(Kel 5) Hemoglobin N Apus Darah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Tujuan 1. Mengetahui cara mengukur kadar hemoglobin darah 2. Mengukur



kadar



hemoglobin



dengan



menggunakan



beberapa



metode



pemeriksaan sederhana 3. Mengetahui cara pemakaian haemometer sahli 4. Mengetahui fungsi dari pengukuran kadar hemoglobin 5. Membuat sediaan apus darah 6. Mengetahui cara memeriksa sediaan apus darah 7. Mengetahui gambaran berbagai jenis sel darah 8. Mengetahui cara menghitung jenis sel darah 9. Memeriksa sediaan darah



B. Landasan Teori 1. Sel Darah Unsur seluler dari darahsel darah putih, sel darah merah dan trombosit– tersuspensi dalam plasma darah. Volume darah total yang beredar pada keadaan normal sekitar 8% dari berat badan (5600 ml pada pria 70 kg). Sekitar 55% dari volume tersebut adalah plasma (Ganong, 2002). Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada mamalia, sel ini kehilangan intinya sebelum memasuki peredaran darah. Pada manusia, sel ini berada dalam sirkulasi selama 120 hari. Rata-rata normal sel darah merah adalah 5,4 juta/µL pada pria dan 4,8 juta pada wanita. Setiap sel darah merah manusia memiliki diameter sekitar 7,5 µm dan tebal 2µm serta setiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin. Dengan demikian didapatkan sekitar 3x1013 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam peredaran darah seorang pria dewasa (Ganong, 2002). Polisitemia adalah keadaan ketika jumlah sel darah merah melebihi batas normal. Salah satu resikonya, bisa mencetuskan penggumpalan darah dan kemudian memicu penyumbatan pada jantung. Hal ini terjadi karena jumlah zat terlarut (erirosit) lebih banyak dibanding zat pelarut (plasma darah) sehingga darah menjadi lebih kental dari keadaan normal. Banyak hal bisa menyebabkan polisitemia, antara lain faktor geografis. Orang yang tinggal di daerah dataran tinggi, yang memiliki kadar oksigen lebih rendah, cenderung memiliki eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tinggal di daerah dataran rendah. 1



Pada keadaan normal, terdapat jumlah sel darah putih sebanyak 4.000-11.000/µL darah manusia. Dari jumlah tersebut jenis terbanyak adalah granulosit (Ganong, 2002). Sel granulosit muda memiliki inti sel berbentuk sepatu kuda yang akan berubah menjadi multilobuler dengan meningkatnya umur sel. Sebagian besar sel tersebut mengandung granula netrofilik sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil) dan sebagian lagi mengandung granula basofilik (basofil) (Ganong, 2002). Dua jenis sel lain yang ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yang memiliki inti bulat besar dan sitoplasma sedikit, serta monosit, yang mengandung banyak sitoplasma tidak bergranula dan mempunyai inti berbentuk menyerupai ginjal. Kerjasama sel-sel tersebut menyebabkan tubuh memiliki system pertahanan yang kuat terhadap berbagai tumor dan infeksi virus, bakteri serta parasit. Neutrofil, selnya cukup besar, hampir 1,5 kali ukuran eritrosit. Intinya berlobus banyak, 2-5 buah; satu sama lain dihubungkan dengan benang kromatin halus. Kromatin intinya kasar dan padat. Dapat pula ditemukan neutrofil muda dengan inti berbentuk batang bengkok, tidak berlobus, yang disebut neutrofil batang. Sitoplasma neutrofil mengandung granula spesifik halus, berwarna merah muda. Segmen (tembereng) yang merupakan prekursor bagi neutrofil dapat dijumpai dengan penampakan 2 lobus. Lobuslobus ini nampak dihubungkan oleh serabut kromatin halus. Neutrofil dapat melakukan fagositosis, menunjukkan gerakan amuboid dan kesanggupan hidup dalam keadaan anaerob bermanfaat dalam memerangi bakteri jahat. Tingginya kadar neutrifil dalam tubuh mengindikasikan tubuh orang tersebut memilki sistem pertahanan yang kuat.



