CORAK Dan MODEL TASAWUF INDONESIA REVISI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

CORAK dan MODEL TASAWUF INDONESIA Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ‘‘Akhlak Tasawuf’’



Dosen Pengampu : Imroatul Munfaridah, S. HI., M. HI. Disusun oleh: 1. Arij Amaliyah



(101190193)



2. Bondan satria Ajie



(101190197)



3. Ervina Zena K.



(1011901201)



HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO 2019/2020



KATA PENGANTAR



Puji syukur kita panjatkan kepada ALLAH Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka kita dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu, serta kami ucapkan terimakasih kepada ibu Imroatul Munfaridah, S. HI, M. HI. selaku pembimbing kami. Berikut ini kami mempersembahkan makalah yang berjudul “corak dan model tasawuf Indonesia” yang dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari lebih lanjut materi akhlak tasawuf. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung pembaca. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu kami berharap adanya kritik dan saran bagi para pembaca yang bersifat membangun untuk kemajuan makalah yang kami buat agar mencapai kesempurnaan. Dengan ini kami mempersembahkan dengan penuh rasa terimakasih dan semoga Allah SWT. memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR......................................................................................................ii DAFTAR ISI...................................................................................................................iii BAB I PEMBAHASAN...................................................................................................1 A.



SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF di INDONESIA.....................................1



B.



TOKOH TASAWUF di INDONESIA..........................................................................2 1.



Hamzah Al-Fansuri....................................................................................................2



2.



Syekh Yusuf Al-Makasari...........................................................................................4



3.



Syekh Abdur Rauf As-Sinkili.....................................................................................6



4.



Syekh Siti Jenar..........................................................................................................8



5.



HAMKA....................................................................................................................10



BAB II PENUTUP.........................................................................................................12 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................13



iii



BAB I PEMBAHASAN



A. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF di INDONESIA Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan masyarakat saat ini yang dibawah oleh para ulama Indonesia yang menuntut ilmu di Mekkah dan Madina kemudian berkembang. Perlu kita ketahui bahwa sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi (mayoritas) bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan seperti Animisme,



Dinamisme,



Budhaisme,



Hinduisme.



Para



mubalig



menyebarkan Islam dengan pendekatan tasawuf. Sejak berdirinya kerajaan Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama islam ke berbagai daerah di Sumatra dan pesisir utara Pulau Jawa. Orang-orang Minangkabau yang gemar merantau, menyebarkan agama islam ke berbagai daerah bagian tengah dan selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Perkembangan islam di Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Sanga atau wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “wali”1. Disamping literatur-literatur sufisme yang berorientasi tasawuf akhlak dan tasawuf amali, di kalangan tertentu juga ditemukan tasawuf falsafi. Pengaruh tasawuf falsafi sangat kuat dan luas penganutnya di kalangan tarekat, sedangkan tokoh yang paling popular adalah Syekh siti Jenar. Kehidupan sufisme berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Sekalipun demikian, sufisme adalah semacam “sebuah pohon” yang berakar kuat dan dalam pada islam, seirama dengan semangat gerakan pembaruan dalam islam, dunia sufisme juga mengalami gagasan pembaruan2. 1



Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010) hal. 338



2



Ibid, 339



1



B. TOKOH TASAWUF di INDONESIA 1. Hamzah Al-Fansuri a. Riwayat hidup Hamzah AI-Fansuri Nama Hamzah Al-Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama dan sarjana penyelidik keislaman tidak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syekh Hamzah Al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin As-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj. Paham hulul, ijtihad, mahabbah, dan lainlain adalah seirama dengan Al-Hallaj. Syekh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya sehingga namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga kc abad kini. Dalam buku-buku sejarah mengenai Aceh. namanya selalu diuraikan dengan panjang lebar.3 Berdasarkan kata “Fansur” yang mencmpcl pada namanya, sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan urang Arab terhadap Barus yang sekarang merupakan kota kccil di pantai barat Sumatra' Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel. Orang banyak menyanggah Al-Fansuri karena paham wihdatul Wujud, hulul, ittihad-nya sehingga mengecapnya sebagai seorang yang Zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangkanya Sebagai pengikut ajaran Syi’ah. Ada juga yang memercayai bahwa ia bermadzhab Syafl’i di bidang fiqh. Dalam tasawuf, ia mengikuti Tarekat Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syekh Abdul Qadir Jailani." 4



