Lapkas Keratitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan kasus



NEVUS KONJUNGTIVA Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia



Oleh DESRINA HARNUM, S. Ked Preseptor : dr. Syarifah Rohaya, Sp. M



BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH RSUD CUT MEUTIA ACEH UTARA 2021



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar belakang Bagian anterior bola mata dilapisi oleh konjungtiva. Konjungtiva merupakan membran



mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus bagian anterior dari bola mata sampai ke limbus. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva tarsal (menutupi permukaan posterior dari palpebra), konjungtiva bulbi (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata).dan forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara konjungtiva tarsal dan bulbi). Fornix superior terletak sekitar 10 mm superior dari limbus dan fornix inferior terletak sekitar 8 mm di bawah limbus inferior.1,2 Secara histologis, konjungtiva terdiri dari 2 bagian, yaitu lapisan epitel dan lapisan stroma (substatsia propria). Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata, sel-sel limfosit dan melanosit yang terdapat pada membrana basalis. Stroma konjungtiva dibagi menjadi lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata.1 Sel melanosit pada konjungtiva terdapat pada membrana basal epitel konjungtiva. Struktur dari melanosit pada konjungtiva hampir menyerupai struktur melanosit pada kulit. Tiap sel melanosit akan memproduksi melanin yang akan tersebar pada seluruh sitoplasma sel melanosit. Beberapa penelitian menunjukkan adana perbedaan antara melanosit kulit dan melanosit konjungtiva yaitu rendahnya kadar alphamelanosit-stimulating hormone (a-MSH) dimana kadar pada kulit ditemukan sangat tinggi. Hal inilah yang diperkirakan menyebabkan konjungtiva tampak jernih walapun didapatkan sel melanosit.1,2 Nevus konjungtiva adalah tumor jinak pada konjungtiva yang disebabkan oleh pewarnaan yang berlebihan dari melanosit. Biasanya terjadi pada saat lahir dan berkembang selama 2 dekade setelah kelahiran. Pada ras kaukasia, kasusnya meningkat. Nevus hampir tidak mempunyai gejala. Gejalanya adalah gangguan pada pertumbuhan pembuluh darah, silau, gangguan penglihatan, dan bisa menyebabkan ablasio retina. Nevus bisa menjadi bentuk ganas, sehingga pemeriksaan rutin sangat diperlukan untuk mencegahnya. Pada nevus



tidak perlu dilakukan operasi, tetapi jika ada alasan kosmetik maka boleh dilakukan tindakan eksisi.3



BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1



Identitas Nama



: Mrs. L



Jenis kelamin



: Perempuan



NO RM



: 167997



Umur



: 32 tahun



Alamat



: Blang Pulo



Agama



: Islam



Suku



: Aceh



Pekerjaan



: Guru



Tanggal pemeriksaan : 31 Agustus 2021 2.2



Anamnesis



Hari/tanggal periksa



: Selasa, 31 Agustus 2021



Keluhan utama



: Mata perih



Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Poliklinik Mata RSU Cut Meutia Aceh utara dengan keluhan kedua mata perih dan nyeri kepala yang hilang timbul. Pasien juga mengeluh silau saat melihat cahaya. Keluhan ini dirasakan kurang lebih sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengaku tidak mengalami penurunan tajam penglihatan. Riwayat penyaki dahulu Pasien menyangkal pernah mengalami riwayat trauma pada mata Pasien menyangkal memiliki riwayat penggunaan lensa kontak sebelumnya' Riwayat diabetes mellitus disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat alergi makanan atau obat disangkal Riwayat Penyakit Keluarga : Anggota keluarga dengan sakit yang sama disangkal Riwayat diabetes mellitus disangkal



Riwayat hipertensi disangkal Riwayat Pengobatan pasien belum pernah berobat untuk keluhan mata perih pada kedua mata yang dideritanya sekarang 2.3



Pemeriksaan Fisik



Status generalis Keadaan umum



: Baik



Kesadaran



:Compos Mentis



Pemeriksaan Ofthalmologi Visus Kedudukan bola mata Palpebra Superior



OD OS 6/6 6/6 Simetris Simetris Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),



