IMT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Usulan Penelitian



Kepada Yth:



PERANAN INSPIRATORY MUSCLE TRAINING PADA PROGRAM REHABILITASI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK



Diajukan oleh: Dr. dr. Nury Nusdwinuringtyas, Sp.KFR(K), M.Epid.



DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA 2016



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI DAFTAR BAGAN DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN BAB 1



PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang



1 1.2



Rumusan Masalah



3 1.3



Tujuan Penelitian



3 1.3.1 Tujuan Umum 1.3.2 Tujuan Khusus 1.4 4 1.5 1.5.1 1.5.2 BAB 2



4 Manfaat Teoritis Manfaat Aplikatif TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Inspiratory Muscle Training 2.1.1 Definisi dan Sejarah 2.1.2 Jenis-Jenis Inspiratory Muscle Trainer 2.1.3 Mekanisme kerja 2.2 PPOK 2.2.1 Definisi dan Diagnosis 2.2.2 Patogenesis dan Patologi PPOK 2.2.3 Struktur dan Fungsi Otot Pernafasan Normal 2.2.4 Mekanisme Disfungsi Otot Pernafasan 2.3



6 Minutes Walking Test



Hipotesis Manfaat Penelitian



2.4



Spirometri



BAB 3



KERANGKA KONSEP PENELITIAN



BAB 4



METODE PENELITIAN 4.1.



Rancangan Penelitian



4.2.



16 Tempat dan Waktu Penelitian 16 Subjek Penelitian



4.3.



16 4.3.1. Populasi 4.3.2. Besar Subjek 4.3.3. Kriteria Sampel 4.3.3.1.



Kriteria Inklusi



4.3.3.2.



17 Kriteria Eksklusi



4.3.3.3.



18 Kriteria Drop-out



4.3.3.4.



18 Cara Pengambilan Sampel 18 Teknik Pengumpulan Data



4.4.



19 4.4.1. 4.4.2. 4.4.3. 4.4.4. 4.4.5. 4.5.



Persiapan Alat dan Bahan Pemeriksaan Spirometri Pemeriksaan Uji Jalan Enam Meter Pelatihan Targeted IMT pada PPOK Pemberian Log Book Definisi Operasional 24



4.6. 4.7. 4.8.



Etika Penelitian Manajemen dan Analisis Data Kerangka Kerja



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



DAFTAR BAGAN



Bagan 2.1. Bagan 2.2. Bagan 3.1. Bagan 4.1.



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3.



DAFTAR SINGKATAN



IMT



: Inspiratory Muscle Training



6MWT



: Six-Minute Walk Test



PPOK



: Penyakit Paru Obstruksi Kronis



DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran 1. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian (Informed Consent) Lampiran 2. Formulir Penjelasan Subjek Penelitian Lampiran 3. Formulir Pengunduran Diri dari Penelitian Lampiran 4. Formulir Persetujuan Dokumentasi dan Publikasi Data Lampiran 5. Status Penelitian Lampiran 6. Perkiraan Biaya Penelitian



BAB I PENDAHULUAN



Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara disaluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. Keluhan utamanya antara lain sesak napas, batuk kronis dengan sputum dan keterbatasan aktifitas. PPOK,Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI,Jakarta, 2003:1 Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), PPOK menempati urutan kelima sebagai penyebab kematian tersering di seluruh dunia setelah infark miokard, stroke, pneumonia dan tuberculosis.1 Diperkirakan pada tahun 2020 akan naik menjadi urutan ketiga. Peningkatan ini dikaitkan dengan peningkatan populasi yang merokok dan paparan polusi asap lainnya. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 didapatkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% per mil, dimana prevalensi tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan masing-masing (6,7%).2 Goal utama pada rehabilitasi paru adalah agar pasien dapat mencapai level tertinggi dalam hal fungsi secara mandiri dengan cara meningkatkan kemampuan fungsional paru melalui latihan dan untuk mengurangi gejala.3 Latihan fisik merupakan dasar dari rehabilitasi pernapasan yang dapat meningkatkan baik toleransi terhadap latihan dan juga kualitas hidup dari pasien PPOK. Untuk dapat mencapai efek fisiologis dari latihan fisik maka diperlukan intensitas latihan yang optimal, namun pada penderita PPOK, rasa sesak dan kelelahan otot dapat membatasi kemampuan untuk mempertahankan latihan fisik dengan intensitas tinggi pada periode waktu yang cukup untuk mencapai efek fisiologis dari latihan. Fungsi respirasi yang terganggu oleh karena kelemahan otot inspirasi dapat menurunkan toleransi latihan sehingga latihan tidak menjadi efektif. 4 Pasien PPOK dapat mengalami disfungsi otot inspirasi karena berbagai sebab antar lain, perubahan mekanik respirasi, malnutrisi, hipoksia, deconditioning dan pemakaian steroid lama dimana pasien akan mengalami sesak dan menurunnya toleransi latihan. Sebagai dampaknya, pasien akan mengurangi aktivitas fisik, dimana secara terus – menerus akan meningkatkan sesak dan