Gambar 1. Neutrofil Eusinofil, sel ini ukurannya kurang lebih sama dengan neutrofil. Bentuk inti umumnya mirip gagang telepon atau kaca mata dengan kromatin yang tidak sepadat 2



neutrofil. Sitoplasmanya bergranula kasar dengan ukuran yang kurang lebih seragam dan bewarna merah jingga. Sel ini agak sukar ditemukan karena jumlahnya lebih sedikit dari neutrofil. Banyaknya jumlah granul membuat sel ini berwarna lebih gelap. Bentuk inti sel ini merupakan bentuk pada fase eusinofil yang telah dewasa. Granul pada sel ini mengandung protein yang mampu membunuh cacing seperti Schistosoma.



Gambar 2. Eusinofil Basofil, Sel ini ukurannya kurang lebih sama dengan neutrofil. Namun sel ini agak sukar dicari karena jumlahnya dalam keadaan normal sedikit, bahkan lebih sedikit dari eosinofil. Bentuk intinya tidak menentu, bahkan sering tidak jelas karena tertutup granula. Kadang juga terlihat berlobus atau berbentuk batang bengkok. Granula sitoplasma berwarna biru kehitaman, ukuranya tidak seragam, dan tersebar menutupi inti.



Gambar 3. Basofil Limfosit, Ukuran sel ini beragam. Ada yang seperti eritroeit dan ada yang sebesar neutrofil. Limfosit dengan garis tengah 6-8 mikrometer dikenal sebagai limfosit kecil. Di dalam peredaran darah, terdapat sedikit limfosit berukuran sedang dan besar dengan garis tengah mencapai 18 mikrometer. Limfosit yang lebih besar diyakini sebagai sel yang 3



telah diaktifkan oleh antigen spesifik. Pada sediaan apus darah, anak inti leukosit tidak terlihat, namun dapat terlihat dengan pulasan khusus dengan mikroskop elektron. Sitoplasma limfosit bersifat basa lemah, dan berwarna biru muda pada sediaan yang terpulas. Sitoplasma ini mungkin mengandung granul azurofilik. Inti selnya kebanyakan bulat atau seperti kacang bogor, atau kadang mirip ginjal. Kromatin inti amat padat dan bewarna biru gelap. Sitoplasma sel ini relatif sedikit dan berwarna biru langit tanpa granul spesifik, namun pada beberapa sel terlihat granula azurofil, yang jika pulasannya baik akan bewarna ungu kemerahan. Monosit, merupakan leukosit yang ukurannya paling besar, biasanya ditemukan dibagian tepi sajian. Intinya mungkin berbentuk seperti ginjal atau tapal kuda. Kromatin intinya tidak padat bahkan dapat dilihat anak inti. Gambaran kromatin mirip relung-relung otak. Sitoplasmanya berwarna biru kelabu tanpa granul spesifik. Kadang-kadang dapat pula ditemukan granula azurofil. Terdapat perbedaan warna sitoplasma dan gambaran kromatin inti sel ini dengan lemfosit yang besar. Karena peyebaran kromatin yang halus, inti monosit terpulas lebih terang daripada inti limfosit besar. Sitoplasma monosit bersifat basofilik dan sering mengandung granul azurofilik yang sangat halus (lisosom). Trombosit adalah jasad kecil bergranula dengan diameter 2-4 µm. Jumlahnya sekitar 300.000/µL darah dan pada keadaan normal memiliki waktu paruh sekitar 4 hari (Ganong, 2002). Trombosit memiliki cincin mikrotubulus di sekeliling tepinya serta invaginasi memban yang luas. 2. Hemoglobin Pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah hewan vertebrata adalah hemoglobin. Hemoglobin memiliki berat molekul 64,450 (Ganong, 2002). Molekul hemoglobin memiliki dua bagian yaitu bagian globin suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat dan empat gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal sebagai heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul O 2. Olehkarena itu setiap hemoglobin dapat mengangkut empat molekul O2. O2 tidak mudah larut dalam plasma maka 98,5% O2 yang terangkut dalam darah terikat ke hemoglobin. Oksigen ini berfungsi selain untuk oksidasi biologi juga oksigenasi jaringan (Guyton, 2007).



