Laporan Cha DM Kemranjen I [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT PUSKESMAS KEMRANJEN I ANALISIS FAKTOR RISIKO DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI DESA KECILA WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEMRANJEN I KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2018



Disusun Oleh: Revania Radina Thirza



G4A018080



Tiara Asri Nurillah



G4A018082



Perseptor Fakultas



: dr. Madya Ardi Wicaksono, M.Si



Perseptor Lapangan



: dr. Anggoro Supriyo



KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN JURUSAN KEDOKTERAN UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN 2019



I.



PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah kesehatan di Indonesia saat ini telah bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Hal ini diakibatkan oleh adanya perubahan pola hidup masyarakat di mana cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji yang praktis dan kurangnya aktivitas fisik (Yani, 2015). Salah satu penyakit tidak menular yang hingga saat ini terus meningkat insidensinya adalah diabetes mellitus tipe 2. Diabetes mellitus (DM) tipe 2 merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan karena kerja dari insulin tidak optimal (Suyono, 2009). Saat ini penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (Perkeni, 2015). Data-data diatas menunjukkan bahwa jumlah penyandang DM tipe 2 di Indonesia sangat besar. Peningkatan jumlah penyandang DM tipe 2 yang mungkin terjadi di masa mendatang akan menjadi beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri oleh dokter spesialis/subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Penyakit DM tipe 2 sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia dan berdampak pada peningkatan biaya kesehatan yang cukup besar. Oleh karenanya semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, seharusnya ikut serta secara aktif dalam usaha penanganan DM, khususnya dalam upaya pencegahan (Perkeni 2015). Puskesmas Kemranjen I merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah yang menaungi 8 desa. Jumlah kasus DM tipe 2 di Puskesmas Kemranjen I pada tahun 2018 yaitu sebesar 1418 dan



1



2



termasuk ke dalam daftar 10 penyakit dengan jumlah kasus terbanyak di Puskesmas Kemranjen I . Berdasarkan data pada bulan Desember tahun 2018, jumlah pasien DM Tipe 2 yang tercatat di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I yaitu sebanyak 194 pasien, dengan jumlah kasus tertinggi berada di Desa Kecila sebanyak 53 pasien. Upaya pencegahan dapat dilakukan untuk mengurangi angka insidensi penderita DM tipe 2. Pencegahan yang dinilai paling efektif dalam menurunkan angka insidensi DM adalah pencegahan premordial dan primer, karena melibatkan



seluruh pihak, terutama



masyarakat.



Pencegahan



premordial merupakan upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM. Pencegahan sekunder dan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada pasien yang sudah mengalami DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 dengan komplikasi (Fatimah, 2015). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya DM tipe 2 perlu diketahui sebelum melaksanakan pencegahan. Faktor risiko DM tipe 2 dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang kurang sehat, seperti berat badan berlebih, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dislipidemia, kurangnya aktivitas fisik, pola makan, merokok, konsumsi alkohol, dan stress (Kemenkes, 2010). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Desa Kecila Wilayah Kerja Puskesmas Kemranjen I Kabupaten Banyumas Tahun 2018.



3



B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum a. Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I Kabupaten Banyumas. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui angka kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. b. Menentukan faktor risiko Diabetes Melitus Tipe 2 di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. c. Mencari alternatif pemecahan masalah Diabetes Melitus Tipe 2 di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. d. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah Diabetes Melitus Tipe 2 untuk mengatasi masalah kesehatan di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan, khususnya pada penyakit Diabetes Melitus Tipe 2. b. Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang permasalahan kesehatan yang terjadi di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. 2. Manfaat Praktis b. Bagi mahasiswa Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah kesehatan di Desa Kecila wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I. c. Bagi masyarakat desa Memberikan informasi kesehatan (promotif, preventif, dan rehabilitatif) kepada masyarakat untuk penelitian khususnya berkaitan dengan Diabetes Melitus Tipe 2. d. Bagi instansi terkait Membantu program enam dasar pelayanan kesehatan puskesmas



4



berkaitan dengan promosi kesehatan terutama masalah Diabetes Melitus Tipe 2 sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menentukan kebijakan yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah. e. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Untuk menambah bahan referensi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya



5



II.



GAMBARAN UMUM



A. Gambaran Umum 1. Keadaan Geografis Puskesmas Kemranjen I merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, dengan



luas



wilayah



total 3.571.293 Ha. Wilayah kerja Puskesmas



Kemranjen I terdiri dari 8 desa binaan : a.



Desa Sibalung



: + 452,223 Ha ( 5.497 jiwa )



b.



Desa Kecila



: + 417,517 Ha ( 5.777 jiwa )



c.



Desa Kedungpring



: + 272,672 Ha ( 2.907 jiwa )



d.



Desa Sibrama



: + 278,421 Ha ( 2.700 jiwa )



e.



Desa Karangjati



: + 172,324 Ha ( 1.956 jiwa )



f.



Desa Petarangan



: + 603,601 Ha ( 4.590 jiwa )



g.



Desa Karanggintung



: + 480,725 Ha ( 3.273 jiwa )



h.



Desa Karangsalam



: + 893,800 Ha ( 4.999 jiwa )



Wilayah Kerja Puskesmas Kemranjen I dibatasi oleh : a.



Sebelah Utara



: Kec. Somagede Kab. Banyumas.



b.



Sebelah Selatan : Kec. Nusawunggu Kab. Cilacap



c.



Sebelah Barat



: Kec. Kebasen Kab. Banyumas



d.



Sebelah Timur



: Kec. Sumpiuh Kab. Banyumas



Desa terluas di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I adalah Desa Karangsalam. Desa terkecil adalah Desa Karangjati. Desa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Desa Kecila sebesar 1.358,75 per km2. Topografi desa yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I sekitar 40 % merupakan daerah dataran tinggi/pegunungan. Transportasi dan Komunikasi : a.



Jarak Puskesmas ke Kabupaten



: 100 % Aspal  32 Km.



b.



Jarak Puskesmas ke Desa



: 0.5 km s.d. 7 km



c.



Jarak Puskesmas ke desa (8 desa) : dapat dijangkau kendaraan roda 2 / mobil



d.



Komunikasi berita



:kantor



pos,



telepon genggam / selular, televisi dan surat kabar



telephone,



radio,



6



Gambar 2.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kemranjen I Sumber: Profil Puskesmas Kemranjen I 2018



2. Keadaan Demografi Kecamatan Kemranjen a. Pertumbuhan penduduk Berdasarkan data Kecamatan dalam Angka Tahun 2018 didapatkan hasil registrasi Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I terdiri dari 31.699 yang terdiri dari 16.106 jiwa laki-laki (50,81%) dan 15.593 jiwa Perempuan (49,19%) tergabung dalam 3.37 Rumah Tangga / Kepala Keluarga. Jumlah penduduk terbesar adalah Desa Kecila sebanyak 5.777 jiwa dan desa yang terendah adalah desa Karangjati sebanyak 1.956 jiwa. b. Jumlah penduduk menurut golongan umur Jumlah penduduk menurut golongan umur di Wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I Kabupaten Banyumas tahun 2018 dapat dilihat pada tabel berikut :



7



Tabel 2.1. Jumlah Penduduk menurut Golongan Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Kemranjen I tahun 2018 JUMLAH PENDUDUK



NO



KELOMPOK UMUR (TAHUN)



LAKILAKI



PEREMPUAN



L+P



1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16



2 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75+



3 1.348 1.408 1.433 1.247 897 956 1.040 1.138 1.269 1.170 1.077 1.050 743 513 349 468



4 1.201 1.318 1.243 1.010 875 933 1.016 1.146 1.107 1.305 1.070 1.055 786 510 385 633



5 2.549 2.726 2.676 2.257 1.772 1.889 2.056 2.284 2.376 2.475 2.147 2.105 1.529 1.023 734 1.101



RASIO JENIS KELAMIN 6 112,24 106,83 115,78 123,47 102,51 102,47 102,36 99,30 114,63 89,66 100,65 99,53 94,53 100,59 90,65 73,93



16.106



15.593



31.699



103,29



JUMLAH



ANGKA BEBAN TANGGUNGAN (DEPENDENCY RATIO) Sumber: - Kantor Statistik Kabupaten/kota September 2018



52



Tabel diatas menunjukan bahwa penduduk berjenis kelamin Laki-laki lebih tinggi sebesar 50,81%. c. Kepadatan Penduduk. Penduduk di wilayah kerja Puskemas 1 Kemranjen untuk tahun 2018 belum menyebar dan merata.Pada Umumnya penduduk banyak menumpuk di daerah perkotaan dan didataran rendah. Rata-rata kepadatan penduduk di Kecamatan Kemranjen sebesar 988 jiwa setiap kilometer persegi. Desa terpadat adalah desa Kecila dengan tingkat kepadatan sebesar 1477 setiap kilometer persegi, sedangkan kepadatan terendah pada desa Karangsalam sebesar 623 setiap kilometer persegi dikarenakan desa terluas serta daerahnya pegunungan.