semakin menurunkan toleransi latihan serta kualitass hidup. Sama halnya dengan otot rangka, otot inspirasi dapat beradaptasi terhadap latihan ketika diberikan suatu tahanan.5 Inspiratory Muscle Training (IMT) merupakan teknik latihan yang digunakan untuk meningkatkan ventilasi dengan meningkatkan koordinasi respirasi, endurans dan kekuatan. Latihan IMT menggunakan alat telah banyak digunakan pada pasien PPOK untuk meningkatkan fungsi otot inspirasi, mengurangi sesak dan meningkatkan toleransi latihan.6 Penelitian tentang Peranan Insiratory Muscle Training pada Penderita PPOK sudah banyak di lakukan. Pada tahun 1997, American Collage of Chest Physicians (ACCP) mengungkapkan bahwa ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan IMT sebagai bagian dari Rehabilitasi Paru. Mereka menyimpulkan dalam penelitian bahwa stimulus atau penempatan beban pada otot inspirasi pada saat pelatihan cukup untuk menambah kekuatan otot-otot inspirasi, peningkatan kapasitas dan penurunan dyspnea. . ACCP/AACVPR pulmonary rehabilitation guidelines panel. Pulmonary rehabilitation—Joint ACCP/AACVPR evidence-based guidelines. Chest 1997;112:1363–95. Demikian pula, hasil penelitian meta-analysis dari pasien PPOK yang menjalani rawat inap oleh Lotters Associates yang menunjukan bahwa IMT dapat mengurangi dyspneu pada pasien. Ketika terjadi penurunan dyspnea maka juga terjadi peningkatan kapasitas fungsional. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa pada pasien post-IMT dengan kriteria seleksi, sebagian besar pasien mengalami banyak perubahan yang signifikan. . Lotters F, van Tol B, Kwakkel G, et al. Effects of controlled inspiratory muscle training in patients with COPD: a metaanalysis. Eur Respir J 2002;20:570–8 Dengan adanya cukup bukti dari hasil penelitian-penelitian tersebut dimana IMT menunjukan peningkatan fungsi dari otot-otot respirasi pada pasien penderita PPOK, namun kenyataanya IMT tidak secara rutin dilakukan dalam program rehabilitasi paru pada pasien dengan PPOK. Penelitian ini dirancang dalam rangka mengevaluasi peranan Inspiratory Muscle Training pada penderita PPOK dalam program Rehabilitasi Paru jangka panjang. Penelitian ini akan menilai fungsi paru, kekuatan otot-otot inspirasi, performa latian dan kualitas hidup pasien penderita PPOK.



1.1.



RUMUSAN MASALAH



Bagaimana peranan Inspiratory Muscle Training pada program Rehabilitasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik ?



1.2.



TUJUAN PENELITIAN



1.2.1. Tujuan Umum Mengetahui peranan Inspiratory Muscle Training pada program Rehabilitasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik. 1.2.2. Tujuan Khusus



1.



Menilai kekuatan otot-otot inspirasi dan kualitas hidup pasien PPOK pada pre dan post



2.



IMT Menilai peranan 6 Minutes Walking test dalam menilai kapasitas fungsional pasien PPOK pada pre dan post IMT



1.3.



HIPOTESIS



Pada pasien PPOK yang mendapatkan program Inspiratory Muscle Training didapatkan peningkatan kekuatan otot-otot inspirasi, kapasitas fungsional dan kualitas hidup. 1.4.



MANFAAT



1.4.1. Manfaat Teoritis



1. Mengetahui keefektifan program Inspratory Muscle Training pada penderita PPOK



1.4.2. Manfaat Aplikatif Menetapkan Insiratory Muscle Training sebagai bagian dari program Rehabilitasi paru pada penderita PPOK.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 INSPIRATORY MUSCLE TRAINING 2.1.1 Definisi dan sejarah penggunaan Inspiratory muscle training (IMT) merupakan suatu bentuk latihan yang terdiri dari beberapa jenis latihan pernapasan yang bertujuan untuk menguatkan otot – otot pernapasan sehingga akan membuat proses bernapas menjadi lebih mudah. Inspiratory muscle trainer merupakan alat yang digunakan dalam latihan otot – otot inspirasi. Penggunaan inspiratory muscle trainer telah dibahas pada beberapa literatur sejak awal tahun 1980an. Banyak jenis IMT yang dihasilkan dan penelitian – penelitian mengenai IMT memberikan hasil yang bervariasi bergantung pada jenis alat yang digunakan. Jenis – jenis IMT yang ada saat ini kecil dan mudah digunakan. Tujuan penggunaan IMT adalah untuk meningkatkan endurans dan kekuatan otot inspirasi, dengan demikian akan memberikan efek positif terhadap gejala, kapasitas latihan dan kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien – pasien dengn masalah pernapasan. 5 2.1.2 Mekanisme kerja IMT IMT bekerja dengan memberikan ambang tahanan terhadap inspirasi yang dihirup pasien untuk meningkatkan otot – otot inspirasi. IMT digunakan berulang kali selama sesi latihan dan memberikan level tahanan yang tetap. Selama latihan diharapkan pasien dapat meningkatkan kekuatan otot – otot inspirasi. Dengan menguatnya otot – otot inspirasi, derajat sesak pasien seharusnya berkurang seiring proses bernapas menjadi lebih mudah. Juga dengan berkurangnya usaha bernapas, diharapkan terjadi peningkatan performa aktivitas fisik pasien dan kualitas hidup.4 2.1.3 Jenis-jenis Insiratory muscle Trainer



Tipe inspiratory muscle training dibagi 3, yaitu :18 1. Non targeted inspiratory resistance trainers 2. Targeted inspiratory resistive atau threshold trainers 3. Normocapnic hyperventilation trainers



1. Nontargeted inspiratory resistance trainers Jenis alat ini tidak memberikan target dalam mengatur pola pernapasan pasien. Dengan tidak adanya target, maka tidak memungkinkan pasien untuk mencapai intensitas latihan yang dibutuhkan. Jenis alat yang paling sering digunakan adalah PFlex dan IMT dari DHD.



Gambar 3. PFlex 2. Targeted inspiratory resistive atau threshold trainers Alat ini memberikan sebuat target tahanan dimana pasien akan berusaha untuk melakukan inspirasi. Threshold trainers mengatur intensitas tekanan inspirasi. Intensitas latihan yang dibutuhkan oleh pasien dapat dicapai dan dipertahankaan kecuali jika pasien merubah pola pernapasannya secara signifikan. Targeted inspiratory trainers memberikan umpan balik visual pada pola napas. Tambahan tahanan ditempatkan sejajar dengan mouthpiece. Cara termudah dan paling umum adalah dengan menggunakan insentif spirometer untuk mengkombinasikan target dan nontargeted inspiratory resistive trainer dalam mengatur tahanan.



Threshold trainer merupakan alat kecil yang terdiri dari mouthpiece dan sebuah katup berisi spiral yang diberi beban dimana katup ini berfungsi mengatur beban latihan tekanan inspirasi yang konstan dan pasien harus menghasilkan tekanan insirasi untuk membuka katup inspirasi dan memungkinkan adanya inhalasi udara. Katup ini dapat diatur tekanannya dan diatur sesuai dengan persentase tekanan inspirasi maksimal pasien (PImax).



