Desain Inovatif Kelompok 9 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL DESAIN INOVATIF STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB) RS PUPUK KALTIM RUANG DAHLIA



PENERAPAN INTERVENSI INOVASI TERAPI “AIUEO” PADA PASIEN STROKE DI RUANG DAHLIA RS PUPUK KALTIM BONTANG Oleh : APRILIANTI PRATIWI FAUZIAH NIM. P07220220003 KELTYWANASARI NIM. P07220421068 MUHAMMAD HARDIANUR NIM. P07220421073 WAHYU TITIK HANDAYANI NIM. P07220421085



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR TAHUN AKADEMIK 2021 / 2022



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah kondisi kedaruratan ketika terjadi defisit neurologis akibat dari penurunan tiba-tiba aliran darah ke area otak yang terlokalisasi. Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke non haemoragik. Stroke non hemoragik terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang, hal ini disebabkan karena obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak. Stroke haemoragik merupakan stroke yang terjadi karena perdarahan subarachnoid yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di area otak, dan biasanya terjadi pada saat penderita sedang melakukan aktivitas LeMone, et.al. (2016 dalam Yuliyanto, dkk. 2021). Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi, tergantung luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian jaringan dan lokasi yang terkena. Bila stroke menyerang otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan mengalami gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk menganalisis, pikiran logis, konsep, dan memahami bahasa. Secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis yaitu afasia motorik, afasia sensorik, dan afasia global. Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada daerah broca. Seseorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan menulis (Sofwan, 2010). Insiden terjadinya Stroke non hemoragik memiliki presentase terbesar yaitu sekitar 81%, dibandingkan stroke hemoragik yang hanya 19%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kejadian stroke non hemoragik memiliki proporsi lebih besar dibandingkan dengan stroke hemoragik. Stroke memiliki gejala seperti rasa lemas tiba-tiba dibagian tubuh, wajah, lengan, atau kaki seringkali terjadi pada salah satu sisi tubuh, kesulitan bicara atau memahami pembicaraan, kesulitan melihat dengan satu mata atau kedua mata, kesulitan berjalan, pusing, hilang keseimbangan, sakit kepala dan hilang kesadaran atau pingsan Black & Hawks (2014 dalam Yuliyanto, dkk. 2021). 1



2 Afasia adalah gangguan bahasa yang didapat setelah kerusakan otak yang mempengaruhi beberapa atau semua modalitas bahasa: ekspresi dan pemahaman berbicara, membaca, dan menulis. Sekitar sepertiga orang yang menderita stroke mengalami afasia. Satu atau lebih bidang komunikasi dapat dipengaruhi: berbicara, lisan pemahaman, membaca, dan menulis. Terapis bicara dan bahasa menilai, mendiagnosis, dan mengobati afasia pada semua tahap pemulihan bekerja sama dengan pasien afasia, keluarga, dan profesional kesehatan lainnya (Brady, et.al. 2016). Afasia persisten mempengaruhi sekitar 20% dari semua pasien stroke. Menjadi salah satu gejala pada penderita stroke, afasia mempengaruhi tingkat layanan rehabilitasi yang dibutuhkan dan kegagalan kembali bekerja. Dengan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup setelah stroke awal, kendala keuangan tambahan terkait pada penyedia layanan kesehatan, dengan afasia berkontribusi 8,5% terkait biaya kesehatan selama tahun pertama pasca stroke. Konsekuensi dramatis dari afasia pasca stroke membutuhkan bukti yang



efektif



(Breitenstein,



et.al.



2021).



Meta-analisis



terbaru



menyimpulkan bahwa terapi wicara dan bahasa setelah stroke efektif bahkan pada stadium kronis, jika diberikan dengan intensitas yang cukup (5-10 jam per minggu). Untuk memastikan bahwa semua orang yang terkena stroke mencapai potensi rehabilitasi maksimum mereka, pendekatan tim multidisiplin sangat penting. Staf perawat memiliki peran kunci dalam mendukung penderita afasia dari tahap akut stroke hingga manajemen jangka panjang di dalam komunitas. Memiliki pengetahuan tentang afasia dan mampu berdiskusi dengan pasien dan keluarga apa yang mereka harapkan dari terapi adalah hal yang esensial dan merupakan bagian dari memberikan perawatan yang berpusat pada pasien (Sthepens, 2017). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi untuk memperbaiki gangguan komunikasi verbal pada seseorang yang menderita afasia motorik adalah dengan terapi pengucapan huruf vokal “AIUEO pada alfabet. Menurut Yunica, dkk. (2019) terapi“AIUEO” merupakan jenis terapi wicara dengan cara menggerakkan lidah, bibir, otot wajah dan mengucapkan



