ILMU SANAD JARH WA TA'DIL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA JARH WA TA’DIL KRITERIA DAN TINGKATANNYA Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sanad Hadist Dosen Pengampu DR. M. Nuruddin S.AG., M.AG



Disusun Oleh : 1. Zidan Fahman ( 2130410031 ) 2. Dichi Gangga Eric A. ( 2130410032 )



PROGRAM STUDI ILMU HADIS FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS TAHUN 2022



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dari mata kuliah Islam dan buadaya lokal yang diampu oleh Bapak Arif Friyadi,M.AG. tepat pada waktunya. Tanpa adanya rahmat dan hidayah Allah SWT tidak mungkin rasanya dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan benar. Makalah ini memaparkan tentang Islam Dan Spiritualitas Jawa yang disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Dan Budaya Lokas di Institut Agama Islam Negeri Kudus. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca dalam memahami materi tentang Islam Dan Spiritualitas Jawa. Kami sadar, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan masukan perbaikan sangat kami harapkan untuk menyempurnakan tugas-tugas serupa pada masa yang akan datang. Kami berharap, makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Kudus, 16 Mei 2022



Penyusun



2



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i KATA PENGANTAR............................................................................................... ii DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah................................................................................................. 2 C. Tujuan.................................................................................................................... 2 D. Manfaat.................................................................................................................. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Generalisasi........................................................................................................... 3 B. Generalisasi Ilmiah................................................................................................ 9 C. Analogi.................................................................................................................. 10 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................................................ 18 B. Saran...................................................................................................................... 18 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 19



3



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadits merupakan sumber kedua dalam pengambilan sebuah hukum stelah Al-qur’an, secara bahasa hadits berarti kabar, yaitu berita, peristiwa. Namun secara istilah hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik dalam perkataan, perbuatan, ataupun taqrir. Mengingat hadist merupakan sumber kedua dalam rujukan pengambilan hukum, maka sangat penting bagi kita umat Islam untuk mempelajari dan menggali haits-hadist yang shahih. Hadits sahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat, terdapat lima kriteria hadits sahih yang harus diperhatikan yaitu, ketersambungan sanad, perawi adil, hafalan perawi kuat, tidak ada syadz, dan tidak adanya ilat . itu semua dapat dibuktikan dengan cara mempelajari ilmu al-Jarh Wa Ta’dil. Kedudukan hadits (al-Sunnah) sebagai sumber ajaran Islam setelah AlQur'an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama. Berhujjah dengan hadits shahih jelas tidak diperdebatkan lagi, bahkan demikianlal! yang semestinya. Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang tidak sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah dengan masa penulisan dat1 pembula1an suatu hadits. Untuk meneliti keshahihahru1 suatu hadits dalam ilmu hadits dikembangkan dua cabrung ilmu yakni ilmu hadits riwayah: yang obyek kajiannya ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan meuiindahkan atau mendewankan dalam suatu diwan hadits. Dalam menyampaikan dat1 mendewru1kat1 hadits dinukilkan dat1 dituliskan apa adanya baik mengenai ma.tan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakat1 hal ibwal sifat parawi yang berkenaan dengru1 'adil, dllabith atau fasiq yang dapat berpengaruh terhadap shahih tidaknya suatu hadits. Perihal perawi merupakat1 obyek kajian ilmu hadits di royah. Karena kedudukan perowi sangat penting dalm menentukan keshahihan suatu hadit, maka ilmu hadis diroyah membahan secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “ Al-jarh Wa Al-Ta’dil “



4



A. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang kami temukan dalam membuat makalah ini adalah : 1. Apa yang dimaksud Jarh wa ta’dil? 2. Bagai mana pertumbuhan jarh wa ta’dil 3. Apa Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil 4. Apa Kebutuhan terhadap ilmu Al-Jarh wa Ta’dil 5. Apa saja tingkatan dan lafazd-lafadz jarh ata’dil? B. Tujuan Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah : 1.



Untuk mengetahui pengertian Generalisasi



2.