8



3 Keadaan Sosial Ekonomi a. Tingkat Pendidikan. Dari data Kemranjen dalam Angka tahun 2018 menunjukan jumlah penduduk



laki-laki dan perempuan usia 10 tahun keatas menurut



pendidikan yang tidak / belum pernah sekolah sebesar 3.617 (10,62%), tidak belum tamat SD sebesar 9712 (28,49%) tamat SD/MI sebesar 13.315 (39,06%) tamat SLTP / MTs sederajat sebesar 4433 (13%), tamat SMU/ MA/SMK sebesar 2562 (7,51%),tamat Akademi/ Diploma sebesar 258 (7,57%) dan tamat Universitas sebesar 187 (5,49%). 3.000



700 TIDAK/ BELUM PERNAH SEKOLAH 600



2.500 TIDAK/ BELUM TAMAT SD 500 2.000 SD/MI 400 1.500



SLTP/ MTs 300 SLTA/ MA



1.000 200



AK/ DIPLO MA 500



100 UNIVERSITAS



-



S



0



IB



A



LU



N



G S



IB



A R



A M



K



ED



U



G N



PR



IN



G K



EC



A IL K



AR



A



G N



TI JA



P



A ET



A R



N



A G



N



K



AR



A



G N



N TU IN G



G



K



AR



A



G N



SA



LA



M



Gambar 2.2. Penduduk Usia 10 tahun ke atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang di Tamatkan Tahun 2018



Dilihat dari gambar 1 diatas menunjukan bahwa tingkat pendidikan di Kecamatan Kemranjen tergolong masih rendah dimana 30.42% (9.593 jiwa) dari jenjang pendidikan formal yang ditempuh. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan karena sosial ekonomi masyarakat yang rendah.



9



b. Mata Pencaharian Penduduk Dari data Kecamatan Kemranjen dalam Angka tahun 2018 mata pencaharian penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I terdiri dari : a.



Petani



: 31,54 %



b.



Buruh Tani



: 23,96 %



c.



Nelayan



: 0,04 %



d.



Pengusaha



: 1,66 %



e.



Buruh Industri



: 3,39 %



f.



Buruh Bangunan



: 4,67 %



g.



Pedagang



: 6,63 %



h.



PNS / TNI / POLRI : 2,76 %



i.



Jasa Angkutan



: 1,16 %



j.



Pensiunan



: 1,26 %



k.



Lain – lain



: 22,84 %



Mata pencaharian penduduk masih didominasi oleh kaum petani dan kaum buruh petani sebesar 57,5% setengah dari mata pencaharian yang ada. 3. Petugas Kesehatan Tenaga kesehatan merupakan sumber daya yang sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan dalam wilayah Puskesmas Kemranjen I adalah sebagai berikut : a. Tenaga Medis Tenaga medis dokter yang ada di sarana kesehatan dalam wilayah Puskesmas Kemranjen I ada 4 (empat) orang, yaitu tiga dokter umum dan satu dokter gigi yang bekerja di Puskesmas Kemranjen I, sedangkan dokter spesialis belum ada. Menurut standar Peraturan Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014, puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 2 dokter dan 1 dokter gigi sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas.



10



b. Tenaga Farmasi Tenaga farmasi pada Puskesmas Kemranjen I sebanyak 2 (dua) orang. Menurut standar Peraturan Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014 puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 2 tenaga kefarmasian sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas. c. Tenaga Bidan Tenaga kebidanan di Puskesmas Kemranjen I jumlahnya 16 orang. Menurut standar Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014, puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 7 bidan sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas. d. Tenaga Perawat Tenaga perawat kesehatan yang ada di Puskesmas Kemranjen I jumlahnya ada 13 orang. Standar Peraturan Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014, puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 8 perawat sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas. e. Tenaga Gizi Tenaga gizi di Puskesmas Kemranjen I jumlahnya 2 orang. Standar Peraturan Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014, puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 2 tenaga gizi sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas. f. Tenaga Kesehatan Lingkungan Tenaga kesehatan lingkungan ada 2 (dua) orang. Standar Peraturan Menteri Kesehatan no. 75 tahun 2014, puskesmas kawasan perkotaan rawat inap minimal memiliki 1 tenaga kesehatan lingkungan sehingga Puskesmas Kemranjen I sudah memenuhi standar ketenagaan puskesmas.



11



Tabel 2.2. Jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Kemranjen I Menurut Jenis dan Status Tahun 2018 JENIS TENAGA KESEHATAN



NO



STATUS PNS



CPNS



a. Dokter Umum



2



0



0



1



b. Dokter Gigi



1



0



0



0



2



Tenaga Psikologi Klinis



0



0



0



0



0



3



Tenaga Keperawatan



9



0



0



4



13



4



Tenaga Kebidanan



9



4



1



2



16



5



Tenaga Kefarmasian



1



0



0



1



2



6



Tenaga Kesehatan Masyarakat



1



0



0



1



2



7



Tenaga Kesehatan Lingkungan



1



0



0



1



2



8



Tenaga Gizi



2



0



0



0



2



9



Tenaga Keterapian Fisik



0



0



0



0



0



10



Tenaga Keteknisian Medis



0



0



0



0



0



11



Tenaga Teknik Biomedika



0



0



0



0



0



12



Tenaga Kesehatan Tradisional



0



0



0



0



0



13



Tenaga Kesehatan Lainnya



1



0



0



3



4



27



4



1



13



45



1



PTT



Kontrak



JUMLA H



Tenaga Medis



Jumlah



Sumber: data sekunder Puskesmas Kemranjen I Berdasarkan data tersebut jumlah tenaga yang ada untuk saat ini secara umum tenaga kesehatan yang ada sudah mencukupi, kecuali petugas gizi. 4. Sarana Kesehatan Puskesmas Kemranjen I memiliki 1 Puskesmas induk. Dalam mendukung pelayanan kesehatan di Puskesmas, terutama untuk daat menjangkau sasaran wilayah bagian selatan, terdapat Puskesmas Pembantu di Kecila dan terdapat Pos Kesehatan Desa (PKD) di semua desa wilayah Puskesmas Kemranjen I . 5. Pembiayaan Kesehatan



4



12



Sumber daya pembiayaan Puskesmas Kemranjen I berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banyumas berupa Bantuan Operasional Kesehatan sebesar Rp. 530.000.000,00 dan dana anggaran Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebesar Rp. 3.276.029.116,00. Total anggaran tahun 2018 sebesar Rp. 3.806.029.116,00. D. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat Program pelayanan kesehatan yang dilakukan Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar diharapkan mampu mengatasi sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Tujuan umum dari program ini adalah untuk meningkatkan pemerataan dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Upaya Kesehatan yang dilakukan di Puskesmas Kemranjen I diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Pelayanan Kesehatan Dasar Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat penting dalam memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara lebih cepat , tepat dan lebih baik, diharapkan sebagaian besar masalah kesehatan sudah dapat diatasi. Berbagai pelayan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut: a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Setiap ibu hamil diharapkan dapat menjalankan kehamilannya dengan sehat, bersalin dengan selamat serta melahirkan bayi yang sehat. Oleh karena itu, setiap ibu hamil harus dapat dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan sesuai standar, termasuk kemungkinan adanya masalah/penyakit yang dapat berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janinnya. Pelayanan kesehatan ibu hamil diwujudkan melalui pemberian pelayanan antenatal sekurang-kurangnya 4 kali selama masa kehamilan dengan distribusi waktu minimal 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan 0-12 minggu), minimal 1 kali pada trimester kedua (usia kehamilan 12-24 minggu) dan minimal 2 kali pada trimester ketiga (usia