Palpebra inferior



Nyeri tekan (-) benjolan (-) Nyeri tekan (-) benjolan (-) Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),



Nyeri tekan (-) benjolan (-) Nyeri tekan (-) benjolan (-) Konjungtiva tarsalis superior Pseudomembran (-), papil (-) Pseudomembran (-), papil Folikel



gobbel



stone



(-) (-) Folikel gobbel stone (-)



sikatriks (-), Simblefaron (-) Konjungtiva tarsal inferior



(-),Simblefaron



(-) Papil (-) Folikel gobbel stone Papil (-) Folikel gobbel (-) sikatriks (-), Massa (-)



Konjungtiva Bulbi



sikatriks



Sekret



(-)



stone (-) sikatriks



Massa (-) Injeksi Sekret



(-)



(-), Injeksi



Konjungtiva (+), Flikten (-), Konjungtiva (+), Flikten injeksi



siliar



(-), (-),



injeksi



siliar



(-),



hiperpigmentasi (+) (-), Infiltrat (-), Ulkus



(-),



Kornea



hiperpigmentasi (-). Infiltrat (-), Ulkus



Bilik mata depan Iris



Sikatrik (-) Sikatrik (-) Dalam (-), Jernih (-) Dalam (-), Jernih (-) Kripte iris (+), Sinekia Kripte iris (+), Sinekia anterior (-) sinekia posterior anterio (-) sinekia posterior



Pupil



(-) (-) Bulat isokor berada disentral Bulat



isokor



berada



reflek cahaya (+) diameter disentral reflek cahaya (+) Lensa Viterous Fundus



3mm Jernih, Shadow test (-) Tidak dilakukan Tidak dilakukan



diameter 3mm Jernih, Shadow test (-) Tidak dilakukan Tidak dilakukan



Dokumentasi pasien



2.4



Diagnosis Kerja Nevus Konjungtiva OS



2.5



Diagnosis Banding 1. Melanositosis 2. Primary Acquired Melanosis (PAM) 3. Melanoma Konjungtiva



2.6



Tatalaksana Eksisi hanya diindikasikan untuk alasan kosmetik atau jika lesi menyebabkan iritasi konstan seluruh lesi harus dipotong menggunakan teknik membuka sklera



2.7



2.8



Prognosis Quo ad vitam



: Dubia ad Bonam



Quo ad fungsionam



: Dubia ad bonam



Quo ad sanationam



: Dubia ad bonam



Komplikasi 1. Gangguan refraksi 2. Jaringan parut permanen 3. Ulkus kornea 4. Perforasi kornea



BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA



3.1



Pengertian Keratitis Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. (Mansjoer,



2001). Peradangan tersebut dapat terjadi di epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, ataupun endotel. Peradangan juga dapat melibatkan lebih dari satu lapisan kornea. Pola keratitis dapat dibagi menurut distribusi, kedalaman, lokasi, dan bentuk. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelial stromal, atau endotelial. Lokasi keratitis dapat berada di bagian sentral atau perifer kornea, sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat keratitis dendritik, disciform dan bentuk lainnya (Mansjoer, 2001). Keratitis mikrobial atau infektif disebabkan oleh proliferasi mikroorganisme, yaitu bakteri, jamur, virus, dan parasit, yang menimbulkan inflamasi dan destruksi jaringan kornea. Kondisi ini sangat mengancam tajam penglihatan dan merupakan kegawatdaruratan di bidangoftalmologi. Pada satu penelitian, keratitis merupakan penyebab kedua terbanyak (24,5%)untuk tindakan keratoplasti setelah edema kornea (24,8%). Membedakan etiologi keratitis infektif sulit dilakukan secara klinis dan membutuhkan pemeriksaan diagnosis penunjang. 3.2



Anatomi Kornea Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya, bersifat transparan,



berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1 mm. Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel. Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.



Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari pembuluhpembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea superfisial jugamendapatkan oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak seratsaraf sensorik yang didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowmandan melepaskan selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukandidaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalamwaktu 3 bulan. Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiriatas lima lapisan dari anterior ke posterior yaitu: lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), membran bowman, stroma, membran descemet danlapisan endotel.



