Fix Kel 6 KMB Iii [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III “GUILLAIN BARRE SYNDROME”



Dosen Pembimbing : Andika S,S.Kep.,Ns.,M.Kep



Kelompok 6 : 1. Bega apri mahendra



(201801022)



2. Chiesa refinda nuansa R



(201801024)



3. Cindy damayanti



(201801025)



4. Linasari



(201801062)



5. Mei kartika sari



(201801063)



6. Mellinda fitri wulan sari



(201801064)



7. Mia fitria Anggraeni



(201801066)



8. Vivi eka putri



(201801097)



9. Wahidatul umami



(201801098)



10. Wahyu bagas prasetya



(201801099)



PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA KEDIRI TAHUN AJARAN 2020/2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur memanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan hidayah nya dapat menyelesaikan makalah tentang “Analisis Keperawatan Sindroma Guillain Barre (GBS)”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah KMB . Pada kesempatan ini ingin mengucapkan terimakasih yang kepada Dosen mata kuliah atas bimbingan nya. Kemudian kepada Orang tua kami yang telah membantu baik moril maupun materi juga Rekan rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini Menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan, atau pun penulisan nya . Oleh karena itu mengharapkan kritik dan saran yang sifat nya membangun, khusus nya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk yang lebih baik dimasa yang akan datang .



Kediri, 06 November 2020.



Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.............................................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian................................................................................................. 1.3 Rumusan Masalah................................................................................................ 1.4 Manfaat................................................................................................................ BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2.1 definisi Sindrom Guillain Barre........................................................................... 2.2 etiologi Sindrom Guillain Barre........................................................................... 2.3 manifestasi klinis ................................................................................................. 2.4 Pathway Sindrom Guillain Barre......................................................................... 2.5 Patofisiologi Sindrom Guillain Barre................................................................... 2.6 Pemeriksaan penunjang Sindrom Guillain Barre................................................. 2.7 Penatalaksanaan Sindrom Guillain Barre............................................................. BAB III ASUHAN KEPERAWATAN................................................................... 3.1 Konsep asuhan keperawatan Sindrom Guillain Barre.......................................... 3.2 Asuhan keperawatan Sindrom Guillain Barre...................................................... BAB IV PENUTUP.................................................................................................. 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 3.2 Saran



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sindrom Guillain Barre ( SGB ) Polyneuritis



akut



pasca-infeksi,



mempunyai banyak sinonim , antara lain



Polineuritis



akut



toksik,



Polyneuritis



febril,



PolyRadikulopati dan acute ascending paralysis. ditandai dengan kelemahan motorik progesif dan arefleksin. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik otonom dan batang otak. gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus. penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detail dengan apa yang disebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916 Guillain, Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSP), disosiasi albinositologik ( peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu akan mengarah kepada poliradiopati dieliminasi yang membedakannya dengan poliomyelitis dan neuropati lain-lainnya. Sistem kekebalan tubuh seharusnya membentengi tubuh dari serangan virus atau bakteri. Tapi jika sistem kekebalan tubuh malah menjadi musuh dan menyerang saraf sendiri bisa memicu terjadinya sindrom Guillain Barre yang mengakibatkan kelumpuhan. Gullain Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang terjadi karena sistem kekebalan tubuh menyerang sistem saraf. Gejala pertama yang dirasakan adalah kelemahan yang ekstrim dan disertai dengan mati rasa. Sensasi ini dengan cepat menyebar dan bisa mengakibatkan kelumpuhan seluruh tubuh. Dalam Syndrom Guillain Barre, sistem kekebalan tubuh yang biasanya hanya menyerang benda asing atau mikroorganisme mulai menyerang saraf-saraf yang membawa sinyal antara tubuh dan otak. Akibatnya pelindung saraf (selubung myelin) menjadi rusak dan mengganggu proses signaling yang menyebabkan kelemahan, mati rasa atau kelumpuhan. penyebab pasti dari penyakit ini belum dapat diketahui, tetapi seringkali didahului oleh penyakit menular seperti infeksi pernafasan atau flu perut. Kondisi ini jarang sekali terjadi dan diperkirakan hanya memenuhi 1-2 orang per 1000. Meskipun tidak ada obat yang bisa menyembuhkan, tapi beberapa perawatan dapat meringankan gejala dan mengurangi penyakitnya.