Untuk mengetahui macam-macam Generalisasi



3.



Untuk mengetahui pengertian Generalisasi ilmiah



4.



Untuk mengetahui pengertian Analogi



5.



Untuk mengetahui macam-macam Analogi



D. Manfaat Adapun manfaat yang dapat diperoleh pembaca dalam penulisan makalah ini agar para pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang Etika Jarh Wa Ta’dil Kroteria dan Tingkatannya



5



BAB II PEMBAHASNA A. Jarh Wa Ta’dil 1. Arti Al-Jarh Menurut bahasa, kata al-jarh merupakan mashdar dari kata jaraha-yajraha-jarhanjarahan yang artinya melukai, terkena luka pada badan, atau menilai cacat (kekurangan). Kalimat: Hakim menjarah saksi, artinya nilai keadilan si saksi menjadi gugur karena kebohongannya atau karena hal yang lain. Jika sudah demikian, kesaksiannya ditolak.1 Sementara itu menurut istilah, Muhammad Ajaj Al-Khatib memberi defenisi al-jarh dengan “ Sifat yang tampak pada periwayat hadis yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalan dan daya ingatannya yang menyebabkan gugur, lemah, atau tertolaknya periwayatan.“2 Kata al-tajrih merupakan bentuk transitif dari kata al-jarh yang secara bahasa diartikan menilai cacat. Oleh sebab itu, keduannya terkadang diartikan sama, yaitu menilai kecacatan periwayatan hadis. Sementara itu dari segi istilah, al-tajrih artinya “ Memberikan sifat kepada periwayatan hadis dengan beberapa sifat yang melemahkan atau tertolaknya periwayatan “.3 Baik al-jarh maupun al-tajrih digunakan untuk menilai kelemahan atau cara periwayat dalam hal keadilan atau ke-dhabith-an yang berdampak kepada tertolaknya periwayatan. 2. Arti Al-Ta’dil Dari segi bahasa, al-ta’dil berasal dari kata al-adl (keadilan) yang artinya suatu yang dirasakan lurus atau seimbang. Akar kata al-adl adalah ‘addala-yu’addilu-ta’dilan. Dengan demikian, al-ta’dil artinya menilai adil kepada seseorang periwayat atau membersihkan periwayat dari kesalahan atau kecacatan. Antonim al-ta’dil adalah al-jaur yang artinya penyimpangan. Orang yang bersifat adil persaksiannya diterima. 4 Sementara itu, defenisi aladl dari segi istilah adalah “ Orang yang tidak tampak sesuatu yang mencederakan dalam 1



Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wajiz, (Mesir: Wizarah Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim, 1997), hal.99.



2



Muhammad Ajaj Al-Khatib, Al-Mukhtashar Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Hadits, (Beirut: Mu’assasah AlRisalah, 1985), hal. 1103.



3 4



Ibid. Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wajiz, hal. 409.



6



urusan agama dan kehormatan (muru’ah). Oleh sebab itu, berita dan persaksiannya diterima jika memnuhi persyaratan5 “. Adapun al-ta’dil Memberikan sifat kepada periwayat hadis dengan beberapa sifat yang membersihkannya dari kesalahan dan kecacatan. Oleh sebab itu, tampak keadilan (pada dirinya) dan diterima beritanya.6 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa al-ta’dil berarti menilai adil seorang periwayat hadis dengan sifat-sifat tertentu yang membersihkan dirinya dari kecacatan berdasarkan sifat yang tampak dari luar. Jadi, al-jarh ialah sifat kecacatan periwayatan hadis yang menggugurkan keadilannya, sedangkan al-tajrih ialah nilai kecacatan yang diberikan kepadanya. Adapun al-adl ialah sifat keadilan periwayat hadis yang mendukung penerimaan berita yang dibawanya, sedangkan alta’dil ialah nilai adil yang diberikan kepadanya. 1. Pengertian Ilmu Kritik Sanad Hadis Adil Muhammad memberikan defenisi ilmu kritik sanad dan matan hadis (ilmu al-jarh wa alta’dil) dengan Ilmu yang membahas tentang sifat para periwayat, seperti amanah, tsiqah, adil, dan dhabith; atau sebaliknya, seperti dusta, lalai, dan lupa. Ilmu ini dikenal juga dengan ilmu mi’zan al-rijal.7 Ilmu ini membahas segala sifat periwayat dan menilainya apakah terpuji atau tercela. Sifat-sifat terpuji itu, seperti amanah, tsiqah, adil, dan dhabith; sedangkan sifat tercela, seperti bohong, lalai, dan lupa. Secara garis besar, ilmu al-jarh wa al-ta’dil menilai periwayat hadis apakah ia cacat atau adil sehingga berdampak pada diterima atau ditolaknya hadis yang diriwayatkannya. Objek pembahasan ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah meneliti para periwayat hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hadis apakah sahih atau da’if. B. Pertumbuhan Ilmu Kritik Sanad dan Hadist (Jarh Wa Ta’dil) 5