Gambar 4. Targeted trainers



Gambar 5. Threshold trainers18



Cara penggunaan threshold IMT:19 1. Pasien memakai noseclip pada hidung 2. Pasien menempatkan mouthpiece dalam mulut kemudian menghirup udara melalui alat IMT dan tahanannya dihasilkan oleh katub spiral didalamnya 3. Pasien mengulangi kembali beberapa kali dan tahanan dapat ditingkatkan sesuai kemampuan pasien.



4. Normocapnic hyperventilation trainer.



Alat ini memberikan target visual dan menggunakan sistem rebreathing dengan oksigen untuk mempertahankan level konstan arterial CO2 dan O2. Intensitas latihan diatur menurut persentase maximum voluntary ventilation pasien. Tipe alat ini membutuhkan perlengkapan yang lebih lengkap dibandingkan dengan inspiratory muscle trainer lainnya. Alat ini awalnya digunakan dalam penelitian dan jarang digunakan oleh klinisi.



Gambar 6. Normocapnic hyperventilation trainer20



2.2 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) 2.2.1 Definisi Dan Diagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronik pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang noxious. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai pertanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya. Komplikasi PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya7



Diagnosis PPOK dapat dipertimbangkan berdasarkan dari anamnesis (meliputi sesak napas, batuk kronik atau batuk kronik berdahak, dan riwayat pajanan terhadap faktor risiko PPOK), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (rontgen toraks dan spirometri).7



Pasien PPOK berdasarkan GOLD 2014 diklasifikasikan menjadi A, B, C dan D menurut pengkajian PPOK kombinasi.8 Klasifikasi pasien kelompok A :8 



Risiko rendah mengalami eksaserbasi, gejala sesak rendah. Kelompok spirometri GOLD 1-2. Riwayat eksaserbasi sebelumnya 1 kali per tahun. Skor COPD Assessment Test (CAT) : < 10 dan skor mMRC: 0-1.



Klasifikasi pasien kelompok B : 



Risiko rendah mengalami eksaserbasi, gejala sesak tinggi. Kelompok spirometri GOLD 1-2. Riwayat eksaserbasi sebelumnya 1 kali per tahun. Skor COPD Assessment Test (CAT) : ≥ 10 dan skor mMRC: ≥ 2.



Klasifikasi pasien kelompok C : 



Risiko tinggi mengalami eksaserbasi, gejala sesak rendah. Kelompok spirometri GOLD 3-4. Riwayat eksaserbasi sebelumnya ≥ 2 kali per tahun. Skor COPD Assessment Test (CAT) : < 10 dan skor mMRC: 0-1.



Klasifikasi pasien kelompok D PPOK : 



Risiko tinggi mengalami eksaserbasi, gejala sesak lebih banyak.



Kelompok



spirometri GOLD 3-4. Riwayat eksaserbasi sebelumnya ≥ 2 kali per tahun. Skor COPD Assessment Test (CAT): ≥ 10 dan skor mMRC : ≥ 2



2.2.2 Patogenesis Dan Patologi PPOK



Proses patogenesis PPOK memperlihatkan abnormalitas yang komplek pada struktur jaringan alveolar dan saluran napas. Proses perubahan patologi terjadi pada tingkat seluler dan jaringan termasuk inflamasi, proliferasi sel, apoptosis, perubahan fenotip sel-sel paru dan remodelling matriks ekstra selular. Sejumlah mediator seperti proteinase, oksidan dan sitokin dipengaruhi oleh proses patologi pada pasien PPOK.8 Perubahan patologi terjadi pada saluran napas bagian proximal dan distal, parenkim paru dan pembuluh darah paru. Sel-sel inflamasi kronik pada semua bagian paru mengalami perubahan baik dalam segi jumlah maupun jenis. Secara umum, perubahan saluran napas berhubungan dengan derajat keparahan penyakit dan intensitas merokok. PPOK bisa terjadi pada penderita tanpa merokok namun proses apa yang terjadi sebenarnya masih belum diketahui.9 Patofisiologi PPOK a.



Mekanisme Hiperinflasi



Tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil berkolerasi dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK. Obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktivitas. Hiperinflasi menyebabkan kekuatan diafragma menurun. Hal ini terjadi sekunder akibat pemendekan serabut otot diafragma sehingga otot diafragma berada di titik suboptimalnya pada kurva length-tension. Selain itu, karena radius kurvatura diafragma bertambah, terjadi reduksi usaha yang dapat dilakukan oleh otot diafragma (hukum Laplace). Hiperinflasi juga menyebabkan menurunnya zona aposisi antara serabut diafragma kostal dan rongga dada sehingga diafragma menjadi datar padahal zona ini penting untuk elevasi kosta bawah pada saat inspirasi. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi air trapping, sehingga mengurangi volume residu dan gejala serta meningkatkan keterbatasan kapasitas latihan.8,9



b.



Mekanisme pertukaran gas



Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Secara umum, pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung. Hambatan saluran napas dan kerusakan parenkim paru menyebabkan berkurangnya ventilasi sehingga terjadi retensi CO2. Tingkat keparahan emfisema berkolerasi dengan PO2 arteri dan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q).10 c.



Gambaran sistemik



Beberapa laporan penelitian menyatakan bahwa pasien PPOK mengalami komplikasi sistemik, khususnya pada penyakit yang berat. Hal ini berdampak besar terhadap daya tahan hidup dan penyakit komorbid. Kaheksia umumnya terlihat pada pasien PPOK disebabkan oleh hilangnya massa otot rangka dan kelemahan otot sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat dan atau tidak digunakannya otot-otot tersebut. Pasien PPOK juga mengalami peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronik. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-alpha, IL-6 dan radikal bebas dapat mengakibatkan efek sistemik tersebut. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, berkolerasi dengan peningkatan protein C-reaktif.11 2.2.3 Struktur Dan Fungsi Otot Pernapasan Normal Saat respirasi terdapat dua kelompok otot yang bekerja pada dinding dada yaitu otot inspirasi dan otot ekspirasi. Otot inspirasi utama, yaitu otot-otot yang berkontraksi untuk inspirasi saat pernapasan biasa adalah diafragma dan otot intercostalis eksternus. Diafragma merupakan otot rangka yang berbentuk kubah dan membentuk dasar rongga thoraks serta dipersarafi oleh nervus phrenicus. Otot interkostal eksternus berada pada bagian atas dari otot interkostal internus. Kontraksi otot interkostal eksternus yang serabutnya ke arah bawah dan depan diantara kosta membesarkan rongga toraks ke arah lateral dan anteroposterior. Saat otot interkostal eksternus yang diinervasi oleh nervus interkostal berkontraksi akan mengangkat kosta dan sternum ke atas dan keluar.12