Pada beberapa orang gejala mulai terasa di lengan atau wajah dan selama gangguan berlangsung otot bisa menjadi lemah sehingga berkembang pada kelumpuhan di tungkai , lengan atau gangguan pada otot pernafasan. Contoh penderita penyakit ini seperti yang dialami Andy Griftith, seorang aktor senior Hollywood kelahiran 1 juni 1926. Sebelumnya Andy tidak menyangka dirinya akan terkena penyakit yang sangat langka. Hingga akhirnya sang dokter memvonis ia menderita Guillain Barre Syndrom. Andy sebelumnya sudah merasakan penyakit yang dideritanya agak aneh, Saat tubuhnya dalam kondisi baik , Gejala flu yang dialaminya brganti menjadi rasa sakit yang mengerikan dan seperti rasa membakar yang memantul ke seluruh tubuh, selama 4 hari dokter tidak ada yang tahu mengenai penyakit yang diderita Andy. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap tulang belakang, dokter berhasil menemukan penyakit Andy yaitu ia menderita Guillain Barre Syndrom. 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Mengetahui tentang pengertian Guillain Barre Syndrom. 2. Mengetahui tentang epidemiologi Guillain Barre Syndrom. 3. Mengetahui tentang etiologi Guillain Barre Syndrom. 4. Mengetahui klasifikasi Guillain Barre Syndrom. 5. Mengetahui tentang patofisiologis dari Guillain Barre Sydrom. 6. Mengetahui tentang pathogenesis dari Guillain Barre Syndrom. 7. Mengetahui tentang manifestasi klinis dari Guillain Barre Syndrom. 8. Mengetahui tentang pemeriksaan diagnostik dari Guillain Barre Syndrom. 9. Mengetahui tentang prognosis dari Guillain Barre Syndrom. 10. Mengetahui tentang diagnose banding dari Guillain Barre Syndrom. 11. Mengetahui tentang asuhan keperawatan dari Guillain Barre Syndrom. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat di makalah ini adalah : 1. Apa pengertian dan etiologi Guillain Barre Syndrom ? 2. Bagaimana epidemiologi Guillain Barre Syndrom? 3. Apa penyebab atau etiologi dari Guillain Barre Syndrom ? 4. Apa saja Klasifikasi dari Guillain Barre Syndrom ? 5. Bagaimana patofisiologis dari Guillain Barre Syndrom ?



6. Apa saja yang menjadi manifestasi klinis dari Guillain Barre Syndrom ? 7. Apa saja diagnostik Guillain Barre Syndrom ? 8. Bagaimana penatalaksanaan medis Guillain Barre Syndrom ? 9. Bagaimana prognosis dari Guillain Barre Syndrom ? 10 Apa saja diagnosa banding Guillain Barre Syndrom ? 11 Bagaimana asuhan keperawatan dari Guillain Barre Syndrom ? 1.3 Manfaat Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga kesehatan maupun masyarakat umum nantinya mengenai Guillain Barre Syndrom (GBS).



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Gullaine Barre Syndrom (GBS) adalah gangguan yang jarang di tubuh anda, sistem kekebalan tubuh menyerang saraf Anda. GBS adalah penyakit yang biasanya terjadi satu atau dua minggu setelah infeksi virus ringan seperti sakit tenggorokan, bronkitis, atau flu, atau setelah vaksinasi atau prosedur bedah. Untungnya, GBS relatif jarang terjadi, hanya mempengaruhi 1 atau 2 orang per 100.000. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh. Parry mengatakan bahwa, Gullaine Barre Syndrom adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Japardi, 2002). Gullaine Barre Syndrom merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa (Judarwanto, 2009). Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012), Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf.



Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome. 2.2 Etiologi Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan dan saluran pencernaan. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara. Kondisi yang khas adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun. Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum onset. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain : Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Diare Peradangan saluran nafas atas, Kelelahan, Demam, Kehamilan/ dalam masa nifas, Penyakit sistematik: Keganasan systemic lupus erythematosus tiroiditis penyakit Addison .



2.3 Manifestasi Klinis Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase: 1. Fase progresif Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk



membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.



Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu: 1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP) yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann. 2. Sindroma Miller Fisher (MFS) merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus. 3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi AntiGD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.



4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 5. Neuropati panautonomik akut merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia. 6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE) ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik



2.4 PATHWAY    



Infeksi virus/bakteri Vaksinasi Penyakit Sistemik Pembedahan/anastesi



Merangsang reaksi kekebalan sekunder pada saraf tepi   



Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural Makrofag mensekresi protease Penimbunan komplek antigen, antibody pd pembuluh darah saraf tepi Demyelinisasi akut saraf perifer



Tramsmisiimpulssaraf



N. kranial



Gg FngsiSrafIII,IV, VI



Diplopia



gg. penglihatan



Fungsimotoric Gg SarafPeriferd



Krgbereaksinyasstemsrafsimpati s, prasimpatis, prubahansnsori



Gg Fungsi Sraf VII, IX, X Paresthesia Patalispdwajah, (ksemutan)&klemahanotot otoorofaringkesulitanbic kaki ara, berkembangkeekstremitasata kesulitanmenguyahdanm s, btangtubuh&ototwajah enelan Gg pemenuhannutris idancairan



Risikojatuh / cidera



otonom



Kelemahanfisikumum, patalisototwajah



Resiko Nutrisi Kurang dr Kebutuhan



Penurunan tonus ototsluruhtbu h GangguanMobilita s



Paralislengkapototper napasantrkena



Insufisiensipernapa san



Resikotinggiggalpern apasan (ARDS) Kemampuanbatukm nrun Sekresi mucus meningkat



Perubahanest etikawajah Sekresi mucus masukkejlnnafa sbawah GangguanKo nsepDiri



Resikotinggiinfe ksijlnnapasbawa hdanparenkinpa ru



Ketidakefektifanbe rsihanjalannapas Pneumonia Ketidakefektifa npolanapas



Kerusakan ransang defeksi



- Gg frekuensijtgdanritme - Prubahantekanandrah (hiperlemsitransien, hipotensioistostatik



Gangguan eliminasi (konstipasi)



Gg vasomotot Penurunancurahjtgkeotakdnjtg Penurunancurahjtgkeginjal Penurunanfiltrasi glomerulus



Anuria RetensiUrin



Penurunan Curah Jantung



2.5 Patofisiologi. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara



Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu. Namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.



Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis. Fungsinya sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang, transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu, sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.



Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Sarafsaraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat. 2.6 Pemeriksaan Penunjang -



Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi



limfositosis;



eosinofilia



jarang



ditemui.



Dapat



dijumpai



respon



hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,



dan



IgM,



akibat



demielinasi



saraf



pada



kultur



jaringan.



-Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS). Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.



-



Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yan tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan ang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.



-



Pemeriksaan patologi anatomi Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase lanjut,



infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuklear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya. -



Magnetic Resonance Imaging (MRI) Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darah-saraf. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan,



terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar. Gambar 1. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun dengan GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi diskus T12-L1 yang menyebabkan kompresi minimal pada conus medullaris11. -



Pemeriksaan lain Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi (EKG) yang biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin Kinase



biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang



berjalan



(impending).



Intubasi



dan



mekanisme



ventilasi



harus



dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 2.7 Penatalaksanaan Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi tetap harus diberikan: a. Terapi Farmakologi -



Kortikosteroid Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13 Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.14



-



Plasmaparesis Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang



menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat. Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsi,trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal. Imunoglobulin Intravena



Pengobatan



dengn



immunoglobulin



intravena



(IVIg)



lebih



menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmaparesis. Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.



Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis,



stroke,



infark



miokardial



akibat



sindrom



hiperviskositas.15



b. Terapi Suportif Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan.Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.



BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Pengkajian 1. Identitas Klien 2. Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Keluhan utama yang sering muncul adalah adanya kelemahan, baik kelemahan fisik secara umum ataupun lokalis seperti kelemahan otot-otot pernapasan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pernapasan. b.  Riwayat kesehatan sekarang Melemahnya otot pernapasan membuat klien berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang.Disfagia juga dapat timbul yang dapat mengarah kepada aspirasi.Selain itu, kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah, kelainan dari fungsi kardiovaskuler yang dapat menyebabkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang dapat mengancam kehidupan dalam tandatanda vital. c. Riwayat kesehatan dahulu Penyakit lain yang pernah dialami klien yang memungkinkan hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi riwayat ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Selain itu obat-obatan yang dikonsumsi klien juga dikaji seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik). d. Riwayat Penyakit Keluarga Perawat perlu mengakaji kondisi sakit dari generasi terdahulu, karena pada beberapa pasien cenderung memiliki kondisi penyakit herediter. e. Riwayat Penyakit Menular Seksual (PMS) Perawat perlu mengkaji apakah klien dulu pernah mengalami penyakit menular seksual (PMS) f. Psiko-sosio-spiritual Pengkajian ini dilakukan untuk memperoleh persepsi yang jelas tentang status emosi, kognitif, dan perilaku klien.Mekanismekoping klien juga penting dikaji untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat, dan apakah klien dapat mendiskusikan masalah kesehatan saat ini. Apakah klien merasa cemas dan timbul ketakutan akan kecacatan, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan timbul pandangan terhadap dirinya yang salah.Selain itu, perlu juga dikaji dampak



perawatan terhadap status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. 3. Pola Fungsi Kesehatan a. Pola Aktivitas dan Latihan b. Pola istirahat dan Tidur c. Pola Nutrisi dan Metabolik d. Pola Eliminasi Urine dan Fekal e. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi 6B dengan fokus pemeriksaan pada B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. - B1 (Breathing) Klien batuk, produksi sputum meningkat, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, takipnue (karena infeksi pernapasan), bradipnue (karena melemahnya otot-otot pernapasan). Terdapat bunyi napas tambahan seperti ronkhi akibat akumulasi secret dari infeksi saluran napas. - B2 (Blood) Gejala yang dapat diitemukan adalah bradikardi akibat penurunan perfusiperifer.Tekanan darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) yang berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis. - B3 (Brain) a. Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran pada klien GBS biasanya yaitu komposmentis.Tetapi dapat pula terjadi penurunan kesadaran, dan penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan keperawatan. b.  Fungsi serebri Yang dikaji yaitu status mental klien, yaitu bagaimana penampilan klien dan tingkah lakunya, gaya bicara dan ekspresi wajah klien, serta aktivitas motorik klien dimana pada tahap lanjut dapat disertai penurunan tingkat kesadaran. Biasanya status mental klien mengalami perubahan. c. Pemeriksaan saraf kranial  Saraf I :Tidak ada kelainan dan fungsi penciuman normal.  Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.  Saraf III, IV, dan VI : Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, paralisis ocular  Saraf V : terdapat paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah



 Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral  Saraf VIII : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi  Saraf IX dan X : terdapat paralisis pada otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral  Saraf XI : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan mobilisasi leher baik  Saraf XII : lidah asimetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal. d. Sistem motoric Kekuatan otot menurun, pada klien GBS tahap lanjut dapat terjadi perubahan control keseimbangan  dan koordinasi. Klien mengalami kelemahan motorick secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik. e. Pemeriksaan reflex Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respon normal. f. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, TIK, dan dystonia g. Sistem sensorik Gejala yang ditemukan yaitu parestesia dan kelemahan otot kaki, dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu. - B4 (Bladder) Pemeriksaan pada sistem kandung kemih biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine -  B5 (Bowel) Gejala yang biasa didapatkan yaitu mual muntah akibat peningkatan asam lambung. Anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan terjadinya penurunan pemenuhan nutrisi - B6 (Bone) Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. 3.2 Diagnosa Keperawatan 1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan 2 Ketidakefektifanbersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun



3 4 5 6 7



8 9



Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung Gangguan menelan berberhubungan dengan paralisis serebri Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neoromuskular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensorik, transmisi, dan/atau integrasi sensori serta ketikmampuan berkomunikasi atau berespons. Koping individu dan keluarga tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, dan ketidakberdayaa Cemas berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk.



