Jawaban Ujian Hi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1)



A. Kawasan Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah perairan terluas di dunia dan memiliki peran yang strategis baik dari segi ekonomi, politik dan keamanan sehingga menjadikan kawasan ini memiliki potensi yang besar yang dapat dimanfaatkan oleh negara-negara di sekitar kawasan ini. Konsesuensi dari besarnya kepentingan berbagai negara di kawasan ini, adalah semakin besar juga potensi sengketa yang lahir dari situasi tersebut. Kawasan Laut Cina Selatan merupakan wilayah laut yang memiliki potensi sangat besar di bidang ekonomi, politik, dan pertahanan, sehingga dapat memicu sengketa yang didasarkan atas kepentingan berbagai negara di kawasan tersebut. Dalam perspektif Hukum Internasional, sengketa internasional (International Dispute) merupakan suatu suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum, atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya. Sengketa internasional terjadi jika perselisihan tersebut melibatlan pemerintah, lembaga juristic person (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan karena : a. Kesalahpahaman tentang suatu hal; b. Salah satu pihak sengaja melanggar hak/kepentingan negara lain; 3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal; 4. Pelanggaan hukum atau perjanjian internasional. Sengketa Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara claimant states, yaitu China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam dapat dikatakan sebagai sengketa hukum laut internasional terpanas pada abad in, selain karena melibatkan beberapa negara, juga jangka waktu sengketa yang masih berlangsung hingga saat ini. Sengketa ini pada mulanya terjadi karena pemerintah China menyatakan klaim bahwa mereka memiliki kedaulatan atas hampir seluruh Laut Cina Selatan dengan alasan bahwa nelayan tradisional mereka telah menjelajahi Kepulauan Spratly dan Paracel sejak tahun 200 SM. Bagi China, mereka berhak atas kawasan Laut Cina Selatan didasarkan pada landasan historis dan effective occupation sejak berabadabad lamanya. Landasan historis yang dimaksud adalah traditional fishing ground yang merupakan wilayah pencarian ikan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka dari sejak jaman dahulu. Sebagai perwujudan dari penegasan klaimnya, Tiongkok melakukan pendudukan terhadap sejumlah pulau atau fitur maritim di kawasan konflik



tersebut. Pada dasarnya klaim atas Laut China Selatan sudah dilakukan China pada tahun 1947 saat pemerintahan China dikuasai oleh Partai Kuomintang dengan menciptakan garis demarkasi yang disebut dengan Eleven Dash Line. Berdasarkan klaim ini China menguasai mayoritas Laut China Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang diperoleh China dari Jepang usai Perang Dunia II. Kemudian, oleh Pemerintah Komunis menyederhanakan peta itu dengan mengubahnya menjadi Nine Dash Line" yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu. Ketika itu klaim ini pada dasarnya tidak ada pertimbangan politik dan strategik tertentu karenarezim yang berkuasa pada saat itu sibuk membenahi perang saudara dengan rezim komunis. Nine Dash Line adalah peta teritorial yang membubuhkan Sembilan garis putusputus sebagai penanda atau batas pemisah imajiner yang digunakan pemerintah China untuk mengklaim sebagian besar, yakni 90 persen, wilayah Laut Cina Selatan. Berdasarkan Nine Dash Line, luas wilayah maritime yang diklaim oleh China sebagai traditional fishing ground yaitu seluas 94.000 kilometer persegi. Sayangnya, klaim China tersebut bersinggungan dengan wilayah lima negara lain yang juga mengklaim wilayah tersebut. Dalam hal ini, China melakukan klaim atas Laut Cina Selatan berdasarkan hak sejarah dan bukan berdasarkan fitur tanah sebagaimana dipersyaratkan oleh Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982. Hingga akhir 2013, klaim China atas Laut Cina Selatan masih belum berubah, dimana klaim China tidak hanya diwujudkan dalam bentuk sikap politik, tetapi juga dalam bentuk lain. Di bidang militer, China sering melakukan aksi patroli di perairan tersebut yang kadang memicu bentrok dengan kapal dari negara lain seperti Vietnam dan Filipina. Di bidang eksplorasi, Cina juga menempatkan peralatan pengeboran di beberapa titik di Laut Cina Selatan. Enam negara yang terlibat klaim di Laut Cina Selatan memiliki klaim yang saling tumpah tindih. China, Taiwan, dan Vietnam cenderung melakukan klaim wilayah terhadap seluruh Kepulauan Spratly, sementara Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam hanya menuntut sebagian pulau-pulau dari kepulauan tersebut.



Pada dasarnya terdapat tiga hal yang menjadi alasan utama terjadinya sengketa di Laut Cina Selatan antara enam negara tersebut. Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di Laut Cina Selatan yang mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah perairan Laut Cina Selatan yang merupakan wilayah perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara seperti China dan negara-negara di kawasan Laut Cina Selatan, bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah Laut Cina Selatan yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara. B. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menjelaskan hukum internasional (publik), yang digunakan adalah istilah hukum internasional publik untuk membedakan dengan istilah hukum perdata internasional. Dalam modul ini akan dipakai istilah hukum internasional untuk hukum internasional publik. Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk hukum internasional ini,yaitu hukum bangsa-bangsa (the law of nations) sebagaimana digunakan oleh J.L. Brierly yang memberi definisi tentang hukum bangsa-bangsa atau hukum internasional sebagai berikut:’as the body of rules and principles of action which are binding upon civilized states to their relations witahunone another’. Ada juga yang memakai istilah hukum antar negara, hukum internasional publik (public international law), Common Law of Mankind. Jika dipakai istilah hukum antar bangsa maka di sini seolaholah hanya mempelajari hukum yang mengatur hubungan antar bangsa saja, sedangkan kalau dipergunakan hukum antara negara maka seolah-olah hukum internasional hanya mengatur hubungan antara negara saja. Kenyataannya hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara saja tetapi mengatur hubungan yang dilakukan antara negara dengan subyek hukum internasional bukan negara, misalkan hubungan antara negara dengan organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional yang lain, hubungan antara Negara dengan Tahta Suci, hubungan antara negara dengan individu dalam hal yang khusus, misalkan hubungan antara negara