Gambar 1. Otot pernapasan12



Gambar 2. Aktivitas otot pernapasan12



Sebelum permulaan inspirasi otot-otot pernapasan dalam keadaan relaksasi sehingga tidak ada aliran udara dan tekanan intra alveolar sama dengan tekanan atmosfer. Saat awal inspirasi otot pernapasan mulai berkontraksi mengembangkan rongga toraks, diafragma turun memperbesar volume rongga toraks dengan meningkatkan dimensi vertikal (atas-bawah). Diafragma juga mengelevasi batas tepi kosta terbawah, sehingga meningkatkan diameter tranversal rongga dada. Saat inspirasi biasa diafragma turun 1 cm, namun saat inspirasi dalam dapat turun mencapai 10 cm. Otot abdomen sewaktu relaksasi akan menonjol keluar sementara diafragma yang turun menekan isi abdomen ke bawah dan ke depan. 70% dari pengembangan rongga toraks saat inspirasi biasa dipengaruhi oleh diafragma.12,13 Inspirasi yang dalam dapat terjadi dengan mengkontraksikan otot diafragma dan otot interkostal eksternus lebih kuat dan dengan mengkontraksikan otot bantu pernapasan, yaitu sternokleidomastoideus dan skalenus untuk meningkatkan pembesaran rongga toraks. Kontraksi otot ini mengangkat sternum dan dua kosta teratas sehingga terjadi pembesaran rongga toraks bagian atas.12 Akhir inspirasi terjadi relaksasi otot-otot inspirasi, diafragma kembali ke posisi bentuk kubah. Elevasi rongga kosta turun akibat gravitasi saat interkostal eksternus relaksasi. Karena tidak adanya gaya yang menyebabkan ekspansi rongga toraks maka



dinding dada dan paru yang teregang kembali ke bentuk preinspirasi karena kemampuan elastisitasnya.12



Berbeda dengan inspirasi, proses ekspirasi merupakan peristiwa pasif. Dinding dada dan paru bersifat elastik dan memiliki kecenderungan untuk kembali ke posisi semula. Otot-otot ekspirasi adalah otot intercostalis internus dan otot-otot abdominal (rektus abdominis, transversus abdominis, otot internal dan eksternal oblique). Kontraksi aktif otot ekspirasi terjadi saat peningkatan ventilasi atau kondisi obstruksi saluran napas berat. Kontraksi otot-otot abdomen akan meningkatkan tekanan intra-abdomen dan diafragma terdorong ke atas. Kontraksi otot intercostal internus akan mengurangi volume rongga thoraks dengan menarik iga ke bawah dan ke dalam.12



Tabel 1. Fase pernapasan dan otot – yang bekerja



2.2.4. Mekanisme Disfungsi Otot Pernapasan Fungsi paru tidak menjadi optimal karena perubahan dari pertukaran gas yang menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kegagalan pompa respirasi yang menyebabkan terjadinya hiperkapnia. Perekrutan saraf untuk terjadinya pompa respirasi secara fungsional dilakukan dengan mengoptimalkan ventilasi alveolar dan mengurangi work of breath. Pada PPOK kebutuhan akan nutrisi dan aliran darah untuk mengaktifkan otot – otot perlahan meningkat sementara ketersediaan menurun.



Perubahan pada fungsi metabolik otot pernapasan ini yang berdampak pada kekuatan dan endurans otot respirasi yang pada akhirnya menjadi lemah dan fatique.14 Saat terjadi fatique, dampak terbesar dialami oleh otot inspirasi. Kelemahan otot insirasi terjadi akibat hiperinflasi sedangkan kelemahan otot ekspirasi terjadi akibat miopati secara umum pada pasien PPOK. 14 Disfungsi otot sering terjadi pada penderita PPOK dan mempunyai implikasi klinis yang penting seperti penurunan toleransi latihan, kualitas hidup dan bahkan angka harapan hidup. Berikut ini diagram gambaran mekanisme terjadinya disfungsi otot pada PPOK.



Diagram 1. Disfungsi otot pada PPOK15



Disfungsi otot – otot inspirasi disebabkan peningkatan volume residual, inflamasi dan penurunan lingkup gerap diagfragma, yang juga dieksaserbasi oleh beberapa faktor seperti



gangguan



makan,



hiperkapnia,



hipoksemia



dan



juga



penggunaan



kortikosterioid. Hal ini menyebabkan meningkatnya sesak, menurunnya kapasitas latihan dan penurunan kualitas hidup.15



Pada PPOK hiperinflasi paru disebabkan oleh dua mekanisme yatu hiperinflasi statik akibat dari berkurangnya elastic recoil paru (emfisema) dan hiperinflasi dinamik yang terjadi akibat tidak komplitnya pengosongan paru. Diafragma yang merupakan struktur bergerak terpengaruh oleh hiperinflasi paru menjadi lebih pendek dari normal. Sama halnya dengan otot rangka, otot diafragma diatur oleh hubungan panjang dan tegangan pada panjang tertentu, sebagai contoh pada panjang optimal, filamen otot diafragma yaitu aktin dan myosin berada pada keadaan optimal dan tegangan yang diberikan maksimal untuk terjadinya aktivasi neural. Jika otot bekerja dalam panjang yang lebih kurang, tegangan yang dihasilkan menjadi lebih kecil pada level yang sama sehingga aktivasi neural tidak optimal.16 Otot – otot inspirasi pada pasien PPOK dikarakteriksik dengan ketidakseimbangan antara kapasitas dan beban yang ditandai dengan meningkatnya rasio Pbreath/Pmax. Jika otot berkontraksi melebihi proporsi dari maximal forcenya maka kontraksi tidak dapat dipertahankan karena terjadi fatique.16 Manifestasi klinis pada kelemahan otot respirasi antara lain:17 1. Berkurangnya kapasitas vital 2. Sesak 3. Orthopnea 4. Mengucapkan kalimat secara pendek saat berbicara 5. Takipneu 6. Masalah batuh ( infeksi berulang ) 7. Kelemahan otot secara umum



