10 0 494 KB
LAPORAN KASUS POST HERPETIC NEURALGIA (PHN)
Disusun Oleh: Athika Herni Ramadhona 030.09.033
Pembimbing: dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF RSUD CILEGON PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2014
0
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan KaruniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini yang berjudul “Post Herpetic Neuralgia”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum daerah Cilegon. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Mukhdiar Kasim, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini, dan teman dari Trisakti maupun Yarsi yang turut membantu memberikan ide dan masukan pada pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah berikutnya. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
Cilegon, 2 September 2014
Penulis
1
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. S
Jenis Kelamin
: Laki - laki
Umur
: 63 tahun
Alamat
: Kp. Pedali RT 02 RW 01
Pekerjaan
: Pensiunan
Pendidikan
: D3
Agama
: Islam
Status Pernikahan
: Menikah
II. ANAMNESIS Dilakukan autoanamnesis di Poli Penyakit Saraf pada tanggal 21 Agustus 2014 A. Keluhan Utama Nyeri seperti ditusuk – tusuk sejak kurang lebih tiga bulan yang lalu. B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke polikilinik saraf RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri pada wajah sebelah kanan kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti ditusuk – tusuk. Nyeri juga disertai dengan rasa terbakar, perih, dan sedikit gatal. Nyeri semakin terasa bila wajahnya disentuh. Nyeri yang dirasakan hanya pada wajah sebelah kanan dekat dengan hidung dan mulut tetapi tidak menjalar. Pasien juga terkadang seperti merasa kebas pada sudut mulut bagian kanan dan bagian kanan lidahnya. Pasien mengatakan bahwa nyeri yang dialaminya cukup mengganggu aktivitas sehari – hari. Selain itu, pasien juga merasa sakit kepala namun hanya di bagian kanan saja. Keluhan demam disangkal. Batuk disangkal. Pasien mengatakan 3 bulan lalu pernah berobat ke poli kulit dengan diagnosis herpes zoster dan telah mendapat pengobatan selama seminggu lebih dan dinyatakan sembuh. Nyeri yang dirasakan
2
sejak timbulnya herpes zoster belum hilang sampai sekarang walaupun pasien telah rutin minum obat rutin dari poli saraf. C. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah menderita cacar air ketika usia mudanya. Riwayat DM dan hipertensi disangkal pasien. Riwayat alergi disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga : Dalam keluarga tidak ada yang mengalami hal yang sama dengan pasien. Riwayat DM, hipertensi, dan alergi dalam keluarga disangkal pasien. Riwayat Kebiasaan : Kebiasaan merokok, minum alkohol, kopi disangkal pasien. III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan dilakukan pada Tanggal 21 Agustus pada pukul 11.00 WIB. A. STATUS GENERALIS Keadaan umum : tampak sakit ringan Kesadaran : Compos mentis Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mmHg Frekuensi Nadi : 84x/menit Frekuensi Nafas : 18x/menit Suhu : 36,5⁰C
Kepala Mata Telinga Hidung Mulut Tenggorok Leher Thorax Jantung Inspeksi Palpasi
: normocephali : pupil isokor, CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+ : simetris, serumen -/-, hiperemis -/: bentuk normal, septum deviasi (-), sekret -/: mukosa tidak hiperemis, oral hygiene baik : faring hiperemis (-), uvula ditengah, tonsil T1-T1 : KGB dan tiroid tidak teraba membesar : Simetris saat statis dan dinamis
: pulsasi ictus cordis tidak tampak : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra Perkusi : Batas kanan jantung: ICS V linea sternalis dextra Batas kiri jantung : ICS V linea midclavicula sinistra Pinggang jantung: ICS III linea parasternalis sinistra Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi
: simetris saat statis dan dinamis
3
Palpasi : vocal fremitus dextra dan sinistra simetris Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultas : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Ektremitas Atas Bawah
: datar, benjolan (-), ruam kulit (-) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar : timpani : bising usus (+) normal : akral hangat +/+, edema -/: akral hangat +/+, edema -/-
B. STATUS NEUROLOGIS GCS : E4V5M6 (15) Tanda rangsang meningeal Kaku kuduk : (-) Laseque : (-) Kernig : (-)
Saraf Kranialis 1. N. I (Olfactorius) Tidak dilakukan pemeriksaan 2. N. II (Opticus) Acies visus 3. Lapang Pandang Pengenalan Warna Funduskopi
Kanan Baik Baik
Kiri Baik Baik
Keterangan Normal Normal Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N .