dengan pengungsi (refugee), oleh karenanya dalam modul ini akan dipergunakan istilah hukum internasional untuk hukum internasional publik. Pemakaian istilah itu untuk menunjukkan bahwa hubungan hukum yang diatur oleh hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar bangsa/negara saja tetapi lebih luas dari itu. Pemakaian istilah ini lebih mendekati kenyataan dan sifat hubungan dan masalah yang menjadi obyek bidang hukum ini, yang pada masa sekarang tidak hanya terbatas pada hukum antara bangsa-bangsa atau antara negaranegara saja. Selain itu istilah hukum internasional sudah lazim dipakai. Misalkan pada penulis-penulis di Indonesia seperti: Ali Sastroamidjojo dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional”, Djatikoesoemo, Hukum Internasional, Bagian Damai dan Perang, Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Publik Internasional. C. Bagi suatu negara berdaulat yang berarti kedaulatan negara mempunyai otonomi penuh dan tanggung jawab yang penuh terhadap perkembangan bangsa dan negara baik yang bersifat ke dalam maupun ke luar dengan segala kebijaksanaan di berbagai bidang maupun politik, ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan serta menjalin hubungan dengan negara-negara serta bangsa-bangsa lain di dunia. Konsep kedaulatan negara tidak terlepas dari pembahasan konsep kedaulatan atas laut. Menurut rezim hukum internasional yang mengatur hak-hak kedaulatan atas wilayah daratan dan perairan mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan substantif dan prosedural, secara substantif hak atas wilayah dapat diperoleh berdasarkan fakta kepemilikan secara fisik, sedangkan hak atas daerah laut diperoleh berdasarkan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak. Selanjutnya secara prosedural apabila terjadi sengketa wilayah darat, maka penyelesaiannya dapat dilakukan atas persetujuan negara-negara yang bersengketa. Dalam hal terjadinya sengketa wilayah laut, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan ketentuan Bab V UNCLOS mengenai penyelesaian sengketa-sengketa juga memuat sejumlah ketentuan yang ambisius. Negara-negara diwajibkan untuk menyelesaikan dengan cara-cara damai setiap sengketa mengenai interpretasi atau penerapan Konvensi. Apabila tidak berhasil mencapai persetujuan atas dasar perundingan, maka negara-negara itu harus mengajukan sebagian tipe sengketa kepada suatu prosedur wajib yang mengeluarkan keputusan mengikat; ketentuan berkenaan



dengan hal ini dikemukan dalam Seksi 2 yang berjudul “Prosedurprosedur Wajib yang Menghasilkan Keputusan-keputusan yang Mengikat” (Compulsory Procedures Entailing Binding Decision). Negara-negara memiliki empat pilihan dalam prosedur wajib tersebut. Menurut ayat 1 Pasal 287 (pasal kedua dalam Seksi 2) suatu negara pada waktu menandatangani, meratifikasi atau mengaksesi konvensi atau pada setiap waktu setelah itu, bebas untuk memilih dengan membuat pernyataan tertulis, satu atau lebih cara penyelesaian sengketa-sengketa perihak interpretasi dan penerapan Konvensi : The International Court of Justice, Tribunal/ITLOS, Arbitrasi di bawah annex VII UNCLOS, atau Arbitrasi Khusus di bawah annex VIII.3 Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan



melalui



mekanisme-mekanisme



dan



institusi-institusi



peradilan



internasional yang telah ada, seperti Mahkamah Internasional Dengan demikian, terdapat perbedaan sejarah mengenai perkembangan hakhak milik di permukaan daratan dan wilayah laut. Permukaan daratan di bumi sebagian besar telah dibagi pada saat perang belum dinyatakan sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, pada pokoknya wilayah daratan dialokasikan melalui penjatahan secara fisik yang dilakukan oleh negara-negara besar. Sedangkan pada masa itu kawasan samudera dianggap res communi yaitu sesuatu yang merupakan milik kelompok orang-orang dan bisa digunakan oleh setiap anggota kelompok tetapi tidak bisa dimiliki oleh siapapun karena adanya kesulitan untuk membagi wilayah laut. Namun, ketika peralatan praktis dan teknologi untuk memanfaatkan samudera secara eksklusif sudah berkembang, saat itu pula terbentuk institusi legal bagi alokasi laut secara efektif. Kemudian timbul dimensi politik berkenaan dengan pendistribusiannya berdasarkan kriteria tertentu dan bukan berdasarkan politik kekuatan seperti sebelumnya. Kawasan perairan dialokasikan dengan hukum, melalui proses-proses legal dan bukan lagi melalui cara kekerasan, serta sesuai dengan ide-ide dasar mengenai keadilan. Fakta lain yang membedakan sejarah kedaulatan negara atas daratan dan perairan atau laut bahwa daratan lebih mudah diduduki daripada perairan. Demikian pula dengan kenyataan yang selanjutnya berkembang dimana timbulnya berbagai dimensi ekonomi berkenaan dengan masalah laut. Hal ini juga didorong oleh kenyataan bahwa



mengingat kawasan laut tidak bisa diduduki seperti halnya wilayah daratan, maka kepemilikan atas kawasan laut terutama ditujukan untuk pengambilan sumbersumbernya. Oleh karena itu doktrin bahwa hak wilayah laut ditentukan berdasarkan hukum semakin berkembang demikian pula dengan mekanisme penyelesaian sengketanya dan perkembangan paling signifikan adalah dengan diterimanya rezim hukum laut dalam UNCLOS. Pada masa ketika rezim hukum mengenai hak-hak eksklusif atas wilayah daratan telah berkembang, kawasan laut tetap dianggap res communis yang tersedia bagi semua pihak. Mare liberum (“free sea”) berlaku bagi semua kawasan samudera atau laut lepas, kecuali jalur laut teritorial yang berbatasan dengan pantai-pantai yang digunakan untuk melindungi kepentingan perikanan lokal dan keamanan. Perkembangan perangkat hukum dan institusi yang mengatur alokasi hak-hak atas wilayah laut termasuk relatif baru. Hak-hak atas wilayah laut dialokasikan melalui proses yang berbeda dengan pengalokasian daratan dan menurut yurisprudensi yang sangat berbeda. Alokasi wilayah laut adalah berdasarkan ketentuan hukum dan dipisahkan dari tindakan fisik okupasi. Disamping itu, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS)



