Kelompok 6 - Psikolog Sebagai Saksi Ahli [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PSIKOLOGI FORENSIK PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI DAN MALINGERING Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Forensik



Dosen Pengampu: Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi. Disusun Oleh: Kelompok 6 Aloysius Adriputratama



(15000119130264)



Audrey Larasati Putrinima



(15000119130155)



Cynthia Clara Putri



(15000119130167)



Fadilla Risa Damayanti



(15000119140091)



Fitria Maulida



(15000119130099)



Patricia Olivia



(15000119130165)



Reynata Aurelie Putri R.



(15000119130215)



Syiffani Gita Ramadhan



(15000119130089)



FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2021



KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmatnya yang telah diberikanNya atas kemudahan dan kelancaran bagi penulis dalam menyusun makalah Psikologi Forensik dengan judul “Psikolog sebagai Saksi Ahli dan Malingering” sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Psikologi Forensik yaitu Dr.phil. Dian Veronika Sakti Kaloeti, S.Psi., M.Psi.  Kami juga menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna dan kekurangan di dalamnya. Maka dari itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran dari pembaca yang bersifat membangun agar makalah ini nantinya dapat lebih baik lagi. Sekian dari penulis dan apabila terdapat kekurangan dari makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kritik dan saran sangat terbuka untuk menyempurnakan makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat. 



Semarang, 2 Maret 2022



Penyusun



1



DAFTAR ISI



BAB I



3



PENDAHULUAN LATAR BELAKANG RUMUSAN MASALAH TUJUAN



3 3 4 4



BAB II



5



PEMBAHASAN DEFINISI SAKSI AHLI TANTANGAN SAKSI AHLI KREDIBILITAS SAKSI AHLI KRITIK BAGI PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI SYNDROME EVIDENCE CONTOH KASUS CONTOH VIDEO KASUS PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI



5 5 5 7 8 10 20 21



BAB III



24



PENUTUP KESIMPULAN SARAN



24 24 24



DAFTAR PUSTAKA



25



2



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Kasus pidana maupun perdata yang diproses dalam pengadilan memerlukan adanya bukti yang konkret untuk mendukung persidangan. Untuk dapat menemukan bukti tersebut, pihak penggugat maupun tergugat dapat menghadirkan saksi ahli untuk mendukung argumentasi mereka. Saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, dimana pengetahuan dan pengalaman tersebut seringkali tidak tersedia dalam pengadilan (Canter, 2010). Saksi ahli yang dapat dihadirkan salah satunya adalah psikolog forensik. Dalam persidangan, psikolog forensik biasanya dipanggil oleh pengacara ataupun jaksa untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli di dalam persidangan yang berguna untuk menjelaskan analisis perkara yang terjadi dalam perspektif psikologi (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019). Psikolog forensik sebagai saksi ahli memiliki keahlian spesifik dalam kasus hukum dibandingkan dengan psikolog pada umumnya. Misalnya di lembaga pemasyarakatan (lapas) dibutuhkan kemampuan terapi psikologi klinis, dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif, pada penanganan kasus yang melibatkan anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan, dan dalam menjelaskan relasi antara hakim, pengacara, saksi, dan terdakwa dibutuhkan pemahaman tentang psikologi sosial. Psikolog forensik harus memiliki pemahaman yang luas tentang semua mekanisme hukum dan prosedural agar kredibilitasnya tetap terjaga (Sopyani & Edwina, 2021) Kontribusi keterangan psikolog forensik dalam pemeriksaan perkara pidana, baik terhadap korban maupun pelaku tindak pidana berperan penting dalam menentukan adanya kesalahan dan sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam kasus kejahatan tertentu, diperlukan pemeriksaan psikolog forensik, baik terhadap pelaku maupun korban untuk menentukan hakikat dari perbuatan dan akibatnya. Eksistensi keterangan psikolog forensik berkorelasi dengan penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana (Ohoiwutun & Surjanti, 2018).



3



Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis melihat pentingnya peran psikolog forensik sebagai saksi ahli dalam suatu persidangan. Oleh karena itu, penulis tertarik membuat makalah berjudul “Psikolog Sebagai Saksi Ahli dan Malingering”. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan saksi ahli? 2. Apa saja tantangan saksi ahli? 3. Bagaimanakah kredibilitas saksi ahli? 4. Apa saja kritik psikolog sebagai saksi ahli? 5. Apa yang dimaksud dengan syndrom evidence? 6. Bagaimana contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering? 7. Bagaimana contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering dalam video? C. TUJUAN 1. Menjelaskan yang dimaksud dengan saksi ahli. 2. Menjelaskan tantangan saksi ahli. 3. Menjelaskan kredibilitas saksi ahli. 4. Menjelaskan Kritik psikolog sebagai saksi ahli. 5. Menjelaskan yang dimaksud dengan syndrom evidence. 6. Menjelaskan contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering. 7. Menjelaskan contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli dan malingering dalam video.



4



BAB II PEMBAHASAN



A. DEFINISI SAKSI AHLI Canter (2010) menjelaskan bahwa seorang saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, dimana pengetahuan dan pengalaman tersebut seringkali tidak tersedia dalam pengadilan. Saksi ahli adalah saksi seperti setiap individu yang bersaksi dalam pengadilan dan memberikan bukti. Namun, status mereka sebagai seorang ‘ahli’ memungkinkan mereka untuk menyampaikan lebih dari sekedar sebuah pernyataan, tapi fakta-fakta yang diketahui oleh sang ahli. Saksi ahli, dapat memberikan interpretasi dari fakta-fakta yang ada, sesuai dengan bidang keahliannya. Martone et al. (dalam Shipley, 2012) mendefinisikan saksi ahli sebagai individu yang merupakan sebuah hasil dari pendidikan, profesi, juga pengalaman yang dianggap memiliki pengetahuan khusus mengenai sebuah subjek, lebih dari pengetahuan rata-rata orang, sehingga tidak sedikit individu yang mengandalkan pendapat saksi ahli. Dari kedua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, lebih dari pengetahuan rata-rata individu pada umumnya, dimana saksi ahli dapat memberikan interpretasi dari fakta yang sudah tersedia, sesuai dengan bidang keahliannya. B. TANTANGAN SAKSI AHLI Sebelum melakukan penelitian forensik, seorang psikolog maupun ilmuwan psikologi forensik harus memahami psikologi dan hukum, yang mana kedua ilmu ini memiliki budaya yang berbeda (Constanzo, dalam Probowati, 2006). Perbedaan ilmu psikologi dan hukum dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Weiner & Heis, 2005): Dimensi Epistemologi