Muhammad Ajaj Al-Khathib, Al-Mukhtashar Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Hadits, hlm. 1103. Ibid 7 Adil Muhammad Darwisy, Nazharat fi Al-Sunnah wa ‘Ulum Hadits, (Jakarta: UIN, 1998), hlm. 231. 6



7



Ilmu ini sangat penting dalam menjaga hadist karena ilmu ini dapat diketahui nama hadist yang diterima dan mana yang ditolak. Diantara ayat alquran yang menjadi dasar timbulnya ilmu ini adalah : “ dan persaksikanlah dengan dua rang saksi laki-laki diantara kamu. Jika tidak ada saksi laki-laki maka boleh seorang lakilaki dan dua orang perempuan diantara orang-orang yang kamu ridhai dari para saksi yang ada, agar jika yang serang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya”.(QS.Al-Baqarah(2):282) Pada ayat diatas orang-orang yang kamu ridhai maksudnya diridhai dalam agama dan bersifat amanah. Selain itu ayat diatas juga menjadi dasar lahirnya ilmu al-jahr wata’dil. Jika dalam persaksian harta benda saja disyaratkan adanya saksi yang diridhai, apalagi saksi dalam periwayatan hadist. Tentu syarat tersebut wajib ada. Persaksian itu menyatakan bahwa ia meriwayatkan hadist dari orang-orang tsiqah saja. Pada masa nabi, saksi itu harus orang yang diridhai agamanya, yaitu orang-orang yang bersifat jujur, amanah dan adil. Dalam hadist nabi juga ada al-jahr, yaitu penilaian cacat terhadap seseorang yang meminta izin kepada beliau. Dari Urwah bin Zubir bahwa Aisyah ra. Memberitakan kepadanya. Aisyah berkta “ ada seorang laki-laki yang meminta izin kepada Rasulullah. Beliau kemudian bersabda,’ izinkan ia, sseburk buruk rang adalah jamaah (kabilah) atau anak jamaah.’ Tatkala ia masuk Rasululah melayaninya dengan perkataan lemah lembut. Aku bertanya, “ya Rasulullah, engkau berkata-kata sebagaimana yang engkau katakan kemudian engkau bertutur kata yang lembut?’’ Raulullah bersabda,” wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk orang adalah yang ditinggalkan manusia atau yang dihindari karena khawatir akan kejahatannya.” (HR.AlBukhari). Seorang laki-laki yang meminta izin untuk masuk kerumah rasulullah adalah Uyainah bin Hushain. Ia adalah pimpinan kabilah yang berpengaruh dan pada waktu itu sebelum masuk islam, tetapi berpura-pura menjadi muslim. Ketika meminta izin kepada Rasulullah, ia diizinkan masuk lalu keluarlah dengan kata-kata celaan beliau kepadanya. Maksud celaan itu ialah agar para sahabat mengetahui jati diri Uyainah dan tidak tertipu dengan orang yang belum jelas identitasnya. Setelah Uyainah masuk edalam rumah, rasulullah menghormatinya dan menyambut dengan perkataan yang lemah lembut sambil berharap kelunakan hatinya untuk masuk Islam.