3.3 intervensi keperawatan Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien, kluarga dan orang terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang dialami klien.Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan. Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses keperawatan sebab perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai. Hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa yang akan melakukan tindakan keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk klien, kluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara maksimal (Asmadi,2008) 3.4 Implementasi Keperawatan Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan keperawatan kedalam bentuk tindakan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan .kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008) 3.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil. Klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknnya, klien akan masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (Reassessment). Secara umum, evaluasi ditunjukkan untuk :



a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai



TINJAUAN KASUS Kasus Semu Ny.Y usia 42 tahun datang ke RS Patria Husadapada tanggal 25 Oktober 2020, di dapatkan, keluhan utama kesemutan pada anggota gerak bagian atas terutama tangan, klien juga mengeluh kaki tidak bisa digerakkan dan sudah 5 hari tidak BAB serta perut terasa mulas. Ny. Ybelum pernah mengalami seperti ini sebelumnya, ini adalah pertama kali Ny. Y masuk RS karena keluhan seperti ini.Dari hasil pemeriksaan diperoleh RR : 20x/menit, TTV : TD: 130/90 mmHg, N : 86x/m, S : 36,7 C, hasil lumbal fungsi menunjukkan peingkatan konsentrasi protein dan jumlah sel normal, serta bising usus 7x/m, perut teraba keras, teraba massa feses dicolon dessenden tetapi tidak ada nyeri tekan, klien juga mengalami gangguan menelan, sehingga porsi makan klien juga menurun, tidak ditemukan komplikasi gagal nafas pada klien. Selama 1 hari perawatan klien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan pada anggota geraknya. Pada pemeriksaan neurologi ditemukan kesadaran klien komposmentis, terdapat tetraparesis flaksid dengan kekuatan otot :inf 2/2 ,sup 4/3, tonus menurun, reflek tendo menurun dan reflek patologi negative. Gangguan sensori ditemukan rasa baal pada 4 ekstremitas dan nyeri saat sendi digerakkan.Hasil pemeriksaan penunjang ditemukan pada lumbal phungsi menunjukkan peningkatan konsentrasi protein dan jumlah sel masih normal. Atas dasar penemuan itu ditegakkan diagnosis Guillane Barre Syndrome (GBS) dimana GBS terjadi kelemahan flasid dan terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus cranialis. Manifestasi klinis GBS terjadi kelumpuhan otot-otot ekstremitas, sebagian besar dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara assenden kebadan, anggota gerak atas dan saraf cranialis.Kadangkadang juga bisa ke 4 anggota gerak dikenai secara serentak. Namun pada Ny. Y baru menyerang kesemutan pada tangan dan kesulitan bergerak pada kaki.Selain itu penderita juga mengalami gangguan sensibilitas dan fungsi otonom (2). Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesulitan defekasi pada Ny. Y tidak ditemukan sinus takikardi/sinus bradikardi.Gangguan saraf cranial juga tidak ditemukan.Tidak ada kelumpuhan otot-otot muka (N.VII), diplopia (N.IV atau N.III), sukar menelan, disfonia (N.IX dan N.X). 3.1 Pengkajian I. Identitas klien Nama : Ny. Y Jenis kelamin : Perempuan Usia : 42 Tahun Pendidikan : SMP Pekerjaan : Ibu rumah tangga Status perkawinan : Kawin Suku bangsa : Jawa Agama : Islam Alamat : Jl. Melati no.17 Surabaya Hari/Tanggal masuk RS : 25 Oktober 2019; pukul 08.25 WIB Tanggal Pengkajian : 25 Oktober 2019 No. Register : 8763879 Diagnosa medis : Guillain- Barre Syndrome (GBS)



II.



Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama : Tangan kesemutan dan kaki tidak dapat digerakkan b. Riwayat Penyakit Sekarang Sekitar 5 hari sebelum masuk Rumah Sakit, klien mengeluh tangan kesemutan dan kaki klien tidak dapat digerakkan dan selama 5 hari pula pasien mengatakan tidak BAB dan perutnya terasa mulas. Klien masuk RS Patria Husada dan disarankan oleh dokter S yang menangani untuk dirawat inap dan diteruskan ke ruang B1 Syaraf. Selama ada di Rumah sakit klien diobservasi dan dilakukan pemeriksaan. c. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya klien belum pernah dirawat di Rumah Sakit manapun. d. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama. e. Riwayat Penyakit Menular (PMS) Tidak ada riwayat penyakit menular pada pasien maupun keluarga pasien. f. Psiko-sosio danSpiritual Pasien mengatakan stress karena tiba-tiba kakinya tidak bisa buat bergerak, dan tangannya terasa kebas terus-menerus sehingga menyebabkan pasien tidak bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya. Pasien juga malu saat dijenguk tetangga karena keadaan seperti ini.Pasien juga mengatakan bahwa keadaannya sekarang membuat pasien sulit untuk melakukan ibadah seperti biasanya.



III.



Pola Fungsi Kesehatan 1. Pola Aktivitas dan Latihan  Kemampuan Perawatan Diri Skor 0 : mandiri, 1 : dibantu sebagian, 2 : perlu bantuan orang lain, 3 : perlu bantuan orang lain dan alat, 4 : tergantung pada orang lain / tidak mampu.



Aktivitas 0 1 2 3 Mandi Berpakaian Eleminasi √ Mobilisasi di tempat tidur √ √ Pindah Makan dan minum Gosok gigi √ Keterangan : Klien melakukan aktivitas dengan bantuan. 2. Pola Istirahat dan Tidur : KETERANGAN



SEBELUM SAKIT



SAAT SAKIT



4 √ √



√√



Jumlah Jam Tidur Siang Jumlah Jam Tidur Malam Pengantar Tidur Gangguan Tidur



± 1-2 jam/hari ± 5-6 jam/hari -



30-45 menit ± 4-5 jam/hari Terkadang merasa kebas



Perasaan Waktu Bangun



Merasa segar



pada bagian tangan dan kaki.



3. Pola Nutrisi- Metabolik KETERANGAN Frekuensi Jenis Porsi Total Konsumsi Keluhan



SEBELUM SAKIT 3x/hari Semua



SAAT SAKIT jenis



1x/hari Makanan yang lembut



dan



makanan Nafsu makan baik,



tidak berbau amis Nafsu makan berkurang, hanya



1 porsi habis 3 porsi/hari -



¼ porsi ¾ porsi/hari -



4. Pola Eliminasi Eliminasi Urin KETERANGAN



SEBELUM SAKIT



SAAT SAKIT



Frekuensi



4-6x/hari



2x/hari



Pancaran



Kuat



Sedang



Total Produksi Urin



800cc - 1200cc/hari



± 400 cc/hari



Eliminasi Alvi KETERANGAN



SEBELUM SAKIT



SAAT SAKIT



Frekuensi



1x/hari



Belum BAB



Konsistensi



Padat



-



Bau



Khas feses



-



Warna



Kuning kecoklatan



-



5. Pemeriksaan Fisik  Status Kesehatan Umum : Keadaan/ penampilan umum: baik



Kesadaran



: Compos mentis



BB sebelum sakit



: 50 Kg



BB saat ini



: 47 Kg



Perkembangan BB



: BB turun 3 Kg



Tanda – tanda vital



GCS: E:4, V:5, M:6 TB: 158 cm



:



TD



: 130/90 mmHg



N



: 86x/menit



Suhu



: 36,7 ᵒC



RR



: 20x/menit



 B1-B6 : BI (Sistem Pernafasan): Bentuk dada simetris, klien tidak sesak, irama nafas teratur, suara nafas normal : vesikuler. B2 ( Sistem Kardiovaskuler): Tidak ada keluhan nyeri dada, irama jantung teratur, CRT