merupakan



perjanjian



multilateral



pertama



yang



memuat



ketentuanketentuan mandatori bagi penyelesaian konflik. Pada tahun 1982 tepatnya 30 April 1982 di New York, Konvensi hukum laut PBB (UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) telah diterima baik dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut III. UNCLOS tersebut mengatur tentang rezim-rezim hukum laut, termasuk Negara Kepulauan. Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982 secara komprehensif telah mengkodifikasi hukum internasional yang berkaitan dengan berbagai permasalahan lain, seperti hak-hak pelayaran, pengawasan polusi, riset ilmiah kelautan dan ketentuan perikanan. Cara alokasi yang diadopsi UNCLOS untuk memiliki wilayah laut tidak didasarkan pada kepemilikan atau kontrol seperti kepemilikan tanah, tetapi melalui proses yuridikasi. Doktrin tersebut menyatakan bahwa alokasi tidak tergantung pada penggunaan fisik atau kepemilikan tetapi pada perkiraan geografis yang kemudian disebut doktrin ab initio, yang artinya jatah atau bagian tersebut sudah dimiliki sejak awal yang merupakan bagian yang sudah menyatu dan tidak perlu upaya tertentu bagi negara pantai untuk memperolehnya. Mahkamah Internasional menyatakan doktrin ab



initio yang diadopsi pada Konferensi Jenewa sebagai sarana untuk melindungi negaranegara pantai yang tidak membuat pernyataan atas hak-hak mereka terhadap landas kontinen dan tidak memiliki alat untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumbersumber mereka. Semua negara pantai menerima doktrin tersebut tanpa keraguan terutama disebabkan oleh konsekuensi negatif yaitu mencegah terjadinya perlombaan kepemilikan wilayah dan pengambilan sumbersumber di dasar laut oleh beberapa 2)



negara. A. Indonesia memilik dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan kedaulatannya di perairan Natuna. Sebaliknya, Indonesia menolak secara tegas klaim historis Tiongkok atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di perairan Natuna. Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia ada tiga poin penting. Pertama, klaim historis Tiongkok (China) bahwa sejak dulu nelayan China telah lama beraktivitas di perairan tersebut bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum, dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan melalui putusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim Tiongkok karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia mendesak Tiongkok untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perikal klaim di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Ketiga, berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan Tiongkok sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apapun tentang delimitasi batas maritim. Dari pernyataan resmi itu jelas bahwa pemerintah Indonesia itu menggunakan dasar hukum internasional yang lazim disebut UNCLOS 1982. Apa sebenarnya UNCLOS itu? Ini adalah singkatan dari United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS), yang sering disebut Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ini melalui



UU No. 17 Tahun 1985. Sejak saat itu Indonesia



resmi tunduk pada rezim UNCLOS 1982. Konvensi ini mempunyai arti penting karena konsep Negara Kepulauan yang diperjuangkan Indonesia selama 25 tahun secara terus menerus berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional. UNCLOS adalah hasil dari Konferensikonferensi PBB mengenai hukum laut yang berlangsung sejak 1973 sampai 1982.



Hingga kini, tak kurang dari 158 negara yang telah menyatakan bergabung dengan Konvensi, termasuk Uni Eropa. Pengakuan resmi secara internasional itu mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan tidak lagi sebatas klaim sepihak pemerintah Indonesia. Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu. Termasuk dalam ketentuan konvensi adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di wilayah perairan Natuna Utara. Kali ini kapal-kapal Cina berani kembali melakukan kegiatan eksploitasi tanpa izin di wilayah tersebut. Tidak hanya tanpa izin, namun juga bersikukuh pada klaim sepihaknya atas hak eksploitasi di sana. Klaim yang tidak diakui hingga saat ini oleh hukum internasional. Penguatan kewilayahan laut Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 juga telah diperkuat melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Undang-Undang ini menjadikan Deklarasi Djuanda 1957 juncto UNCLOS 1982 sebagai salah satu momentum penting yang menjadi pilar memperkukuh keberadaan Indonesia suatu negara. Dua momentum lain adalah Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Itu pula sebabnya, persoalan kedaualatan atas perairan Natuna sangat penting bagi Indonesia. B. Selain hukum nasional yang kita kenal diatur melalui aransemen peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, terdapat juga hukum internasional yang berlaku dalam kehidupan masyarakat internasional. Kehidupan masyarakat internasional yang dimaksud adalah interaksi yang terjadi antara subjek-subjek hukum internasional, dimana diperlukan kaedah yang mengatur interaksi tersebut. Penerapan hukum internasional tidak sesederhana penerapan hukum nasional. Karena sebagian dari subjek hukum internasional berada dalam wilayah hukum nasional, dimana subjek hukum internasional itu berada. Sebagai contoh, negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, tentu memiliki hukum nasional tersendiri yang



berlaku di masing-masing negara dan belum tentu selalu sejalan dengan hukum internasional. Adanya kepentingan kedua hukum ini mungkin saja berbeda, dan menjadi perdebatan. Sehingga muncul pertanyaan apakah antara hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu kesatuan hukum atau terpisah satu sama lain. Terhadap permasalahan tersebut, dalam mengadopsi hukum internasional, dikenal dua aliran besar yang mencoba mendefinisikan kedudukan hukum internasional dan hukum nasinal, yaitu Monoisme dan Dualisme. Aliran Hukum Monoisme Monoisme merupakan keadaan dimana hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dengan satu sistem hukum pada umumnya. Berdasarkan teori, monoisme memiliki dua primat yang berlaku, yaitu primat hukum nasional dan primat hukum internasional. Menurut aliran monoisme dengan primat hukum nasional, menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber kepada hukum nasional. Alasan utama pada anggapan ini karena tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia. Selain itu dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang negara-negara untuk mengadakan perjanjianperjanjian internasional. Aliran monoisme dengan primat hukum internasional, yang menganggap bahwa kedaulatan negara tidak melebihi batas-batas internasional, sehingga hukum nasional dianggap memiliki hierarki yang lebih rendah dan tunduk kepada hukum internasional. Pada primat ini menganut pandangan bahwa hukum internasional harus diutamakan bila terjadi konflik hukum internasional dan hukum nasional. Aliran Hukum Dualisme Aliran hukum dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumberkan pada kemauan negara. Pada aliran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua system atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Akibatnya timbul pandangan bahwa kaedah-kaedah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada perangakat hukum yang lain. Akibatnya, ketentuan hukum internasional memerlukan transformasi menjadi