Gambar 1.



Anatomi kornea (Weng sehu, 2005)



1. Epitel Lapisan epitel kornea tebalnya 50 um berbentuk pipih berlapis tanpa tanduk, ada satu lapis sel basal dan sel polygonal. Sel bersifat fat soluble substance . Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dansemakin maju kedepan menjadi sel pipih, sel basal berikatan erat dengan sel basaldisampingnya dan sel polygonal didepannya melalui desmosom dan macula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang saling melekat erat. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Ujung saraf kornea berakhir di epitel, oleh karena itu kelainan pada epitel akan menyebabkan gangguan sensibilitas korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya regenerasi epitel juga cukup besar. 2. Membran Bowman



Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidakmempunyai daya regenerasi. Kerusakan pada lapisan ini akan berakhir denganterbentuknya jaringan parut. 3. Stroma Stroma merupakan lapisan yang paling tebal dari kornea, mencakup sekitar 90% dariketebalan kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas jaringan kolagen yangtersusun atas lamel-lamel, pada permukaannya terlihat anyaman yang teratur sedangdibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air,kadar air diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel.Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagendalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membran Descemet Merupakan membran aselular yang tipis, kenyal, kuat dan bening, terletak dibawahstroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah. Membran inisangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 um. 5. Endotel Merupakan lapisan kornea yang penting untuk mempertahankan kejernihan kornea, mengatur cairan didalam stroma kornea dan tidak mempunyai daya regenerasi, sehingga endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan akibat gangguan sistem pompa endotel, maka stroma akan bengkakkarena kelebihan cairan (edema kornea) dan hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intraokuler dan usia lanjut. 2.3



Epidemiologi Menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis



bakteri per tahun. Kejadian keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara-



negara industri yang secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasigeografis dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di New York untuk 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea diAmerika Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur), sedangkan spesies Candida dan Aspergillus lebih umum di negara-negara utara. Secara signifikan lebihsedikit yang berkaitan dengan infeksi lensa kontak (Mansjoer, 2001). 2.4



Etiologi Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya: 1. Virus 2. Bakteri 3. Jamur 4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sunlamps. Hubungan ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan busur 5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak. 6. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata 7. Adanya benda asing di mata 8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara seperti debu,serbuk sari, jamur, atau ragi 9. Efek samping obat tertentu (American Academy of Ophthalmology, 2008)



2.5



Patofisiologi Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya inflamasi pada



kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik (Raymond, 2012). Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap (Raymond, 2012)



Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bacterial, pathogen patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea (Tasman, 2007) Ketika pathogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, mulai dari Lesi pada kornea yang selanjutnya agen patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi pada daerah struma kornea respon tubuh berupa pelepasan antibodi yang akan menginfiltrasi lokasi invasi agen pathogen. Hasilnya, akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea. Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan) dan selanjutnya agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea. Hasilnya stroma akan mengalamii atropi dan melekat pada membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang dimana hanya membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan menjadi lunak (Tasman, 2007) 2.9



Klasifikasi



Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi a. Keratitis bakterialis b. Keratitis fungal c. Keratitis viral d. Keratitis alergi -



Keratokonjungtivitis



-



Keratokonjungtivitis epidemic



-



Tukak atau ulkus fliktenulard



-



Keratitis fasikularise



-



Keratokonjungtivitis vernal



Berdasarkan lapisan terkena keratitis dapat dibagi menjadi a. Keratitis pungtata superfisialis b. Keratitis marginal c. Keratitis interstitial. Kemudian berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi a. Keratitis sika, b. Keratitis Flikten c. Keratitis nurmularis d. Keratitis neuroparalitik (Reed, 2007).