III (Oculomotorius), N. IV (Trochlearis, N. VI (Abduscens)
Kedudukan Bola Mata Pergerakan Bola Mata Nasal (Medial) Temporal (Lateral) Nasal atas Temporal atas Temporal bawah Ptosis Eksoftalmus Pupil Bentuk Diameter (isokor/anisokor) RCL RCTL
Kanan Ortoforia
Kiri Ortoforia
Keterangan Normal
Baik Baik Baik Baik Baik (-) (-)
Baik Baik Baik Baik Baik (-) (-)
Normal Normal Normal Normal Normal (-) (-)
Bulat Ø 3mm isokor (+) (+)
Bulat Ø 3mm isokor (+) (+)
Normal Normal Normal Normal
4
4. N. V (Trigeminus) Cabang Motorik Cabang Sensorik Oftalmikus Maxilla Mandibularis Refleks Kornea
Kanan Baik
Kiri Baik
Keterangan Normal
Baik Nyeri Baik
Baik Baik Baik
Normal Asimetris Normal Tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Keterangan
Baik
Baik
Normal
Baik Baik Baik Baik
Baik Baik Baik Baik
Normal Normal Normal Normal
5. N. VII (Facialis) Motorik Menutup Mata Mengangkat alis Mengerutkan dahi Sudut mulut Lipatan nasolabial Sensorik 2/3 pengecapan lidah
Tidak dilakukan
6. N. VIII (Vestibulocochlearis) Tidak dilakukan pemeriksaan 7. N. IX (Glossopharyngeus) Arcus Faring Refleks Muntah
Kanan Baik
Kiri Baik
Keterangan Normal Tidak dilakukan
Kanan Baik Baik
Kiri Baik Baik
Keterangan Normal Normal
8. N. X (Vagus) Bicara Menelan 9. N. XI (Accesorius) Mengangkat Bahu Memalingkan Kepala
Kanan (+) (+)
Kiri (+) (+)
Keterangan Normal Normal
10. N. XII (Hipoglossus)
5
Kanan Baik (-) (-) (-)
Pergerakan lidah Tremor Atrofi Fasikulasi
Kiri Baik (-) (-) (-)
Keterangan Simetris Normal Normal Normal
Sistem Motorik Tonus Normal Kekuatan : Ekstremitas Atas (Proksimal-Distal) Ekstremitas Bawah (Proksimal-Distal)
Normal 5555 5555
5555 5555
Sistem Sensorik Raba
Kanan (+) wajah
Kiri (++) wajah
Keterangan Asimetris (pada
kanan bagian
kanan bagian
ekstremitas
maxilla
maxilla
normal)
(+++) wajah
(++) wajah
Asimetris (pada
kanan bagian
kanan bagian
ekstremitas
maxilla
maxilla
normal)
(+)
Tidak dilakukan Normal
Nyeri
Suhu Proprioseptif
(+) Refleks Fisiologis Biseps Triseps KPR APR Patologis Hoffman-Tromner Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Schaefer Gonda
Kanan
Kiri
Keterangan
(+) (+) (+) (+)
(+) (+) (+) (+)
Normal Normal Normal Normal
(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
(-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)
Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
6
Fungsi Koordinasi Tes Telunjuk Hidung Tes Tumit Lutut Stepping Gait Tandem Gait Rhomberg
Kanan (-) (-) (-) (-) (-)
Kiri (-) (-) (-) (-) (-)
Keterangan Normal Normal Normal Normal Normal
Sistem Otonom Miksi : Baik Defekasi : Baik Fungsi Luhur : tidak ada kelainan IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan pemeriksaan
7
V. RESUME Pasien datang ke polikilinik saraf RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri pada wajah sebelah kanan kurang lebih sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti ditusuk – tusuk. Nyeri juga disertai dengan rasa terbakar, perih, dan sedikit gatal. Nyeri semakin terasa bila wajahnya disentuh. Nyeri yang dirasakan hanya pada wajah sebelah kanan dekat dengan hidung dan mulut tetapi tidak menjalar. Pasien juga terkadang seperti merasa kebas pada sudut mulut bagian kanan dan bagian kanan lidahnya. Pasien mengatakan bahwa nyeri yang dialaminya cukup mengganggu aktivitas sehari – hari. Selain itu, pasien juga merasa sakit kepala namun hanya di bagian kanan saja. Keluhan demam (-). Batuk (-). Pasien mengatakan 3 bulan lalu pernah berobat ke poli kulit dengan diagnosis herpes zoster dan telah mendapat pengobatan selama seminggu lebih dan dinyatakan sembuh. Nyeri yang dirasakan sejak timbulnya herpes zoster belum hilang sampai sekarang walaupun pasien telah rutin minum obat rutin dari poli saraf. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien sakit ringan, kesadaran compos mentis. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 84x/menit, laju nafas 18x/menit, suhu 36,5⁰C. Status generalis pasien dalam batas normal. Pada status neurologis, ditemukan keadaan pasien sebagai berikut : GCS : E4 V5 M6 = 15 Pupil : bulat isokor, Ø3mm/Ø3mm, RCL +/+, RCTL +/+ TRM : Kaku kuduk (-), Laseque (-), Kernig (-) Nervus cranialis : Nyeri pada N.V cabang Maxillaris Cabang Motorik Cabang Sensorik Oftalmikus Maxilla Mandibularis Refleks Kornea