hukum nasional sebelum dapat berlaku di dalam lingkungan hukum nasional. Jika terjadi benturan antara hukum internasional dan hukum nasional, negara yang menganut aliran dualisme cenderung mengabaikan hukum internasional. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dalam konteks Indonesia menurut Duta Besar Eddy Pratomo, masih terdapat ketidaktegasan apakah Indonesia menganut aliran monoisme atau dualisme. Sejauh ini, Eddy menganggap bahwa Indonesia menganut doktrin gabungan, yaitu inkorporasi (monoisme) untuk perjanjian-perjanjian internasional yang menyangkut keterikatan negara sebagai subjek hukum internasionalsecara eksternal. Akan tetapi menganut doktrin transformasi (dualisme) untuk perjanjian internasional yang menciptakan hak dan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun apabila ditinjau lebih jauh melalui Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut aliran dualisme dimana perlu dilakukan transformasi hukum? internasional ke dalam produk hukum nasional. C. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Hukum nasional di indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum eropa, hukum agama dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum eropa kontinental, khususnya dari belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan hindia belanda (Nederlandsch-Indie). Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori yang cukup dikenal, yaitu monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya, hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. Menurut teori dualisme Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Keberadaan hukum internasional menjadi control masyarakat hukum internasional dalam menjalangkan hukum nasional demi tercapainaya ketertiban dunia. Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori yang cukup



dikenal, yaitu monisme dan dualisme. Menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya. Menurut teori dualisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua system yang sama sekali berbeda, hukum internasional mempunyai suatu karakter yang berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari hukum nasional. Karena melibatkan melibatkan sejumlah besar system hukum domestik, teori dualisme kadangkadang dinamakan teori “pluralistik”, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak membingungkan. Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum 3)



internasional. A. Pengertian subjek Hukum Internasional dapat disebutkan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut Hukum Internasional. Pengertian tersebut dapat diletakkan kepada negara sebagai subjek Hukum Internasional yang bersifat penuh. Disamping pengertian tersebut di atas, ada juga pengertian subjek Hukum Internasional dalam arti yang lebih luas, dimana mencakup kenyataan bahwa yang dimiliki oleh subjek hukum



tersebut hanyalah hak dan kewajiban yang terbatas. Contoh subjek Hukum Internasional dalam arti terbatas ini adalah orang perorangan (individu). Selain itu ada juga subjek Hukum Internasional yang mendapatkan hak dan kewajibannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional yang berkembang sesuai dengan perkembangan sejarah Hukum Internasional itu sendiri. Adapun yang menjadi subyek hukum internasional yang akan dibahas disini adalah: negara, Palang Merah Internasional, tahta suci, Organisasi Internasional, Orang perorang (individu), pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent). Sedangkan beberapa subyek yang (dianggap) masih baru, seperti perusahaan multi nasional, Non Government Organization. Subyek Hukum Internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan Hukum Internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku subyek hukum internasional itu sendiri. Pada saat ini subjeksubjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah: a. Negara Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah penduduk yang tetap, mempunyai wilayah (teritorial) tertentu; pemerintahan yang sah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. b. Organisai Internasional Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni: 1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa; 2. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain; 3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union. c. . Palang Merah Internasional



Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. d. Tahta Suci Vatikan Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. e. Kelompok Pemberontak (Beligerent) Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.



f. Individu Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensikonvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan individu adalah sebagai subyek hukum internasional yang mandiri. B. Diplomasi pertahanan Indonesia menerapkan beberapa strategi yaitu: Dalam aspek negara,dimana indonesia melakukan strategi diplomasi terhadap negara-negara yang menclaim laut china selatan agar konflik di laut china selatan dapat berkurang ketegangannya,dan juga lewat konflik ini indonesia sebagai motor dan pengagas terbukanya kerjasama multilateral antara negara-negara yang aktif dalam konflik laut china selatan tersebut. ndonesia di bawah kepemimpinan Jokowi dapat diperkirakan terus menjalankan aksi unilateral untuk memperkuat posisi Indonesia di Kepulauan Natuna, baik melalui pengiriman tenaga militer dan peningkatan kegiatan ekonomi yang diarahkan negara. Namun, Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi belum menjalankan peran kepemimpinan yang efektif di dalam ASEAN terkait isu lebih luas mengenai Laut Cina Selatan. Indonesia membuat pangkalan militer sebagai landasan di pulau natuna yang terletak bersebrangan dengan laut china selatan,fokus utama dari strategi udara ini adalah sebagai penangkal jika terjadinya interaksi militer di pulau natuna,karena indonesia membawa kepentingan nasionalnya yaitu hanya sebagai jembatan atas aktoraktor yang terjun secara langsung dalam konflik laut china selatan tersebut.dan juga indonesia dalam uu indonesia salah satu isinya yaitu indonesia berperan aktif dalam perdamaian dunia dan penyelesaian konflik. Dalam aspek laut,dimana indonesia walaupun ingin memperjuangkan dan berperan aktif dalam konflik laut china selatan tetapi indonesia tidak lupa juga untuk mempertahankan wilayah kedaulatan NKRInya.lalu strategi indonesia dalam aspek maritim yaitu menjaga pulau natuna dengan kapal perang yang diupgrade demi menjaga daerah tersebut agar tetap stabil. Dalam aspek darat,strategi yang dilakukan indoesia yaitu membuat indonesia sebagai motor,penggagas dan jembatan dari pembentukannya forum-forum yang diadakan baik di asean,maupun asosiasi.forum ini dibentuk agar konflik di laut china selatan dapat mereda,lalu munculnya solusi atas