Di bawah ini adalah jenis-jenis keratitis berdasarkan pembagian tersebut : a. Keratitis Pungtata Keratitis pungtata (KP) ialah keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman, dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. KP dapat disebabkan oleh moluskum kontangiosum, akne rosasea, herpes simpleks, herpes zoster, blefaritis neuroparalitik, infeksi virus lainnya, traukoma, serta trauma radiasi. KP biasanya terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihat gejala kelainan konjungtiva, ataupun tanda akut, yang sering terjadi pada dewasa muda



Gambar 2. Keratitis



Pungtata



b. Keratitis Marginal Keratitis marginal merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan limbus. Dapat disebabkan oleh penyakit infeksi lokal konjungtiva, bersifat rekuren, biasanya terdapat pada pasien paruh baya dengan blefarokonjungtivitis. Bila tidak



diobati dengan baik akan mengakibatkan tukak kornea. Penderita akan mengeluh sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau multipel, sering disertai neovaskularisasai dari limbus. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika sesuai penyebabnya dan steroid dosis ringan.



Gambar 3.



Keratitis Marginal



c. Keratitis Interstisial Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Keratitis interstisial (KI) dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea, dan tuberkulosis.



Pada



keratitis



interstisial



akibat



lues



kongenital



didapatkan



neovaskularisasi dalam, yang terlihat pada usia 5-20 tahun pada 80% pasien lues. KI merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi. Biasanya akan memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, dan penurunan visus. Pada keratitis intertisial maka keluhan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat, permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi siliar disertai serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberikan gambaran merah kusam atau disebut juga ’salmon patch’ dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berbentuk merah cerah. Kelainan ini biasanya bilateral. Pengobatan tergantung penyebabnya. Pada keratitis diberikan tetes mata sulfas atropin untuk mencegah sinekia akibat terjadinya uveitis dan tetes mata kortikosteroid. Keratitis profunda dapat juga terjadi akibat trauma sehingga mata terpajan pada kornea dengan daya tahan rendah.



Gambar 4 Keratitis



interstisial



d. Keratitis Bakterial Keratitis bakterial adalah suatu infeksi yang mengancam penglihatan, bersifat progresif, serta terjadi destruksi kornea secara keseluruhan dalam 24- 48 jam pada jenis bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stromal, edema kornea, dan peradangan segmen anterior merupakan karakteristik dari penyakit ini. Pasien dengan keratitis bakteri pada umumnya bersifat unilateral, nyeri, fotofobia, hiperlakrimasi, dan terdapat penurunan fungsi penglihatan.



Gambar 5.



Keratitis



ulseratif supuratif disebabkan oleh P. aeruginosa e. Keratitis viral Gambaran keratitis pungtata dapat terjadi pada keratitis virus. Keratitis terkumpul di daerah membran Bowman, serta bersifat bilateral dan kronis. -



Keratitis Herpes Simplek Keratitis herpes simplek terdiri atas dua bentuk : primer dan rekurens. Infeksi okuler HSV pada pasien imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada pasien imunokompromais perjalanan penyakitnya dapat menahun. Infeksi virus aktif dapat timbul di dalam stroma, sel-sel endotel, dan segmen anterior. Gejala pertama umumnya iritasi, fotofobia, lakrimasi, dan dapat terjadi gangguan



penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal. Ulserasi kornea kadang merupakan gejala infeksi herpes rekuren. Lesi paling khas adalah ulkus dendritik, terdapat pada epitel kornea, memiliki pola percabangan linear khas dengan tepian kabur, memiliki bulbusbulbus terminalis pada ujungnya. Ulserasi geografik adalah penyakit dendritik menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar dengan tepian ulkus tegas, serta sensasi kornea menurun. Pasien cenderung kurang fotofobik daripada pasien dengan pasien infiltrat kornea non-herpetik. Ulserasi umumnya jarang terjadi. -



Keratitis Virus Varicella-Zoster Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekurens (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella akan tetapi sering pada zoster oftalmik. Pada varicella lesi mata terdapat di kelopak dan tepian kelopak, jarang ada keratitis. Komplikasi kornea pada zoster oftalmik diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabang nervus nasosiliaris. Biasanya herpes zoster akan mengenai orang dengan usia lanjut. Gejala yang terlihat pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan berasa hangat. Penglihatan berkurang dan merah. Pada kelopak akan terlihat vesikel serta pada kornea akan terlihat infiltrat. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus dan dapat progresif dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis meridian.