3 kata-kata dengan huruf A, I, U, E, dan O, yang bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Metode yang digunakan dalam terapi AIUEO yaitu dengan metode imitasi, di mana setiap pergerakan organ bicara dan suara yang dihasilkan perawat diikuti oleh pasien. Terapi AIUEO bertujuan untuk memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuaian ruangan supraglottal. Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui rongga mulut dan rongga hidung melalui katup velofaringeal dan merubah posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara (Yanti, 2012 dalam Yunica, dkk. 2019). Terapi AIUEO dilakukan dengan menggerakkan lidah, bibir, otot wajah dan mengucapkan kata-kata. Latihan terapi lebih sulit diterima oleh responden, karena pusat berbahasa berada pada area broca dan wernick. Kedua pusat ini berhubungan erat, sehingga memungkinkan responden meniru apa yang diucapkan oleh peneliti. Di lobus parietalis kiri pada perbatasan dengan lobus oksipitalis, terdapat pusat ingatan benda-benda yang menyimpan nama benda bersangkutan, sehingga bila terjadi kerusakan akan terjadi kehilangan daya ingat nama benda yang dilihat. Pada kerusakan di daerah perbatasan lobus oksipitalis dengan lobus temporalis, responden tetap tidak dapat mengatakan nama benda yang diperlihatkan, meskipun diberikan bantuan dengan memberi suku kata nama benda tersebut (Markam, 2017). Kelebihan terapi AIUEO menurut Haryanto (2014) merupakan terapi yang sangat simple, tidak membutuhkan alat/media yang digunakan. Dibandingkan dengan terapi lain yang digunakan untuk pasien afasia, terapi AIUEO yang tidak menggunakan alat/media. Dengan kelebihan itu perawat bisa melakukan terapi AIUEO sebagai intervensi keperawatan, karena perawat berada 24 jam di samping pasien. Hasil



4 penelitian Haryanto (2014) menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan berbicara pada penderita stroke yang mengalami afasia motorik. Hasil penelitian Sofiatun, dkk. (2016) mendapatkan bahwa pemberian terapi AIUEO efektif terhadap kemampuan berbicara pasien stroke dengan afasia motorik. Menurut Yunica, dkk. (2019) juga menunjukan bahwa terdapat pengaruh pemberian terapi AIUEO terhadap kemampuan berbicara (afasia motorik) pada pasien stroke. Yuliyanto, dkk. (2021) melakukan penelitian dengan menggunakan metode studi kasus yang dilakukan minimal 2 kali sehari dalam 7 hari. Subyek yang digunakan sebanyak 1 orang pasien yang di diagnosa stroke non hemoragik dengan afasia motorik. Hasil penerapan menunjukkan bahwa setelah diberikan penerapan terapi AIUEO selama 7 hari mengalami peningkatan kemampuan komunikasi verbal dari yang sebelumnya bernilai skor 9 menjadi skor 11. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis menyusun proposal desain inovatif berjudul “Penerapan Intervensi Inovasi Terapi “AIUEO” Pada Pasien Stroke Di Ruang Dahlia RS Pupuk Kaltim Bontang”. B. Tujuan 1.



Tujuan Umum Untuk mengetahui mengetahui penerapan intervensi inovasi terapi “AIUEO” pada pasien stroke di ruang Dahlia RS Pupuk Kaltim Bontang.



2.



Tujuan Khusus a.



Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan stroke.



b.



Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan stroke.



c.



Penulis mampu menganalisa hasil pemberian pengaruh terapi “AIUEO” terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik.



C. Manfaat 1.



Institusi Rumah Sakit Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit terutama untuk terapi



5 komplementer “AIUEO” terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik. 2.



Institusi Pendidikan Untuk bahan masukan dalam proses belajar mengajar mengenai terapi “AIUEO” yang dapat meningkatkan kemampuan bicara pada pasien stroke yang mengalami afasia motorik.



3.



Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi bagi para pengajar, mahasiswa, dan peneliti selanjutnya tentang kemajuan riset keperawatan khususnya untuk meningkatkan pengetahuan pengkajian pasien dengan stroke.



BAB II TELAAH JURNAL A. Konsep Stroke 1.