b. Ajaran tasawuf Hamzah AI-Fansuri Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri



tentang



tasawuf



banyak



dipengaruhi Ibnu Arabi dalam paham Wahdat Al-Wujud-nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Tuhan tidak bertempat, sekalipun sering dikatakan bahwa Dia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainama tuwallu 3



Ibid, 340



4



Ibid, 341



2



fa tsumma wajhu'llah” ia katakan bahwa kemungkinan untuk memandang wajah Allah SWT di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi menafsirkan “wajah Allah SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan, sepefti Pengasih, Penyayang, Jalal, dan Jamal.5 Hamzah Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh, seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan. Di antara ajaran tasawuf Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya, wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini, ada yang merupakan kulit (mazhhar; kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang haqiqi yang disebut AI-Haqq Ta'ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan. Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, awan kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang Ia ta'ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali ke lautan. 6



2. Syekh Yusuf Al-Makasari a. Riwayat hidup Syekh Yusuf Al-Makasari Syekh Yusuf Al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M, yang berarti belum berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi, (yaitu Datuk Ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al5



Ibid, 342



6



Ibid, 343



3



Malkasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari Al-Quran 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Quran dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuanpengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu mini, ilmu badi', ilmu balaghah, dan ilmu mantiq. Ia pun belajar ilmu fiqh, ilmu ushuluddin, dan ilmu tasawuf. Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.7 b. Ajaran tasawuf Syekh Yusuf Al-Makasari Berbeda dengan kecenderungan sufisme pada masa-masa awal yang mengelakkan kehidupan duniawi, Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma suflstiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai Suatu kesatuan.8 Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini, Syekh Yusuf mengembangkan istilah alihathah (peliputan) dan al-ma'iyyah (kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Sebab, al-ihathah dan almai'yyah Tuhan terhadap hamba-Nya adalah secara ilmu. Menurutnya, fana' adalah hamba yang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, hanya ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan, dan perwujudan. Pandangannya tentang Tuhan di atas secara umum mirip dengan Wahdat Al-Wujud dalam filsafat mistik Ibnu Arabi. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba 7



Ibid, 349



8



Ibid, 351



4



walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang



moderat.



Menurutnya,



kehidupan



dunia



bukanlah



untuk



ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan akhyar (orang-orang terbaik), yaitu dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Quran, naik haji, dan berjihad di jalan Allah SWT. Kedua, cara mujahadat asy-syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan), yaitu latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk dan menyucikan pikiran dan batin dengan lebih memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir. Ketiga, cara ahl adz-dzikr, yaitu jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu orang-orang yang mencintai Tuhan, baik lahir maupun batin. Mereka sangat menjaga keseimbangan kedua aspek ketaatan itu. 9



3. Syekh Abdur Rauf As-Sinkili a. Riwayat hidup Abdur Rauf As-Sinkili Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya adalah Syekh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa ia merupakan murid dari dua ulama sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Ia sempat menerima ba'iat Tarekat Syathiriyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lain, termasuk sekte dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannya. Menurut Hasyimi, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, ayah As-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada akhir abad ke-13, kemudian menetap di Fansur, Barus, sebuah kota pelabuhan 9