8



Sementara itu dalam sebuah hadist juga terdapat penilaian adil atau pujian rasulullah kepada seorang sahabat seperti sabda beliau berikut. “ sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Al-Walid. Ia adalah pedang diantara sekian pedang Allah” .(HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi) Hadist nabi diatas merupakan pujia terhadapa Khalid bin Al-Walid seorang sahabat yang memiliki sifat pemberani dalam medan tempur sehingga mampu mengalahkan musuh musuhnya. Ilmu al-jarh wa al-ta’dil tumbuh berkembang besama periwayatan hadist. Sebagaimana periwayatan hadist sahih, tentu tidak lepas dari mengenal para periwayatnya sehingga dapat ditentukan apakah hadist tersebut diterima atau ditolak. Sejak awal masa islam, banyak dikalangan sahabat, tabi’in yang membicarakan sifat sifat para periwayat dengan penuh keikhlasan dalam rangka memelihara hadist sebagai sumber syariat. Membicarakan cacat eriwayat- dalam knteks ilmu al-jarh wa al-ta’dil- tidak tergolong bergunjing karena tujuannya adalah memelihara agama Allah dan sunnah Rasulullah. Ulama memperbolehkannya karena bertujuan memelihara orisinalitas syariat, bukan mencela seorang semata. Membicarakan cacat periwayat itu boleh sebagaimana bolehnya membicarakan kesalahan orang yang disaksikan didepan pengadilan. Tidak hanya itu, penelitian periwayat hadist lebih utama daripada penelitian hak dan harta benda. Diantara orang-orang yang ahli dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil dikalangan para sahabat adalah Abdullah bin Abbas, Ubadah bin Al-Shamit, dan Anas bin Malik. Dikalangan tabi’in, diantaranya Muhammad bin Sirin dan Amir Al-Sya’bi. Dikalangan tabi tabi’in diantara syubah bin Al-Hajjaj dan Malik bin anas. Sementara itu kritikus lain yang terkenal adalah Syufyan bin Uyainah, Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Beberapa contoh keahlian para kritikus hadist dalam menjelaskan sifat para periwayat sebagaimana dikutip Adil Muhammad bahwa Syu’bah bin Al-Hajjaj pernah ditanya tentang hadist Hakim bin Jubair. Ia menjawab” aku takut neraka. Hakim bin Jubair tegas terhadap pendusta.” Al-sYafi’i berkata : andaikan tidak ada Syu’bah, hadist tidak dapat diketahui di Irak.” Demikian keahlian dan ketelitian seorang kritikus hadist dalam meniali seorang periwayat hadist.



9



C. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil Dalam melakukan jarh dan ta’dil akan terungkap aib dan kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermaslahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang ter maktub dalam surat Al-Hujurat ayat 10, dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadist Nabi yang menayatakan : “ Brang siapa yang menutupi aib saudaranya ( muslim ) di dunia, maka Allah akan menuttupi baginya di hari Qiyamah “ Menanggapi permasalahan diatas Ajaj al-Khatib berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah Syari’ah yang umum telah menunjukkan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ihwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-sunnah ( al-hadist ). a. Firman Allah dalam surat al-Hujjurat ayat 6 b. Firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 282. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya peruiwayatan yang slah satusegi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatan, maka al-jarh wa ta’dil ini dipratekkan pada masa sahabat, tabi’in.