penyelesaian konflik tersebut. Indonesia harus tetap hati-hati dengan situasi lapngan yang selalu akan bergantiganti dari hari ke hari maka penting kiranya lebih intensif menjaga daraeh terluar agar tidak mudah di klaim oleh Negara manapun juga. C. Pihak yang dapat mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 Statuta Mahkamah dan Pasal 93 ayat (1) dan (2) Piagam PBB adalah hanya negara anggota PBB, dan negara di luar PBB yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam tiap-tiap kasus oleh Majelis Umum atas usul Dewan Keamanan PBB. Sehingga, subyek hukum internasional selain negara, termasuk organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak yang berpekara di depan Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional memiliki fungsi konsultatif yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi internasional untuk berkonsultasi dan meminta advisory opinion kepada Mahkamah dalam menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Namun klaim internasional dapat dilakukan oleh PBB untuk menjamin perlindungan bagi anggotanya yang sedang menjalankan tugas di negara tertentu, seperti yang terjadi pada kasus Pangeran Bernadotte. Mahkamah Internasional hakikatnya adalah merupakan lembaga peradilan tetap yang memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan permasalahan antarnegara yang diajukan oleh negara-negara tersebut berdasarkan kesepakatan. Yurisdiksi Mahkamah diatur dalam Bab II Statuta Mahkamah Internasional. Mengenai material jurisdiction dari Mahkamah Internasional, telah diatur di dalam Pasal 36 ayat (1) Statuta yang menyatakan bahwa : “Yurisdiksi Mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa, terutama yang terdapat dalam Piagam PBB atau dalam perjanjian dan konvensi yang berlaku.” Meskipun organisasi internasional tidak dapat berpekara di hadapan Mahkamah, namun organisasi internasional dapat mengajukan permintaan pendapat Mahkamah dalam suatu kasus tertentu, atau yang biasa dikenal dengan advisory opinion (pendapat yang tidak mengikat). Advisory opinion merupakan fungsi konsultatif dari Mahkamah yang bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada badan atau lembaga yang mengajukan pertanyaan kepada Mahkamah. Kebalikan dari fungsi penyelesaian sengketa, fungsi konsultatif ini hanya terbuka bagi organisasi internasional. Berdasarkan Pasal 96



Piagam PBB, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB dapat meminta advisory opinion mengenai permasalahan hukum ke Mahkamah. Hak mengajukan advisory opinion ini juga diberikan kepada organ-organ lain PBB dan badan-badan khusus, dengan syarat harus mendapatkan otorisasi terlebih dahulu dari Majelis Umum PBB.8 Organisasi internasional di luar PBB dan badan-badan khusus PBB hanya dapat meminta advisory opinion seputar permasalahan hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatannya. Meskipun advisory opinion erat kaitannya dengan Mahkamah Internasional, namun yurisdiksi ini juga dikenal di sejumlah pengadilan, seperti The European Court of Justice, The Inter-American Court of Human Rights (yang mana telah menghasilkan pendapat penting dimana negara juga dapat meminta pendapat) dan The Benelux Union Court of Justice. Upaya hukum berupa advisory opinion ini pernah ditempuh



oleh



PBB dalam



kasus



Pangeran



Bernadotte.



Dalam



menjawab



pertanyaannya, Mahkamah menyatakan bahwa PBB memiliki kemampuan untuk mengajukan klaim internasional terkait dengan perwujudan perlindungan bagi 4)



perwakilannya yang sedang menjalankan suatu misi atau tugas. A. Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag memenangkan gugatan Filipina terhadap China dalam sengketa teritori Laut China Selatan pada Selasa sore, 12 Juli 2016. "Pengadilan memutuskan Filipina dan China , tidak ada basis legal bagi China untuk mengklaim hak berbasis sejarah terhadap sumber daya alam, termasuk hak di lautan dalam 'nine dashes line'," demikian tertulis dalam keterangan dari PCA. Keputusan tersebut terjadi setelah Filipina menggugat klaim China sejak 2013 atas daerah yang mereka sebut sebagai West Philipine Sea. Filipina mengatakan klaim China atas daerah-daerah tersebut tidak berdasar karena bertentangan dengan Konvensi PBB (UNCLOS). Atas hasil PCA ini, maka China tidak bisa lagi menggunakan klaim historis mereka. Selain itu, 9 garis milik China juga dipastikan tidak lagi bisa digunakan sebagai basis. Sebelumnya, China membantah kalau mereka "menerobos", karena wilayah tersebut merupakan teritori mereka. Klaim ini dibasiskan pada nine dash lines, atau "teritori 9 garis putus-putus", yang sudah ada sejak rezim Kuomintang pada tahun 1947. Klaim China ini semuanya berbasis pada catatan sejarah dan peta kuno. Garis Kuomintang ini bersinggungan dengan sejumlah daerah "milik" negara lain seperti



Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang semuanya memakai basis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Nine dash line atau sembilan garis putus-putus adalah upaya RRC untuk memetakan klaim historic rights pada fitur maritim dan perairan LCS. Akibatnya, lebih dari 80 persen wilayah LCS diklaim oleh RRC. Anehnya klaim ini tidak didukung dengan data koordinat geografis. Berbeda dengan batas darat yang bisa ditandai dengan marka fisik, seperti sungai atau punggung bukit, batas laut sangat tergantung pada koordinat geografis. Tidak adanya koordinat ini membuat nine dash line amat elastik, tergantung pada siapa yang menggambar peta itu dan jenis publikasinya. Sifat elastik itu membuat nine dash line menjadi sumber destabilisasi di kawasan itu. Wilayah Laut China Selatan (LCS) menjadi tegang sejak China terus menguatkan klaim atas kepemilikan wilayah Sembilan Garis Putus-Putus (nine dash line) pada dua dekade awal abad 21 ini. Ketegangan di wilayah ini juga dipicu oleh pembangunan pulau buatan pada karang bebatuan laut di kawasan Kepulauan Spratly. Tindakan China tersebut lantas membuat 4 negara ASEAN (Malaysia, Filipina, Brunei dan Vietnam) ditambah Taiwan geram sehingga ketegangan tersebut lantas berubah menjadi sebuah konflik yang hingga kinibelum terselesaikan. Negara negara tersebut mengklaim bahwa apa yang diklaim pada nine dash line itu juga sebagian merupakan teritori mereka. Klaim berbagai negara yang berbatasan dengan LCS yang dilancarkan telah memunculkan kekhawatiran negara pengklaim dan non pengklaim di sekitarnya serta negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan keamanan wilayah perairan di sana. Kekhawatiran yang meningkat kemudian telah memicu eskalasi ketegangan akibat muncul kegiatan-kegiatan militer dan saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata serta upaya provokasi di daerah LCS. Selanjutnya diperlihatkan pula perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi yang dilakukan angkatan laut Tiongkok di wilayah LCS terhadap angkatan laut dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau sebaliknya. Aksi saling cegah dan usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu terus meningkat dan cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala rendah. Konflik bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi tetap saja terbuka jika resolusi konflik permanen gagal ditemukan mengingat besarnya