4



Gambar 4. Gambaran diagram suatu molekul hemoglobin A, yang memperlihatkan 4 subunit. Ada 2 rantai polipeptida α dan 2 rantai polipeptida β, yang masingmasing mengandung satu potongan heme. Potongan heme ditunjukkan dengan lempengan piring (Ganong, 2003).



Hemoglobin mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, O2 menempel pada Fe2+ dalam heme. Afinitas hemoglobin terhadap O2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dalam sel darah merah. 2,3-DOG dan H+ berkompetisi dengan O2 untuk berikatan



dengan



hemoglobin



tanpa



oksigen



(hemoglobin



terdeoksi),



sehingga



menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menggeser posisi empat rantai peptida (struktur kuartener). Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbon monoksihemoglobin (karboksihemoglobin). Afinitas hemoglobin untuk O2 jauh lebih rendah daripada afinitasnya terhadap karbonmonoksida, sehingga CO menggantikan O 2 pada hemoglobin dan menurunkan kapasitas darah sebagai pengangkut oksigen (Ganong, 2003).



Gambar 5. Reaksi heme dengan O2. Singkatan M, V, dan P menggantikan gugus-gugus yang diperlihatkan dalam molekul di sebelah kiri (Ganong, 2003).



5



Hemoglobin adalah suatu pigmen yang berwarna secara alami, karena kandungan besinya maka hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan keunguan jika mengalami deoksigenasi. Olehkarena itu, darah arteri yang teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah vena yang telah kehilangan oksigen di tingkat jaringan memiliki rona kebiruan. Selain mengangkut O2 hemoglobin juga dapat berikatan dengan : 



Karbon dioksida. Hemogobin membantu mengangkut gas ini dari sel, jaringan kembali ke paru. Tingginya kadar karbondioksida dapat menyebabkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen menurun (Guyton 1995)







Bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang dihasilkan di tingkat jaringan dari CO2. Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah







Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan O2 Sehingga terjadi keracunan CO







Nitrat oksida (NO). Di paru-paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol lokal (Sharewood, 2001).



Kadar hemoglobin dapat diketahui dengan cara mengubah hemoglobin menjadi hematin asam, kemudian warna yang muncul di bandingkan secara visual dengan tabung standar dalam alat haemometer (cara Sahli). Kandungan hemoglobin pada pria normal rata-rata dalam darah adalah 16 gram per dl, sedangkan pada wanita adalah 14 gram per dl (Guyton, 2007). Untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008). Hemoglobin di dalam darah berfungsi mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh, mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar, dan membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk di buang (Widayanti, 2008). Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah : 1. Kecukupan Besi dalam Tubuh Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin 6



yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan ± 0,004 % berat tubuh (60-70%) terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati, hemosiderin di dalam limpa dan sumsum tulang (Zarianis, 2006). Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun



jumlahnya



sangat



kecil,



namun



mempunyai



peranan



yang



sangat



penting.Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel-sel membran masuk kedalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawa-senyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja (WHO dalam Zarianis, 2006). Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi (Zarianis, 2006). 2. Metabolisme Besi dalam Tubuh Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merahatau hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (> 200-1500 mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan.Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta enzim heme dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Zarianis, 2006).