Ibid, 352



5



tua di pantai barat Sumatra.Pendidikannya dimulai dari ayahnya di Simpang Kanan (Sinkil). Kepada ayahnya, ia belajar ilmuilmu agama, sejarah, bahasa Arab, mantiq, filsafat, sastra Arab atau Melayu, dan bahasa Persia.33 Pendidikannya kemudian dilanjutkan ke Samudra Pasai dan belajar di Dayah Tinggi pada Syekh Sam Ad-Din As-Sumatrani. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Arabia. Berkenaan dengan perjalanan rohaninya, As-Sinkili telah memakai khirqah, yaitu sebagai pertanda telah lulus dalam pengujian secara suluk. Ia telah diberi selendang berwarna putih oleh gurunya sebagai pertanda pula bahwa ia telah dilantik sebagai Khalifah Mursyid dalam orde Tarekat Syathariyah. Ini berarti pula bahwa ia boleh membai'at orang lain. Telah diakui bahwa ia mempunyai silsilah yang bersambung dari gurunya hingga kepada Nabi Muhammad SAW.10



b. Ajaran tasawuf Abdur Rauf As-Sinkili Sebelum As-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan nama Wahdat Al-WuiEd. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. Terjadilah proses penghukuman bagi mereka. Tindakan Ar-Raniri dinilai As-Sinkili sebagai perbuatan yang terlalu emosional. As-Sinkili menanggapi persoalan aliran Wujudiyyah dengan penuh kebijaksanaan. As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) 10



Ibid, 347



6



dan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan-bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatv nya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. Zikir, dalam pandangan As-Sinkili merupakan usaha untuk melepaskan diri dari sifat lalai dan lupa. Dengannya, hati selalu mengingat Allah SWT. Tujuan zikir adalah mencapai fana' (tidak ada wujud selain wujud Allah SWT.), berarti wujud yang berzikir bersatu dengan wujud-Nya sehingga yang mengucapkan zikir adalah Dia. 11 Ajaran tasawuf As-Sinkili yang lain bertalian dengan martabat perwujudan Tuhan. Menurutnya, ada tiga martabat perwujudan Tuban. Pertama, martabat ahadiyyah atau la ta'ayyun, yaitu alam pada Waktu itu masih merupakan hakikat gaib yang masih berada di dalam ilmu Tuhan. Kedua, martabat wahdah atau ta'ayyun awwal, yaitu sudah tercipta haqiqat Muhammadiyah yang potensial bagi terciptanya alam. Ketiga, martabat wahdiyah atau ta'ayyun tsani, yang disebut juga dengan ‘ayan tsabitah, dan dari sinilah, alam tercipta. Menurutnya, ucapan “Aku Engkau, Kami Engkau, dan Engkau Ia” hanya benar pada tingkat wahdah atau ta'ayyzm awwal karena unsur Tuhan dan unsur manusia pada tingkat itu belum dapat dibedakan. Tingkatan itulah yang dimaksud Ibnu Arabi dalam syair-syaimya. Akan tetapi, pada tingkatan wahidiyyah atau ta'ayyun tsani, alam sudah memiliki sifat sendiri, tetapi Tuhan adalah cermin bagi insan kamil dan sebaliknya. Akan tetapi, Ia bukan pula yang lainnya. Bagi As-Sinkili, jalan untuk mengesakan Tuhan adalah dengan zikir la ilaha illa'llah sampai tercipta fana'12. 4. Syekh Siti Jenar a. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar Sebagaimana yang berkembang di masyarakat, Syekh Siti Jenar memiliki banyak nama antara lain akibat dialihbahasakan ke dalam berbagai tingkatan dalam bahasa Jawa. Sebagian menyebut Syekh Siti