dan banyaknya kepentingan baik dari negara yang mengklaim, negara non pengklaim, serta negara luar kawasan. Walaupun telah terdapat putusan hukum yang mengatakan bahwa ninedash line tidak dibenarkan berdasarkan hukum laut internasional, akan tetapi keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan tersebut juga harus menjadi kewaspadaan. Keengganan Tiongkok untuk mematuhi putusan dari PCA dan tetap melakukan agresivitas di kawasan LCS dapat memperparah hubungan dengan negara-negara sekitar kawasan LCS. Oleh karena itu, di dalam penulisan ini akan bermaksud untuk melihat implikasi putusan PCA dalam kasus LCS terhadap negara pihak maupun negara yang berkepentingan di sekitar kawasan LCS. B. Menurut hukum internasional cara penambahan wilayah yang dibenarkan adalah dengan cara damai tanpa kekerasan. Piagam PBB Pasal 2 ayat 4 dengan jelas menyatakan larangan untuk menambah wilayah dengan kekerasan. Berikut bunyi pasal tersebut : Dalam melaksanakan hubungan internasional, semua anggota harus mencegah tindakan-tindakan yang berupa ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan atau kemerdekaan politik Negara lain. Cara memperoleh yang dibenarkan menurut hukum internasional, yaitu okupasi, akkresi, prespeksi, cessi. Sedangkan aneksasi atau penaklukan (penggabungan suatu wilayah lain dengan kekerasan atau paksaan kedalam wilayah negara yang menganaksasi) tidak dibernarkan. Penambahan dengan cara-cara akresi, cessi, okupasi, preskripsi, dan perolehan wilayah secara paksa yang biasanya berupa aneksasi, saat ini masih mungkin terjadi dan masih berlangsung. Cara tersebut (dalam teori hukum internasional) masih relevan apabila, pada kenyataannya masih ada fenomena tersebut. Cara-cara tersebut masih digunakan oleh negara-negara untuk menambah wilayah. Namun pada masa sekarang tidak semua cara masih digunakan. Cara yang paling sering muncul saat ini untuk menambah wilayah yaitu dengan cara aneksasi dan referendum. Misalnya, aneksasi yang dilakukan Israel terhadap wilayah Palestina. Menurut hukum internasional cara tersebut tidak dibenarkan, karena ada larangan untuk menambah wilayah dengan kekerasan (Pasal 2 ayat 4 Piagam PPB). Selain itu, dengan cara referendum seperti di Timor Timur 1999, Sudan Selatan



2011. Wilayah merupakan bagian dari kedaulatan dari suatu negara. Maka dari itu negara melindungi wilayah kekuasaan. Wilayah juga meruoakan sumber konflik internasional (antar negara). Banyak negara ingin menambah wilayahnnya, hukum internasional membatasi keinginan itu. Dalam memperoleh atau menambah wilyah sering terjadi konflik antar negara. Sengketa-sengketa juga dapat diselesaikan melalui konsialiasi dan dalam



beberapa



hal



tertentu



wajib



menggunakan



penyelesaian



melalui



konsialiasi. Berikut contoh penambahan wilayah yang masih terjadi masa sekarang : 1. Okupasi atau Pendudukan (occupation) - Sengketa Pulau Falkland oleh Inggris dan Argentina Otoritas eksekutif Falkland berada di bawah wewengan Ratu dan menjadi mandat gubernur. Kekalahan Argentina dalam perebutan Falkland mengakibatkan runtuhnya kekuasaan diktator militer Argentina pada 1983. Pertentangan mengenai kontrol kepulauan tersebut masih berlangsung hingga kini. Sejak abad ke 18, Argentina dan Inggris telah bersitegang soal siapa yang memiliki pulau Falkland. Pada tahun 1982, pecang perang kedua negara memperebutkan pulau ini. Lebih dari 600 tentara Argentina dan 200 tentara Inggris tewas dalam pertempuran tersebut. Status pulau Falkland sendiri di PBB dianggap sebagai wilayah tak bertuan. Konflik tesebut saat ini mulai memanas kembali. Dilansir dari Daily Mail, Rabu 1 Februari 2012, Angkatan Laut Inggris akan menurunkan kapal penghancur tipe 45 HMS Dauntless selama tujuh bulan di perairan sekitar Falkland, atau yang oleh Argentina disebut pulau Malvinas. Penurunan kapal perang ini juga untuk mengamankan wilayah tersebut menjelang perayaan pembebasan Falkland oleh Inggris dari Argentina 30 tahun silam. 2. Akkresi (accretion) – melalui Pergerakan Sungai Contoh cara penambahan wilayah secara alamiah yang mungkin timbul karena pergerakan sungai atau lainnya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terdapat wilayah yang telah ada yang berada di bawah kedaulatan Negara yang memperoleh hak tersebut. Tindakan atau pernyataan formal tentang hak ini tidak diperlukan. Tidak penting untuk diketahui apakah proses penambahan wilayah itu