13



kehamilan 24 minggu – lahir). Standar waktu pelayanan tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan terhadap ibu hamil dan atau janin, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan dini komplikasi kebidanan. Pengertian Pelayanan Antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan. Pelayanan antenatal terpadu adalah pelayanan antenatal komprehensif dan berkualitas yang diberikan kepada semua ibu hamil. Setiap kehamilan dalam perkembangannya mempunyai risiko mengalami penyulit dan komplikasi oleh karena itu pelayanan antenatal harus dilakukan secara rutin, terpadu dan sesuai standar pelayanan antenatal yang berkualitas. Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas, yaitu; 1) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan; 2) Pengukuran tekanan darah; 3) Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA); 4) Pengukuran tinggi puncak rahim (fundus uteri); 5) Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanustoxoid sesuai status imunisasi; 6) Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan; 7) Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ); 8) Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling, termasuk Keluarga Berencana); 9) Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb), pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah dilakukan sebelumnya); 10) Tatalaksana kasus Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibuhamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal pertama



14



kali oleh tenaga kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah kerja pada kurun waktu satu tahun. Indikator ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. Jumlah Ibu Hamil / K1 di Wilayah Kerja Puskesmas Kemranjen I pada tahun 2018 sebanyak 570 ibu hamil, adapun ibu hamil yang mendapat pelayanan K-4 adalah sebesar 517 atau 90,7% ibu hamil. Dibandingkan tahun 2017 ibu hamil sebanyak 548 dan yang mendapatkan pelayanan K-4 sejumlah 501 atau 91,4%. Jumlah ibu hamil dengan komplikasi yang ditangani sebanyak 113 dan mendapatkan pelayanan 113 jadi hasil pencapaian 100 %. Secara estimasi kasus resiko tinggi sebanyak 20 % dari total kehamilan, namun di Puskesmas Kemranjen I lebih tinggi dan semuanya tertangani. Upaya – upaya telah dilakukan oleh Puskemas I Kemranjen yang dibantu bidan-bidan didesa, namun hal itu menunjukan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan pada waktu hamil belum maksimal dalam memberikan motivasi kepada ibu hamil. Standart Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan K – 4 sebesar 100 %. Dengan demikian Puskesmas Kemranjen I masih perlu meningkatkan penyuluhan tentang kehamilan yang sehat dan persalinan yang aman kepada masyarakat, jadi belum memenuhi standar pelayanan minimal. b. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes) Jumlah sasaran ibu yang bersalin tahun 2018 sebanyak 514 orang. Jumlah Ibu nifas tahun 2018 sebanyak 514 orang dan Jumlah yang ditolong nakes 514 atau sebesar 100%. Standart Pelayanan Minimal untuk pertolongan persalinan oleh nakes tahun 2018 sebesar 100 %. Dengan demikian cakupan persalinan nakes di wilayah Puskesmas Kemranjen I tahun 2018 telah memenuhi standart pelayanan minimal.



15



c. Bayi dan Bayi BBLR Jumlah bayi lahir hidup tahun 2018 sebanyak 513 bayi dan yang memiliki Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 25 bayi atau sebesar 4,8 % dari bayi yang lahir. Bayi BBLR yang ditangani sebanyak 25 atau 100 % ditangani. Penanganan kasus BBLR berdasarkan standart Dinas Kesehatan Kabupaten sudah memenuhi target yang diharapkan. Target program kasus BBLR adalah 3 %. Dengan demikian kasus BBLR di Puskesmas Kemranjen I lebih tinggi dari target yang ditetapkan.Tingginya kasus BBLR disebabkan oleh tingginya kasus anemia pada ibu hamil, KEK dan banyaknya kasus kehamilan diusia kurang dari 20 tahun. d. Pelayanan Keluarga Berencana Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) tahun 2018 berdasarkan sumber Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kecamatan Kemranjen sebesar 5.577. Jumlah PUS tertinggi di Desa Kecila sebesar 1.001 PUS atau sebesar 17.94 % dari jumlah PUS yang ada dan untuk cakupan peserta KB juga tertinggi di puskesmas yaitu untuk MKJP 44,5 % dan non MKJP 30 %.. Pencapaian MKJP di desa kecila sebes 50 % dan non MKJP sebesar 22 %, Cakupan KB MKJP terendah yaitu desa Kedungpring 28 % sedangkan cakupan KB non MKJP terendah desa karangjati 15 %. e. Pelayanan Imunisasi Jumlah desa dalam wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I sebanyak 8 desa. Desa Universal Child Immunization (UCI) sebanyak 8 atau memenuhi Standart Pelayanan Minimal (SPM) sebesar 100 %. Dengan Demikian Puskesmas Kemranjen I pada tahun 2018 telah memenuhi target SPM tersebut. f. Cakupan Pelayanan Nifas Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari paska persalinan oleh



16



tenaga



kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas



diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal 3 kali dengan ketentuan waktu; 1) Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah persalinan. 2) Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8-14 hari) 3) Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan (36- 2 hari) Target cakupan ibu nifas yang mendapat pelayanan kesehatan nifas tahun 2018 adalah 100%. Standart Pelayanan Minimal telah memenuhi sebesar 100%. g. Cakupan Pelayanan Anak Balita Anak balita adalah anak berumur 12–59 bulan. Setiap anak umur 12–59 bulan memperoleh pelayanan pemantauan pertumbuhan setiap bulan, minimal 8 x dalam setahun yang tercatat di Kohort Anak Balita dan Prasekolah, Buku KIA/KMS atau buku pencatatan dan pelaporan lainnya. Pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan per tinggi/panjang badan (BB/TB). Di tingkat masyarakat pemantauan pertumbuhan adalah pengukuran berat badan per umur (BB/U) setiap bulan di Posyandu, Taman Bermain, Pos PAUD, Taman Penitipan Anak dan Taman Kanak-Kanak, serta Raudatul Athfal dll. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah harus dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan untuk menentukan status gizinya dan upaya tindak lanjut. Pemantauan perkembangan meliputi penilaian perkembangan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian, pemeriksaan daya dengar, daya lihat. Jika ada keluhan atau kecurigaan terhadap anak, dilakukan pemeriksaan untuk gangguan mental emosional, autisme serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas.



Bila



ditemukan



penyimpangan



atau



gangguan



17



perkembangan harus dilakukan rujukan kepada tenaga kesehatan yang lebih memiliki kompetensi. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan setiap anak usia 1259 bulan dilaksanakan melalui pelayanan Stimulasi Deteksi Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) minimal 2 kali pertahun (setiap 6 bulan) dan tercatat pada Kohort Anak Balita dan Prasekolah atau pencatatan pelaporan lainnya. Pelayanan SDIDTK dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, ahli gizi, penyuluh kesehatan masyarakat dan petugas sektor lain yang dalam menjalankan tugasnya melakukan stimulasi dan deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang anak. Suplementasi Vitamin A dosis tinggi yaitu dosis 100.000 IU berwarna biru diberikan pada anak usia 6-11 bulan dan 200.000 IU berwana merah diberikan pada anak usia 12–59 bulan, diberikan 2 kali per tahun (bulan Februari dan Agustus). Persentase anak balita yang mendapat pelayanan kesehatan (minimal 8 kali) di Puskesmas Kemranjen I beserta jaringannya sebesar 100%. Standar Pelayanan Minimal Tahun 2018 sebesar 100 %,hal ini sudah mencapai target yang diharapkan. h. Cakupan Balita Ditimbang Jumlah balita ditimbang di Posyandu merupakan data indikator terpantaunya pertumbuhan balita melalui pengukuran perubahan berat badan setiap bulan sesuai umur. Balita yang rutin menimbang adalah balita yang selalu terpantau pertumbuhannya. Secara kuantitatif indikator balita ditimbang menjadi indikator pantauan sasaran (monitoring covered), sedangkan secara kualitatif merupakan indikator cakupan deteksi dini (surveillance covered). Semakin besar persentase balita ditimbang semakin tinggi capaian sasaran balita yang terpantau pertumbuhannya, dan semakin besar peluang masalah gizi bisa ditemukan secara dini. Dalam ruang lingkup yang lebih luas balita di timbang atau D/S merupakan gambaran dari keterlibatan masyarakat dalam mendukung kegiatan pemantauan pertumbuhan di Posyandu. Kehadiran balita di Posyandu merupakan hasil dari akumulasi peran



18



serta ibu, keluarga, kader,dan seluruh komponen masyarakat dalam mendorong, mengajak, memfasilitasi, dan mendukung balita agar ditimbang di Posyandu untuk



dipantau pertumbuhannya. Dengan



demikian indikator D/S dapat dikatakan sebagai indikator partisipasi masyarakat dalam kegiatan Posyandu. Berdasarkan data yang ada penimbangan balita (F/III/Gizi) selama tahun 2018 adalah sebagai berikut : 1) Jumlah seluruh balita (S)



= 2.486 anak



2) Jumlah balita yang terdaftar dan punya KMS (K) = 2.486 anak 3) Jumlah Balita yang ditimbang (D)



= 2.072 anak



4) Jumlah balita yang naik berat badannya (N)



= 1.289 anak



5) KEP Total (Gizi kurang + Gizi buruk)



= 16 anak



Berdasarkan data diatas, maka jangkauan program penimbangan (K/S) mencapai 100% Tingkat partisipasi masyarakat (D/S) = 83,34%. Efek penyuluhan (N/D) = 62,21%. Tingkat partisipasi masyarakat dan efek penyuluhan bila dibandingkan dengan SPM sudah sesuai standart. Upaya yang ditempuh antara lain meningkatkan penyuluhan fungsi Kelompok Kerja (Pokja) Posyandu Desa untuk mendapatkan peran serta masyarakat. i. Cakupan Balita Gizi Buruk Mendapat Perawatan Kejadian gizi buruk perlu dideteksi secara dini melalui intensifikasi pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu, dilanjutkan dengan penentuan status gizi oleh bidan di desa atau petugas kesehatan lainnya. Penemuan kasus gizi buruk harus segera ditindak lanjuti dengan rencana tindak yang jelas, sehingga penanggulangan gizi buruk memberikan hasil yang optimal. Pendataan gizi buruk di Jawa Tengah didasarkan pada 2 kategori yaitu dengan indikator membandingkan berat badan dengan umur (BB/U) dan kategori kedua adalah membandingkan berat badan dengan tinggi badan (BB/TB). Skrining pertama dilakukan di posyandu dengan membandingkan



berat



badan



dengan



umur



melalui



kegiatan



19



penimbangan, jika ditemukan balita yang berada di bawah garis merah (BGM) atau dua kali tidak naik (2T), maka dilakukan konfirmasi status gizi dengan menggunakan indikator berat badan menurut tinggi badan. Jika



ternyata



balita



tersebut



merupakan



kasus



buruk,



maka



segeradilakukan perawatan gizi buruk sesuai pedoman di posyandu dan puskesmas.Jika ternyata terdapat penyakit penyerta yang berat dan tidak dapat ditangani di Puskesmas maka segera dirujuk ke rumah sakit.Kasus gizi buruk selama tahun 2018 tidak ada atau dapat dikatakan semua sudah mendapat perawatan. Pada tahun 2018 angka kejadian balita gizi buruk menurut indikator BB/TB ada 8 anak dan semuanya



sudah



mendapatkan



perawatan



melalui



pemeriksaan



kesehatan dan pemberian PMT Balita. j. Cakupan Penjaringan Kesehatan Siswa SD dan Setingkat Penjaringan kesehatan siswa Sekolah Dasar (SD) dan setingkat adalah pemeriksaan kesehatan terhadap murid baru kelas 1 SD dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang meliputi pengukuran tinggi badan, berat badan, pemeriksaan ketajaman mata, ketajaman pendengaran, kesehatan gigi, kelainan mental emosional dan kebugaran jasmani. Pelaksanaan penjaringan kesehatan dikoordinir oleh puskesmas bersama



dengan



guru



sekolah



dan



kader



kesehatan/konselor



kesehatan.Setiap puskesmas mempunyai tugas melakukan penjaringan kesehatan siswa SD/MI di wilayah kerjanya dan dilakukan satu kali pada setiap awal tahun ajaran baru sekolah. Siswa



SD



dan



setingkat



ditargetkan



100%



mendapatkan



pemantauan kesehatan melalui penjaringan kesehatan. Melalui penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat diharapkan dapat menapis atau menjaring anak yang sakit dan melakukan tindakan intervensi secara dini, sehingga anak yang sakit menjadi sembuh dan anak yang sehat tidak tertular menjadi sakit. Target cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat oleh tenaga kesehatan/guruUKS/kader kesehatan sekolah tahun 2018 sebesar 100 %. Jumlah siswa kelas satu SD/MI sebanyak 512 siswa



20



dan yang dijaring sebanyak 512 siswa, hal ini sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal tahun 2018 sebesar 100 persen. 2. Pelayanan Pengobatan / Perawatan Jumlah kunjungan rawat jalan yang ada di Puskesmas Kemranjen I sebesar 55.776 di tahun 2018 Cakupan kunjungan baru dan pasien lama. Jumlah kunjungan pasien rawat inap sebanyak 911 dari jumlah penduduk. Penyakit tertinggi di Puskesmas Kemranjen I adalah penyakit ACUTE



UPPER



RESPIRATORY



INFECTION,



UNSPECIFIED



sebanyak 6.615 penderita pada tahun 2018 dengan perincian sbb : Tabel 2.3. Sepuluh Penyakit Terbanyak Tahun 2018 No 1



Nama Penyakit ACUTE UPPER RESPIRATORY INFECTION, UNSPECIFIED



Jumlah 6615



2



FEVER, UNSPECIFIED



6417



3



DYSPEPSIA



5010



4



ESSENTIAL(PRIMARY) HYPERTENSION



1914



5



ARTHRITIS, UNSPECIFIED



1617



6



NON-INSULIN-DEPENDENTDIABETES MELLITUS WITHOUT COMPLICATIONS



1418



7



DERMATITIS, UNSPECIFIED



1200



8



MYALGIA



1152



9



HEADACHE



1083



10



DIARRHOEA AND GASTROENTERITIS OF PRESUMED INFECTIOUS ORIGIN



924



3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular a. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio Kasus Polio di Puskesmas Kemranjen I tidak ditemukan. b. Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru Data yang diolah tahun 2018 kasus TB Paru (Klinis dan Positif) sebanyak 18 kasus, sedangkan yang sembuh 18 orang atau 100 persen Standart Pelayanan Minimal untuk kesembuhan penderita TBC BTA



21



positif (>85). Dengan demikian kesembuhan penderita di Kabupaten Banyumas dibanding dengan SPM sudah tercapai. c. Pencegahan dan pemberantasan Penyakit ISPA Sasaran pnemoni adalah jumlah balita ( L+P ) = 2521 X 10% = 252, Penemuan dan penanganan penderita pneumonia pada balita tahun 2018 sebanyak 35 kasus dan ditangani sebanyak 35 kasus (100%), dengan persentase 35 : 252 X 100 = 13,89%.Target Standar Pelayanan Minimal (SPM) tahun 2018 (100%). Kondisi tersebut dapat diatasi melalui pertemuan pemantapan program dan pelatihan MTBS (Managemen Terpadu Balita Sakit) untuk dokter, perawat dan bidan. d. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV – AIDS Kasus HIV – AIDS di Puskesmas Kemranjen I diketemukan 4, Puskesmas Kemranjen I selalu mengupayakan pencegahan dengan pendekatan kepada masyarakat dengan bimbingan atau penyuluhan secara berkelanjutan untuk mencegah terjadinya penularan di wilayah Puskesmas Kemranjen I. e. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD. Kasus penyakit DBD tahun 2018 tidak diketemukan. Upaya Puskesmas untuk pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu (a). Peningkatan surveilance penyakit dan vektor, (b). Diagnosis dini dan pengobatan dini, (c). Peningkatan upaya pemberantasan vektor penuranan DBD. Dalam rangka pemberantasan penyakit DBD Puskesmas Kemranjen I beserta lintas sektor telah melaksanakan langkah-langkah kongkrit antara lain : abatisasi selektif, penggerakan PSN dan Penyuluhan kesehatan yang dilaksanakan disetiap desa. f. Pengendalian Penyakit Malaria Kasus penyakit Malaria tahun 2018 tidak diketemukan. Malaria sebagai salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan yang berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia yang dapat menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi. Penegakan diagnosis penderita secara tepat, lebih cepat dan lebih baik