7



Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling sederhana adalah metode sahli. Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisis dengan HCl menjadi globin ferroheme. Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang akan segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar (Bachyar, 2002). Cara Sahli ini bukanlah cara yang teliti. Kelemahan metabolic berdasarkan kenyataan bahwa klorometri visual tidak teliti, dimana hematian asam itu bukan merupakan larutan dan itu tidak dapat distandarkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua



macam



hemoglobin



diubah



menjadi



hematin



asam,



umpamanya



karboxyhemoglobin, methemoglobin, dan sulfhemoglobin (Kosasih, 1984). Kesalahan-kesalahan pada penetapan kadar hemoglobin cara sahli yaitu tidak tepat mengambil 20µl (mikroliter) darah, tidak memperhatikan waktu yang seharusnya berlalu untuk mengadakan perbandingan warna, ada gelembung di permukaan pada waktu membaca (Ganda Subrata, 1985). Keuntungan cara sahli adalah mudah dibawa dan biaya relatif murah. Sedangkan kelemahannya adalah kurang teliti dan kesalahannya sekitar 10%.



Gambar 6. Haemometer Sahli. Dari kiri ke kanan: karet penghisap, pipet Sahli, pipet Pasteur, Hbmeter, batang pengaduk, pembersih tabung, standard pembaca Hb, HCL 0,1 M, dan Aquades.



8



3. Sediaan apusan darah Sediaan apusan darah adalah suatu sarana yang digunakan untuk menilai berbagai unsur sel darah tepi, seperti eritrosit, leukosit dan trombosit. Selain itu dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi adanya parasit seperti malaria, microfilaria, dan lain-lain. Sediaan apus yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan pemeriksaan yang baik. Bahan pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar yang berasal dari kapiler atau vena dengan atau tanpa EDTA. Sediaan yang disimpan tanpa difiksasi terlebih dahulu tidak dapat dipulas sebaik sediaan segar. Kebanyakan cara memulas sediaan darah menggunakan prinsip Romanowski seperti Wright, Giemsa, May-Grunwald-Giemsa atau Wright-Giemsa. Sediaan hapus darah yang baik harus memenuhi syarat yaitu



lebar dan



panjangnya tidak memenuhi seluruh kaca, ekornya tidak berbentuk seperti bendera robek, secara granula penebalannya nampak berangsur-angsur menipis dari kepala kearah ekor, tidak berlubang-lubang, tidak terputus-putus, tidak terlalu tebal dan pewarnaan yang baik (Imam Budiwiyono,1995). Darah membeku bila berada diluar tubuh, apabila didiamkan bekuan akan mengkerut dan serum terperas keluar. Antikoagulan digunakan untuk menghindari pembekuan darah (E.N. Kosasih, 1984). Macam-macam antikoagulan yang digunakan dalam pemeriksaan kadar hemoglobin : 1. EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate) EDTA digunakan dalam bentuk natrium atau kalium. Garam-garam ini mengubah ion calcium dari darah menjadi bentuk yang bukan ion. EDTA tidak berpengaruh terhadap besar dan bentuknya eritrosit dan tidak juga terhadap bentuk leukosit. Selain itu EDTA dapat mencegah trombosit bergumpal, tiap 1 mg EDTA dapat menghindarkan membekunya 1 ml darah. EDTA sering digunakan dalam bentuk larutan 10%. Kalau ingin menghindari terjadinya pengenceran darah, zat kering pun boleh di pakai, akan tetapi dalam hal ini perlu sekali mengocok wadah berisi darah EDTA selama 1-2 menit, sebabnya EDTA kering lambat melarut (Ganda Soebrata, 1985). 2. Oxalat wintrobe Terdiri dari campuran ammonium oxalat dan kalium oxalat yang dipakaidalam keadaan kering dengan perbandingan 3:2 agar tidak mengencerkan darah yang akan diperiksa. Jika memakai ammonium oxalat tersendiri. Eritrosit akan membengkak dan pemakaian kalium oxalat tersendiri menyebabkan eritrosit mengkerut (Ganda Soebrata, 9