Kanan Baik
Kiri Baik
Keterangan Normal
Baik Nyeri Baik
Baik Baik Baik
Normal Asimetris Normal Tidak dilakukan
Motorik
fisiologis Ekstremitas atas
: 5555 5555
5555 5555
Refleks
: biseps Triseps
+/+ +/+
Ekstremitas bawah : patella
+/+
Achilles
+/+
8
Refleks
patologis : Negatif : Rasa raba menurun dan rasa nyeri meningkat pada daerah maxilla wajah kanan. Pada extremitas dalam batas normal : BAB dan BAK Normal
Sensorik
SSO
VI. DIAGNOSIS KERJA Diagnosis Klinis Diagnosis Topis Diagnosis Etiologis
: Neuralgia pada N. V cabang Maxillaris dextra : Ganglion kornu dorsalis saraf tepi : Virus Varicella Zoster
VII. PENATALAKSANAAN Medikamentosa: Tab Tramadol 4 x 50mg / hari Caps Pregabalin 4 x 50mg / hari Tab Amitriptilin 3 x 25mg / hari Caps Mecobalamin 3 x 500mcg / hari Non-medikamentosa Diet gizi tinggi terutama makanan yang mengandung vitamin (buah dan
sayur) Sebagai terapi tambahan dapat dilakukan terapi akupuntur dan TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)
VIII. PROGNOSIS Ad Vitam : Ad bonam Ad Functionam : Ad bonam Ad Sanationam : Dubia ad bonam
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1 PENDAHULUAN Post herpetic neuralgia didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat penyembuhan ruam, terjadi sekitar 9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1 Herpes Zoster dikenal pula sebagai ‘shingles’ dapat menginfeksi sistem saraf dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai post herpetic neuralgia / neuralgia paska herpes. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2 Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita HIV.2
10
II. 2 DEFINISI Nyeri post herpetikum (Neuralgia Post Herpetik = NPH / Post Herpetic Neuralgia = PHN) merupakan nyeri persisten yang muncul setelah ruam Herpes Zoster telah sembuh (biasanya dalam 1 bulan). Nyeri ini terjadi disepanjang serabut saraf yang mengikuti pola ruam segmental dari Herpes Zoster.3 Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi. Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering digunakan adalah definisi menurut Dworkin. Sesuai dengan definisi sebelumnya maka The International Association for Study of Pain (IASP) menggolongkan neuralgia post herpetika sebagai nyeri kronik yaitu nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga bulan tanpa adanya malignitas.4 NPH umumnya didefinisikan sebagai nyeri yang timbul lebih dari 3 bulan setelah onset (gejala awal) erupsi zoster terjadi. Nyeri umumnya diekspresikan sebagai sensasi terbakar (burning) atau tertusuk-tusuk (shooting) atau gatal (itching). Nyeri ini juga dihubungkan dengan gejala yang lebih berat lagi seperti disestesia, parestesia, hiperstesia, allodinia dan hiperalgesia. Pada pasien dengan NPH, biasanya terjadi perubahan fungsi sensorik pada area yang terkena. II. 3 EPIDEMIOLOGI Insiden bervariasi berdasarkan umur dan status imunologis, dari range 0,4 hingga 1,6 kasus per 1.000 populasi normal pada usia dibawah 20 tahun, dan 4,5 hingga 11 kasus per 1.000 populasi normal pada usia 80 tahun atau lebih. Sebuah penelitian di Islandia menunjukkan bahwa variasi resiko PNH ini dihubungkan
11
dengan kelompok umur tertentu. Dari sampel penelitian didapatkan bahwa tidak ada sampel yang berusia dibawah 50 tahun dilaporkan menderita nyeri hebat, dan pasien yang berumur lebih dari 60 tahun dilaporkan mengalami nyeri yang lebih hebat : 6% 1 bulan setelah onset dan sebanyak 4% 3 bulan setelah onset.6 Resiko serangan kedua sama tingginya dengan resiko yang terjadi pada serangan yang pertama. Angka kejadiannya beberapa kali lebih tinggi pada orang dewasa penderita infeksi HIV atau pada pasien penderita keganasan dan 50 hingga 100 kali lebih tinggi pada anak-anak dengan Leukemia dibandingkan dengan orangorang sehat dengan usia yang sama. Resiko nyeri post herpetik meningkat sesuai pertambahan umur. Insidens nyeri post herpetik meningkat pada pasien-pasien dengan Ophtalmic Zoster dan kemungkinan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria.7