D. Kebutuhan terhadap ilmu Al-Jarh wa Ta’dil Kebutuhan terhadap sanad hadist berpegang pada ilmu jarh wa at-ta’dil dan tarikh arruwat. Shubi Ash-shalih mendefenisikan ilmu jarh wa at-ta’dil sebagi ilmu yang membahas keadaan para rawi baik ketercelaannya maupun keadilannya dengan lafaz-lafaz tertentu. Para ahli bidang ilmu ini telah merintis ilmu al-jarh wa at-ta’dil sejak para masa sahabat hingga masa para ulama mutaakhkhirin yang menekuni ulum al-hadist. Adapun wilayah kajian ilmu tarikh al-ruwah sebagaimana dijelaskan ibn ash-shalah. Pembahasannya meliputi tempat, tahun kelahiran, dan wafat para perawi, aktivitas dan keahlian dalam bidang hadist. Jika demikian , ilmu tarikh ar-ruwh merupakan bagian lain dari ilmu al-jarh wa attakdil dan kedua ilmu itu berada dalam wilayah ilmu rjal al-hadist. Permasalahan yang berhubungan dengan kedua ilmu itu dibahas secara berurutan berdasarkan tingkat kepentingannya dalam studi sanad yaitu : 1. Hal-hal yang berkaitan dengan al-jarh wa at-ta’dil 2. Corak kitab-kitab yang tersusun yang membahas biografi dan sejarah hidup para rawi 10



3. Catatan kesejarahan yang mencatat tentang berbagai karya biografi para perawi tersebut. 4. Informasi tentang mushannafat(berbagai karangan tentang hadist dan para perawinya) yang paling mahsyur dan penjelasan tentang kualitasnya secara ilmiah dan metode penyusunnya. Kebutuhan ilmu al-jarh wa ta’dil untuk menghukumi rijal-al isnad dapat diketahui setelah mengetahui kaidah al-jarh wa at-ta’dil yang telah menjadi pegangan para ahli hadist. Kaidah tersebut berfungsi sebagai berikut : 1. Mengetahui syarat-syarat perawi yang diterima. 2. Mengetahui cara menetapkan keadilan dan ke-dhabitan para perawi. 3. Mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan pembahasan ini. Seorang pembahas sanad tidak mungkin dapat menggambarkan hasil pembahasannya sekalipun ia telah membaca kitab biografi para perawi yang menjadi sanad hadis, apabila ia tidak mengetahui dan memahami kaidah-kaidah al-jarh wa ta’dil yang tersusun dalam lafazlafaznya. Ia pun tidak akan memahami berbagai tingkatan lafaz sesuai dengan peristilahan baku yang dipegang para ahli dibidangnya sehingga ia tidak akan dapat membedakan lafaz yang paling tinggi martabatnya dari lafaz keadilan itu dan lafaz yang paling rendah tingkatannya dari lafz kecacatan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kaidah al-jarh wa atta’dil perlu diketahui oleh setiap para peneliti sanad dengan baik sebelum yang lainnya. E. Tingkatan dan Lafazd-Lafadz Jarh Ata’dil F. Contoh Mengetahui Jarh Wa Ta’dil Jika ingin mengetahui tingkat kredibilitas seorang periwayat, dapat ditelusuri dalam kitab Al-Jarh wa Al-Ta’dil. Penelitian ini sangat diperlukan bagi para peneliti yang ingin mengetahui derajat kualitas hadis. Berikut ini contoh penelusuran kualitas sufyan Al-Tsauri dan Muslim bin Khalid Al-Zanji. 1. Mengenai sufyan Al-Tsauri dapat dilihat dalam kitab Tahdzib Al-Asma’ wa AlLughat juz l halaman 314 nomor 216 Al-Nawawi. Sufyan bin Uyainah; nama panggilannya adalah Abu Muhammad. Ia tinggal dan wafat di Mekah. Ia tergolong tabi’in. ia mendengar hadis dari Al-Zuhri, Amr bin Dinar, Al-Sya’bi, Abdullah bin Dinar, Muhammad bin Al-Mukandar, dan beberapa 11