2.3 UJI JALAN ENAM MENIT 2.3.1 Definisi dan Sejarah Uji jalan merupakan salah satu modalitas uji latih yang sangat popular karena mudah dilakukan, tidak memerlukan alat canggih dan hasilnya mampu memberikan evaluasi objektif kapasitas fungsional para penderita penyakit paru dan jantung. Berjalan sebagai uji lapangan



dimulai dari uji berlari 12 memit oleh Cooper pada tahun 1968. kendalanya waktu 12 menit terlalu melelahkan bagi penderita gangguan kardiorespirasi . Reybrouck dalam penelitiannya menyatakan kesulitan dalam melakukan uji latih 12 menit karena disamping pasien mempunyai kemampuan exercise yang rendah, kebanyakan dari mereka telah patah semangat dan merasa cemas karena uji latih yang berlangsung lama . Pada akhirnya Butland dkk tahun 1982 meleliti perbandingan uji latih jalan 2, 6, 12 menit dan menyatakan bahwa uji jalan selama 6 menit mempunyai nilai jarak tempuh terbaik dan berkorelasi dengan kemampuan fungsional optimal pasien. Mengukur pertukaran gas respirasi selama uji latih maksimal merupakan metode yang disarankan untuk menilai kapasitas fungsional. Pengukuran ini diperlukan untuk mengatur intensitas latihan dan menilai efek latihan selama program rehabilitasi jantung. Teknik ini tidak digunakan secara luas karena peralatan mahal, prosedur rumit dan membutuhkan waktu.



2.3.2 Prosedur Uji Jalan 6 Menit Syarat-syarat yang minimal harus dipenuhi dalam melakukan Uji jalan 6 menit : 1.



Uji latih harus dilakukan pada lintasan datar dengan lokasi yang mudah dijangkau, jika terjadi keadaan darurat maka penanganan cepat dilakukan. Pemilihan lokasi harus ditentukan oleh dokter yang mengawasi.



2.



Oksigen dan nitrogliserin sublingual sebaiknya dapat disediakan, dan tersedia telepon untuk panggilan darurat.



Dokter dan paramedis yang membantu harus dapat mengenali gejala efek yang kurang baik dari uji latih, jika uji latih harus dihentikan karena alasan tertentu , maka pasien boleh duduk atau berbaring, kemudian diikuti pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, saturasi oksigen dan pemeriksaan fisik. Uji jalan 6 menit ini dapat dihentikan segera bila timbul gejala: 1.



Nyeri dada.



2.



Sesak yang tidak dapat ditoleransi.



3.



Kram pada tungkai



4.



Sempoyongan



5.



Terlihat pucat



Peralatan yang harus disediakan: 1.



Stopwatch.



2.



Pita perekat untuk memberi tanda setiap 1 lap.



3.



Segitiga kuning/Cones untuk menandai tempat putaran.



4.



Kursi yang mudah dipindah-pindahkan.



5.



Formulir catatan uji latih .



6.



Oksigen dan nasal kanul.



7.



Tensi meter dan stetoskop.



8.



Pulse oksimetri



9.



Timbangan berat badan, ukuran tinggi badan



10.



Telepon.



Persiapan pasien: 1.



Pasien menggunakan pakaian yang nyaman untuk melakukan uji latih.



2.



Menggunakan sepatu yang sesuai dan nyaman untuk berjalan..



3.



Ketentuan medis yang biasa dijalankan pasien harus tetap dilakukan.



4.



Pasien diperkenankan untuk makan makanan ringan 1 jam sebelum uji latih.



5.



Pasien tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas atau latihan yang berlebihan



dalam 2 jam sebelum uji latih dilakukan.



Persiapan Lintasan Lintasan yang digunakan wajib memenuhi kriteria berikut: 1. Pastikan pencahayaan cukup. 2. Pilih lokasi tanpa interupsi orang lainyang dapat menghalangi lintasan. 3. Lintasan bebas hambatan dari benda-benda atau cairan yang dapat menyebabkan jatuh. 4. Koridor yang dipilih minimal sepanjang sepuluh meter. Dua marka lintasan di garis awal dan akhir lintasan dipasang dengan jarak delapan meter. Pada jarak dua meter setelah garis awal dan dua meter sebelum garis akhir lintasan dipasang kembali marka lintasan



dengan jarak empat meter. Dengan demikian, total terdapat empat marka lintasan dalam lintasan tersebut.



2.3.3 Pemeriksaan Pra Uji Jalan Empat Meter Terdapat beberapa hal yang harus diisi sebelum dilakukan uji jalan, di antaranya: 1. Tanggal pemeriksaan 2. Waktu pemeriksaan diisi dengan jam dilakukannya uji jalan 3. Nomor registrasi 4. Pelaksana 5. Nama pasien diisi secara lengkap 6. Jenis kelamin diisi dengan simbol L (laki-laki) atau P (perempuan) 7. Tanggal lahir diisi secara lengkap 8. Usia diisi dalam bentuk angka (contoh: 69) dan harus sesuai dengan tanggal lahir 9. Tinggi badan dan berat badan wajib diukur dan dicatat sebelum pemeriksaan (tidak berdasarkan status sebelumnya) 10. BMI dihitung dengan rumus [Berat Badan / (Tinggi Badan)2]. 11. Tekanan darah diperiksa dengan sfigmomanometer air raksa atau digital 12. Denyut nadi dihitung dengan meraba pulsasi arteri selama 1 menit 13. Frekuensi pernafasan dihitung dengan mengamati ekspansi dada selama 1 menit 14. Saturasi oksigen diukur dengan pulse oxymetry 15. Pemeriksaan skoliosis:







Pasien diperiksa dalam posisi tegak dengan cara inspeksi dari belakang pasien, dibandingkan tinggi bahu kanan dan kiri, body arm distance kanan dan kiri, serta lipatan kulit kanan dan kiri