f. Keratitis fungal (Keratomikosis) Biasanya diawali dengan kerusakan epitel kornea akibat ranting pohon, daun, dan bagian dari tumbuhan. Jamur yang dapat mengakibatkan keratitis ialah Fusarium, Candida, Cephalocepharium, dan Curvularia. Keratitis jamur dapat terjadi akibat efek samping dari pemakaian antibiotik dan steroid yang tidak tepat serta penyakit sistemik imunosupresif. Keratitis jamur sering ditemukan di daerah pertanian, dengan didahului trauma kornea (umumnya oleh kayu), dan terjadi pada individu sehat tanpa predisposisi penyakit mata. Keluhan timbul setelah 5 hari-3 minggu setelah kejadian. Pasien akan mengeluh sakit mata yang hebat, berair, dan silau. Pada awalnya akan terdapat nyeri hebat, namun perlahan-lahan menghilang seiring dengan saraf kornea yang rusak Pada mata akan terlihat infiltrat yang berhifa dan satelit bila terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel dengan plak tampak bercabang-



cabang dan lipatan membran descement. Gejala khasnya adalah ulkus putih-abu-abu tanpa batas yang jelas, lesi dikelilingi oleh infiltrat seperti jari-jari. Keratitis kandida umumnya berkaitan dengan penyakit kornea kronik atau imunokompromais. Didapatkan ulkus putih-kuning dengan supurasi padat seperti keratitis bakteri. g. Keratitis numularis Keratitis dengan gambaran halo (infiltrat bundar berkelompok dengan tepi berbatas tegas), sering ditemukan unilateral pada petani sawah. h. Keratitis filamentosa Keratitis yang disertai filamen mukoid, tidak diketahui penyebabnya dan biasa menyertai penyakit lainnya seperti dry eyes syndrome, diabetes, pasca bedah katarak, dan keracunan kornea oleh obat tertentu. i. Keratitis alergi Terdapat keratokonjungtivitis flikten dan keratitis fasikularis. Keratokonjungtivitis flikten merupakan radang pada konjungtiva dan kornea. Terjadi karena reaksi imun pada jaringan yang sudah tersensitisasi oleh antigen. Pada benjolan akan ditemukan adanya penimbunan sel limfoid dan eosinofil. Pengobatan dilakukan dengan pemberian steroid. Keratitis fasikularis merupakan keratitis dengan pembentukan pembuluh darah yang menjalar dari limbus ke kornea. Jenis ini merupakan penampilan flikten yang berjalan (wander phlycten) sambil membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea. j. Keratitis neuroparalitik Keratitis akibat kelainan syaraf trigeminus sehingga kornea menjadi anestesi dan kehilangn daya pertahanannya terhadap iritasi dari luar. 2.10



Diagnosis Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang



dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasme). Adapun radang kornea ini biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan interstisial atau propunda. Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial (Tasman, 2007) 2.11



Diagnosis Banding



1. Ulkus kornea 2. Eveitis 3. Konjungtivitis



4. Keratomikosis (Lang, 2007) 2.12



Pemeriksaan Penunjang 1. Uji Fluoresein Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif. 2. Uji Fistel Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva inferior ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan mata berwarna hijau. 3. Uji Placido Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido pada kornea berupa lingkaran konsentris. 4. Uji Sensibilitas Kornea Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf trigeminus dan fasial baik (James, 2006)



2.13



Penatalaksanaan Penatalaksanan keratosis sesuai dengan agen penyebab nya -



Keratosis bakterial Terapi dimulai dengan antibiotik spektrum luas sebab infeksi polimikrobial sering terjadi. Pemilihan regimen pengobatan dapat menggunakan terapi kombinasi, aminoglikosida (gentamisin 1,5%, tobramisin 1,5%) 1 tetes/jam, cefazolin fortifikasi 1 tetes/jam pada jam bangun selama lima hari, dan sefalosporin (cefuroxim 5%) atau monoterapi dengan fluoroquinolon seperti ciprofloksasin 0,3% 2 tetes/15 menit selama 6 jam diteruskan 2 tetes/30 menit selama 18 jam dan kemudian di tapp off sesuai respon pengobatan.