Pengertian Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat asupan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan asupan oksigen ke otak dapat memunculkan kematian sel saraf pada saraf Neuron. Gangguan fungsi otak ini mengakibatkan stroke (Junaidi, 2011). Stroke atau cedera cerebrovaskuler (CVA) merupakan gangguan peredaran darah ke otak yang dapat mengakibatkan fungsi otak terganggu dan bila gangguan yang terjadi cukup besar akan mengakibatkan kematian sebagian sel saraf. Kematian sel saraf dapat mengakibatkan fungsi otak berhenti dan suplai darah ke bagian otak akan berkurang sehingga dapat menyebabkan penyakit serebrovaskuler selama beberapa tahun. (Smeltzer, 2015). Menurut pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa stroke adalah penyakit yang diakibatkan oleh gangguan peredaran darah menuju ke otak akibat kekurangan darah dalam otak sehingga dapat mengakibatkan



kematian



sel



saraf



dan



munculnya



penyakit



serebrovaskuler. 2.



Etiologi a.



Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak).



b.



Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain).



c.



Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak).



d.



Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak, yang



6



7 menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori, bicara atau sensasi (Smeltzer, 2014) 3.



Klasifikasi Berdasarkan atas jenisnya, stroke dibagi menjadi: a.



Stroke Iskemik / Non Hemoragik Stroke iskemik terjadi karena aliran darah ke otak berhenti karena arterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah.



b.



Stroke Hemoragik Stroke diakibatkan karena pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.



4.



Gejala Seringnya kesemutan ringan tanpa sebab, sakit kepala atau vertigo ringan, tiba-tiba sulit menggerakkan mulut dan sulit berbicara, lumpuh sebelah serta mendadak pikun dan cadel. Bagi mereka yang pernah mengalami serangan stroke lalu dikemudian hari terkena serangan stroke yang kedua, maka serangan stroke ulangan ini lebih berbahaya dan dapat menyebabkan kematian (Rokhayah, 2016).



5. Patofisiologi Infark regional kortikal, subkortikal ataupun infark regional di batang otak terjadi karena kawasan perdarahan suatu arteri tidak / kurang mendapat jatah darah lagi. Jatah darah tidak disampaikan ke daerah tersebut. Lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik jika arteri tersumbat dan infark hemoragik jika arteri pecah. Stroke dapat dibagi menjadi: a.



Stroke iskemik / NonHemoragik Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia, akhirnya terjadi infark pada jaringan otak.



8 Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologis fokal. Perdarahan otak dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli. b.



Stroke hemoragik Pembuluh darah yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial) yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Disamping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak (Wulandari, 2007).



6. Manifestasi Klinis Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer & Bare (2002), antara lain: defisit lapang pandang, defisit motorik, defisit sensorik, defisit verbal, defisit kognitif dan defisit emosional. a.



Defisit Lapang Pandangan 1) Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan 2) Kesulitan menilai jarak 3) Diplopia (pengelihatan ganda)



b.



Defisit Motorik



9 1) Hemiparesis (kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama). 2) Hemiplegi (paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama). 3) Ataksia (berjalan tidak mantap, dan tidak mampu menyatukan kaki. 4) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. 5) Disfagia (kesulitan dalam menelan) c.



Defisit Sensorik: kebas dan kesemutan pada bagian tubuh



d.



Defisit Verbal 1) Afasia ekspresif (Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami) 2) Afasia



reseptif



(Tidak



mampu



memahami



kata



dibicarakan) 3) Afasia global (kombinal baik afasia reseptif dan ekspresif) e.



Defisit Kognitif 1) Kehilangan memori jangka pendek dan panjang 2) Penurunan lapang perhatian 3) Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi 4) Perubahan penilaian



f.



Defisit Emosional 1) Kehilangan kontrol diri 2) Labilitas emosional 3) Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres 4) Depresi 5) Menarik diri, rasa takut, bermusuhan dan marah 6) Perasaan isolasi



7.



Komplikasi Komplikasi stroke menurut Smeltzer & Bare (2015) meliputi:



yang



10 a.



Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hemotokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.



b.



Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan vesikositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.



c.



Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral.



8.



Pemeriksaan Pemeriksaan medis pada pasien stroke menurut Lingga (2013) yaitu: a.



Anamnesis 1) Keluhan 2) Riwayat penyakit anggota keluarga 3) Kebiasaan



hidup



(merokok,



minuman



olahraga). 4) Tanda-tanda vital 5) Memeriksa otot menggunakan reflek hammer b.



Pemeriksaan Laboratorium 1) Fungsi lumbal 2) Pemeriksaan darah rutin 3) Pemeriksaan kimia darah



c.