orang tabi’in lainnya. Murid-muridnya yang mengambil hadis darinya adalah AlA’masy, Al-Tsauri, Mas’ar, Ibnu Juraij, Syu’bah, Hammam, Waki, dan para imam yang tidak terhitung jumlahnya. Al-Tsauri meriwayatkan dari al-Qathan dari Ibnu Uyainah bahwa Mereka sepakat atas keimanan, keagungan, dan kebesaran martabatnya. Kami juga meriwayatkan dari Ibnu Wahbin. Ia berkata, ayat “Aku tidak melihat orang yang paling alim dengan kitab allah daripada Ibnu Uyainah” Abu Hatim berkata “aku mendatangi ashhab Al-Zuhri Malik dan Ibnu Uyainah (Sufyan). Ia lebih mengetahui hadis Amr bin Dinar daripada Syu’bah.” Yahya bin Al-Qathan berkata: “sufyan adalah seorang imam sejak usia 40 tahun. Demikian itu dalam kehidupannya.”



Berdasarkan penjelasan ulama kritikus hadis mengenai Sufyan bin Uyainah, dapat disimpulkan sebagai berikut. a) Para periwayat hadis ada hubungan dengan Sufyan, baik sebagai murid maupun guru, berarti ada ittishal (pertemuan) sementara itu, orang-orang yang tidak disebutkan sebagai murid atau guru hendaknya dilihat lagi kemungkinan pertemuannya, seperti kapan mereka lahir dan wafat, serta dimana mereka hidup. b) Pujian terhadap Sufyan bin Uyainah menunjukkan tingkat al-ta’dil yang tinggi karna menggunakan



kalimat



lebih



alim dan ulama



sepakat dengan



keagungannya. 2. Contoh kritik al-jarh terhadap periwayat Muslim bin Khalid Al-Zanji dalam kitab Tahdzib Al-Asma wa Al-Lughat juz I halaman 622-623 nomor 571 karya Al-Nawawi.



3. Al-Khatib berkata, “Ia adalah Muslim bin Khalid bin Sa’id bin Jurjah Al-Zanji AlMakki Al-Qurasyi Al-Makhzumi, Maula abu Sufyan bin Abdillah bin Abdil Asad. Ia 12



tergolong tabi’ tabi’in. guru-gurunya adalah Ibnu abi Malikah, Al-Zuhri, Amr bin Dinar, Zaid bin Aslam, Hisyam bin Urwah… murid-muridnya adalah Al-Syafi’I, AlHumaidi, Ibnu Wahbi, Al-Qa’nabi… Ibnu Abi Hatim berkata, “Muslim Al-Zanji adalah imam dalam fiqh dan ilmu.” Ke-Tsiqah-annya diperselisihkan para kritikus. “ibnu Ma’in berkata, “La Tsiqah.” Sementara itu dalam riwayat lainnya, “tidak apaapa” “ali bin Al-Madini berkata, ‘ia tidak dipandang apa-apa’.” “Al Bukhari mengatakan ‘hadisnya munkar” Abu Hatim berkata, “ia tidak kuat, mungkar hadisnya, tidak ditulis hadisnya, tidak dijadikan hujan, diketahui, dan munkar.” Para kritikus berbeda pendapat dalam menilai ke-tsiqah-an dan kecacatan Muslim bin Khalid Al-Zanji. Ketika terjadi kontradiksi seperti itu, peneliti dapat memilih salah satu pendapat yang ada.



13



KESIMPULAN Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan ilmu yang besar pengaruhnya dan kita sangat memerlukannya karena ilmu ini merujuk pada keabsahan para periwayat Ilmu Jarh Wa Ta’dil ialah ilmu yang meneliti para periwayat hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hadis apakah sahih atau da’if.



DAFTAR PUSTAKA Majma’. Al-Mu’jam Al-Wajiz, Mesir: Wizarah Al-Tarbiyah wa Al-Ta’lim. 1997. Muhammad. Al-Mukhtashar Al-Wajiz fi ‘Ulum Al-Hadits. Beirut: Mu’assasah Al-Risalah. 1985 Adil. Nazharat fi Al-Sunnah wa ‘Ulum Hadits 1998. Jakarta: UIN. 1998. Abdul. Takhrij dan Metode Memahami Hadis. Jakarta: AMZAH. 2014. Ayat, Beni. Teori Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2016.



14