1985). Antikoagulan ini bersifat isotonic terhadap eritrosit dan tidak baik untuk pembuatan sediaan apus darah karena mempengaruhi morfologi leukosit (Kosasih, 1984). 3. Natrium citrat, larutan 3,8% Bersifat isotonic terhadap eritrosit pada perbandingan 1 volume lawan 4 volume darah. Pemakaian antikoagulan ini terutama untuk tes LED cara westergren. Tidak dapat digunakan untuk menghitung leukosit, trombosit, dan eritrosit. Kesalahan teknik akan besar karena ada factor pengenceran (Kosasih, 1984). 4. Heparin Heparin adalah antikoagulan dalam bentuk cairan dengan perbandingan 1 mg untuk 10 ml darah.Karena volume yang digunakan hanaya sedikit maka factor pengenceran dapat diabaikan.Antikoagulan ini bersifat tidak merubah volume eritrosit, tetapi mengakibatkan leukosit bergumpal.Heparin tidak bisa digunakan untuk membuat apusan darah karena menyebebabkan dasar yang biru kehitaman bisa dicat dengan cat wright stain. Macam-macam pewarnaan pada sediaan apus darah menurut Romanowsky ada empat macam pewarnaan yaitu pewarnaan wright’s stain, pewarnaan Lieshman, pewarnaan may grunwald dan pewarnaan giemsa (Imam Budiwiyono, 1995). Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain) adalah teknik pewarnaan untukpemeriksaan mikroskopis yang namanya diambil dari seorang peneliti malaria yaitu Gustav Giemsa. Pewarnaan



ini



digunakan



untuk



pemeriksaan



sitogenetik



dan



untuk



diagnosis



histopatologis parasit malaria dan parasit lainnya. Prinsip dari pewarnaan giemsa adalah presipitasi hitam yang terbentuk dari penambahan larutan metilen biru dan eosin yang dilarutkan di dalam metanol. Pewarnaan giemsa digunakan untuk membedakan inti sel dan morfologi sitoplasma dari sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan parasit yang ada di dalam darah. Pewarnaan giemsa adalah teknik pewarnaan yang paling bagus digunakan untuk identifikasi parasit yang ada di dalam darah (blood-borne parasite). Dalam pemeriksaan mikrobiologis secara rutin digunakan lensa objektif yang mampu memperbesar objek penglihatan 97-100 kali dengan menambahkan minyak emersi di antara gelas objek dan lensa objektif. Penambahan minyak emersi berguna untuk menghilangkan udara yang terletak di antara lensa objektif dengan gelas objek, sehingga sinar yang masuk ke dalam lensa objektif tidak dibiaskan.



10



C. Metode 1. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 6 Maret 2012 pada pukul 10.00 WIB di Laboratorium Fisiologi, Jurusan Biologi, FMIPA, UNJ. 2. Alat dan Bahan Alat : 1) Standar Sahli Hemometer. 2) Pipet HB 20 µl. 3) Pipet Tetes. 4) Alat suntik 5) Kapas 6) Batang pengaduk. 7) Tabung Pengencer haemometer 8) Sikat untuk membersihkan 9) Gelas objek 2 buah 10) Gelas penutup 11) Mikroskop 12) Cawan petri 2 buah Bahan : 1) Hcl 0,1 M 2) Darah vena 3) Aquadest 4) Larutan Giemsa 5) Metanol



11



3. Cara Kerja a. Mengukur kadar hemoglobin



Memasukan 5 tetes Hcl 0,1N ke dalam tabung pengencer Hemometer.



Mencampur isi tabung itu supaya darah dan HCl bersenyawa; warna campuran menjadi coklat tua.



Menghisap darah (kapiler, EDTA/Oxalat) dengan pipet HB sampai garis tanda 20µl.



Menghapus darah yang melekat pada sebelah luar ujung pipet.