11 12



Ibid, 347 Ibid, 349



7



Jenar dengan Sitibrit atau Siti Abrit. Sebagian yang lain sering memanggil denga Siti Rekta, Lemah Bang atau Lemah Abang.13 Nama Syekh Siti Jenar menunjuk seorang pria yang dikenal sebagai salah seorang wali yang sayangnya dianggap menyimpang dari kebijakan umum para wali yang dikenal sebagai Wali Songo dan berjasa besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa. Nama Siti Jenar menjadi penting bukan hanya karena banyak ketekaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia dan dinamika politik kerajaan Demak. Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih dekat elite keturunan terakhir Majapahit yang tidak bersedia tundukpada kekuasaan Raden Fatah.Syekh Siti Jenar jufga menentang pemberian dukungan Wali Songo kepada Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran luar mainstream ajaran Wali Songo tersebut. Sikap dan ajarannya inilah yang antara lain menyebabkan kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Wali Songo.14 Karena itu, ajaran Syekh Siti Jenar bukan hanya dianggap menyimpang dan sesat, ia bahkan dianggap telah murtad serta telah merusakkesucian agama Islam. Kemurtadannya itu menyebabkan Syekh Siti Jenar dan pengikutnnya harus menghadapi hukuman matiyang dijatuhkan kerajaan dan disetujui oleh para wali yang bertindak sebagai dewan keagamaan kerajaan Demak.15 b. Ajaran Syekh siti Jenar Pemikiran dan praktik hidup Sufi sering terperangkap dalam posisi oposisional. Bahkan pemikiran dan praktek hidup Sufi ini tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap sistematisasi dan struktur organisasi kekuasaan yang gagal keragaman dalam masyarakat. Apalagi jika peralihan kekuasaan itu didahului oleh ketrampasan sebagian anggota masyarakat terutama dari mereka yang selama ini menikmati berbagai fasilitas ekonomi dan politik. Dalam hubungan itulah perlu dikaji pemikiran dan terutama ajaran Syekh Siti Jenar. Topik bahasan yang menjadikan suatu ajaran sebagai objek pokok, menunjukkan dimensi praksis yang menyangkut 13



Abdul Munir Mulkha, Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: JEJAK, 2008) hal. 46



14



Ibid, 47



15



Ibid, 48



8



perilaku empiris. Demikian pula jika kita bermaksud melakukan kajian terhadap ajaran Syekh Siti Jenar.



Apalagi jika ajaran itu telah



menimbulkan kontroversi. Sistematisasi hubungan antara ajaran dan pemikiran tersebut menunjukkan perlunya kajian kefilsafatan bagi upaya memahami ajaran Syekh Siti Jenar. Apalagi jika ajaran Syekh Siti Jenar itu menyangkut satu bidang yang banyak berhubungan dengan teori kefilsafatan seperti tasawuf.16 Ajaran Syekh Siti Jenar, karena itu juga meliputi pandangan di bidang metafisis ketuhanan, roh dan jiwa manusia serta sebagaimana manusia memperoleh ilmu. Pemikiran Syekh Siti Jenar juga meliputi pandangan



mengenai



kebenaran



ilmu



dan



kebaikan



tindakan.



Kontroversi pandangannya mengenai kesatuan manusia-Tuhan yang lebih populer dalam konsep wahdatul wujud juga bersumber dari pemikiran mengenai ketuhanan, alam semesta, manusia dan kebenaran serta kebaikan tersebut. Bagi penganut ajaran Syekh Siti Jenar, kehidupan duniawi adalah kematian dan sebaliknya kehidupan sesudah ajal adalah kehidupan abadi. Anggapan semacam ini juga tumbuh dalam kesadaran penganut Islam yang menyatakan bahwa kematian hidup duniawi sebagai sebuah perjalanan pulang ke alam baka (abadi). Lebih dari itu penganut ajaran Syekh Siti Jenar juga menganggap bahwa ritual formal, seperti umumnya dilakukan penganut Islam, sebagai sebuah kepalsuan17. 5. HAMKA a. Riwayat hidup HAMKA HAMKA adalah nama pena, yang bahkan kemudian lebih popular ketimbang nama kepanjangannya, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah. HAMKA belajar agama pada Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek. Selama belajar di Thawalib, HAMKA sering tidak hadir karena merasa jenuh. Ia lebih suka di perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay el Yunusy.