Psikologi



Hukum



Usaha terus-menerus untuk



Kebenaran ditentukan oleh



mencapai kebenaran. Bias



advokasi yang penuh



yang terjadi pada teori



semangat tentang fakta



5



diasumsikan dapat menjadi



kuat sesuai dengan hukum



kebenaran jika ada



yang berlaku (advokasi)



penelitian replikasi, kritik, dan persaingan teori secara terus menerus (objektif). Pengetahuan



Metodologi



Berdasarkan nomotetik



Berdasarkan idiografik atau



atau pada data normatif



detail kasus dengan kasus



yang diperoleh lewat



lain yang disusun logika



metode penelitian yang



dengan dukungan argumen



sesuai (empiris)



hukum (rasional)



Kontrol melalui desain



Analisis pada sebuah kasus



eksperimen dan statistik



(metode kasus)



(eksperimen) Ruang gerak di peradilan



Terbatas dan sangat



Tidak terbatas, yang



dibatasi



membatasi adalah aturan dan prosedur pengadilan



Berikut tantangan psikolog atau ilmuwan psikologi sebagai saksi ahli: a. Cross Examination Pemeriksaan silang merupakan tantangan yang sangat berat bagi psikolog yang menjadi saksi ahli, sebab saksi akan dicecar oleh pihak oposisi. Dalam beberapa kasus, publikasi ilmiah saksi dapat dicecar oleh pengacara yang bersangkutan sehingga mampu mematahkan kesaksian saksi dalam persidangan. b. Opposing Expert Pertentangan antar pakar umumnya memakan biaya dan waktu yang lebih banyak dalam persidangan. Bahkan tidak jarang, masing-masing ahli telah bersepakat dalam suatu kasus sehingga keberadaan saksi ahli lainnya dianggap tidak perlu dihadirkan.



6



c. Judicial Instruction Instruksi peradilan yang diberikan oleh hakim terkadang menjadi tantangan bagi saksi ahli sebab kemungkinan dapat salah diinterpretasi oleh hakim dan menyebabkan adanya bias saat berdiskusi. C. KREDIBILITAS SAKSI AHLI Psikolog forensik dalam menjalankan peran sebagai saksi ahli di persidangan dipandang memiliki sumber informasi yang dapat membantu dalam memutus suatu perkara dalam penegakkan pengadilan. Saksi ahli atau expert witness dikatakan sebagai individu yang karena pendidikan serta pengalaman spesialiasinya memiliki pengetahuan yang superior mengenai suatu topik dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki pengalaman atau latihan, sehingga tidak bisa memberikan pendapat yang akurat atau menarik kesimpulan yang tepat (Sadarjoen, 2020). Seseorang dapat menjadi saksi ahli apabila memiliki keahlian khusus di bidangnya baik dari pendidikan formal atau pun nonformal serta nantinya pertimbangan hakim berdasarkan pertimbangan hukum yang akan menyatakan seseorang dapat menjadi saksi atau tidak (Soni & Sudyana, 2020). Keterangan saksi ahli akan sangat berguna untuk berjalannya persidangan dan akan menjadi pertimbangan hakim dalam pertimbangan keputusan. Huss (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor pembentuk kredibilitas dan tingkat kepercayaan individu menjadi saksi ahli, yaitu jenjang pendidikan, kepakaran, publikasi ilmiah, jam terbang dalam melakukan proses forensik serta telah terbiasa dan tenang dalam melewati proses persidangan, serta gestur nonverbal serta cara berpakaian. Debra Shinder (dalam Soni & Sudyana, 2020) menyatakan beberapa faktor serta kriteria yang harus dimiliki oleh seorang saksi ahli, yaitu : 1.



Memiliki gelar pendidikan tinggi atau pelatihan di bidang tertentu



2. Memiliki spesialisasi tertentu 3. Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih di bidang tertentu 4. Lisensi profesional



7



5. Ikut dalam keanggotan suatu organisasi profesi 6.



Publikasi artikel



7. Sertifikasi teknis 8. Penghargaan dan pengakuan



Huss (dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) berpendapat bahwa terdapat juga beberapa faktor yang membuat kredibilitas seorang ahli diragukan yaitu adanya kurang pengetahuan terhadap kasus yang diperkarakan, membicarakan hal yang tidak relevan serta adanya inkonsistensi dalam memberikan kesaksian dalam persidangan yang sama atau persidangan sebelumnya, serta bentuk publikasi ilmiah saksi. D. KRITIK BAGI PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI Psikolog forensik yang berperan sebagai saksi ahli kerap kali berhadapan dengan isu-isu kritis yang merupakan bagian integral dari konflik antara psikologi dan hukum. Sebagai seorang saksi ahli, psikolog forensik diperhadapkan pada isu-isu kritis yang sering dijumpai. Berikut merupakan isu-isu kritis dalam praktik psikologi forensik sebagai saksi ahli (Huss dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019) : a. Pengambilan Alih Persidangan Psikolog yang bertugas sebagai saksi ahli dalam proses persidangan terkadang berujung mengambil alih persidangan. Pengambilan alih dalam proses sidang berupa tindakan psikolog yang melewati tugasnya dan mendorong pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan psikologis. Padahal keputusan akhir ada di ranah hukum. Tindakan pengambilalihan ini kerap kali membuat citra psikolog sebagai saksi ahli menjadi negatif karena sidang harus tetap berada dalam jalur legal. b. Kesaksian mengenai Pendapat Utama (Ultimate Opinion) Ultimate opinion memiliki arti bahwa hanya hakim atau juri yang berhak membuat pendapat bersifat yuridis dan diakhiri keputusan utama. Psikolog sebagai saksi ahli hanya dapat menyampaikan pendapat tentang keadaan mental, motif, kepribadian, inteligensi, dan domain psikologis lainnya. Biasanya saksi ahli diberikan kesempatan dalam memberikan kesimpulan saja dan pembuatan keputusan merupakan bagian hakim atau juri. Tindakan psikolog berupa



8



memberikan keputusan tersebut menjadi kritik bagi para psikolog dalam persidangan. c. Kecurangan dalam Ilmu Pengetahuan (Corruption of Science) Pihak pengadilan atau kejaksaan dapat menugaskan psikolog forensik untuk menjadi saksi ahli dan dapat juga dipekerjakan oleh pengacara. Sehingga pemberian kesaksian oleh psikolog cenderung bias, tergantung pada pihak mana yang mengundangnya sebagai saksi ahli. Bias yang disampaikan psikolog sebagai saksi ahli dapat didukung oleh berbagai kebohongan ilmiah. Terdapat beberapa faktor pemicu kecurangan ilmiah pada psikolog forensik sebagai saksi ahli, yaitu (Huss dalam Kaloeti, Indrawati, & Alfaruqy, 2019): 1) Insentif Pemberian insentif pada psikolog sebagai saksi ahli tidak memiliki batasan, sehingga pemberian insentif yang berlebih sering dikaitkan dengan suap supaya psikolog dapat bersaksi sesuai dengan pihak yang memanggilnya. 2) Hubungan psikolog di luar persidangan (Extra-forensic Relationship) Hubungan atau kekerabatan yang terjalin dapat membuat psikolog memberikan kesaksian yang bias atau tidak sesuai dengan keadaan asli. 3) Tekanan yang diberikan oleh pengacara Terkadang saksi ahli dari kubu lawan (cross examination) dihujani dengan banyak pertanyaan oleh pengacara. Sejumlah pertanyaan tersebut secara tidak langsung cukup mengintimidasi saksi ahli yang membuat psikolog goyah. Psikolog diharapkan tetap teguh dengan sikap ilmiahnya karena hal tersebut merupakan tugas pengacara. 4) Sikap politik dan moral Pada beberapa kasus peradilan terdapat persoalan yang berkaitan dengan isu politik dan moral. Latar belakang psikolog (politik, etnis, ideologi, dan agama) berpotensi dalam pemberian kesaksian yang bias. Pelaku kejahatan yang memiliki sikap politis dan sentimen moral yang berbeda dapat memberikan sumbangan terhadap kesaksian psikolog yang tidak seimbang dan ilmiah.



9



5) Kepopuleran saksi ahli Psikolog dengan nama besar terkadang bias dengan memberikan saran yang mendramatisasi kasus. Tindakan tersebut dilakukan bertujuan untuk popularitas pribadi dan menarik perhatian masyarakat dan media. 6) Persaingan kedua pihak Pandangan psikolog yang bias dapat terjadi karena persaingan antara dua pihak (jaksa, pengacara, maupun ahli lain) untuk mempengaruhi keputusan hakim. 7) Kesadaran psikolog yang rendah terhadap bias Psikolog yang tidak sadar akan bias merupakan hal yang sangat berbahaya karena bias akan terus berlanjut sampai pengambilan keputusan. Hal tersebut tentunya membahayakan sistem peradilan dan seluruh pihak yang ada dalam pengadilan. E. SYNDROME EVIDENCE Syndrome Evidence adalah sindrom yang merupakan gambaran gejala-gejala psikologis yang terjadi akibat suatu kejahatan. Pada awalnya, sindrom ini digunakan di pengadilan untuk menjelaskan perilaku pada seorang korban trauma khusus yang tampaknya tidak biasa, contohnya seperti kekerasan seksual atau jenis kekerasan lainnya. Beberapa sindrom yang termasuk ke dalam Syndrome Evidence, yaitu : a. Battered Woman Syndrome (BWS) Battered Woman Syndrome adalah sekumpulan gejala atau respon dugaan terhadap penganiayaan, baik fisik maupun psikologis yang dialami oleh perempuan. Menurut Walker (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), Battered Woman Syndrome adalah reaksi wanita terhadap pola pelecehan fisik dan psikologis terus-menerus yang dilakukan oleh pasangannya. Pada situasi pengadilan,



saksi ahli seringkali memberikan kesaksian



tentang sifat kekerasan fisik dan memberikan penjelasan atas perilaku korban yang membingungkan dan perilaku yang mungkin telah diajukan oleh penuntut



10



untuk menunjukkan bahwa wanita yang dipukul bukanlah wanita yang “biasa” (misalnya, prostitusi, pelecehan anak-anaknya, reaksi kekerasannya). Menurut Walker (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), peneliti telah memformulasikan komponen yang secara umum terjadi pada Battered Woman Syndrome, yaitu : 1) Learned



helplessness,



yaitu



respon



terhadap



rangsangan



yang



menyakitkan di mana korban tidak punya kendali dan menemukan bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri atau memiliki kesempatan untuk keluar dari permasalahan tersebut. 2) Menurunkan harga diri, yaitu respon terhadap perilaku merendahkan yang dilakukan oleh pelaku. 3) Gangguan fungsi psikologis, yaitu termasuk ketidakmampuan untuk terlibat dalam perilaku terencana. 4) Hilangnya perasaan terlindungi dan aman, yaitu keyakinan yang sebelumnya berkata "segalanya akan baik-baik saja" atau "ini tidak akan terjadi pada saya" menghilang dalam serangan pelecehan dan kekerasan. 5) Ketakutan dan teror, yaitu sebagai reaksi terhadap pelaku berdasarkan pengalaman masa lalu. 6) Kemarahan, yaitu reaksi terhadap pelaku. 7) Alternatif solusi yang kurang Menurut penelitian, dari hasil wawancara Walker pada tahun 1993 kepada 400 wanita yang dipukuli, 85% merasa mereka bisa atau akan dibunuh di beberapa titik. Wanita yang dipukuli memfokuskan energi mereka pada kelangsungan hidup dalam hubungan daripada mengeksplorasi pilihan di luar sebagai bagian dari reaksi responsif yang berkurang. 8) Lingkaran kekerasan (the circle of abuse or violence) Pada kasus-kasus pernikahan antara korban dan pelaku, biasanya terjadi lingkaran kekerasan (the circle of abuse or violence). Pada awalnya, seorang suami yang merupakan pelaku kekerasan melakukan tugasnya dengan baik, seperti mengasihi, merawat, dan menafkahi istrinya yang merupakan korban. Namun seiring berjalannya waktu, dalam keberjalanan



11



waktu pernikahan, pasangan mulai berada pada masa tension-building phase, dimana pada fase ini konflik-konflik mulai terasa dan biasanya masih ada di dalam konteks konflik verbal. Akibat dari fase ini, maka muncul acute battering incident, yaitu keadaan dimana kekerasan sudah mulai tidak terkontrol dan disertai dengan kekerasan kepada perempuan. Ketika konflik terasa sudah terlalu meluas dan perempuan melakukan perlawanan, maka laki-laki sebagai pelaku biasanya akan mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada perempuan sebagai korban serta berusaha meyakinkan perempuan bahwa hal yang sama tidak akan terjadi, setelah hal itu terjadi maka konflik (tension) akan menurun dan keadaan seperti awal lagi. Lalu siklus ini akan terus berulang mulai dengan tension-building phase kembali hingga ke tahap-tahap berikutnya. 9) Kewaspadaan yang berlebihan (hypervigilance) terhadap isyarat bahaya Akibat dipukuli, wanita memperhatikan hal-hal halus yaitu hal-hal yang tidak dikenali orang lain sebagai hal yang berbahaya. Wanita dengan sindrom ini mungkin memperhatikan kata-kata suaminya datang lebih cepat, atau dia mungkin mengklaim bahwa matanya menjadi lebih gelap. Dia mungkin



melakukan serangan



pendahuluan sebelum pelaku



benar-benar menimbulkan banyak kerusakan. 10) Toleransi tinggi untuk inkonsistensi kognitif Wanita yang dipukuli sering mengungkapkan dua ide yang tampaknya tidak konsisten satu sama lain. Misalnya, seorang wanita yang dipukuli mungkin berkata “Suami saya hanya memukul saya ketika dia mabuk” tetapi kemudian menggambarkan sebuah episode di mana dia tidak mabuk dan masih kasar. b. Rape Trauma Syndrome (RTS) Rape Trauma Syndrome (RTS) didefinisikan oleh Burgess dan Holmström (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) sebagai sindrom trauma psikologis pasca pemerkosaan dialami oleh korban pemerkosaan yang berpengaruh terhadap keadaan fisik, emosi, kognitif dan perilaku interpersonal korban. Burgess dan



12



Holmstrom (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) membagi Rape Trauma Syndrome (RTS) menjadi dua fase, yaitu : 1) Fase 1 : Fase Krisis Akut (Acute Crisis Phase) Fase pertama umumnya berisi reaksi yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-minggu, dan ini mungkin cukup parah. Mereka dapat mempengaruhi semua aspek kehidupan penyintas, termasuk aspek fisik, psikologis, sosial, dan seksual. Dimulai segera setelah tindakan, fase krisis akut adalah salah satu dari banyak disorganisasi dalam gaya hidup korban, ini sering digambarkan oleh para penyintas sebagai keadaan syok, di mana mereka melaporkan bahwa semuanya telah hancur di dalam. Banyak yang mengalami serangan berulang-ulang dalam pikiran mereka. Bahkan tidur, ketika akhirnya tiba, tidak memberi energi kembali; sebaliknya, itu adalah kendaraan untuk mimpi buruk tentang pemerkosaan. Contoh fisiologis ketakutan atau kecemasan yang dialami adalah : a) gemetar atau gemetar b) jantung berdebar kencang c) nyeri d) otot tegang e) napas cepat f) mati rasa Allison dan Wrightsman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengklasifikasikan reaksi fase satu ini sebagai berikut : a) Penolakan, keterkejutan, dan ketidakpercayaan Penolakan, keterkejutan, dan ketidakpercayaan adalah respons yang umum dialami oleh penyintas. Para penyintas mungkin bertanya kepada keluarga dan teman-teman mereka tentang bagaimana pemerkosaan itu bisa terjadi. b) Gangguan Beberapa gangguan dialami oleh pada penyintas, seperti hal yang khas dialami yaitu perubahan pola tidur dan makan. Untuk



13



berbagai tingkat, orang yang selamat mungkin menunjukkan disorganisasi kepribadian. Beberapa mungkin akan tampak bingung dan disorientasi sementara yang lain tidak menunjukkan gejala perilaku yang mudah diamati, Tetapi, tipe yang terakhir dialami oleh penyintas yaitu linglung dan mati rasa, karena hal tersebut penyintas menjadi tidak responsif terhadap lingkungan mereka. c) Rasa bersalah, permusuhan, dan menyalahkan Ketika mengetahui bahwa seorang teman telah diperkosa, orang lain mungkin bereaksi dengan menyalahkan korban, atau dengan berasumsi bahwa pemerkosaan dapat dihindari atau dengan cara lain memberikan tanggung jawab atas pemerkosaan kepada orang yang diperkosa. Sayangnya, (Bond & Mosher (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengatakan teori psikoanalitik mengusulkan bahwa esensi feminitas termasuk masokisme, dan kepercayaan tetap ada bahwa wanita tidak hanya mengundang, tetapi juga menikmati, agresi seksual. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para korban pun menanggapinya dengan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Janoff-Bulman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengemukakan bahwa respons menyalahkan diri sendiri mungkin merupakan respons yang paling sering dialami setelah respon rasa takut. Pada beberapa korban, menyalahkan diri sendiri bisa begitu kuat sehingga mereka percaya bahwa pemerkosaan adalah kesalahan mereka atau bahwa pria itu merawat mereka. Orang yang telah diperkosa seringkali melaporkan perasaan bahwa mereka tidak lagi menjadi individu yang mandiri. Rasa otonomi atau kompetensi diganti dengan keraguan diri. Orang yang selamat diliputi perasaan bahwa mereka tidak lagi memiliki kendali atas hidup mereka dan apa yang terjadi pada mereka. Mereka harus



14



bergantung pada orang-orang yang dekat dengan mereka untuk membuat keputusan yang paling tidak penting sekalipun. d) Persepsi yang terdistorsi Ketidakpercayaan dan pesimisme hingga paranoia adalah reaksi yang sering terjadi karena menjadi penerima serangan seksual. Penyintas merasa dunia menjadi tempat yang menakutkan untuk ditinggali. Koss (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengatakan bahwa dalam satu survei, 41% dari mahasiswa yang merupakan korban perkosaan kenalan percaya bahwa mereka akan diperkosa lagi. 2) Fase 2 : Fase Reaksi Jangka Panjang (Long-Term Reactions) Fase kedua adalah fase rekonstruktif dan mencakup penyintas yang menerima reaksi mereka dan mencoba menangani luka dan kesedihan dengan cara yang efektif. Menurut Burgess & Holmstrom (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), pada fase kedua dari sindrom ini, penyintas menghadapi tugas memulihkan ketertiban hidup mereka dan membangun kembali rasa keseimbangan dan perasaan menguasai dunia mereka. Tugasnya tidak mudah; jika, memang, penyelesaian tugas terjadi, biasanya memakan waktu dari beberapa bulan hingga tahun. Burgess dan Holmstrom (1985) melaporkan bahwa 25% wanita yang mereka teliti belum pulih secara signifikan beberapa tahun setelah pemerkosaan. Kemunduran dapat terjadi, dengan beberapa pelaporan menjadi lebih buruk pada beberapa tindakan setahun setelah pemerkosaan, dibandingkan dengan enam bulan sesudahnya. Di antara respons yang mungkin muncul kembali adalah kecemasan khusus, rasa bersalah dan malu, fantasi bencana, perasaan kotor, tidak berdaya atau terisolasi, dan gejala fisik. Allison dan Wrightsman (1993) menggambarkan hal berikut sebagai salah satu gejala utama dari fase kedua ini: a) Fobia



15



Fobia adalah ketakutan irasional, yang kepemilikannya mengganggu adaptasi afektif terhadap lingkungan seseorang. Pemerkosaan dapat dilihat sebagai stimulus pengkondisian klasik, dan dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerkosaan akan ditakuti. Penerima serangan seksual mungkin menjadi takut sendirian atau keluar di malam hari. Allison dan Wrightsman (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) mengamati ketakutan ini dapat memaksa korban ke dalam situasi yang tampaknya tidak menguntungkan. Jika dia tinggal di rumah sendirian, dia takut. Jika dia keluar, dia juga takut. Banyak korban membiarkan lampu menyala di rumah mereka 24 jam sehari. Jelas, sifat dari asosiasi bersyarat terhadap pemerkosaan menyebabkan korban mengubah hidup mereka dalam banyak cara. b) Gangguan dalam fungsi umum Pada penyintas, perubahan pola makan dan pola tidur tetap menjadi masalah yang dialami oleh mereka. Bagi beberapa orang, kualitas hubungan intim dapat menjadi lebih buruk, karena penyintas membatasi kesempatan untuk memanfaatkan apa yang sebelumnya dianggap sebagai pengalaman positif. c) Masalah seksual Pemerkosaan memiliki efek negatif yang kuat pada kehidupan seksual penyintas. Tetapi beberapa penelitian menyimpulkan bahwa perbedaan antara perempuan yang telah diperkosa dan kelompok yang tidak diperkosa bukanlah frekuensi aktivitas seksualnya, melainkan kualitas subjektif dari pengalaman tersebut. d) Perubahan gaya hidup Beberapa orang yang selamat dari serangan seksual mungkin merestrukturisasi aktivitas mereka dan mengubah pekerjaan dan penampilan mereka, contohnya seperti mengubah nomor telepon mereka, atau bahkan pindah ke tempat tinggal lain hingga pindah ke kota lain.



16



c. Postpartum Depression Postpartum Depression (PPD) (dalam Fulero & Wrightsman, 2009) secara teknis bukanlah diagnosis ini adalah penentu untuk diagnosis DSM-IV utama dari Major Depressive Disorder (MDD). Jadi, ketika seorang wanita didiagnosa menderita Postpartum Depression (PPD), maka diagnosa yang diberikan akan disebut dengan “Gangguan Depresi Mayor dengan Onset Pasca Melahirkan.”. Tiga tingkat keparahan yang dikaitkan dengan PPD adalah sebagai berikut : 1) Postpartum Blues atau Baby Blues 2) Depresi Postpartum 3) Psikosis Postpartum Baik Postpartum Blues maupun Depresi Postpartum melibatkan gangguan suasana hati dan fungsi terkait, tetapi tidak kehilangan kontak dengan kenyataan. Sebaliknya, Psikosis Postpartum tidak termasuk defisit dalam memahami realitas, dan termasuk ke dalam halusinasi dan delusi. Penelitian tentang prevalensi dan perjalanan gangguan pasca melahirkan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari wanita yang terkena mengalami psikosis pasca persalinan. Seorang ahli yang bersaksi bahwa seorang terdakwa kriminal menderita psikosis pasca persalinan pada saat dia melakukan kejahatan akan memiliki dasar ilmiah untuk membahas tingkat akurasi dan kesalahan dalam menetapkan diagnosis kepada ibu baru. Berbeda dengan Battered Woman Syndrome (BWS) dan Rape Trauma Syndrome (RTS) dimana perempuan dikelompokkan secara diagnostik karena mengalami pemukulan atau pemerkosaan, ibu baru tidak dikelompokkan secara diagnostik karena peristiwa persalinan; melainkan diagnosa mereka didasarkan pada perbandingan gejala mereka dengan set kriteria yang terdefinisi dengan baik dan divalidasi secara ilmiah. Terlepas dari kelangkaan psikosis pasca persalinan, itu telah diangkat sebagai pembelaan terhadap pembunuhan. Sementara hakim tampaknya menerima bukti ilmiah sebagai memenuhi standar ilmiah untuk keterangan ahli, juri tidak selalu menerima diagnosis sebagai alasan untuk melakukan tindak pidana, terutama di mana ibu telah membunuh anak mereka sendiri. d. Premenstrual Syndrome



17



Premenstrual Syndrome (PMS) bukanlah entitas diagnostik psikiatris yang diakui dan juga tidak ditemukan dalam DSM-IV. Namun, sindrom terkait seperti Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD), ditemukan di DSM-IV. Sindrom ini bukan sebagai diagnosa yang ditetapkan, tetapi sebagai kumpulan gejala yang diamati yang memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Menurut American Psychiatric Association (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), daftar gejalanya meliputi : 1) Suasana hati yang sangat tertekan 2) Kecemasan yang nyata 3) Labilitas afektif yang nyata 4) Kemarahan atau lekas marah yang persisten atau nyata 5) Penurunan minat dalam aktivitas 6) Kesulitan berkonsentrasi 7) Lesu 8) Perubahan nafsu makan 9) Insomnia 10) Perasaan kewalahan 11) Gejala fisik seperti sebagai nyeri payudara Menurut Dixon & Dixon (dalam Fulero & Wrightsman, 2009), berdasarkan sifat gejala yang disarankan untuk diagnosis PMDD, gangguan ini tidak mungkin akan menjadi relevan untuk menjelaskan atau membenarkan perilaku seorang wanita dalam persidangan pidana, bahkan jika perkembangan di masa depan dalam kejelasan dan keandalan diagnostik menjadikannya entitas klinis yang valid. Pencarian Dixon dan Dixon atas kasus hukum dari 1993 hingga 2003 mengungkapkan tidak ada kasus banding yang melaporkan penggunaan PMDD dalam hubungannya dengan istilah kunci "pembunuhan" atau "pembelaan diri.". Sebaliknya, hal ini telah diangkat dalam setidaknya dua kasus pidana. e. Child Sexual Abuse Accommodation Syndrome Sindrom ini pertama kali diperkenalkan oleh Summit pada tahun 1983 sebagai perilaku yang terjadi pada anak yang menjadi korban pelecehan seksual oleh anggota keluarga atau orang dewasa yang dipercaya (Bartol & Bartol, 2019).



18



Pelaku pelecehan seksual pada anak ini kerap kali memberi ancaman dan tekanan sedemikian rupa sehingga anak kemudian percaya jika pengetahuan "pribadi" ini diketahui maka sesuatu yang buruk akan terjadi (mungkin pada anggota keluarga). Oleh karena itu, anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan merasa dalam posisi bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga. Dampak lain pada anak tersebut adalah perasaan tidak berdaya menghentikan “aktivitas” tersebut. Sehingga pada akhirnya, anak harus “menampung” rahasia-rahasia ini dan memasukkannya ke dalam pola kehidupan sehari-harinya. Anak-anak korban pelecehan seksual yang tidak mendapatkan dukungan tersebut akan merasa malu, gagal melaporkan pelecehan, dan menyangkal bahwa itu terjadi ketika ditanyai. Oleh karena itu untuk anak-anak yang menyangkal telah dilecehkan harus dikejar dengan pertanyaan sugestif tanpa henti karena jika tidak, mereka tidak akan mengungkapkan rincian pelecehan mereka (Bunk & Ceci, dalam Bartol & Bartol, 2019). f. Munchausen Syndrome By Proxy Munchausen syndrome by proxy (MSBP) adalah bentuk kekerasan anak yang jarang terjadi di mana orang tua (hampir selalu ibu) secara konsisten dan kronis mengarahkan anak ke perhatian medis tanpa ada kondisi atau gejala medis yang "sesungguhnya" (Bartol & Bartol, 2019). Davies & Beech (2018) menjelaskan MSBP sebagai pola perilaku di mana pengasuh mengarang, membesar-besarkan atau menyebabkan masalah kesehatan mental atau fisik pada mereka yang berada dalam perawatan mereka. Istilah sindrom MSBP dalam DSM-5 ini disebut factitious disorder imposed on another sebab orang tua atau pengasuh memalsukan gejala pada anak-anak mereka (Pozzulo, Bennel, & Forth, 2018). Tujuan perilaku ini adalah agar orang tua mendapatkan perhatian dan simpati orang lain.