Dengan cara palpasi prosesus spinosus diperiksa alignment tulang belakang







Pasien diminta menundukkan badannya kemudian dilihat dan dipalpasi apakah terdapat hump







Bila ada skoliosis tentukan dan catat apakah struktural atau fungsional, thorakolumbal, thorakal atau lumbal, dan konveksinya ke kanan atau ke kiri



16. Pemeriksaan panjang tungkai 



Pengukuran dilakukan pada posisi supinasi, dengan dipastikan posisi kedua tungkai senetral mungkin sehingga bisa dibandingkan







Apparent leg length kanan dan kiri diukur dari umbilikus ke malleolus medialis







True leg length kanan dan kiri diukur dari spina iliaka anterior superior (SIAS) ke malleolus medialis



17. Manual Muscle Test (Quick Test) 



Pasien dalam posisi berdiri tegak



  



Minta pasien untuk jongkok kemudian berdiri kembali Apabila pasien dapat melakukan tanpa berpegangan maka MMT 5/5 Jika terdapat kelemahan, dievaluasi kembali kelemahan terdapat di tungkai kiri, kanan, atau keduanya dengan pemeriksaan motorik di tempat tidur



18. Balance test (quick test) 



Pasien dalam posisi berdiri dengan kedua kaki selebar bahu, kepala tegak, angkat dan rentangkan kedua lengan di sisi tubuh







Angkat satu kaki dengan telapak kaki sejajar lantai (berdiri dengan kaki seperti bangau)







Tahan beberapa detik pada posisi seimbang, kemudian tutup mata dan mulai menghitung







Balance dinilai baik apabila dapat bertahan selama 15 detik



19. Timed Up and Go Test 



Pasien memakai alas kaki yang biasa digunakan serta menggunakan alat bantu jalan yang biasa digunakan bila diperlukan







Pasien duduk di kursi dengan posisi punggung menempel pada sandaran kursi, kedua lengan bawah diletakkan pada sandaran tangan. Bila pasien menggunakan alat bantu jalan maka alat bantu jalan sudah dipegang pasien.







Saat diberikan instruksi “Go” maka pasien harus bangun dari kursi, berjalan dengan langkah yang aman dan nyaman pada lintasan 3 m, kemudian berputar dan kembali ke kursi untuk duduk kembali







Waktu dihitung dengan stopwatch mulai dari pasien bangkit sampai duduk kembali







Pasien mencoba berjalan 1 kali sebelum waktunya dihitung untuk membiasakan tes ini







Instruksi kepada pasien sebagai berikut: “Saat saya bilang ‘Go’, Bapak/Ibu harus segera berdiri dan berjalan di lintasan ini, berbalik kemudian berjalan kembali ke kursi serta duduk kembali. Jalanlah dengan langkah biasa.”







Stabilitas postur, langkah, panjang langkah, dan ayunan langkah diamati saat berjalan







Catat waktu untuk tes ini dan berikan keterangan tambahan bila pasien tidak stabil atau menggunakan alat bantu



20. Kacamata Tanyakan dan catat apakah pasien saat ini memakai kacamata (plus, minus, atau silindris). 2.3.4 Pelaksanaan Uji Jalan Enam Meter 1. Sebelum dilakukan Uji jalan 6 menit pasien diperiksa secara seksama termasuk tanda vital seperti Tekanan darah, Denyut jantung, Respirasi, Suhu juga Saturasi oksigen.



2. Jika diperlukan pengulangan Uji jalan 6 menit, maka uji ulang harus dilakukan pada hari yang sama. Hal ini berguna untuk mengurangi perbedaan atau bias pada hasil karena kemungkinan timbul perubahan seperti kondisi fisik, waktu latihan . 3. Sebelum memulai uji jalan enam meter, seluruh peserta diinstruksikan dengan kata-kata yang sama, yaitu: “Bapak/Ibu, ini adalah lintasan yang akan kita gunakan. Pada tes ini, Bapak/Ibu diharapkan berjalan dengan kecepatan biasa Bapak/Ibu berjalan sehari-harinya. jangan lari ataupun jogging.Berjalanlah sampai melewati garis terakhir yang terletak di paling ujung lintasan ini. Saya akan memberikan aba-aba seperti ini: ‘Tiga..dua.. satu.. Ya!’ Ketika mendengar kata ‘Ya!’, Bapak/Ibu bisa langsung mulai berjalan. Jangan berhenti sebelum Bapak/Ibu melewati garis terakhir pada ujung lintasan. Apabila Bapak/Ibu merasakan keluhan seperti pusing, nyeri kepala, sesak, nyeri dada, nyeri tungkai, atau keluhan lainnya yang membuat Bapak/Ibu merasa tidak nyaman, silakan angkat salah satu tangan Bapak/Ibu.Kami akan segera menghentikan tes ini apabila hal tersebut terjadi.” 4. Setelah memberikan penjelasan, pemeriksa terlebih dahulu mencontohkan cara melakukan uji jalan enam meter pada setiap lintasan sebanyak satu kali. 5. Pemeriksa kemudian mengingatkan dan mengkonfirmasi kembali kesiapan peserta: “Saya ingatkan kembali saya akan memberikan aba-aba ‘Tiga..dua.. satu.. Ya!’ dan ketika mendengar kata ‘Ya!’Bapak/Ibu bisa langsung mulai berjalan sampai melewati garis terakhir di ujung lintasan. Apa Bapak/Ibu sudah siap?” 6. Setelah peserta siap, maka pemeriksa memposisikan dengan diri di samping peserta, namun tidak menghalangi area jalan peserta, dengan memegang stopwatch yang siap untuk digunakan. Selanjutnya, pemeriksa memberikan aba-aba “Tiga..dua.. satu.. Ya!” 7. Pemeriksa baru menekan stopwatch ketika tumit salah satu kaki peserta pertama kali menyentuh lantai pada garis awal. 8. Selama uji dilakukan, penguji harus tetap berdiri di dekat garis start. Tidak diperkenankan berjalan bersama pasien. Hal ini guna mencegah adu balap antara pasien dengan penguji sehingga akan mempengaruhi hasil yang sebenarnya.