Mengangkat pipet sedikit, lalu isap Hcl 0,1N yang jernih ke dalam pipet 2-3 kali



Mengalirkan darah dari pipet kedalam dasar tabung pengencer yang berisi HCl 0,1.



Menambahkan aquadest setetes demi setetes, aduk dengan batang pengaduk. Perbandingan warna campuran dengan warna standar harus dicapai dalam waktu 3-5 menit setelah saat darah dan HCl dicampurkan.



Menyamakan warna campuran dengan tabung standar hingga garis bagi tidak terlihat.



Membaca kadar HB dalam gram/100 ml darah.



12



b. Membuat sediaan apus darah



Membersihkan jari manis sebelah kiri menggunakan alkohol 70 %, kemudian ditusuk ujung jari manis dengan lanset steril.



Mencuci darah dengan air mengalir dan dianginkan



Meneteskan darah di atas objek glas hingga ± 3 ml di bagian tepi.



Menipiskan darah menggunakan objek glas lain membentuk sudut 3040° dengan mendorongnya menggunakan sisi gelas objek yang lain sehingga darah merata di atas permukaan gelas objek.



Menetesi darah dengan metylalcohol selama 15 menit dan berikutnya dengan pewarna Giemsa selama 30 menit serta diratakan dan dikeringkan.



13



c. Memeriksa sediaan apus darah



Meneteskan minyak emersi pada sendian apus yang akan di periksa dan menutup dengan kaca penutup



Melihat dengan perbesaran lemah(10x10) untuk menyeluruh



Memperhatikan apakah penyebaran sel darah merata dan melihat pula leukosit dan prombosit



Melakukan penilaian ukuran, bentuk, dan warna eritrosit



Menggunakan lensa objektif 100x menggunakan minyak emersi



Menggunakan lensa obyektif 40x memberikan penilaian trombosit, leukosit, eritrosit dan kelainan yang ada



Melakukan penilaian dengan jumlah hitung jenis dan morfologi leukosit



Melakukan penilaian terhadap jumlah dan morfologi trombosit



D. Hasil Pengamatan 1. Kadar Haemoglobin No



Nama OP



Jenis Kelamin



Usia (tahun)



Kadar Hemoglobin (gr%)



1



Fitriani



Perempuan



21



18



2



Mei Triyani



Perempuan



20



17



3



Rahman Fadli



Laki-laki



20



19



4



Prihastuti



Perempuan



22



20



5



Firdha Khadifa



Perempuan



20



19



14



2. Sediaan Apus Darah Nama OP



Gambar hasil pembuatan sediaan apus darah:



Daniar



Rizky



15



Rezky



Tuti



E. Pembahasan 1. Kadar Hemoglobin Pada praktikum kali ini, berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa kadar hemoglobin pada setia OP memiliki kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari normal. Kadar hemoglobin pada OP berkisar antara 17-20 g%. Kandungan haemoglobin pada pria normal rata-rata dalam darah adalah 16 gram per dl, sedangkan pada wanita adalah 14 gram per dl (Guyton, 2007). Kadar hemoglobin yang lebih tinggi dari normal dapat terjadi pada mereka yang tinggal di daerah dengan ketinggian tinggi, perokok baik aktif maupun pasif, penyakit paru yang sudah berat, polisitemia, beberapa tumor dan juga dapat ditemukan sementara pada mereka yang mengalami dehidrasi (Guyton 2007). 16



