroid Pemakaian kortikosteroid



masih kontroversi, tetapi banyak dipakai. Menurut



penelitian Devriese dkk,1990 : tidak ada kesimpulan yang signifikan bahwa steroid efektif sebagai terapi Bell’s palsy. 2.Campuran kortison + Dextran dan pentoxifylline Menurut laporan Stennert 1981: 94% sembuh sempurna tetapi menurut laporan penelitian Benz,1990: bukan hanya tidak efektif melainkan menunjukkan hasil yang kurang dibandingkan dengan hasil kesembuhan secara alamiah. 3.Acyclovir



16



Pemakaian acyclovir dengan alasan bahwa etiologi Bell’s palsy sebagai infeksi virus, ini masih kontroversi. Marsh mengatakan bahwa terapi dengan steroid, acyclovir, colloid dan ganglioside belum terbukti efektif untuk merubah natural course dari Bell’s palsy. 4.Nervus fasialis pada region foramen stylomastoid diblok dengan xylocain atau carbocaine. Terapi operatif1 Tindakan bedah dekompresi masih banyak kontroversi mengenai ini. Indikasi menurut May, 1979: 1. Produksi air mata berkurang jadi < 25 % 2. Aliran saliva berkurang jadi < 25 % 3. Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sisi sakit berbeda 2,5 mA



BAB III



17



REHABILITASI MEDIK PADA PENDERITA BELL’S PALSY



Sebelum kita membahas mengenai rehabilitasi medik pada Bell’s palsy maka akan dibicarakan mengenai rehabilitasi medik secara umum. Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan guna mengurangi dampak keadaan cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan penyandang cacat mencapai intergitas sosial. Semua program rehabilitasi komprehensif baru dikatakan berhasil baik bila program mengandung 4 unsur yaitu:11 1. Pemulihan kondisi fisik 2. Pemulihan kondisi psikologi 3. Latihan pravokasional dan pengalaman kerja singkat guna membantu penderita mengembalikan kepercayaan dirinya 4. Resosialisasi. Tujuan rehabilitasi adalah:11 - Meniadakan keadaan cacat bila mungkin. - Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin. - Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan bekerja dengan apa yang tinggal padanya. Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan efesien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari: 1. Dokter Merupakan ketua tim, melakukan pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium yang dianggap perlu, menentukan diagnosa, membuat program rehabilitasi medik. 2. Perawat Rehabilitasi Medik Mengadakan perawatan dan evaluasi tentang perawatan yang diperlukan bagi penderita. 3. Fisioterapis



18



Melakukan pemerikasaan kekuatan otot, luas gerak sendi, berbagai macam latihan dan pengobatan dengan menggunakan berbagai sarana fisik. 4. Okupasi terapi Melakukan berbagai macam latihan yang biasanya dengan aktivitas permainan, aktivitas kerja dengan tujuan agar penderita dapat melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan kembali ke pekerjaannya. 5. Ortotis prostetis Mengadakan evaluasi pengadaan alat-alat ortotik dan prostetik sesuai dengan keadaan cacatnya. 6. Ahli Wicara Membantu penderita dengan gangguan komunikasi baik berupa dysatria, gagap atau afasia. 7. Psikolog. Melakukan psikoanalisa, memberi support mental dan motivasi pada penderita agar membantu melaksanakan program rehabilitasi yang telah direncanakan, selain itu juga melakukan tes IQ dan psikotes lainnya. 8. Petugas sosial medik Mengadakan evaluasi sosial, keadaan rumahnya pekerjaannya, keadaannya rumahnya, pekerjaannya, pendidikannya, keadaan ekonomi, penyesuaian diri dengan masyarakat dan sebagainya. Sesuai dengan konsep Rehabilitasi Medik yaitu usaha gabungan terpadu dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan Rehabilitasi Medik pada Bell’s Palsy adalah untuk mengurangi parese/ mecegah parese menjadi bertambah, disamping untuk membantu mengatasi problem sosial/ psikologi, sehingga penderita tetap dapat melaksanakan kegiatan sehari- hari.3



Program Fisioterapi



19



* Pemanasan a. Pemanasan superfisial berupa: Infra Red11,12,13,14 Dimana panas yang ditimbulkan karena absorpsi dari energi yang dipancarkan dengan kecepatan 3 x 10



