Jarh Wa Ta'dil Persepektif Syi'ah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pendahuluan Syiah merupakan firqah dalam Islam yang keberadaannya masih eksis sampai hari ini. Ciri khusus firqah ini yaitu keyakinannya terhadap Imamah, sebuah keyakinan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal adalah Ali bin Abi Tholib dan keturunannya. Model keyakinan seperti ini menjadi sumber epistimologi yang penting dalam bangunan keyakinan Syiah. Menurut mereka, siapapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman terhadap kepemimpinan Ali dan para Imam keturunannya, maka hukumnya sama dengan musyrik. Ini karena menurut mereka, Allah yang menetapkan dan memilih para Imam, sehingga iman kepada para Imam adalah sebuah keharusan. Kaum Syiah meyakini bahwa sunnah nabi dan perkataan para imam mengikat. Sehingga atas dasar pemahaman seperti ini kaum Syiah dengan tegas menyatakan bahwa berita atau khabar yangdatangnya dari para Imam berarti bisa dijadikan hujjah dalam beragama, karena ia termasuk hadits. Sebaliknya, apa-apa yang tidak pernah datang dari Para Imam berarti tidak bisa disebut hadits. Dengan alasan ini, hadits-hadits yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishal) dengan Rasulullah sebagaimana persyaratan keshahihan hadits dalam Sunni. Terus apa landasan argumen mereka sehingga berfikir demikian? Bagaimana aturan aturan mereka untuk menilai para perawi yang tidak bersandar pada al Imam mereka? Siapa sajakah al Imam mereka? Terus bagaimana ulama ahlusunnah menilai mereka? LANDASAN dan ARGUMEN JARH WA TA'DIL SYIAH Dalam landasan memposisikan Khabar, hadist dan riwayat-riwayat, menurut kaum Syi'ah membaginya menjadi tiga macam: 1. Khabar dan riwayat yang mengandung petunjuk pembersihan jiwa, akhlak, nasehat dan cara-cara pengobatan penyakit hati. menurut kaum Syi'ah, bisa dijadikan landasan untuk beramal ibadah. Dan tidak perlu mencari tahu apakah sanad dan matannya shahih atau tidak. Kecuali jika adatanda-tanda yang menunjukkan kepalsuannya. 2. Yang mengandung hukum syara' parsial, taklifi atau wadl'i. Semua khabar dan riwayat tersebut tidak boleh langsung dijalankan. Namun diberikan kepada faqih yang mujtahid untuk menerjemahkannya. Sedangkan orang awam harus mengikuti mujtahid marji'. 3. Khabar dan riwayat yang mengandung pokok-pokok aqidah, seperti pengitsbatan al Khaliq Swt., juga tentang hasyr, barzakh, sirâth, mîzân, hisâb dan lain-lain. Khabar dan riwayat seperti ini, jika berkaitan dengan aqidah dan pokok agama seperti tauhid, 'adl, nubuwwah, imâmah dan ma'ad, jika khabar tersebut sesuai dengan dalil-dalil 'aqli, urgensi, dan tanda-tanda yang qath'i, maka ia dapat dijalankan, dan tidak perlu menyelidiki sanad, keshahihan dan ketidak shahihannya 47. Sedangkan Metode Klasifikasi Hadist menurut Syi'ah dibagi menjadi dua bagian, mutawattir dan ahad. Mereka mengklasifikasikan hadist ahad menjadi empat bagian, yaitu; 1. 2. 3. 4.



Shahih Hasan Muwats-tsaq Dha'if



Menurut mereka dalam memberi penilaian terhadap perawi diharuskan menilai semua termasuk dalamnya dari kalangan sahabat, mereka berpegang pada ayat al Qur'an surat AtTaubah:101, dsb. Karena di dalam Al Quran juga diterangkan tentang keberadaan orang-orang munafiq di Madinah. Oleh karenanya dalam kitab-kitab kaum Syi'ah akan didapati banyak cercaan kepada sahabat yang mereka anggap telah munafik, sesat atau malah kafir. Dalam buku Syubhat Haula Syi'ah, 'Abbas 'Ali al Musawi membagi sahabat menjadi dua kelompok. Pertama kelompok yang setia dan kedua kelompok yang mereka anggap telah sesat 67. Yang pertama adalah sahabat-sahabat seperti 'Ammar bin Yasir, Miqdad dan Abu Dzar al Ghifari. Sedangkan kelompok yang kedua, menurutnya lagi adalah seperti Mu'awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Hurairah dan Al Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith. ATURAN ATURAN JARH WA TA'DIL MENURUT SYIAH Dalam aturan-aturan jarh wa ta'dil ulama syiah, mereka menilai seluruh periwayat termasuk didalamnya kalangan sahabat. Klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan Syiah hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi oleh para ulama hadits Ahlus Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang bisa diterima menurut mereka adalah: 1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. „Adil 5. Dhabith Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”. Yang dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhab Imamiyah Itsna „Asyariyyah. Bahkan tidak hanya sekedar penganut madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. AlThusy mengatakan, “Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang „imamiyah‟ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam – alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.” penetapan Jarh terhadap seorang perawi dalam pandangan Syiah di antaranya adalah: 1. Akidah yang batil. Yaitu jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah. 2. Cacatnya ke ‘adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan



terus-menerus melakukan dosa kecil. 4. Hafalan yang buruk. 5. Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu‟afa dan majhulun. 6. Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah. Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma‟shum. Meski sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah hujjah dan sunnah 7. sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya. Tetapi jika sanad 8. itu bersambung kepada Nabi saw tanpa perantaraan seorang imam, maka hadits 9. semacam ini tidak dapat diterima. AL IMAM SYIAH menurut M.H. Al Kâsyif al Githa, imam atau imamah adalah kedudukan Ilahiah yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya, sesuai dengan ilmu Allah, seperti Allah memilih para nabi. Menurut kaum Syi'ah pula, Allah telah memerintahkan Nabi Saw. untuk menunjukkan imam kepada umat dan memerintahkan mereka, diantaranya; 1. Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M) 2. Al-Hasan ibn „Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M) 3. Al-Husain ibn „Ali “Sayyid al-Syuhada‟” (w. 61 H/680 M) 4. Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal „Abidin” (w. 95 H/714 M) 5. Abu Ja‟far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M) 6. Abu Abdillah Ja‟far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M) 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M) 8. Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M) 9. Abu Ja‟far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M) 10. Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M) 11. Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M) 12. Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa‟im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329 H/940 M).



PANDANGAN AHLUSSUNNAH KEPADA SYIAH para ulama Syiah menganggap Shahih riwayat hadist yang disampaikan olehperawi yang fasik, yang kafir dan yang rusak akidahya. Hal seperti ini tidak akan terjadi pada perawi Sunni. Para ulama akan memeriksa dengan teliti kondisi perawi. Mereka akan memeriksa keadaan perawi



dari segi sejauh mana dia menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi kemungkaran. Untuk itu, mereka akan bertanya kepada orang yang lebih arif tentang perawi tersebut. Al-Hasan bin Saleh berkata: "Apabila kami ingin menulis tentang seorang perawi, kami akan bertanya tentangnya sehingga dikatakan orang: "Apakah Anda mau menikahkannya?"35 Sekiranya seorang imam hadits dapat cerita hadits dari seseorang syaikh yang masih hidup, imam itu akan menemui syaikh tersebut untuk mendapatkan kepastian benar tidaknya hal itu. Syu`bah berkata: "al- Hasan bin `Amarah berkata bahwa al-Hakam telah menceritakan kepada saya dari Yahya bin al-Jazzar dari Ali sebanyak tujuh buah hadits. Lalu saya menemui al-Hakam dan bertanya kepadanya. Al-Hakam menjawab saya tidak pernah mendengar apa-apa dari Yahya."36 Ini menunjukkan bahwa hadits-hadits itu telah disandarkan kepada al-Hakam sedangkan beliau tidak pernah meriwayatkannya. Jika imam itu mendengar hadits yang diriwayatkan dari syaikh yang telah meninggal dunia ia akan bertanya kepada perawi, tentang kapan syaikh itu meninggal dunia. Kapankah ia bertemu dengannya dan di mana. Kemudian imam itu akan membandingkan jawaban-jawaban tersebut dengan pengetahuan yang ada padanya tentang syaikh tersebut. Contohnya tentang cerita yang dinukilkan dari `Ufair bin Mi`dan bahawa Umar bin Musa bin Wajih menceritakan dari Khalid bin Ma`dan. Kata `Ufair: "Lalu saya bertanya kepadanya, pada tahun berapakah anda bertemu dengannya? Lalu dia menjawab, pada tahun 158 H di peperangan Armenia. Lalu saya berkata kepadanya: "Takutlah kepada Allah wahai syaikh, jangan berdusta, Khalid meninggal dunia pada tahun 154. Saya ingin beritahu kepadamu lagi, dia tidak pernah berperang di Armenia.37 Dari keterangan ini kita bisa mengukursejauh mana para ulama Sunni memperhatikan masalah periwayatan. Bandingkan dengan Syiah.