terjadi secara bertahap atu tidak terlihat, seperti dalam kasus biasa endap-endapan lumpur atau tentang apakah penambahan itu disebabkan oleh sesuatu pemindahan tanah secara tiba-tiba atau mendadak, dengan ketentuan bahwa penambahan itu melekat dan bukan terjadi dalam satu peristiwa yang dapat diidentifikasiakan berasal dari loksi lain. Apabila dikatakan bertahap atau tidak kelihatan setelah selang waktu yang cukup lama. Kaidah-kaidah hokum perdata Romawi mengenai pembagian pemilikan terhadap endapan-endapan lumpur pada aliran atau sungai-sungai diantara pemilikpemilik yang bersebrangan secara analogi berlaku terhadap persoalan pembagian kedaulatan antara Negara-negara yang bersebrangan dimana endapan-endapan sama-sama timbul di sungai-sungai yang menjadi garis perbatasan mereka. 3. Preskripsi (prescripton) - Pulau Palmas Akibat perang Spanyol-Amerika Serikat tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika Serikat berdasarkan Treaty of Paris. Pada 1906 pejabat Amerika Serikat mengunjungi pulau Palmas (Miangas) yang diyakini Amerika Serikat sebagai wilayah yang diserahkan kepadanya, tetapi Amerika Serikat mendapatkan bendera Belanda berkibar di Pulau Palmas. Amerika Serikat dan Belanda merasa memiliki hak kedaulatan terhadap Pulau Palmas. Dasar klaim Amerika Serikat adalah cessi, yang ditetapkan dalam Treaty of Paris. Cessi “mentransfer” semua hak kedaulatan yang dimiliki Spanyol terhadap Pulau Palmas. Sedangkan Belanda mendasarkan klaim kedaulatannya terhadap Pulau Palmas pada alas hak okkupasi yaitu melalui pelaksanaan kekuasaan negara secara damai serta terus menerus atas Pulau Palmas. Alas Hak Okkupasi ditentukan oleh prinsip “effectiveness”, efektif berarti memenuhi dua syarat, yakni adanya kemauan untuk melakukan kedaulatan negara di wilayah yang diduduki dan adanya pelaksanaan kedaulatan negara yang memadai di wilayah itu. Sedangkan Alas Hak Cessi adalah tambahan kedaulatan wilayah melalui proses peralihan hak yang dapat berupa pemberian, tukar menukar atau paksa. Cessi dapat terjadi dengan sukarela atau dengan paksa. Alas hak yang diperoleh melalui cara okupasi oleh Belanda lebih kuat dibandingkan cara cessi yang dilakukan oleh Amerika Serikat maka dari itu Arbitror memutuskan bahwa



Pulau Palmas seluruhnya merupakan bagian wilayah Belanda. 4. Cessi atau Penyerahan (cession) – Pembelian Alaska Pembelian Alaska oleh AmerikaSerikat dari KekaisaranRusia tahun



1867.



Pembelian ini menambah luas wilayah Amerika Serikat sebesar 586.412 mil persegi (1.518.800 km²). Rusia saat itu sedang berada dalam posisi finansial yang sulit dan takut kehilangan Alaska Rusia tanpa kompensasi (terutama terhadap Britania Raya, musuh mereka dalam Perang Krim). Tsar Alexander II memilih menjual Alaska. Rusia menawarkan Alaska pada Amerika Serikat tahun 1859. Namun, Perang Saudara Amerika meletus. Setelah Perang Saudara Amerika berakhir, Tsar menginstruksikan menteri Rusia untuk Amerika Serikat Eduard de Stoeckl untuk bernegosiasi dengan Amerika Serikat. Negosiasi dimulai pada Maret 1867, dan Amerika setuju untuk membeli Alaska dengan harga $4.74/km2, total $7.200.000. Pembelian ini terbukti berguna bagi Amerika Serikat karena penemuan kandungan minyak bumi yang besar di Alaska. Sesungguhnya penyerahan wilayah menyusul kekalahan dalam perang lebih lazim terjadi daripada aneksasi. Suatu penyerahan melalui traktat adalah batal apabila pembentukan traktat itu dihasilkan dari ancaman atau penggunaan kekerasan yang bertentangan



dengan



prinsip-prinsip



hukum



internasional.



Negara



yang



menyerahkan tidak dapat mengurangi apa yang telah ia serahkan.   5. Aneksasi atau Penaklukan (annexation) – Pendudukan Israel di Palestina Pada sejak tahun 1946, Transyordania memperoleh kemerdekaan dari Mandat Britania atas Palestina. Agensi Yahudi untuk Israel mendeklarasikan berdirinya Negara Israel sesuai dengan rencana PBB yang diusulkan. Komite Tinggi Arab tidak



mengumumkan



keadaan



sendiri



dan



sebaliknya,



bersama



denganTransyordania, Mesir, dan anggota lain dari Liga Arab saat itu, mulai tahun 1948 Perang



Arab-Israel.



Selama



perang, Israel memperoleh



wilayah



tambahan yang diharapkan menjadi bagian dari negara Arab di bawah rencana PBB. Mesir memperoleh kendali atas Gaza dan Transyordania mendapat kontrol atas West Bank.



Mesir awalnya mendukung terciptanya Pemerintahan Seluruh Palestina, tapi itu dibubarkan pada tahun 1959 dan Transyordania memasukkan Tepi Barat dalam membentuk Yordania. Aneksasi itu diratifikasi pada 1950. Perang Enam Hari 1967berakhir dengan ekspansi teritorial signifikan oleh Israel. Ekspansi ini melibatkan seluruh Tepi Barat, yang tetap di bawah pendudukan Israel, dan Jalur Gaza yang diduduki sampai penarikan mundur Israel tahun 2005. Faktanya, Israel terus saja membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat. Pembangunan permukiman Yahudi yang terus berlanjut di daerah pendudukan akan membuat pendudukan Israel atas wilayah Palestina menjadi permanen. Dalam laporan untuk Sidang Umum PBB itu, Falk mengatakan, sebegitu luasnya pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur sehingga membuat wilayah Palestina secara de facto telah dianeksasi Israel. Asumsi dasar resolusi DK PBB atas pendudukan wilayah Palestina oleh Israel tahun 1967 adalah sementara dan reversible. Kesimpulannya, bukan hanya berdasar pada meluasnya pemukiman Yahudi di tempat pendudukan, melainkan juga pengusiran warga Palestina dari Jerusalem Timur dan penggusuran rumah-rumah mereka. PBB seharusnya mendukung sanksi ataupun boikot terhadap Israel dengan tuduhan melakukan pelanggaran hukum internasional. C. Isu sengketa perairan Laut China Selatan menjadi strategis dalam perkembangan Asia Timur. Bahkan, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) ke-21 di Phnom Penh, Kamboja beberapa waktu lalu isu itu memanaskan siatusi. Dua negara anggota ASEAN, yakni Filipina dan Vietnam yang bersengketa langsung dengan China, mendesak agar permasalahan tersebut dibahas di dalam forum internasional. Dilaih pihak, China mengingingkan permasalahan ini diselesaikan secara bilateral guna menghindari intervensi negara lain. China kerap dituduh bersikap arogan dalam kasus Laut China Selatan. Klaimnya yang berbentuk "U" (U-shaped) atas Laut China Selatan dianggap bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Pemaparan ini dalam perspektif berbeda dari pemikir mainstream, yang masih terkungkung oleh paradigma realis dan Amerika Centris. Paradigma ini selalu berhasil menciptakan persepsi ancaman yang ditujukan