8



m/detik dan panjang gelombang 770 – 1500 nanometer dengan



penetrasi 5 – 10 mm. Tujuan pemberian pemanasan superfisial: - Meningkatkam aliran darah supefisial. - Merelaksasikan spasme otot superfisial. - Mengurangi nyeri. Caranya: - Pemberian pada daerah muka dan belakang telinga sisi yang lumpuh. - Mata ditutup dengan kapas atau kain kasa yang tebal dan basah. - Jika memakai kontaks lens maka kontak lens harus dibuka. - Perhiasan didaerah yang diterapi harus dilepas. - Penderita diberitahu bahwa ia hanya merasakan rasa hangat yang nyaman bukan panas. Jika tersa panas segera perlebar jarak lampu. - Jarak lampu dan kulit sekitar 45 – 60 cm. - Lama terapi 15- 30 menit. Kontra indikasi: - Hilangnya sensasi termal - Insufiensi vaskuler - Perdarahan - Karsinoma Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy12,13 Merupakan modalitas yang menghasilkan pemanasan dalam dengan cara konversi dari spektrum elektromagnetik untuk energi panas. Frekwensi tinggi 27.12 MHZ dengan panjang gelombang 11 m. Absorpsi tertinggi di jaringan yang rendah kadar airnya. Tujuan pemberian Shortwave diathermy:



20



- Membantu resolusi inflamasi. - Mengurangi nyeri. - Menambah vaskularisasi - Merangsang relaksasi otot - Mengurangi edema dan eksudasi Cara: - Pemberian pada daerah tulang mastoid - Jika memakai kontak lens harus dilepas - Semua logam dan perhiasan didaerah terapi harus dilepas. - Penderita diberitahu bahwa ia hanya merasakan rasa hangat yang nyaman. - Jarak aplikator dari kulit 2 cm. - Lama terapi 20 menit. Kontra indikasi: - Hilangnya sensasi kulit - Thrombus dari vena - Insufisiensi arterial - Perdarahan. - Logam - Kehamilan, neoplasma - TBC. Microwave Diathermy12,13 Bentuk lain dari energi elektromagnetik yang menggunakan konversi sebagai sumber panas. Energi panas dihasilkan dari peningkatan energi kinetik dari molekul- molekul didalam medan microwave. Absorpsi tertinggi di jaringan yang tinggi kadar airnya misalnya otot, kulit, dll. Tujuan: - Meningkatkan sirkulasi - Meninggikan nilai ambang nyeri di ujung-ujung saraf - Mengurangi spasme otot Cara:



21



- Pemberian pada daerah tulang mastoid - Mata ditutup dengan kaca mata pelindung - Jika memakai kontaks lens harus dilepas - Semua logam dan perhiasan didaerah terapi harus dilepas. - Penderita diberitahu bahwa ia hanya merasakan rasa hangat - Jarak aplikator dari kulit 2 cm. - Lama terapi 20 menit. Kontra indikasi : - Hilangnya sensasi kulit - Keadaan iskemik. - Perdarahan, neoplasma dan TBC - Logam ( perhiasan, pacu jantung, implant, IUD ) - Kehamilan. Stimulasi Listrik13,14,15 Tujuan pemberian stimulasi listrik adalah menstimulasi otot untuk mencegah/ memperlambat terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi, dan memperkuat otot yang masih lemah setelah proses regenerasi saraf selesai. Yang distimulasi adalah otot-otot fasial yang terkena, minimal otot Frontalis, Currugator Supercilli, Orbicularis Oculi, Nasallis, Zygomaticus Mayor, Orbicularis Oris. Galvanisasi - Arus galvan merupakan arus searah - Dapat diberikan pada otot yang denervasi. Tujuan: - Menstimulasi otot sehinggga timbul kontraksi otot dengan tujuan penguatan atau mempertahankan kekuatan otot, memperbaiki vaskularisasi dan pada kondisi denervasi untuk memperlambat terjadinya atrofi, menguji otot akan adanya reinervasi dan mencegah kontraktur. Perubahan kimia yang terjadi pada tingkat seluler dan jaringan, merubah pH kulit yang berada dibawah elektroda menimbulkan vasodilatasi yang kemudian secara tidak langsung meningkatkan aliran darah arterial ke kulit.