II. 4 ETIOLOGI Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1 Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.
Gambar 1. Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.
Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada
12
kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic neuralgia).2 II. 5 PATOGENESIS Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varicella atau cacar air. Pajanan pertama biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui sistem respiratorik. Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.3,8,9 Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di selsel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion body’.3,8,9
13
Gambar 2 : Patologi Herpes Zoster9
Neuralgia Post Herpetik memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut. NPH, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan akibat virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali atau mengalami reaktivasi, bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.10,11 Mekanisme terjadinya neuralgia pasca herpetika dapat berlainan pada setiap individu sehingga manifestasi
nyeri yang berhubungan dengan neuralgia
pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
14
Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.8,9 Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.12
Gambar 3 : Desensitasi dan Deaferenisasi12
Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.12
15
Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-hidroksi-5-metil-4isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.10,12
16
Gambar 4 : Mekanisme Sensitisasi Sentral dan Perifer 13 Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.3,11 II. 6 MANIFESTASI KLINIS Tanda khas dari herpes zooster pada fase prodromal adalah nyeri dan parasthesia pada daerah dermatom yang terkena. Dworkin membagi neuralgia post herpetik ke dalam tiga fase:10,13 1. Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu 2. Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan 3. Neuralgia post herpetik: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Pada umumnya penderita dengan herpes zoster berkunjung ke dokter ahli penyakit kulit oleh karena terdapatnya gelembung-gelembung herpesnya. Keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai
17
mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.10,13 Penyakit ini dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.10,13 Pada masa gelembung –gelembung herpes menjadi kering, orang sakit mulai menderita karena nyeri hebat yang yang dirasakan pada daerah kulit yang terkena. Nyeri hebat itu bersifat neuralgik. Di mana nyeri ini sangat panas dan tajam, sifat nyeri neuralgik ini menyerupai nyeri neuralgik idiopatik, terutama dalam hal serangannya yaitu tiap serangan muncul secara tiba – tiba dan tiap serangan terdiri dari sekelompok serangan – serangan kecil dan besar. Orang sakit dengan keluhan sakit kepala di belakang atau di atas telinga dan tidak enak badan. Tetapi bila penderita datang sebelum gelembung – gelembung herpes timbul, untuk meramalkan bahwa nanti akan muncul herpes adalah sulit sekali. Bedanya dengan neuralgia trigeminus idiopatik ialah adanya gejala defisit sensorik. Dan fenomena paradoksal inilah yang menjadi ciri khas dari neuralgia post herpatik, yaitu anestesia pada tempat – tempat bekas herpes tetapi pada timbulnya serangan neuralgia, justru tempat –tempat bekas herpes yang anestetik itu yang dirasakan sebagai tempat yang paling nyeri. Neuralgia post herpatik sering terjadi di wajah dan kepala. Jika terdapat di dahi dinamakan neuralgia postherpatikum oftalmikum dan yang di daun telinga neuralgia postherpatikum otikum.10,13 Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa
18
demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.10,13 II. 7 DIAGNOSIS a. Anamnesis Nyeri erupsi vesikuler sesuai dengan area dermatom merupakan gejala tipikal herpes zoster. Seiring dengan terjadinya resolusi pada erupsi kulit, nyeri yang timbul berlanjut hingga 3 bulan atau lebih, atau yang dikenal sebagai nyeri post herpetik. Nyeri ini sering digambarkan sebagai rasa terbakar, tertusuktusuk, gatal atau tersengat listrik.5,9,14 b. Pemeriksaan Fisik5,9,14 1. Nyeri kepala, yang timbul sebagai respon dari viremia 2. Munculnya area kemerahan pada kulit 2-3 hari setelahnya