-



Keratitis viral



Terapi keratitis HSV bertujuan menghentikan replikasi virus di dalam kornea dan memperkecil efek merusak respon radang. 1. Debridement: Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Obat sikloplegik seperti atropin 1% atau homatropin 5% diteteskan ke dalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. 2. Terapi obat: Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir efektif untuk penyakit stroma 3. Terapi bedah: Keratoplasti penetrans diindikasikan untuk rehabilitasi pada parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes non aktif. 4. Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes zoster oftalmik, khususnya pada pasien yang kekebalannya terganggu. Dosis oralnya adalah 800 mg 5 kali sehari untuk 10-14 hari. -



Keratitis fungal Tatalaksana keratitis jamur tidak mudah, hanya sebagian antijamur yang bersifat fungistatik. Terapi antijamur membutuhkan sistem imunitas baik dan waktu terapi cukup lama. Antijamur yang dapat digunakan adalah polyene antibiotik (nistatin, amfoterisin B, natamisin); analog pirimidin (flusitosin); imidazol (klorteimazol, mikonazol, ketokonazol), triazol (flukonazol, itrakonazol); dan perak sulfadiazin



2.14



Progonosis Prognosis keratitis bergantung pada beberapa faktor, seperti virulensi organisme



etiologi dan tingkat keparahan penyakit. Sekitar 24% pasien keratitis mengalami komplikasi yang dapat membahayakan penglihatan pasien, seperti perforasi, endoftalmitis, dan atrofi (Deschenes, 2017)



BAB 4 PEMBAHASAN Keratitis merupakan penyakit oftalmologi berupa inflamasi pada kornea mata. Keratitis umumnya terjadi akibat adanya kerusakan epitel kornea, yang merupakan salah satu mekanisme pertahanan kornea terhadap patogen. Penyebab kerusakan epitel kornea dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti trauma, penggunaan lensa kontak, dan akibat keadaan defisiensi air mata (Srinivasan, 2008). Keratitis infeksi dapat disebabkan oleh etiologi yang beragam, seperti bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Staphylococcus dan Streptococcus merupakan patogen yang paling sering ditemukan pada keratitis. Pada keratitis noninfeksi, kebanyakan disebabkan oleh proses autoimun (Almujaini, 2009) Dari pemeriksaan fisik di temukan mata merah, berair, penglihatan kabur dan mata silau. Mata merah dan nyeri yang disertai penglihatan menurun paling sering disebabkan adanya gangguan pada kornea, di mana pada kasus ini diagnosisnya mengarah pada keratitis. Hal ini diperkuat dengan adanya riwayat terkena debu. Epitel kornea yang tidak intak akan memudahkan infiltrasi agen infeksius seperti virus, bakteri dan jamur yang pada akhirnya dapat menimbulkan reaksi peradangan Infiltrat sel-sel radang pada kornea menyebabkan gangguan pada visual aksis sehingga penglihatan pasien menurun. Mata merah pada pasien ini disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah pada daerah limbus dan konjungtiva sebagai respon terhadapadanya peradangan yang terjadi pada kornea. Nyeri merupakan gejalagejalayang timbul akibat adanya defek pada kornea sehingga serabut saraf sensori pada kornea yang berasal dari N. Trigeminus cabang ophtalmica tersensitisasi. Mata silau pada keratitis dapat terjadi karena kejernihan kornea yang berkurang pada bagian-bagian yang terdapat infiltrat. Hal ini terjadi akibatcahaya yang masuk melalui kornea sebagian akan dipantulkan saat melewati bagian yang terdapat infiltrat. Cahaya yang dipantulkan inilah yangmenyebabkan silau. Dari pemeriksaan visus mata kanan didpatkan 6/19 dan mata kiri 6/12. Hal ini kurang sesuai dengan kondisi pasien karena infiltrat yang terdapat pada kornea tersebar di bagian perifer sehingga tidak akan terlalu mempengaruhi visual axis. Namun setelah diperiksa