22



dalam pengobatan sesuai fakta yang ada merupakan hal penting dalam pemberantasan penyakit Malaria untuk tahun 2018. g. Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB (Kejadian Luar Biasa) Kasus KLB tahun 2018 tidak ada dan tidak diketemukan, Penanganan dan penyuluhan selalu dilakukan antara lain tentang perilaku hidup bersih dan sehat menuju Indonesia 2018 4. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar a. Pelayanan Kesehatan Lingkungan. Cakupan rumah sehat di tahun 2018 sebanyak 52.9 % atau 4918rumah dari 9283 rumah. Untuk tahun 2018 jumlah rumah yang dilakukan pemantauan 240 rumah dan yang memenuhi syarat ada 211 rumah atau sekitar 87,9 %.Cakupan rumah sehat ini tidak dapat menggambarkan kondisi rumah sehat seluruh wilayah binaan kami, mengingat hasil cakupan hanya berdasarkan pada jumlah rumah yang diperiksa (tidak seluruh rumah diperiksa). b. Pelayanan Hygiene Sanitasi Tempat Tempat Umum Cakupan TTU yang memenuhi syarat ada 60 % atau 24 TTU dari 40 TTU.Untuk tahun 2018 TTU yang dilakukan pemeriksaan ada 20 dan yang memenuhi syarat ada 18 atau sejumlah 90 %.Dari TTU yang diperiksa kebanyakan masalah yang ada adalah berhubungan dengan pengelolaan sampah.Untuk beberapa sekolah, puskesmas sudah memberikan saran untuk bekerjasama dengan DLH/Dinas Lingkungan Hidup tetapi sampai akhir tahun ternyata belum semua merespon atau menindaklanjuti. Untuk itu perlu peningkatan kerjasama lintas program



untuk



melakukan upaya promosi



kesehatan tentang



pengelolaan sampah yang baik. 5. Perbaikan Gizi Masyarakat Berdasarkan data yang ada penimbangan balita (F/III/Gizi) selama tahun 2018 adalah sebagai berikut : a. Jumlah seluruh balita (S)



= 2.486 anak



b. Jumlah balita yang terdaftar dan punya KMS (K)



= 2.486 anak



23



c. Jumlah Balita yang ditimbang (D)



= 2.072 anak



d. Jumlah balita yang naik berat badannya (N)



= 1.289 anak



e. KEP Total (Gizi kurang + Gizi buruk)



= 16 anak



Berdasarkan data diatas, maka jangkauan program penimbangan (K/S) mencapai 100% Tingkat partisipasi masyarakat ((D/S) = 83,34%. Efek penyuluhan (N/D) = 62,21%.



III.



IDENTIFIKASI MASALAH



A. Daftar Penyakit Tabel 3.1. Data 10 Penyakit Terbesar Beserta Penyakit Berdasarkan SPM 2018 dan 12 indikator penanda status kesehatan keluarga di Puskesmas Kemranjen I tahun 2018 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10



PENYAKIT ISPA Febris Dispepsia Hipertensi Arthritis Diabetes Mellitus Tipe 2 Dermatitis Myalgia Cephalgia Diare dan Gastroenteritis JUMLAH



JUMLAH KASUS 6615 6417 5010 1914 1617 1418 1200 1152 1083 924 27350



Sumber: Data Sekunder SPM Puskesmas Kemranjen I E. Penentuan Prioritas Masalah Penentuan prioritas masalah di wilayah kerja Puskesmas Kemranjen I menggunakan metode Hanlon Kuantitatif dengan empat kelompok kriteria, yaitu: 1. Kelompok kriteria A



: Besarnya masalah (magnitude of the problem)



2. Kelompok kriteria B



: Kegawatan masalah, penilaian terhadap tingkat keparahan, urgensi dan biaya



3. Kelompok kriteria C



: Ketersediaan solusi (dapat dipecahkan atau tidak)



4. Kelompok kriteria D



: Kriteria PEARL, yaitu penilaian terhadap propriety, economic, acceptability,



resources availability, legality Adapun perincian nilai masing-masing kriteria pada prioritas masalah di Puskesmas Kemranjen I adalah sebagai berikut: 1. Kriteria A (besarnya masalah) Untuk menentukan besarnya populasi yang mengalami masalah kesehatan.



24



25



Penentuan nilai komponen A adalah berdasar konversi berikut. Tabel 3.2. Indikator Penilaian Kriteria A (CDC, 2015) Besarnya Masalah ≥ 25 % 10 -24,9 % 1 – 9,9 % 0,1 – 0,9 % < 0,1 %



Skor 10 8 6 4 2



Tabel 3.3. Penilaian Kriteria A Masalah Prevalensi 15,6% ISPA 15,% Febris 11,8% Dispepsia 4,5% Hipertensi 3,8% Arthritis 3,36% Diabetes Mellitus Tipe 2 2,8% Dermatitis 2,7% Myalgia 2,5% Cephalgia 2,18% Diare dan Gastroenteritis Sumber : Data Sekunder Puskesmas Kemranjen I



Besarnya Masalah 8 8 8 6 6 6 6 6 6 6



2. Kriteria B (kegawatan masalah) Penentuan nilai komponen B adalah berdasar konversi berikut. Tabel 3.4. Indikator Penilaian Kriteria B (CDC, 2015) Urgensi Very urgent Urgent Some urgency Little urgency No urgency



Severitas Very severe Severe Moderate Minimal None



Biaya Very costly Costly Moderate cost Minimal cost No cost



Nilai 10 8 6 4 2



Tabel 3.5. Penilaian Kriteria B Masalah ISPA Febris Dispepsia Hipertensi Arthritis Diabetes Mellitus Tipe 2 Dermatitis Myalgia Cephalgia



Urgensi 2 2 4 8 2 8 2 2 6



Severitas 4 4 4 8 6 8 6 4 4



Biaya 6 2 4 8 2 8 2 2 2



Nilai B 4 2,6 4 8 3,3 8 3,3 2,6 4



26 8



Diare dan Gastroenteritis



6



6



6,6



3. Kriteria C (ketersediaan solusi) Untuk menilai ada tidaknya ketersediaan solusi, sumber-sumber dan teknologi yang tersedia mampu menyelesaikan masalah: makin sulit dalam menyelesaikan masalah, skor yang diberikan makin kecil. Penentuan nilai komponen C adalah berdasar konversi berikut. Tabel 3.6 Indikator Penilaian Kriteria C (CDC, 2015) Ketersediaan Solusi Sangat efektif ( 80-100%) Efektif (60-80%) Cukup efektif (40-60 %) Kurang efektif(20-40%) Tidak efektif (0-20%)



Skor 10 8 6 4 2



Tabel 3.7. Penilaian Kriteria C Masalah ISPA Febris Dispepsia Hipertensi Arthritis Diabetes Mellitus Tipe 2 Dermatitis Myalgia Cephalgia Diare dan Gastroenteritis



Ketersediaan Solusi Cukup Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Efektif Kurang Efektif Efektif Cukup Efektif Kurang Efektif Cukup Efektif Efektif



Skor 6 6 4 8 4 8 6 4 6 8



4. Kriteria D (P.E.A.R.L) Penentuan nilai komponen D adalah berdasar aspek berikut (CDC, 2001) a. P : Propiety



: kesesuaian program dengan masalah



b. E : Economic



: apakah secara ekonomi bermanfaat



c. A : Acceptability : apakah bisa diterima masyarakat d. R : Resources : Adakah sumber daya untuk menyelesaikan masalah e. L: Legality



: Tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada



Berdasarkan masalah kesehatan di Puskesmas Kemranjen I didapat penilaian komponen D sebagai berikut.



27



Tabel 3.8. Penilaian Kriteria D Masalah



P



E



A



R



L



1 1 1 1 1



1 1 1 1 1



1 1 1 1 1



1 1 1 1 1



1 1 1 1 1



Hasil Perkalian 1 1 1 1 1



1



1



1



1



1



1



1 1 1



1 1 1



1 1 1



1 1 1



1 1 1



1 1 1



1



1



1



1



1



1



ISPA Febris Dispepsia Hipertensi Arthritis Diabetes Mellitus Tipe 2 Dermatitis Myalgia Cephalgia Diare dan Gastroenteritis



B. Penetapan Nilai Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut: 1.



Nilai prioritas dasar (NPD)



= (A+B) xC



2. Nilai prioritas total (NPT) Tabel 3.9. Tabel Kumulatif Hanlon No. Masalah



= (A+B) x C x D D NPD P E A R L



A



B



C



4



6 1 1 1 1 1



NPT



Prioritas



72



72



4



1



ISPA



8



2



Febris



8 2,6



6 1 1 1 1 1



63,6



63,6



5



3



Dispepsia



8



4



4 1 1 1 1 1



48



48



8



4



Hipertensi



6



8



8 1 1 1 1 1



112



112



2



5



Arthritis



6 3,3



4 1 1 1 1 1



37,2



37,2



9



6



Diabetes Mellitus Tipe 2



6



8 1 1 1 1 1



112



112



1



7



Dermatitis



6 3,3



6 1 1 1 1 1



55,8



55,8



7



8



Myalgia



6 2,6



4 1 1 1 1 1



34,4



34,4



10



9



Cephalgia



6



6 1 1 1 1 1



60



60



6



10



Diare dan Gastroenteritis



6 6,6



8



4



8 1 1 1 1 1 100,8 100,8



3



28



Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai berikut: 1.



DM



2.



Hipertensi



3.



Diare dan Gastroenteritis



4.



ISPA



5.



Febris



IV.



TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah yang disebut hiperglikemia dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan karena kerusakan dalam produksi insulin dan kerja dari insulin tidak optimal. Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif yang dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono, 2009). Menurut Perkeni (2011) dan ADA (2012), diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. F. Epidemiologi Menurut survey yang dilakukan oleh World health Organization/WHO (2011), prevalensi DM diperkirakan terus bertambah dan lebih meningkat di negara-negara yang sedang berkembang. Penderita DM di dunia pada tahun 2000 berjumlah 171 juta orang. Jika tidak ada tindakan lanjut untuk penanganan DM, jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (WHO, 2011). International Diabetic Federation (IDF) memperkirakan 183 juta orang tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Sebesar 80% orang dengan DM tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah serta berusia antara 40-59 tahun (IDF, 2011). Hasil dari Riskesdas (2013) menyatakan bahwa prevalensi DM di perkotaan cenderung lebih tinggi daripada di pedesaan dan cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang berpendidikan tinggi. Diperkirakan pada tahun 2030 berjumlah 366 juta penderita DM dan 3,2 juta kematian setiap tahunnya yang disebabkan oleh komplikasi penyakit ini seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan, aterosklerosis, bahkan sebagian tubuh bisa di amputasi (PERKENI, 2011).



29



30



G. Klasifikasi dan Etiologi Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologi menurut American Diabetes Association, 2010 adalah sebagai berikut: 1. Diabetes tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya mengacu ke defisiensi insulin absolut): a. Autoimun b. Idiopatik Pada Diabetes tipe 1 (Diabetes Insulin Dependent), lebih sering ternyata pada usia remaja. Lebih dari 90% dari sel pankreas yang memproduksi



insulin



mengalami



kerusakan



secara



permanen.



Olehkarena itu, insulin yang diproduksi sedikit atau tidak langsung dapat diproduksikan. Hanya sekitar 10% dari semua penderita diabetes melitus menderita tipe 1. Diabetes tipe 1 kebanyakan pada usia dibawah 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan seperti infeksi virus atau faktor gizi dapat menyebabkan penghancuran selpenghasil insulin di pankreas. 2. Diabetes tipe 2 (bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin) Diabetes tipe 2 ( Diabetes Non Insulin Dependent) ini tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada tingkat tinggi dari normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun, maka dari itu orang obesitas. 3. DM tipe lain Diabetes jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (Perkeni, 2015)



31



a. Defek genetik fungsi sel beta b. Defek genetik kerja insulin c. Penyakit eksokrin pankreas d. Endokrinopati e. Karena obat atau zat kimia f. Infeksi g. Sebab imunologi yang jarang h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM 4. Diabetes Melitus Gestasional Diabetes melitus gestasional merupakan intoleransi glukosa yang dapat terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa menilai derajat intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala diabetes ini lenyap atau menetap selepas melahirkan. Diabetes ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Kategori ini hanya mencakup diabetes melitus yang terdiagnosa ketika hamil. Wanita yang sebelum hamil sudah menderita diabetes melitus, tidak termasuk ke dalam kategori ini (Arisman, 2015). H. Faktor risiko Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes mellitus, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4000 gram, dan riwayat lahir dengan berat badan lahir rendah ( 45 tahun. Peningkatan risiko diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 45 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin (Sujaya, 2009). Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin (Trisnawati et Setyorogo, 2013). Tabel 4.1 Prevalensi Diabetes Mellitus menurut kelompok umur pada Penduduk Indonesia Tahun 2007 (Balitbangkes, 2008) Kelompok Umur (tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75



Total DM (%) 0,6 1,8 5 10,5 13,5 14 12,5



3. Jenis Kelamin Prevalensi kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada lakilaki. Wanita lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome) dan pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe 2 (Irawan, 2010). Faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 yang dapat dimodifikasi erat kaitannya dengan perilaku hidup yang kurang sehat, seperti berat badan



33



berlebih, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dislipidemia, kurangnya aktivitas fisik, pola makan, merokok, konsumsi alkohol, dan stress (Kemenkes, 2010). 1. Obesitas (Kegemukan) Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap penyakit Diabetes Melitus. Orang dengan obesitas memiliki asupan kalori yang berlebih. Sel beta kelenjar pankreas akan mengalami kelelahan dan tidak mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk mengmbangi kelebihan asupan kalori sehingga kadar glukosa akan meningkat dan menjadi DM (Kaban, 2007). Pengukuran dan penilaian seseorang termasuk ke dalam kategori obesitas dapat dilakukan melalui perhitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) dan Lingkar Perut. Nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) diperoleh dari pengukuran berat badan (BB) dalam satuan kilogram dan tinggi badan (TB) dalam satuan meter. Selanjutnya hasil pengukuran dihitung berdasarkan rumus IMT: 𝐼𝑀𝑇 =



𝐵𝐵 (𝑇𝐵)2



Tabel 4.2 Kategori Indeks Massa Tubuh (Kemenkes, 2010) Hasil IMT



Kategori BB Kurang BB Normal BB Lebih BB dengan risiko Obesitas I Obesitas II



90 cm dan pada wanita >80 cm (Kemenkes, 2010). Tabel 4.3 Kategori Lingkar Perut (Kemenkes, 2010) Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki



Normal >80cm 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes. Kadar kolestrol tinggi menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan translokasi transporter glukosa ke membran plasma dan menyebabkan terjadinya resistensi indulin pada jaringan otot dan adiposa (Lemos et al., 2011). 4. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik seperti olahraga dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Penggunaan glukosa oleh otot akan meningkat saat seseorang berolahraga. Hal ini karena glukosa endogen akan ditingkatkan untuk menjaga agar kadar gula di dalam darah tetap seimbang. Pada keadaan normal, keseimbangan kadar gula darah tersebut dapat dicapai oleh berbagai mekanisme dari sistem saraf, regulasi glukosa dan keadaan



35



hormonal. Ketika berolahraga, otot-otot di dalam tubuh akan berkontraksi dengan menggunakan glukosa yang disimpannya sehingga glukosa yang tersimpan akan berkurang. Dalam keadaan tersebut, otot akan mengambil glukosa di dalam darah sehingga glukosa di dalam darah menurun dan hal tersebut dapat meningkatkan kontrol gula darah (Nurayati et Adriani, 2017). Olahraga mampu meningkatkan sensitifitas reseptor insulin sehingga glukosa dapat diubah menjadi energi melalui metabolisme. Salah satu manfaat aktivitas fisik yaitu dapat menurunkan kadar gula darah pada penderita Diabetes Melitus, mencegah kegemukan, berperan dalam mencegah komplikasi, gangguan lipid dan peningkatan tekanan darah (Soegondo et al., 2011). Olah raga akan membantu membakar kalori. Semakin banyak kalori yang terbakar, semakin banyak pula kadar gula yang tersera tubuh. Berdasarkan data pada Magnetic Resonance Imaging atau scam MRI, seorang yang berjalan kaki selama 10 menit setiap hari lemaknya akan terbakar 20%. Ini akan meningkatkan kemampuan otot dalam menyimpan gula. Penelitian yang dilakukan oleh Michael Goran dari University of California menunjukkan gejala adanya kolerasi antara olahraga dengan penyakit diabetes tipe 2. Olah raga ternyata mampu menurunkan resistensi insulin secara signifikan (Nuraini et Supriatna, 2016). 5. Pola makan Pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jadwal makan, frekuensi makan, porsi makan, dan jenis makanan berdasarkan pada faktor-faktor sosial dan budaya dimana mereka hidup (Nawir et al., 2012). Konsumsi makanan yang berlebihan akan menyebabkan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang denagn kebutuhan energi konsumsi makanan tersebut terutama berasal dari jenis makanan sumber karbohidrat dan lemak (Khasanah, 2012). Pola makan yang salah dan



36



cenderung berlebih menyebabkan timbulnya obesitas. Obesitas sendiri merupakan faktor risiko dari penyakit daibetes melitus (Suiraoka, 2012). Pola makan sehat untuk diabetesi adalah 25-30% lemak, 50-55% karbohidrat, dan 20% protein. Menurut Suiraoka (2012), gaya hidup di perkotaan dengan pola makan yang tinggi lemak, garam, dan gula mengakibatkan masyarakat cenderung mengkonsumsi makanan secara berlebihan, selain itu pola makanan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian masyarakat, tetapi dapat mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah. Perubahan pola penyakit ini diduga berhubungan dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan yang tradisional yang banyak mengandung karbohidrat dan serat dari sayuran berubah menjadi pola makan yang kebarat-baratan dan sedikit serat. Komposisi makanan yang tinggi lemak, garam, dan sedikit serat pada makanan siap saji yang pada akhir-akhir ini sangat digemari dikalangan masyarakat Indonesia (Suiraoka, 2012). 6. Merokok Sebuah meta analisis(Willi C, 2007) berdasarkan 25 penelitian kohort menemukan bahwa merokok aktif dikaitkan dengan peningkatan 44% terhadap diabetes mellitus tipe II. Sedangkan hasil penelitian Wang Y (2013), menunjukan merokok pasif dikaitkan dengan peningkatan 28% dengan kejadian diabetes mellitus tipe II. Peningkatan lebih kecil terlihat pada perokok pasif, namun keduanya sama-sama berkaitan secara signifikan dengan peningkatan diabetes tipe II. Hal ini sejalan dengan penelitian Zhang (2011) menunjukkan bahwa paparan asap pada perokok pasif dan merokok aktif secara positif dan secara independen terkait dengan risiko diabetes tipe II. Perokok aktif cenderung berisiko mempunyai obesitas sentral dibandingkan dengan bukan perokok, hal ini dikarenakan merokok mempunyai efek antiestrogen dan dapat merusak keseimbangan hormon serta menyebabkan obesitas sentral dimana obesitas secara keseluruhan dan obesitas sentral mempunyai hubungan yang kuat dalam peningkatan kejadian DM tipe 2 (Yufang et al., 2012). Merokok diidentifikasi sebagai



37



faktor risiko dari resistensi insulin, yang mana merupakan prekursor dari kejadian DM tipe 2 selain itu, merokok dapat memperburuk metabolisme dari glukosa dimana hal tersebut dapat memicu terjadinya DM tipe 2 (Seifu, 2015). Perokok pasif menghisap rokok 75% dari asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok aktif. Nikotin dapat menyebabkan pengurangan sensitivitas insulin dan meningkatnya resistensi insulin. Pada kondisi hiperglikemia, nikotin dan karbonmonoksida mempercepat terjadinya penggumpalan darah. Diabetisi yang merokok cenderung mengalami penyakit yang berkaitan dengan pembuluh darah sehingga lebih banyak mengalami komplikasi kebutaan, impotensi, gagal ginjal dan tindakan amputasi (Kemenkes, 2010). 7. Stress Peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh produksi hormon kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres. Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi, tekanan darah merosot, yang kemudian akan membuat individu tersebut menjadi lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang yang mengalami stres panjang juga akan mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan salah satu faktor risiko diabetes melitus (Siagian, 2012). Fakto lain yang dapat mempengaruhi risiko diabetes mellitus tipe 2 yaitu tingkat pengetahuan dan pendapatan 1. Pengetahuan Tingkat pengetahuan tentang faktor risiko DM berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2. Pengatahuan tentang faktor risiko DM dapat menyadarkan masyarakat menegnai pentingnya menjaga kesehatan sehingga kadar glukosa dalam darah dapat dikendalikan dan tetap berada di batas normal sehingga terhindar dari penyakit DM tipe 2. Kurangnya



pengetahuan



masyarakat



tentang



diabetes



mellitus



mengakibatkan masyarakat baru sadar terkena penyakit diabetes mellitus



38



setelah mengalami sakit parah. Sebagian besar penderita DM pun baru mencari tahu dan mempelajari penyakit DM serta faktor risikonya setelah mereka didiagnosa menderita penyakit tersebut (Azriful et al, 2018). 2. Pendapatan Tingkat pendapatan seseorang yang berbeda-beda bergantung jenis pekerjaan. Tingkat sosial ekonomi rendah berhubungan denga rendahnya kualitas ekonomi. Hal merupakan penyebab terjadinya kualitas hidup yang rendah pada masyarakat, sehingga pengetahuan dan manajemen perawatan dini pada masyarakat dalam mengatasi penyakit, salah satunya DM tipe 2, sangat buruk (Setyaningrum et Sugianto, 2015).



I. Patogenesis Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. DM terjadi karena insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans di dalam pankreas tidak ada atau tidak cukup atau terjadinya resistensi insulin akibatnya glukosa tidak bisa dimasukkan ke dalam sel dan sel akan kekurangan energi. Glukosa yang tidak bisa masuk ke dalam sel tersebut akan terus beredar di dalam darah sehingga lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (Riyadi et Sukarmin, 2008). Pada DM tipe 2, terjadi resistensi insulin dimana insulin yang telah diproduksi tidak bisa digunakan oleh sel sebagaimana mestinya. Kondisi ini akan membuat sel β pankreas terus memproduksi insulin dalam jumlah lebih besar agar glukosa di dalam darah bisa masuk ke dalam sel. Jika kondisi terjadi terus menerus maka pankreas tidak mampu memenuhi peningkatan insulin dan terjadilah hiperglikemia (Riyadi et Sukarmin, 2008). Berdasarkan DeFronzo (2009), selain otot, liver dan sel beta, terdapat organ lain yang berperan dalam pathogenesis DM yang disebut sebagai omnius octet (Gambar 3.1), yaitu jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin).



39



Gambar 4.1 Omnius octet sebagai pathogenesis diabetes mellitus (DeFronzo, 2009) Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut (DeFronzo, 2009): 1.



Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.



2. Liver Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis. 3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.



40



4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion. 5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1)



dan



GIP



(glucose-dependent



insulinotrophic



polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.



Saluran



pencernaan



juga



mempunyai



peran



dalam



penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa. 6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.