Polisitemia adalah keadaan ketika jumlah sel darah merah melebihi batas normal. Salah satu resikonya, bisa mencetuskan penggumpalan darah dan kemudian memicu penyumbatan pada jantung. Hal ini terjadi karena jumlah zat terlarut (erirosit) lebih banyak dibanding zat pelarut (plasma darah) sehingga darah menjadi lebih kental dari keadaan normal. Banyak hal bisa menyebabkan polisitemia, antara lain faktor geografis. Orang yang tinggal di daerah dataran tinggi, yang memiliki kadar oksigen lebih rendah, cenderung memiliki eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tinggal di daerah dataran rendah. Faktor penyebab lain, bisa dari kebiasaan yang tidak sehat, misalnya merokok. Para perokok umumnya memiliki jumlah eritrosit lebih banyak daripada orang yang tidak merokok. Hal ini juga berlaku pada perokok pasif dan orang-orang yang terus menerus terpapar polusi(Guyton 2007). Kondisi ini disebabkan fungsi paru-paru yang rusak akibat rokok dan polusi, sehingga darah harus memasok oksigen lebih banyak ke paru-paru. Akibatnya, jumlah sel darah merah yang bertugas sebagai pengantar oksigen akan meningkat guna memenuhi kebutuhan oksigen ke paru-paru. Kenaikan jumlah sel darah merah yang disebabkan oleh faktor eksternal, seperti yang disebutkan di atas, tergolong sebagai polisitemia sekunder. Sementara lonjakan eritrosit yang disebabkan faktor internal, seperti genetik, disebut polisitemia primer. Namun pada praktikum kali ini, kesalahan pengukurun kadar hemoglobin pun dapat terjadi sehingga mengakakibatkan kadar hemoglobin yang terhitung tidak sesuai dengan referensi. Hal ini disebabkan karena penggunaan metode. Metode bukanlah cara yang teliti. Kelemahan



metabolic berdasarkan kenyataan bahwa klorometri visual tidak teliti, dimana hematian asam itu bukan merupakan larutan dan itu tidak dapat distandarkan. Cara ini juga kurang baik karena tidak semua macam hemoglobin diubah menjadi hematin asam, umpamanya karboxyhemoglobin, methemoglobin, dan sulfhemoglobin (Kosasih, 1984). Cara visual mempunyai kesalahan inheren 15-30%, sehingga tidak dapat untuk menghitung indeks eritrosit, kemampuan untuk membedakan warna tidak sama, sumber cahaya yang kurang baik, kelelahan mata, alat-alat kurang bersih, ukuran pipet kurang tepat dan perlu dikalibrasi, pemipetan yang kurang akurat, warna gelas standar pucat/kotor dan lain sebagainya, penyesuaian warna larutan yang diperiksa dalam komparator kurang akurat, adanya sisa-sisa darah diluar pipet kapiler yang tidak diisap lebih dulu, tidak sempurna mencampurkan darah dengan HCl 0,1N.



17



2. Sediaan Apus Darah Pada praktikum apus darah, didapatkan hasil dari masing-masing preparat adalah sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa eritrosit yang terlihat sangat banyak jika dibandingkan dengan leukosit dan trombosit. Eritrosit terlihat berbentuk bulat, tidak berwarna dan tidak berinti. Pada leukosit bergranula terlihat jenis leukosit jenis netrofil dengan ciri-ciri berinti 2 sampai 5 lobus. Sebagian leukosit yang terlihat adalah jenis neutrofil. Hal ini sesuai dengan referensi yang menyebutkan bahwa pada keadaan normal, terdapat jumlah sel darah putih sebanyak 4.000-11.000/µL darah manusia. Dari jumlah tersebut jenis terbanyak adalah granulosit (Ganong, 2002). Sebagian besar sel tersebut mengandung