16



Ibid, 38



17



Ibid, 42



9



HAMKA terkesan dengan informasi bahwa islam di Jawa lebih maju daripada Minangkabau, terutama dalam hal pergerakan dan organisasinya. Pada 1922, HAMKA dibawa ayahnya ke Parabek untuk belajar pada Syekh Ibrahim Musa. 18 Pada 1923, HAMKA berupaya untuk bertolak lagi ke Jawa, tetapi ketika sampai di Bengkulu, HAMKA terkena wabah cacar. Setahun setelah sembuh dari cacar, HAMKA pun berangkat ke pulau jawa yakni Yogyakarta. Di Yogyakarta HAMKA menetap dirumah pamannya, ja’far Abdullah. Ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Setelah setahun di Jawa, Juli 1925 HAMKA kembali ke Padang panjang. Dalam perantauan pertamanya ke Jawa HAMKA mengaku memiliki semangat baru dalam mempelajari islam. HAMKA melihat perbedaan misi pembaruan islm di Minangkabau dan di Jwa. Jika di Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran islam dari praktik yang dianggap salah, seperti tarekat, taklid, dan khurafat, di Jawa lebih berorientasi kepada usaha memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan19. b. Ajaran HAMKA HAMKA tidak meletakkan tasawuf sebagai sesuatu yang awingawang, sehingga ia tidak bisa menyentuh kehidupan manusia modern. HAMKA ingin mempopulerkan tasawuf untuk konsumsi manusia modern yang bergumul dalam aktivitas sehari-hari, untuk semua profesi. Bahwa tasawuf itu bisa didekati tanpa harus terlibat dalam praktik ritual kebatinan yang aneh-aneh. Dalam kaitan inilah “ilmu tasawuf yang diper-modern” penting untuk mendekatkan pembaca, kaum muslim, bahwa islam pun menyajikan suatu khasanah tasawuf yang praktis dan mencerahkan. Pilihan



HAMKA untuk



mempopulerkan



tasawuf



dengan



pendekatan modern. Tasawuf, diposisikan oleh HAMKA sebagai sesuatu yang tidak dibesar-besarkan secara mistis dan dalam konteks mengejar kesaktian, pun kekebalan. Tasawuf juga berguna bagi orang-orang 18



Alfan alfian, HAMKA dan bahagia, (Bekasi: Penjuru Ilmu, 2014), hal. 24



19



Ibid, 26



10



modern, orang-orang yang terbuka dan ada di zaman yang terus berubah. Karena itulah, terbersit hal-hal bahwa "'yang tradisional" ialah yang memandang tasawuf secara statis dan seolah-olah ia tidak bisa didekati dengan pendekatan yang lain. HAMKA menawarkan suatu tasawuf positif, yang cocok dengan kecenderungan modernitas, satu hal yang oleh masyarakat awam tradisional kerap tak bisa dipahami dan direspons secara tepat. Pandangan HAMKA ini relevan dengan kebutuhan spiritual orang modern. Yang tinggal di kota-kota modern canggih gemerlapan, pun yang hidup di kota-kota sedang, kota-kota kecil, bahkan desa-desa yang semakin modern dan terhubung20. BAB II PENUTUP Kesimpulan Tasawuf mulai masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia dan tasawuf mengalami banyak perkembangan itu ditandai dengan banyaknya berkembang ajaran tasawuf dan tarikat yang muncul dikalangan masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa sebelum Islam datang, dianut, berkembang dan saat ini mendominasi (mayoritas) bahwa telah berkembang berbagai faham tentang konsep Tuhan. Kehidupan sufisme berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Beberapa tokoh ahli tasawuf di Indonesia antara lain: Hamzah Fansuri, Syekh Yusuf Al-Makasari, Abdur Rauf As-Sinkili, Syekh Siti Jenar, dan HAMKA.



20



Ibid, 81



11



DAFTAR PUSTAKA Alfian, Alfan. 2014. HAMKA dan bahagia. Bekasi: Penjuru Ilmu Mulkhan, Abdul Munir. 2008. Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: JEJAK Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia



12