19



F. CONTOH KASUS Salah satu contoh kasus yang melibatkan psikolog sebagai saksi ahli adalah kasus penculikan, kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dilakukan oleh Josef Fritzl. Josef Fritzl adalah seorang pria kelahiran Amstetten, Austria. Ia tumbuh dan besar sebagai anak tunggal dari pasangan Josef Fritzl Sr. dan Maria Fritzl. Pada tahun 1956, Josef Fritzl yang berusia 21 tahun menikahi Rosemarie yang berusia 17 tahun. Josef dan Rosemarie dikaruniai 2 putra dan 5 putri, yang salah satunya bernama Elisabeth. 1. Kronologi Kasus Kronologi kasus dimulai pada bulan September 1984 ketika Elisabeth menghilang dan ditemukannya tulisan tangan Elisabeth yang meminta orangtuanya berhenti untuk mencarinya. Pada bulan Mei tahun 1993, surat dari Elisabeth kembali ditemukan di depan rumahnya bersama dengan seorang bayi berusia 9 bulan. Pada bulan Desember tahun 1994, seorang bayi bersama surat dari Elisabeth kembali ditemukan di depan rumah keluarga Josef. Orangtua Elisabeth, Josef dan Rosemarie kemudian menjadi orangtua angkat bagi bayi tersebut. Pada tahun 2003, ditemukan kembali surat dari Elisabeth yang menjelaskan kelahiran anaknya yang bernama Felix yang dibesarkan olehnya di ruang bawah tanah. Pada tanggal 26 Maret 2008, Josef dan Elisabeth terlihat mengunjungi rumah sakit bersama. Polisi kemudian menangkap Josef karena dicurigai telah menculik Elisabeth. Josef didakwa melakukan penyekapan kepada Elisabeth selama 24 tahun (1984-2008) di ruang bawah tanah rumahnya dan memperkosanya berulang kali hingga melahirkan 7 orang anak, serta pembunuhan kepada anaknya atas kelalaian. Persidangan dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2009 dan berlangsung selama 4 hari, dan Josef Fritzl kemudian mengaku bersalah atas dakwaan tersebut dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. 2. Keterangan Saksi Ahli Sebelumnya polisi telah mendampingi Elisabeth dan melakukan wawancara kepadanya untuk memberikan kesaksian dan direkam untuk diputarkan pada pengadilan. Hasil wawancara itu tertuang dalam rekaman kesaksian berdurasi sebelas jam dan diputar pada saat persidangan. Jaksa kemudian menghadirkan Adelheid Kastner yang merupakan seorang psikolog sebagai saksi ahli yang memberatkan Josef Fritzl. Kastner memberikan kesaksian berdasarkan observasi pada perilaku Josef dan menyesuaikannya dengan



20



catatan pengalaman masa kecilnya serta kesaksian yang disampaikan oleh Elisabeth. Josef tercatat tumbuh dewasa dengan mendapat perlakuan kekerasan, kekurangan kasih sayang, dan sering diabaikan oleh ibunya. Pada masa Perang Dunia II, Josef mengungsi di ruang bawah tanah untuk berlindung dari serangan bom sekutu di kota Amstetten sendirian tanpa ditemani ibunya. Dalam persidangan diungkap pula rekam jejak kriminal Josef yang sebelumnya ditangkap pada tahun 1967 karena mendobrak rumah seorang perawat dan melakukan percobaan pemerkosaan. Atas tindakan tersebut, Josef dipenjara selama 18 bulan. Dengan akumulasi pengalaman masa lalunya, Kastner berpendapat bahwa Fritzl kesulitan untuk membangun hubungan yang baik dan rasa percaya kepada ibunya sendiri, dan melakukan penyekapan pada Elisabeth sebagai bentuk balas dendam pada perlakuan yang diterima dari ibunya semasa kecil. Josef tumbuh menjadi pribadi yang ingin mendominasi orang lain karena pola asuh yang diterimanya semasa kecil. Rekam jejak kriminal yang dilakukannya menguatkan perilaku dominasi Josef. Josef juga mengadopsi pola asuh dengan kekerasan ketika membesarkan anak-anaknya. Menurut Huss dalam Kaloeti (2019), kesaksian saksi ahli dikatakan reliabel dan valid bila; teori atau teknik yang dipakai dalam penjelasan di persidangan sudah diakui melalui riset-riset, teori atau teknik telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, potensi error yang terjadi ketika menggunakan teori atau teknik disebutkan, dan secara umum diterima oleh komunitas ilmiah. Kesaksian yang dikemukakan oleh Kastner dalam pengadilan berpedoman kepada struktur kepribadian dalam perspektif teori psikoanalisis, dimana melihat akumulasi pengalaman masa kecil Josef yang bersifat traumatis ditekan ke alam tidak sadar dan timbul dalam bentuk perilaku menyimpang seperti mendominasi dan melakukan kekerasan. Teori psikoanalisis dikembangkan oleh tokoh Sigmund Freud dan telah dijadikan sebagai acuan dalam dunia psikologi serta diakui oleh komunitas ilmiah. G. CONTOH VIDEO KASUS PSIKOLOG SEBAGAI SAKSI AHLI 1. Kasus Jessica Wongso “Kopi Sianida” https://youtu.be/UF5gCD3Bflw Antonia Ratih Andjayani Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan Ratih Ibrahim merupakan psikologi klinis yang diminta untuk menjadi saksi ahli untuk memberikan



21



informasi dan analisa terkait sikap yang ditunjukkan oleh Jessica Wongso pada saat kejadian. Selain memberikan keterangan berupa informasi, Ratih Ibrahim juga menjalani cross examination yang dilakukan oleh pengacara Jessica Wongso. Pada cross examination ini pernyataan dan informasi yang diberikan oleh Ratih Ibrahim. Kembali dipertanyakan maksud dan konteksnya oleh pengacara Jessica Wongso. Dalam sesi cross examination ini terlihat Ratih Ibrahim berusaha untuk dapat menjelaskan mengenai pendapatnya dengan kosa kata yang dapat dipahami secara umum terutama oleh pengacara Jessica Wongso. 2. Kasus



Perebutan



Hak



Asuh



di



Amerika



https://www.youtube.com/watch?v=uwrHZRRy1L4&list=PLMuFXyE6dS0jyvmikRl FQXPuTHKch-Fm9&index=7 Dr. Pablo Marshall, merupakan seorang psikolog klinis di Colorado yang juga merupakan dosen di University of Colorado, Denver. Beliau telah beberapa kali menjadi saksi ahli dalam persidangan dan kali ini menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus hak asuh anak dengan orang tua tuli. Dr. Pablo Marshall secara khusus menangani kasus psikologi dewasa dan anak dan selama hampir tujuh telah aktif memberikan konseling pada anak tuli. Sebagai saksi ahli dalam kasus ini, Dr. Pablo Marshall melakukan evaluasi psikiatris pada kedua orang tua dan anak. Dilakukan rangkain tes baterai pada orang tua dan anak. Untuk orang tua, baterai tes yang dilakukan yaitu Draw A Picture, Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS), Story Recall Test, The Bender Gestalt, Rorschach Test, TAT, Word Association Test, The Concept Sorting Test, MMPI, The Sentence Completion Test, serta wawancara wawancara dengan kedua orang tua bersama penerjemah bersertifikasi. Sedangkan untuk sang anak, dilakukan baterai tes seperti Draw A Picture, Wechsler Intelligence Scale (WIS Revised), The Bender Gestalt, Rorschach Test, CAT, Concept Scoring Test, Diagnostic Play Interview. Serangkaian tes yang dilakukan pada orang tua digunakan untuk mengetahui kepribadian dan kondisi psikologis pada Ayah dan Ibu pada kasus ini yang kemudian dapat menjadi pertimbangan terkait keputusan hak asuh anak. Dr. Pablo Marshall selama persidangan menjelaskan masing-masing tes yang dilakukan dan hasil yang didapatkan



22



dari tes-tes tersebut berupa kepribadian dan kondisi psikologis dari Ayah dan Ibu berdasarkan masing-masing tes yang dilakukan. Dr. Pablo Marshall selain menjelaskan hasil asesmen, juga menjawab pertanyaan dari pengacara dalam cross examination.



23



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Saksi ahli adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau pengalaman khusus, lebih dari pengetahuan rata-rata individu pada umumnya, dimana saksi ahli dapat memberikan interpretasi dari fakta yang sudah tersedia, sesuai dengan bidang keahliannya. Psikolog forensik sebagai saksi ahli diharuskan menghadapi tantangan seperti Cross Examination, Opposing Expert, dan Judicial Instruction. Kredibilitas saksi ahli adalah penting karena keterangan saksi ahli akan digunakan untuk persidangan dan akan menjadi pertimbangan hakim dalam pertimbangan keputusan. Faktor pembentuk kredibilitas adalah jenjang pendidikan, kepakaran, publikasi ilmiah, jam terbang dalam melakukan proses forensik serta telah terbiasa dan tenang dalam melewati proses persidangan, serta gestur nonverbal serta cara berpakaian. Gejala-gejala psikologis yang terjadi akibat suatu kejahatan disebut dengan Syndrome Evidence yang dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku pada seorang korban trauma khusus yang tampaknya tidak biasa, contohnya seperti kekerasan seksual atau jenis kekerasan. B. SARAN Penyusunan makalah ini tentunya masih terdapat banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca tentunya dapat membangun kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis akan segera melakukan perbaikan pada makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.



24



DAFTAR PUSTAKA Bartol, C. R., & Bartol, A. M. (2019). Introduction to Forensic Psychology (5th ed.). Sage. BBC. (2009, Maret 18). Psychiatrist to testify on Fritzl. BBC News. Diakses pada 15 Maret 2022, dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/7949795.stm Canter, D. (2010). Forensic psychology: A very short introduction. USA: Oxford University Press Davies, G. M., & Beech, A. R. (2018). Forensic Psychology: Crime, Justice, Law, Interventions (3rd ed.). Wiley. Fulero, S. M., & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology : Third Ed. Huss, M. T. (2014). Forensic Psychology: Research, Clinical Practice, and Applications. USA: Wiley. Josef Fritzl.



Crime+Investigation



UK. (n.d.).



Diakses pada



15 Maret 2022, dari



https://www.crimeandinvestigation.co.uk/crime-files/josef-fritzl Kaloeti, D.V.S., Indrawati, E.S.,& Alfaruqy, M.Z. (2019). Buku ajar psikologi forensik. Jakarta: Grasindo Ohoiwutun, Y. T., & Surjanti, S. (2018). Urgensi pemeriksaan ahli jiwa dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga. Jurnal Yudisial, 11(3), 327-345. Pozzulo, J., Bennel, C., & Forth, A. (2018). Forensic Psychology (5th ed.). Pearson. Probowati, Y. (2008). Psikologi Forensik: Tantangan Psikolog sebagai Ilmuwan dan Profesional. Anima: Indonesian Psychological Journal 23(4): 338-353 Shipley, S. (2012). Introduction to Forensic Psychology. USA: Academic Press. Sopyani, F. M., & Edwina, T. N. (2021). Peranan psikologi forensik dalam hukum di Indonesia. Journal Psikologi Forensik Indonesia, 1(1), 46-49.



25



LEMBAR PARTISIPASI



No.



Nama



NIM



Partisipasi



1.



Patricia Olivia



15000119130165



Mengerjakan bab 2 bagian Tantangan Saksi Ahli



2.



Fadilla Risa Damayanti



15000119140091



Mengerjakan bab 2 bagian Syndrome Evidence



3.



Cynthia Clara Putri



15000119130167



Mengerjakan bab 2 bagian kritik bagi psikolog sebagai saksi ahli



4.



Syiffani Gita Ramadhan



15000119130089



Mengerjakan bab 2 bagian kredibilitas saksi ahli



5.



Fitria Maulida



15000119130099



Mengerjakan bab 1 dan 3



6.



Reynata Aurelie P R



15000119130215



Mengerjakan bab 2 bagian video kasus psikolog sebagai saksi ahli dan CSAAS - MSBP



7.



Aloysius Adriputratama



15000119130264



Mengerjakan bagian contoh kasus psikolog sebagai saksi ahli



8.



Audrey Larasati Putrinima



15000119130155



Mengerjakan bab 2 bagian definisi saksi ahli



26