19
3. Daerah terinfeksi herpes zoster sebelumnya mungkin terdapat skar kutaneus 4. Sensasi yang ditimbulkan dapat berupa hipersensitivitas terhadap sentuhan maupun suhu, yang sering misdiagnosis sebagai miositis, pleuritik, maupun iskemia jantung, serta rasa gatal dan baal yang misdiagnosis sebagai urtikaria 5. Muncul blister yang berisi pus, yang akan menjadi krusta (2-3 minggu kemudian) 6. Krusta yang sembuh dan menghilangnya rasa gatal, namun nyeri yang muncul tidak hilang dan menetap sesuai distribusi saraf (3-4 minggu setelahnya). 7. Alodinia, yang ditimbulkan oleh stimulus non-noxius, seperti sentuhan ringan 8. Perubahan pada fungsi anatomi, seperti meningkatnya keringat pada area yang terkena nyeri ini. c. Pemeriksaan Penujang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: 5,9,14 1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya. 2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus 3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus 4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus. 5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi. 6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster 7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis. II. 8 PENATALAKSANAAN Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.5 a. Terapi farmakologis:5 1. Antivirus Intensitas dan durasi erupsi kutaneus serta nyeri akut pada herpes zoster yang timbul akibat dari replikasi virus dapat dikurangi dengan pemberian asiklovir, Valacyclovir, Famciclovir. Asiklovir diberikan dengan dosis anjuran 5 x 800
20
mg/hari selama 7 – 10 hari diberikan pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Efek samping yang dapat ditemukan dalam penggunaan obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala, diare, pusing, lemah, anoreksia, edema, dan radang tenggorokan. 2. Analgesik Terapi sistemik umumnya bersifat simptomatik, untuk nyerinya diberikan analgetik. Jika diserta infeksi sekunder deberikan antibiotic. Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis tramadol dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari. 1,22. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. 3. Anti konvulsan Mekanisme kerja obat antikonvulsan ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik. Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Dosis yang dianjurkan sebesar 1800-3600 mg/d . Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan. Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary
21
afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas. 4. Anti depressan Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% pasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. dengan pemberian tricyclic antidepressant seperti amiitriptyline dengan dosis, 25-150 mg/d secara oral. Obat ini akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan phenitiazine. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin. Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya. 5. Terapi topikal Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltagegated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik
22
dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua. Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satusatunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya (1/3 pasien pada uji klinik ini). b. Terapi non farmakologis5 1. Akupunktur Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis. 2. TENS (stimulasi saraf elektris transkutan) Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis. 3. Vaksin Penggunaan vaksin untuk mencegah timbulnya Neuralgia Postherpertika pada orang lanjut usia yaitu umur 60 tahun keatas dengan dosis 1 ml diberikan secara sub kutan ternyata efektif. Dari 107 orang yang menderita neuralgia post herpetika kemudian diberikan vaksin ternyata dapat mereduksi nyeri yang ditimbulkan hingga 66,5 %.