9. Penguji tidak diperkenankan bicara kepada siapapun selama uji latih. Pusatkan perhatian pada pasien, jangan sampai salah menghitung jumlah putaran. 10. Memberikan semangat sangat dianjurkan dalam Uji jalan 6 menit. Menurut American Thoracic Society, waktu yang paling baik untuk memberikan semangat adalah setiap 1 menit dan sesuai dengan ketentuan kalimat yang telah disediakan dibawah ini. Menit 1 selesai :“Anda sudah benar melakukannya, teruskan, ada 5 menit lagi.” Menit 2 selesai :“Bagus, pertahankan seperti ini, anda masih punya 4 menit lagi.” Menit 3 selesai :“Anda melakukannya dengan baik, sudah setengah jalan .” Menit 4 selesai :“Anda sudah baik melakukannya, tinggal 2 menit lagi.” Menit 5 selesai :“Anda sudah baik melakukannya, tinggal 1 menit lagi.” Menit 6 selesai : finish . 11. Pemeriksa menghentikan stopwatch dan meyuruh pasien berhenti berjalan. 12. Pemeriksa mencatat panjang jarak tempuh yang telah dilalui oleh pasien yang di akhiri oleh kaki yang sama ketika memulai langkah pertama kali.. 2.3.5 Interpretasi dan Aplikasi 2.4 SPIROMETRI Spirometri merupakan tes fungsi paru yang paling sering dilakukan, yang mengukur fungsi paru, khususnya volume dan/atau kecepatan aliran udara yang dapat dihirup dan dibuang. Spirometri merupakan metode pengukuran yang penting yang digunakan untuk membuat pneumotachographs yang berguna dalam menilai beberapa keadaan seperti asma, fibrosis paru, cystic fibrosis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Spirometri merupakan tes fungsi paru yang klasik, yang mengukur volume udara yang diinspirasikan atau diekspirasikan dalam suatu waktu. Spirometri dapat memonitor quiet breathing dan dari sini mengukur volume tidal dan juga melacak inspirasi dan ekspirasi dalam yang memberikan informasi mengenai kapasitas vital. Spirometri juga dapat digunakan untuk mengukur forced expiration rates dan volume ekspirasi paksa dan



menghitung rasio VEP1/KVP. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit http://www.jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/Jurnal%20Analisis%20Spirometri%20Rijal.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22281/4/Chapter%20II.pdf



BAB 4 METODE PENELITIAN



4.1. RANCANGAN PENELITIAN



Desain studi penelitian adalah potong-lintang karena dilakukan dalam satu waktu dan bersifat deskriptif karena mencari perbandingan antara pasien penderita PPOK yang mendapatkan progam Rehabilitasi Paru pada pre dan post Inspiratory Muscle Training



4.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN 4.2.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Departemen Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. 4.2.2. Waktu Penelitian



-



Tahap persiapan Pelaksanaan Analisis dan Penyajian Data



: Februari 2016 – Maret 2016 : April-Juni 2016 : Juni-Juli 2016



4.3. SUBJEK PENELITIAN



4.3.1. Populasi Populasi target adalah orang dewasa usia 18-50 tahun yang memenuhi kriteria penderita PPOK menurut American Thoracic Society dan termasuk dalam kriteria GOLD kelompok D 4.3.2. Besar Subjek Adapun rumus Cochran yang digunakan untuk menghitung besarnya sampel tersebut dinyatakan sebagai berikut :



Keterangan: n = Jumlah sampel minimal N = ukuran populasi t = tingkat kepercayaan (digunakan 0,95 sehingga nilai t = 1,96) d = taraf kekeliruan (digunakan 0,05) p = proporsi dari karakteristik tertentu (golongan) q= 1 – p 1 = Bilangan Konstan Dengan menggunakan rumus Cochran tersebut maka penentuan besarnya sampel melibatkan atau memasukkan karakteristik-karakteristik yang terdapat pada populasi sehingga dengan



besar sampel secara minimal tersebut akan mampu mencerminkan kondisi populasi yang sebenarnya.



Rumus



Cochran



dalam



menentukan



besarnya



sampel



tidak



hanya



mempertimbangkan tingkat alpha tetapi juga memasukkan karakteristik yang terdapat pada populasi. Dengan cara tersebut maka kesalahan dalam penentuan besarnya sample menjadi teriliminasi. 4.3.3. Kriteria Sampel Sampel pada penelitian ini adalah pasien penderita PPOK yang memenuhi syarat berikut: 4.3.3.1.



Kriteria Inklusi







Berusia 18 - 50 tahun







Memenuhi kriteria PPOK menurut American Thoracic Sosciety







Memenuhi kriteria GOLD kelompok D (Risiko tinggi mengalami eksaserbasi, gejala sesak lebih banyak. Kelompok spirometri GOLD 3-4. Riwayat eksaserbasi sebelumnya ≥ 2 kali per tahun. Skor COPD Assessment Test (CAT): ≥ 10 dan skor mMRC : ≥ 2 )







Subjek merupakan pasien baru dalam program Rehabilitasi Paru







Subjek mengerti dan dapat mempraktekan secara benar penggunaan alat IMT secara teratur dan melakukan pencatatan di Logbook.







Semua pasien PPOK tidak melakukan latihan apapun dan tidak mengkonsumsi suplemen apapun.



4.3.3.2.



Kriteria Eksklusi







Memiliki riwayat penyakit jantung, asma, metabolik tidak terkontrol (didapatkan dari



  



anamnesis dan pemeriksaan fisik) Memerlukan Oksigen tambahan Menggunakan alat bantu berjalan Memiliki lingkup gerak sendi terbatas dan perbedaan panjang tungkai







Riwayat serangan akut unstable angina pectoris atau infark miokard dalam 1 bulan terakhir







Tekanan darah sistolik > 180 mmHg







Tekanan darah diastolik > 100 mmHg







Nadi saat istirahat >120 kali/menit







Subjek mengalami keluhan terkait, nyeri otot atau sendi, sesak, demam, atau keluhan subjektif lain sebelum dilakukan uji jalan enam meter.



4.3.3.3.







Kriteria Drop-Out



Subjek mengundurkan diri atau menolak diikutsertakan dalam penelitian di tengah pelaksanaan atau setelah pelaksanaan IMT







Subjek tidak patuh dan teratur dalam pencatatan LogBook.