22



Cara: - Dapat diberikan 1 minggu setelah onset. - Satu elektroda diletakkan di belakang telinga sisi yang lumpuh sedang elektroda yang lain diletakkan berpindah- pindah pada otot wajah. - Di beri rangsangan 30 impuls permenit, pada masing-masing titik. - Dosis: kontraksi 90x/ otot/ hari - Dosis dihentikan bila timbul kontraksi yang dipengaruhi kemauan Faradisasi13,14,15 Arus faradik merupakan arus bolak balik Faradisasi diberikan pada otot yang suplai sarafnya masih intak Tujuan pemberian faradisasi adalah untuk: - Menstimulasi otot - Reedukasi dari aksi otot - Melatih fungsi otot baru - Meningkatkan sirkulasi. - Mencegah/ meregangkan perlengketan Cara: - Diberikan 2 minggu setelah onset. - Satu elektroda diletakkan di belakang telinga sisi yang lumpuh sedang elektrode yang lain diletakkan berpindah – pindah pada otot wajah. - Diberikan rangsangan ½ - 2 mA diberikan sampai 30 impuls per menit, pada masingmasing titik. - Dosis : 90x/ otot/ hari. - Dosis dihentikan bila timbul kontraksi yang dipengaruhi kemauan.



Latihan otot-otot wajah dan massage wajah Massage wajah.7,18



23



- Massage adalah manipulasi sistemik dari jaringan tubuh dengan maksud untuk perbaikan atau pemulihan. Pada fase akut Bell’s palsy diberikan gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus otot. - Massage daerah wajah dibagi 4 area: dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas. - Lamanya 5 - 10 menit dapat dilakukan 2x/ hari.



Gambar 4: Massage otot-otot wajah Latihsn gerak volunter otot wajah. - Latihan ini diberikan setelah stadium akut.



24



- Latihan didepan kaca dengan konsentrasi penuh ; mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/ meniup.



Gambar 5: Latihan gerak volunter otot wajah Gerakan latihan otot fasial yang harus dihindari:3 - Membuka mulut lebar



25



- Menggerakkan bibir bawah/ rahang bawah ke kanan dan ke kiri. - Menggerakkan bola mata keatas/ kebawah, kelateral dan medial - Tertawa lebar - Menggembungkan pipi dengan mulut tertutup Program Okupasi Terapi Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita,jangan sampai melelahkan penderita. Bentuk latihan yang diberikan: - Latihan berkumur - Latihan minum dengan menggunakan sedotan - Latihan meniup lilin. - Latihan menutup mata dan mengerutkan dahi didepan cermin Program Sosial Medik Penderita Bell’s palsy terutama yang wanita sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial. Problem sosial yang timbul biasanya berhubungan dengan tempat bekerja dan biaya. Petugas Sosial Medik dapat membantu mengatasi dengan: - Menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. - Untuk biaya dapat dibantu dengan mungkin mencarikan fasilitas kesehatan di tempat bekerja. - Memberikan penyuluhan bahwa kerja sama penderita dengan petugas yang merawat sanngat penting untuk kesembuhan penderita.



Program Psikologi



26



Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol rasa cemas sering menyertai penderita, takut apakah kelumpuhan tersebut dapat kembali apa tidak, terutama pada penderita muda atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum terutama pada wanita maka bantuan seorang psikolog sangat diperlukan. Informasi yang benar, hubungan dokter- penderitaterapis yang baik akan mengurangi kebutuhan pendekatan psikoterapi ini. Program Ortotik Prostetik Dapat dilakukan pemasangan ‘Y’ plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit tidak jatuh dan mecegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese. Dianjurkan plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan adanya reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Home program - Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit. - Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi muka yang sehat. - Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang lemah, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet. - Perawatan mata : * Diberi tetes mata 3x sehari * Memakai kacamata gelap sewaktu berpergian siang hari. * Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur.



Laporan Kasus Bell’s palsy



27



Identitas Penderita: Nama



: Ny. M



Umur



: 46 tahun



Alamat



: Jl. Tanjung Mas Utara, Kebonharjo Semarang



Pekerjaan



: Karyawati



Agama



: Islam



No.CM



: B.240533



Asal



: Poli Saraf (157 )



Tanggal



: 14-4-2004



Anamnesis Keluhan utama: mulut merot/ tertarik kekanan. Riwayat Penyakit Sekarang: Kurang lebih 10 hari ini penderita mengeluh mulut merot kekanan dan mata sebelah kiri tidak bisa menutup dengan rapat. Sebelumnya penderita tidak habis dari perjalanan jauh, tidak tidur di lantai. Ditempat kerja penderita memakai kipas angin terus menerus. Sebelumnya tidak ada riwayat sakit gigi, telinga maupun trauma. Penderita mengeluh sebelumnya belakang telinga terasa sakit, tetapi sekarang sudah tidak keluhan. Penderita masih merasakan rasa asin, manis dan bila makan, makanan sering terkumpul disisi sebelah kiri dan bila kumur-kumur waktu sikat gigi sering bocor. Selama penderita tidak pernah berobat ke dokter, hanya penderita pernah pijat sebanyak 3 x, karena tidak ada perubahan kemudian penderita berobat ke RSDK. Riwayat Penyakit Dahulu: Penderita tidak pernah sakit telinga, trauma/ kecelakaan, sakit cacar air, sakit gigi. Hipertensi (-). DM (-).



Riwayat Sosial Ekonomi



28



Penderita bekerja sebagai karyawan swasta. Suami juga bekerja sebagai karyawan swasta, Anak 3 orang ( 23 th, 21 th, 16 th) semua masih dalam tanggungan. Biaya pengobatan ditanggung Jamsostek. Pemeriksaan Fisik Kesadaran : CM, kontak baik, pengertian baik. TD: 120/80 mmHg. HR: 80x/menit RR:20x/menit. Status Internus : dalam batas normal Status Neurologis: Nn Kraniales I-XII dalam batas normal, kecuali N.VII kiri tipe perifer N.VII : Kerut dahi



(+) / (-)



Menutup mata



(+) / (-)



Angkat sudut bibir (+) / (-) Tersenyum



(+) / (-)



Pengecapan rasa manis,asin (+) normal. Motorik: Superior dan Inferior : dalam batas normal. Sensorik: dalam batas normal Vegetatif : dalam batas normal Skala Ugo Fisch Score: Istirahat



: 20 x 70 % = 14.



Angkat alis



: 10 x 0 % = 0.



Menutup mata



: 30 x 70 % = 21.



Tersenyum



: 30 x 30 % = 9.



Bersiul



: 10 x 70 % = 7. Total



= 51



Diagnosis: Diagnosis klinis



: Bell’s palsy Sinistra hari ke 10.



Diagnosis topik



: Sekitar foramen stilomastiodeum.



Diagnosis etiologi : Idiopatik. Terapi Medikamentosa:



29



- Golongan kortikosteroid - Neurotropik. Program Rehabilitasi Medik : 1. Fisioterapi Evaluasi : - Kontak (+), pengertian baik - Mulut tertarik ke kanan sejak 10 hari yang lalu. - Mata kiri tidak bisa menutup rapat. - Untuk makan, makanan masih mengumpul disisi kiri, angkat alis belum bisa, berkumur masih bocor, bersiul belum bisa. Program : - Infra Red 15 menit wajah kiri dan Massage wajah. - Faradisasi setelah hari ke 14. - Latihan gerak volunter otot wajah kiri dengan memakai cermin 2. Okupasi terapi Evaluasi



: Kontak (+), pengertian baik, angkat alis (-), menutup mata kurang rapat, mulut tertarik ke kanan, bersiul (-), makanan terkumpul disisi kiri, berkumur masih bocor.



Program



: Latihan penguatan otot-otot wajah kiri, dengan latihan menutup mata, mengerutkan dahi, meniup lilin, tersenyum, meringis, berkumur dengan aktifitas.



3. Psikologi Evaluasi



: Kontak (+), pengertian baik, penderita merasa malu. Kemauan untuk sembuh besar.



Program



: Memberikan support mental supaya penderita tidak merasa malu dengan penyakitnya dan agar penderita rajin menjalankan program rehabilitasi dan home program yang diberikan kerena penyakitnya akan sembuh.