Scanning



beralkohol,



serta



11 1) CT-scan (Computerized Tomography Scanning) adalah prosedur pengambilan gambar pada organ tubuh atau bagian tubuh dengan menggunakan sinar X 2) MRI (Magnetic Resonance Imaging) diartikan sebagai teknik pencitraan getaran magnetik. 3) Cerebral angiography adalah alat yang bekerja dengan sinar x. bertujuan untuk memindai aliran darah pada pembuluh darah yang melalui otak. 4) Carotid ultrasound digunakan untuk mendapatkan gambaran kerusakan pada pembuluh darah di leher yang menuju otak. 5) SPECT (Single Photon emission) adalah alat pemindaian otak yang bekerja dengan isotop sinar gamma, digunakan untuk memindai seberapa parah gangguan yang terjadi 4 jam pasca stroke atau untuk pemeriksaan otak pasien yang baru mengalami TIA. 9. Penatalaksanaan Penataksanaan medis pada pasien stroke meliputi: a.



Diuretik untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.



b.



Antikogulan untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskular.



c.



Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi. (Smeltzer & Bare. 2010).



B. Konsep Afasia Motorik 1.



Pengertian Afasia Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi simbol bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang mempengaruhi distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal



pada



hemisfer



(Berthier,



2005).



Sedangkan



menurut



Lumbantobing (2011) afasia merupakan gangguan berbahasa. Dalam hal



12 ini pasien menunjukkan gangguan dalam bicara spontan, pemahaman, menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis. 2.



Etiologi Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009). Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80% afasia disebabkan oleh infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya jarang terjadi dan lokasinya tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi (Barthier, 2005).



3.



Klasifikasi dan Gejala Klinik Beberapa bentuk afasia menurut Smeltzer & Bare (2010) adalah : a.



Afasia sensoris (Wernicke/ Reseptive) Afasia Wernicke‟s dapat terjadi gangguan yang melibatkan pada girus temporal superior. Di klinik, pasien afasia Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab ia pun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Ia tidak mampu memahami kata yang diucapkannya,



dan



tidak



mampu



mengetahui



kata



yang



diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong, berisi parafasia dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan : bagaimana keadaan ibu sekarang? Pasien mengkin menjawab : “Anak saya lalu sana sakit tanding tak berabir”. Seorang afasia dewasa akan kesulitan untuk menyebutkan kata buku walau di hadapannya ditunjukan benda buku. Klien dengan susah menyebut busa....bulu......... bubu. (klien nampak susah dan putus asa). Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) umumnya parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat.



13 b.



Afasia Motorik Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodman dan sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular (tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyusun fikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendek- pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata – kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata bahasa (tanpa grammar). Contoh : “Saya … sembuh … rumah … kontrol… ya .. kon..trol”. “Periksa …lagi …makan …banyak”. Seorang dengan kelainan ini mengerti dan dapat menginterpretasikan rangsangan yang diterimanya, hanya untuk mengekspresikannya ia mengalami kesulitan. Seorang afasia dewasa berumur 59 tahun, kesulitan menjawab, rumah bapak dimana?, maka dengan menunjuk ke arah barat, dan dengan kesal karena tidak ada kemampuan dalam ucapannya. Jenis afasia ini juga dialami dalam menuangkan ke bentuk tulisan. Jenis ini disebut dengan disagraphia (agraphia).



c.



Afasia Global Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan oleh luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu – itu saja, berulang), misalnya : “iiya, iiya, iiya”, atau : baaah, baaaah, baaah”, atau : “amaaang, amaaang, amaaaang”.



14 Komprehensif menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang menyebabkan invaliditas kronis yang parah. 4. Pengkajian / Tes Afasia Berbagai macam tes afasia dapat dipergunakan sebagai pengkajian. Penggunaan macam tes ini tergantung pada kebutuhan. Observasi klinis tanpa penggunaan alat pengkajian tidak adekuat untuk mengidentifikasi afasia selama fase akut. Penggunaan instrumen skrining dilakukan untuk mengidentifikasi afasia secara signifikan (Edwards et al, 2006). Berdasarkan hasil review yang dilakukan Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell (2006), terdapat dua instrumen untuk menskrining afasia yang digunakan oleh perawat yaitu Frenchay Aphasia Screening Test/FAST dan Ullevaal Screening Test/ UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebih sering dipakai dan merupakan instrumen skrining pada afasia. FAST lebih sering digunakan dibandingkan dengan instrumen pengkajian afasia lainnya (Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell, 2006, Enderby & Crowby, 1996). FAST terdiri 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa (pemahaman, ekspresi verbal, membaca dan menulis) dengan skor 0 – 30 (Enderby et al, 1987 dalam Lightbody et al, 2007). Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada usia diatas 60 tahun atau bila skor