4.3.3.4 Cara Pengambilan Sampel Subjek diambil dengan cara purposif yaitu orang yang merespons informasi mengenai akan diadakannya penelitian yang disampaikan oleh peneliti. Subjek yang merespontersebut kemudian harus memenuhi kriteria inklusi, untuk dijadikan subjek penelitian. 4.4



TEKNIK PENGUMPULAN DATA 4.4.1



Pre IMT



Sebelum subjek menjalani program Inspiratory Muscle Training, subjek akan melaksanakan 3 pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan tersebut nantinya juga akan dijadikan tolak ukur dan evaluasi setelah dilakukannya intervensi.



Pemeriksaan tersebut adalah : 



Spirometri Pada pemeriksaan Spirometri yang dinilai adalah Forced Vital Capaciy (FVC) dan Forced Expiratory Volume in One Second (FEV 1) untuk menilai adanya dyspnea dan Maximal Inspiratory Mouth Presure (PImax) untuk menilai kekuatan dari otot-otot inspirasi.







6 Minutes Walking Test Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kapasitas fungsional dari paru dan jantung. Pada 6 minutes walking test yang dinilai adalah Prediksi jarak tempuh, Jarak tempuh, VO2 Max dan Mets







Heath-realted quality of life Untuk menilai kualitas hidup subjek digunakan Kuisioner Respiratory St. George (SGRQ)



4.4.2



IMT



Pada Parameter Mode Frekuensi



Definisi Tipe IMT Targeted inspiratory atau threshold a. Banyaknya sesi latihan a. 1-2 sesi latihan per hari, disesuaikan per hari



Intensitas



dengan kapasitas latihan pasien



b. Jumlah hari per minggu



b. 4-6 hari sesi latihan per minggu sesuai



Beban



toleransi pasien Persentase dari PImax adalah metode yang paling umum digunakan untuk penetapan intensitass. 30-70-% PImax. Intensitas yang paling rendah direkomendasikan untuk pasien PPOK berat.



Progresi : sampai 5% per minggu sesuai toleransi Uji kembali : PImax diukur kembali minimal Durasi



a. Lama tiap sesi latihan



setiap bulan dan intensitas latihan disesuaikan a. Total 30 menit per hari (dibagi dalam 1-2



b. Jumlah minggu latihan



sesi). Latihan disarankan dalam waktu yang singkat (3-5 menit) b. Identifikasi berkala untuk mempertahankan manfaat latihan. Peningkatan fungsional dan adapatasi perubahan struktural dapat terjadi setelah 5 minggu latihan



Rasionalisasi Tanda - tanda intoleransi latihan



Parameter Tekanan darah, nadi, laju respirasi,



Mencegah kelelahan otot inspirasi



Tanda kelelahan secara subjektif Diskoordinasi pergerakan dinding dada Sesak yang bertambah saat latihan



Mencegah cedera otot



Keluhan sesak menetap lama setelah latihan Berkurangnya kekuatan



Mencegah hiperkapnia



Berkurangnya endurans Saturasi O2 Nyeri kepala, pusing



Rekomendasi Pemilihan pasien :



Rasionalisasi klinis 1. latihan IMT lebih memberikan manfaat



1. pasien yang tidak dapat melakukan whole body exercise training 2. pasien



yang



pasien



yang



tidak



dapat



melakukan WBET mengalami



2. hasil – hasil penelitian menunjukkan



peningkatan minimal pada sesak dan



latihan IMT dapat mengurangi sesak



kapasitas



karena



latihan



hanya



pada



setelah



program



WBET 3. eksklusi



bekerja



langsung



untuk



menguatkan otot – otot pernapasan pasien



dengan



pneumothoraks dan fraktur iga



risiko



3. latihan



menggunakan



IMT



meningkatkan tekanan intra thorakal



4. supervisi pada latihan sesi awal dan



4. satu



-



satunya



strategi



untuk



montoring laju respirasi dan saturasi



meminimalkan tahanan yang dikenakan



oksigen



oleh alat ini adalah hipoventilasi. Latihan sesi awal perlu disupervisi dan laju respirasi serta saturasi oksigen diawasi agar memastikan pasien tidak



Assessment



mengalami hipoventilasi. Peresepan latihan yang



Sebelum dan sesudah program IMT, mengukur



didapatkan dengan perhitungan PImax.



P1max, sesak, kapasitas latihan dan HRQOL



Derajat sesak, kapasitas latihan, dan



sesuai



kualitas hidup penting untuk pasien, oleh karena itu dibutuhkan pengukuran untuk



mengevaluasi



keberhasilan



program latihan IMT Program latihan 1. Menggunakan alat threshold IMT 2. Interval based training 3 kali seminggu selama 8 minggu tahanan



tahanan yang diberikan sebagian besar tidak bergantung pada pola pernapasan



3. Tahanan ≥ 30%PImax 4. Progress



1. Alat ini sederhana dan tidak mahal,



pasien dengan



2. Interval based training memungkinkan



memperhatikan skala borg (antara 12-



tahanan



latihan



14)



sehingga dapat optimal dan dapat mengurangi



dapat



ditoleransi



penurunan



saturasi



oksigen. 3. Tahanan kurang dari 30% PImax kurang



untuk



terjadinya



adaptasi



latihan 4. Sama seperti latihan WBET, tahanan harus



dinaikkan



meningkatkan



perlahan



keuntungan



agar secara



optimal. Progres latihan lebih mudah digunakan berdasarkan skala borg Reassessment dan maintenance 1. Jika setelah 8 minggu latihan, sesak, 1. Motivasi



pasien



untuk



latihan



kapasitas latihan dan HQROL tidak



menggunakan



berubah dapat dipertimbangkan untuk



perubahan pengukuran



menghentikan latihan



penting bagi pasien seperti berkurangnya



2. Program maintenance dipertahankan setidaknya 2 sesi setiap minggu



IMT



berdasarkan yang



pada



dianggap



sesak atau peningkatan kapasitas latihan dan kualitas hidup. 2. Tanpa maintenance latihan, manfaat latihan dapat hilang dalam 12 bulan



4.4.3



Post IMT