kepada rising power (biasanya berperan sebagai penantang status quo) dan kemudian memberikan label agresif kepadanya. Dalam forum ASEAN tersebut Jiang mengungkapkan, China ingin menjadi tetangga, partner dan teman yang baik dari negara-negara anggota ASEAN. Kebijakan "tetangga yang baik" (good neighbor policy) ini pertama kali diutarakan di forum multilateral KTT ASEAN Plus Three 1997 oleh presiden China saat itu, Jiang Zemin. Langkah China merubah kebijakannya itu bukanlah pemanis bibir belaka, tetapi mengambil langkah-langkah kongkret untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pada 4 November 2002, China menandatangai Declaration on The Conduct of Parties in The South China Sea, di Phnom Penh, Kamboja. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa sepakat untuk menahan diri, menyelesaikan sengketa teritorial secara damai, mengembangkan rasa saling percaya, dan menjalin kerjasama dalam berbagai bidang di Laut China Selatan tanpa mengurangi klaim masing-masing pihak terhadap wilayah yang dipersengketakan. Lebih lanjut, China juga bersedia menandatangani Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada KTT ASEAN yang diselenggarakan di Bali, 2003. Beberapa poin yang terdapat dalam TAC adalah, penyelesaian perbedaan dan persengketaan dengan caracara yang damai, penolakan penggunaan ancaman dan kekuatan militer, serta menjalin kerjasama yang efektif satu sama lain. Jika dibandingkan dengan China pada masa kepemimpinan Mao Zedhong, saat ini memasuki abad 21, perilaku China bisa dikatakan jauh lebih bersabahat. Pada tahun 1974, pasukan bersenjata China merebut Kepulauan Paracel dari tangan Vietnam. Peristiwa itu menyebabkan terbunuhnya 70 pasukan bersenjata Vietnam. Tragedi serupa terjadi lagi pada 1988, kali ini memperebutkan kepulauan Spratly. Kembali kekalahan berada pada pihak Vietnam, yang kehilangan 60 orang pelautnya. Selain bersikap ofensif terhadap Vietnam, China juga melakukan beberapa tindakan militeristik kepada Filipina. Pada Januari 1996, kapal-kapal perang China terlibat baku tembak dengan kapal-kapal perang Filipina, di dekat Pulau Capones. Dalam satu dekade terakhir, diakui atau tidak, China dapat menunjukkan kebijakan, tetangga yang baik dalam politik kawasan. Mengutip pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri China, Fu Ying, "Dengan cepat kawasan ini dinilai sangat berbahaya dan



bergejolak oleh semua pihak, hanya karena permasalahan Laut China Selatan. Kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, China dan negara-negara yang mengelilingi Laut China Selatan, telah berhasil mengontrol sengketa dan tidak membiarkannya menjadi intensif." Namun, analisa banyak pengamat, sangatlah bernuansa perang dingin dan Amerika Sentris. China dipandang sebagai pihak yang memecah belah keutuhan ASEAN, dengan memengaruhi Kamboja agar menolak usulan membahas Code of Conduct (CoC) pada KTT ASEAN beberapa waktu lalu. Di sisi lain, mengapa dukungan AS dan Australia agar segera merumuskan CoC tidak dianggap sebagai upaya yang memecah belah keutuhan ASEAN? Padahal, China bukannya tidak bersedia merumuskan CoC, akan tetapi lebih memilih untuk berproses dan menemukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Kedua, tanpa keberpihakan Kamboja kepada China pun, Vietnam, terlebih Filipina, memang telah bersekutu dengan AS. Secara eksplisit, pemerintah AS menyatakan akan melindungi Filipina, berkaitan dengan sengketa perairan Laut China Selatan. Justru, "kembalinya" AS dalam percaturan politik kawasan Asia Timur ini akan menciptakan munculnya politik perimbangan kekuatan klasik. Kembalinya AS ini merupakan upaya pemindahan poros kebijakannya, dari sebelumnya lebih mengarah ke Timur Tengah, menuju Asia. Dalam majalah Foreign Policy (November 2011), Menlu AS waktu itu Hillary Clinton secara eksplisit mengatakan, "masa depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan bahwa AS tidak main-main dan dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional negara-negara sekutunya. Para pengamat maupun pengambil kebijakan perlu cermat membaca politik kawasan. Sepanjang sejarah Asia Timur, konflik besar seperti Perang Korea, Perang Vietnam dan krisis Selat Taiwan pecah karena keterlibatan AS. Oleh sebab itu, kita patut bersikap obyektif dalam melakukan penilaian mengenai, siapa aktor yang paling mungkin memecah belah kesatuan kawasan. Sementara itu, Doktrin Natalegawa, mengenai "keseimbangan dinamis" perlu tetap dipertahankan untuk menjaga kawasan tetap damai dan terhindar dari politik perimbangan



kekuatan



klasik.



"Keseimbangan



dinamis"



diharapkan



mampu



mengendalikan, bukan menghilangkan, pengaruh dua negara besar, AS dan China, agar tidak semakin mendominasi kawasan. Sedangkan Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua



warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. ada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar