Inisiasi 1 ADPU4330 Perkoperasian [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, DR. H. Moh Hatta merupakan salah satu tokoh bangsa yang berjuang agar perkoperasian dengan tegas ditulis di dalam UUD 1945 sehingga rumusan perkoperasian dimasukkan dalam konstitusi. Maka sejak itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada BUMN dan Swasta (Mulawarman 2007). Pada bulan Agustus 2002, pada perubahan keempat telah diadakan amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945. Dalam amandemen ini, Pasal 33 yang semula terdiri dari 3 ayat, kemudian menjadi 5 ayat. Ketiga ayat yang asli (termasuk ayat 1) tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian berbeda dengan naskahnya yang asli, pada amandemen Pasal 33 ini tidak lagi disertai penjelasan sehingga kata ”koperasi” yang merupakan penjelasan dari ayat (1) yang berbunyi "usaha bersama atas asas kekeluargaan" tidak lagi disebutkan. Terhadap perubahan/amandemen Pasal 33 UUD 1945 tersebut terdapat beberapa penafsiran. Setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945 malah menjadikan maksud dari demokrasi ekonomi tersebut menjadi kabur. Mubyanto (2002) menjelaskan bahwa pikiran di belakang ayat baru tesebut adalah paham persaingan bebas atau neoliberalisme. Bahkan hilangnya kata “sakral” koperasi, menurut Mulawarman (2007) merupakan kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Dengan hilangnya kata “koperasi”, telah menggiring bentuk usaha sesuai ayat 4, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut Mubyanto (2002) bahwa yang di maksud efisiensi berkeadilan



jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa neoliberalisme..Mulawarman menegaskan bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia. Kesejahteraan masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an. Ada yang menafsirkan bahwa dengan hapusnya kata "koperasi" tersebut tidak ada lagi landasan konstitusional bagi pembangunan koperasi. Sementara Revrisond Baswir, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, berpendapat lain. Menurutnya "dasar keberadaan koperasi secara konstitusional sesungguhnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan tercantum atau tidaknya kata koperasi dalam penjelasan Pasal 33, melainkan pada rangkaian kata yang berbunyi “usaha bersama berdasar atas kekeluargaan‟ yang justru berasal dari Pasal 33 ayat (1). Kesimpulan itu sejalan asas dengan penjelasan yang berulang kali dikemukakan oleh Bung Hatta, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas kekeluargaan‟ itu ialah koperasi”. Dengan demikian, terhadap amandemen Pasal 33 UUD 1945, terbuka penafsiran yang berbeda. 2. Dengan dihapuskannya kata `'koperasi" dalam Pasal 33 UUD 1945 maka secara formal pembangunan koperasi tidak lagi memiliki landasan konstitusional dan politis yang kuat. Tanpa landasan konstitusi dan politis, keterikatan (komitmen) pemerintah terhadap pembangunan koperasi menjadi berkurang. Demikian dengan Gerakan Koperasi menjadi tidak dapat berpartisipasi dalam lingkup penyelenggaraan negara sesuai dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Ketika tidak lagi berpartisipasi langsung dalam Kebijakan Negara, koperasi dalam pengertian badan hukum menurut UU Nomor 25 Tahun 1992, justru disalahgunakan oleh sebagian warga negara untuk memperkaya diri sendiri dan membodohi warga negara lainnya dengan model jasa keuangan yang padat modal. Dan lebih mengenaskan lagi adalah sebagian aparatur Pemerintah yang



membidangi Koperasi ikut menjadi korban. Ini terjadi pada kasus Koperasi Langit Biru (KLB) melalui praktik bisnis investasi bodong dengan pola mirip Multi Level Marketing (MLM), atau ada juga kasus KSPPS BMT CSI Syariah Sejahtera yang bernaung di bawah PT. Cakrabuana Sukses Indonesia (CSI Group) yang sejak 2016 kasusnya sudah ditangani oleh aparat kepolisian terkait kejanggalan usaha yang dijalankan, khususnya pada penawaran investasi dengan return sebesar 5% kepada para anggotanya. Dua pimpinan koperasi tersebut sudah divonis penjara 7 tahun, tetap nasih ribuan nasabah CSI belum mendapat kejelasan pengembalian dana milik mereka.



Sumber : -



ADPU4330 – Perkoperasian (Edisi 2), Djabaruddin Djohan, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2020



-



Mulawarman, Aji Dedi. 2007. Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi. Diskusi Panel Kajian Koperasi: Peluang dan Prospek Masa Depan. Kementerian Negara Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang. 10 Desember.



-



Mubyarto. 2002. Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi. Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun I. No 7. September.