menggunakan pinhole, penglihatan mata kanan dan mata kiri pasien membaik menjadi 6/6. Di dapatkan infiltrat bundar berkelompok dengan tepi berbatas tegas, unilateral di okuli sinistra. Pada pasien ini diberikan Floxa sediaan tetes mata yang mengandung Ofloxacin yang merupakan antibiotik golongan Luinolone sprekturm luas yang aktif terhadap sebagian besar bakteri gram negatif, bakteri gram positif dan bakteri anaerob Seperti golongan kuinolon lainnya ofloxacin bersifat bakterisidal yang bekerja dengan cara menghabat DNA Gyrase pada sub unit A yang berperan mengontrol supercoiling DNA bakteri Edukasi perlu dilakukan dengan tujuan pasien memahami bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik dan juga dapat kambuh kembali. Pasien dilarang untuk mengucek matanya karena dapat memperberat lesi yang telah ada. Pasien juga dianjurkan menggunakan pelindung mata (kaca mata hitam) untuk melindungi dari exposure dari luar seperti debu dan sinar ultraviolet.



BAB 5 KESIMPULAN Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan kornea. Berdasarkan distribusinya, keratitis dibagi menjadi keratitis difus, fokal, atau multifokal. Berdasarkan kedalamannya, keratitis dibagi menjadi epitelial, subepitelial stromal, atau endotelial. Komplikasi yang paling ditakuti dari keratitis bakteri ini adalah penipisan kornea, dan akhirnya perforasi kornea yang dapat mengakibatkan endophthalmitis dan hilangnya penglihatan. Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat. Virulensi organisme yang bertanggung jawabatas keratitis, luas dan lokasi ulkus kornea, hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagenmerupakan faktor yang menentukan prognosis



DAFTAR PUSTAKA 1. De Smedt, Nkurikiye J, Fonteyne Y, Hogewoning A, Van Esbroeck M, De Bacquer D, Tuft S, Gilbert C, Delange J, Kestelyn P. Vernal Keratoconjungtivitis in School children in Rwanda and its association with socio economic status : A Population Based Survey. Am J Trop Med Hyg. 2011. 85(4) : 711 – 717 2. Katelaris CH. Ocular allergy in the Asia Pacific region. Asia Pac Allergy. 2011.1(3) : 108 -111



3. Ishihara S. The series of Plates designed As a test for colour deficiency. 2005. Kanehara Trading Inc. Tokyo 4. 5. Vaughan, Deaniel. Ofthalmology Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2000: hlm. 4-6 6. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis. INDIAN Journal of Opthalmology. 2006: hlm. 56:3,50-56 7. Mansjoer, Arif M. 2001. Kapita Selekta edisi-3 jilid-1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.Hal: 56 8. K.Weng Sehu et all. Opthalmologic Pathology. Blackwell Publishing. UK.2005. p.62 9. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco 2008-2009. p. 179-190 10. Reed, KK. 2007. Thygeson's SPK photos. Nova Southeastern University College ofOptometry 3200 South University Drive Ft. Lauderdale, Florida. Available at:http://www.fechter.com/Thygesons.htm. (accessed: Feb 2021) 11. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S. M. Lai. New Treatments for Bacterial Keratitis. Department of Ophthalmology, Queen Mary Hospital, Hong Kong. 2012 12. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2007 13. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2 nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466



14. James bruce, et all. Lecture note oftalmology. Edisi Kesembilan. Penerbit erlangga 2006. h.67-69 15. Srinivasan M, Mascarenhas J, Prashanth CN. Distinguishing infective versus noninfective keratitis. Indian J Ophthalmol. 2008;56(3):203–7. 16. Al-mujaini A, Al-kharusi N, Thakral A, Wali UK. Bacterial Keratitis: Perspective on



Epidemiology,



Clinico-Pathogenesis,



Diagnosis



and



Treatment.



2009;9(August):184–95. 17. Deschenes



J.



Bacterial



Keratitis.



https://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview



Medscape.



2017.