4. Ortotik Prostetik Evaluasi : wajah tidak simetris, mulut merot ke kanan Program : Diberikan Y plester. 5. Sosial Medik



30



Evaluasi : Penderita bekerja sebagai karyawati, suami juga bekerja swasta, Mempunyai anak 3 orang yang masih dalam tanggungan. Biaya pengobatan ditanggung Jamsostek. Program : Saat ini belum diperlukan 6. Terapi Wicara: Evaluasi : Kontak baik, pengertian baik, artikulasi baik, gangguan dalm berbicara tidak ada. Program : Saat ini tidak diperlukan. Evaluasi: Skala Ugo Fisch 20-4-2004



27-4-2004



Istirahat



20 x 70% = 14



20 x 100% = 20



Angkat alis



10 x 70% = 7



10 x 100% =10



Menutup mata



30 x 70% = 21



30 x 100% = 30



Tersenyum



30 x 70% = 21



30 x 70 % = 21



Bersiul



10 x 70% = 7



10 x 70 % = 7



= 70



= 88



Total Home program: - Kompres hangat pada wajah kiri. - Massage wajah kiri kearah atas.



- Latihan meniup lilin dengan jarak semakin dijauhkan. - Pakai kacamata hitam sewaktu bepergian. - Pada waktu akan tidur mata ditutup dengan kassa/ kain basah.



31



DAFTAR PUSTAKA 1. Jimmi Sabirin. Bell’s palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan gerak. Cetakan I Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,1990: 171-181. 2. Soepriyadi. Dekompresi Saraf Fasialis Perifer pada Ball’s Palsy. Dalam: Thamrinsyam dkk. Bell’s palsy. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR,1991: 21-28. 3. Thamrimsyam. Beberapa Kontroversi Bell’s Palsy. Dalam: Thamrimsyam dkk. Bell’s palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR, 1991: 1-7. 4. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the cranial nerves. In: Principles of Neurology; 5th ed. New York: Mc Graw Hill, 1994: 1174 -1175. 5. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologis. Edisi ke 2. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1985: 311 – 317. 6. Walton S.J. Diseases of nervous system; 9th ed English: ELBS, 1985: 113- 116. 7. Haymaker W, Kuhlenbeck H. Disorders of the Brainstem and its cranial nerves. In : Clinical Neurology; vol 3 Philadelphia: Harper & Row,1981: 28-40. 8. Thamrimsyam. Penelian derajat kekuatan otot fasialis. Dalam : Thamrimsyam dkk. Bell’s palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR, 1991: 31-49. 9. Thamrimsyam. Elektrodiagnosa untuk penilaian prognosa dini Bell’s palsy. Dalam : Thamrimsyam dkk. Bell’s palsy. Surabaya: Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR, 1991: 51-63. 10. Chusid J.G.neuroanatomi korelatif dan neurology fungsional. Gajah Mada University Press, 1983: 174-178. 11. Kendall F.P, McCreary E.K. Muscle Testing and Function; 3 th ed. Baltimore: Williams & Wilkins,1983: 235-248. 12. Moestari O. Falsafah dan Upaya Pelayanan Rehabilitasi Medik .Dalam: Thamrimsyam H, Satori DW. Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi. Edisi I. Surabaya: Rehabilitasi Medik RSUD Dr.Soetomo/ Fk UNAIR, 1992: 1-8.



32



13. Michlovitz. Thermal Agent in Rehabilitation, 2 th ed. Manila: C & E publishing Co, 1990: 100-103. 14. Weber D.C, Brown A.W. Physical Agent Modalitas. In Braddom et all ed. Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia: WB Sauders, 1990: 449-461. 15. Thamrimsyam H. Terapi fisiatrik. Dalam: Thamrimsyam H, Satori DW. Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi. Edisi I. Surabaya: Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Soetomo/ FK UNAIR,1992: 9-15 16. Alon G. Principles of Electrical Stimulation. In: Nelson RM, Currier DP. Clinical Electrotheraphy. California: Appleton & Lange, 1978: 45 - 47. 17. Sidharta P. Neurologis Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1979: 403 – 404. 18. Reyes T.M, Reyer O.B.L Hydrotherapi, massage, manipulation and traction. Volume 2 Phillippines: U.S T Printing Office, !977: 78-84,210.



33