granula netrofilik sedangkan sebagian kecil mengandung granula yang dapat diwarnai dengan zat warna asam (eosinofil) dan sebagian lagi mengandung granula basofilik (basofil) (Ganong, 2002). Terlihat pula keeping-keping darah (trombosit) pada sediaan apus darah. Trombosit yang tidak berinti dan terlihat berwarna ungu. Prinsip dari pewarnaan giemsa adalah presipitasi hitam yang terbentuk dari penambahan larutan metilen biru dan eosin yang dilarutkan di dalam metanol. Pewarnaan giemsa digunakan untuk membedakan inti sel dan morfologi sitoplasma dari sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan parasit yang ada di dalam darah. Pewarnaan giemsa adalah teknik pewarnaan yang paling bagus digunakan untuk identifikasi parasit yang ada di dalam darah (blood-borne parasite). Pada pembuatan apusan darah terlihat sel darah merah yang menumpuk hal ini disebabkan karena sediaan yang dibuat terlalu tebal dan kurang tipis. Berdasarkan referensi, ciri-ciri sediaan apusan yang baik diantaranya, sediaan tidak melebar sampai tepi kaca objek (panjangnya 1/2-2/3 kaca objek), pada sediaan harus ada bagian yang cukup tipis untuk diperiksa. Pada bagian itu eritrosit tidak menumpuk dan tidak menyusun gumpalan, pinggir sediaan harus rata tidak boleh ada bergaris-garis atau berlobanglobang, ujung sediaan tidak boleh seperti bendera sobek, penyebaran leukosit tidak boleh buruk, leuksit tidak boleh menumpuk pada pinggir atau tepi sediaan.



18



F. Kesimpulan 1. Pengukuran kadar hemoglobin dapat dilakukan dengan cara merubah hemoglobin menjadi hematin asam dan warnanya dibandingkan dengan tabung standar 2. Pada praktikum mengukur kadar hemoglobin digunakan teknik atau cara Sahli 3. Cara pengukuran hemoglobin dengan haemometer Sahli adalah dengan membandingkan tabung pembanding yang berisi darah OP dengan tabung pembanding yang telah disediakan 4. Pengukuran kadar hemoglobin berfungsi untuk mengetahui normal atau tidaknya kadar hemoglobin yang terdapat pada darah seseorang. 5. Praktikum pembuatan apusan darah menggunakan darah dari jari manis OP 6. Pemeriksaan apus darah dilakukan dengan menggeser kaca objek secara mengular menyusuri tiap daerah kaca objek 7. Pada praktikum apus darah, jenis sel darah yang ditemui antara lain, eritrosit, leukosit (terutama neutrofil), dan trombosit 8. Cara menghitung jenis sel darah yaitu dengan melihat morfologi darah tersebut. Sel darah merah berbentuk bulat, leukosit terlihat bagian inti yang terwarnai oleh Giemsa, dan trombosit yang terlihat seperti titik-titik kecil. 9. Sediaan darah diperiksa dengan menggunakan mikroskop perbesaran 1000x



19



Daftar Pustaka Bachyar,dkk. 2002. Penilaian Status Gizi.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Budiwiyono, Imam. 1995. Prinsip Pemeriksaan Preparat Hapus Darah Tepi. Dalam : Imam BW, Purwanto AP ed. Workshop Hematologi III. Keganasan Hematologik. Pembacaan Preparat Darah Hapus (Workshop Hematologi III). Bagian PK FK Undip. Semarang Costill, et al. 1998. Physiology of Sport and Exercise. Human Kinetics. Champaign Ganong. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Penerbit EGC. Jakarta Guyton. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC. Jakarta Kosasih, EN. 1984. Penentuan Praktek Hematologi. Alumni Bandung. Bandung. Pearce, Evelyn. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Sheerwood, Laurale. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC. Jakarta. Subrata, Ganda. 1985. Penuntun Laboratorium Klinik. PT. Dian Rakyat Widayanti, Sri. 2008. “Analisis Kadar Hemoglobin Pada Anak Buah Kapal PT. Salam Pacific Indonesia Lines Di Belawan Tahun 2007.” Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan Zarianis. 2006. “Efek Suplementasi Besi-Vitamin C dan Vitamin C Terhadap Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar Yang Anemia Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak”. Tesis Program Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro. Semarang. http://eprints.undip.ac.id/15967/1/Zarianis.pdf . Diakses pada tanggal 3 Maret 2012 http://www.klikdokter.com/tanyadokter/read/2011/06/13/12780/kadar-hemoglobin-tubuh. Diakses pada tanggal 3 Maret 2012



20