II. 9 PRGONOSIS Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik.1,2
23
Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2 Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.1,2 BAB III PENUTUP Nyeri Post Herpetikum adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster. Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus Varicella
yang berdiam di dalam jaringan saraf.
NPH dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya
ruam
pada
kulit),
neuralgia
herpetik
subakut
(30-120
hari
setelah timbulnya ruam pada kulit) dan NPH (rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit). NPH lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Ketika telah berumur tua, terutama pada usia 60 tahun ke atas, atau dalam keadaan imunokmpromise maka virus herpes ini akan mengalami reaktivasi. NPH terjadi oleh karena cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Manifestasi klinis yang sering di jumpai adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ini tidak terlalu berarti, cukup dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosa penyakit ini sudah dapat ditegakkan. Prognosisnya tidak buruk, pada umumnya dapat sembuh dengan terapi yang teratur.
24
DAFTAR PUSTAKA 1.
Meliala L. Neuralgia Pasca Herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan
2.
penatalaksanaan. Kelompok studi nyeri Perdossi 2001. Martin. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008
available
from:
http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php? 3.
view=article&catid=43%3Apaper&id Aminoff M, Francois B, Dick F. Postherpetic Neuralgia; dalam Handbook of Clinical Neurology. Editor: C Peter. Volume 81. Edisi 3. 2006. Canada:
4.
Elsevier. p654-674. Dubinsky R, et al. Practice Parameter: Treatment of Postherpetic Neuralgia.
5.
2004. American Academy of Neurology. p959-965. Alvin W. Postherpetic Neuralgia; dalam Medscape Reference. Editor: Robert
6.
A. 2012. Kost R, Stephen E. Postherpetic Neuralgia: Pathogenesis, Treatment, and
7.
Prevention. 1996. The New England Journal of Medicine. p32-40. Roxas M. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Volume 11. 2006. Alternative Medicine Review.
8.
p102-111. Turk D, Ronald M. Handbook of Pain Assessment. Edisi 2. 2001. London: The
9.
Guilford Press Jericho B. Postherpetic Neuralgia: A Review. Volume 16. 2010. Chicago: The
10.
Internet Journal of Orthopedic Surgery. Panlilio L, Paul J, Srinivasa N. Current Management of Postherpetic
11.
Neuralgia; dalam The Neurologist. Volume 8. 2002. Baltimore. p339-350. Regina, Lorettha W. Neuralgia Pascaherpetika. Volume 39. 2012. Jakarta.
12.
p416-419. Gharibo C, Carolyn K. Neuropathic Pain of Postherpetic Neuralgia. 2011. New
13.
York: Pain Medicine News. p84-91. Bowsher D. The Management of Postherpetic Neuralgia. 1997. Liverpool: The
14.
Fellowship of Postgraduate Medicine. p623-629. Scadding J. Neuropathic Pain. Volume 3. 2003. ACNR. p8-14.
25