41



7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya. 8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang



obes



baik



yang



DM



maupun



non-DM,



didapatkan



hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin. J. Penegakan Diagnosis Diabetes Melitus (DM) dapat dicurigai melalui gejala yang muncul pada penderita DM. Gejala klasik DM diantaranya yaitu sering buang air kecil (poliuria), cepat haus (polidipsi), mudah lapar (polifagi), dan penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya. Keluhan lain yang dapat ditemukan pada penderita DM adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Namun, untuk menegakkan diagnosis DM diperlukan pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan dengan metode enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal maupun kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes (Perkeni, 2015).



42



Kriteria diagnosis seorang pasien menderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut (Perkeni, 2015): a. Pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. b. Pemeriksaan glukosa darah ≥200mg/dl 2 jam post-prandial setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram c. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik d. Pemeriksaan



HbA1c



≥6,5%



dengan



menggunakan



metode



yang



terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NSGP). Tabel 4.5 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes (Perkeni, 2015)



Diabetes Prediabetes Normal



HbA1c (1%) ≥6,5 5,7-6,4 140i90mmHg) 4) Riwayat keiuarga DM 5) Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr. 6) Dislipidemia (HDL 250 mg/dL) 7) Pernah TGT atau glukosa darah pasa terganggu (GDPT) Untuk pencegahan primer harus dikenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut. Oleh karena sangat penting dalam pencegahan ini. Sejak dini hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk:, dan risiko merokok bagi kesehatan (Sujaya, 2009). c. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi: 1) Penyuluhan 2) perencanaan makanan 3) latihan jasmani 4) obat berkhasiat hipoglikemik. d. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama dirumah sakit rujukan,



48



misalnya para ahli sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung, mata, rehabilitasi medis, gizi dan lain-lain (Slamet, 2008). M. Kerangka Teori



Stress



Merokok



Alkohol



Pola Makan Tinggi Karbohidrat



Kurang aktivitas fisik



Hipertensi Usia Obesitas Jenis Kelamin Penebalan endotel pembuluh darah



Sensitivitas Insulin ↓



Trasnlokasi transporter glukosa ke membran sel ↓ Transport glukosa ke dalam sel terganggu



Glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel Hiperglikemia Diabetes Mellitus



Gambar 4.2 Kerangka Teori Keterangan : : Faktor yang dapat diubah : Faktor yang tidak dapat diubah : Variabel yang diteliti



Riwayat Keluarga DM



49



N. Kerangka Konsep Faktor risiko yang dapat diubah : 1. Aktivitas Fisik 2. Obesitas 3. Pola Makan 4. Merokok 5. Stress 6. Tingkat Pengetahuan 7. Pendapatan



Faktor risiko yang tidak dapat diubah : 1. Riwayat Keluarga DM 2. Usia 3. Jenis Kelamin



Diabetes Mellitus Tipe 2



V.



METODE PENELITIAN



A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional. Observasi atau pengukuran variabel dilakukan pada waktu yang bersamaan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko penyakit Diabetes Melitus tipe dua pada masyarakat wilayah kerja Puskemas Kemranjen I tahun 2018. B. Populasi dan Sampel 1. Populasi a. Populasi target Populasi pada penelitian ini adalah seluruh warga Kemranjen di wilayah Puskesmas Kemranjen I . b. Populasi terjangkau Warga Desa Kecila, Kecamatan Kemranjen. 2. Sampel a. Metode pengambilan sampel Proportional stratified random sampling adalah teknik pengambilan sampel pada populasi yang heterogen dan berstrata dengan mengambil sampel dari tiap tiap sub populasi yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah anggota dari masing-masing sub populasi secara acak atau serampangan. Teknik pengambilan sampel secara proportional stratified random sampling digunakan dengan tujuan untuk memperoleh sampel yang representatif (Sastroasmoro & Sofyan, 2014). b. Besar sampel Perhitungan rumus besar sampel pada penelitian dilakukan dengan rumus: 𝑛=[



𝑍𝛼+𝑍𝛽



0,5𝐼𝑛 (



n



= Jumlah sampel



α



= kesalahan tipe satu 5%



50



1+𝑟 ) 1−𝑟



]2 + 3



51







= 1,96



β



= kesalahan tipe dua 10%







= 1,64



r



= koefisien korelasi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 0,5



Dengan rumus ini didapatkan sampel minimal:



𝑛=[



1,96+1,64



0,5𝐼𝑛 (



]2 +3



1+0,5 ) 1−0,5



n = 38 Berdasarkan perhitungan sampel di atas, maka besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 38 orang. a. Kriteria Inklusi 1) Usia 20-80 tahun. 2) Bersedia menjadi responden. b. Kriteria Eksklusi 1) Wanita hamil 2) Mengalami disabilitas (tidak memiliki anggota tubuh seperti tangan maupun kaki) O. Variabel Penelitian a.



Variabel Bebas Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Diabetes mellitus, diantaranya usia, jenis kelamin, pendidikan pendapatan, riwayat keluatga, aktivitas fisik, pola makan, stress, merokok, alcohol, obesitas merupakan variabel terikat pada penelitian ini, skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal danordinal.



b.



Variabel Terikat Kejadian Diabetes mellitus merupakan variabel terikat pada penelitian ini. Skalapengukuran yang digunakan adalah skala nominal.



52



P. Definisi Operasional Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel Diabetes Melitus (DM) tipe 2



Definisi



Merupakan gangguan metabolik yang ditandai tingginya kadar gula darah sewatu >200 mg/dl dan disertai dengan gejala klasik DM (poliuri, polidipsi, polifagi) Dikategorikan menjadi: 1. DM tipe 2 2. Normal Jenis Kelamin Jenis kelamin responden dikategorikan menjadi: 1. Laki-laki 2. Perempuan Umur Merupakan lama waktu hidup responden dihitung dalam tahun sejak lahir sampai ulang tahun terakhir pada saat penelitain. Umur dikelompokkanmenjadi 2 kategori, yaitu: 1. ≤45 tahun 2. >45 tahun 3. Riwayat Ada atau tidaknya keluarga yang keluarga menderita DM tipe 2, yaitukakek dan atau nenek,bapak dan atau ibu kandung. Dikategorikan menjadi: 1. Memiliki riwayat keluarga DM tipe 2 2. Tidak memiliki riwayat keluarga DM tipe 2 Tingkat aktivitas 1. Ringan (tidak termasuk dalam fisik kategori sedang dan berat) 2. Sedang (skor total MET individu sebesar ≥ 600 MET menit/minggu dan ≥5 hari/minggu beraktivitas fisik) 3. Berat (skor total MET individu sebesar ≥ 3000 MET dan ≥7 hari/minggu beraktivitas fisik) Obesitas Kondisi dimana seseorang memiliki IMT>25,0.IMT diukur dengan rumus berat badan (kg) dibagi kuadrat dari tinggi badan (meter). Dikategorikan menjadi : 1.Obesitas (IMT ≥ 25,0)



Alat Ukur Glukometer



Skala Nominal



Nominal



Nominal



Kuesioner



Nominal



Kuesioner aktivitas fisik International Physical Activity Questionnaire (IPAQ)



Ordinal



Timbangan badan dan midline



Nominal



53



Pola makan



Merokok



2.Tidak obesitas ( IMT < 25,0) Pola makan merupakah kebiasaan Kuesioner makan atau minum yang mengandung gula atau karbohidrat yang dilakukan sehari-hari dalam periode waktu tertentu. Hasil interpretasi: 1. Sering, jika makan/minum yang mengandung karbohidrat 3-6 kali per hari. 2. Kadang, jika makan/minum yang mengandung karbohidrat 1-2 kali per hari. 3. Jarang, jika makan/minum yang mengandung karbohidrat belum tentu satu hari sekali. Perilaku menghisap batang rokok Indeks atau menghirup asap rokok yang Brinkman dibakar dan atau pernah merokok dalam sehari-hari. Dikategorikan menjadi:



Ordinal



Ordinal



1.Perokok Berat (Indeks Brinkman ≥ 600) 2.Perokok Sedang (Indeks Brinkman 200-599) 3.Perokok Ringan (Indeks Brinkman 1-199) 4.Perokok Pasif (Ada Perokok Aktif diLingkungan Rumah/Tempat Kerja) 5.Bukan Perokok Pasif/Aktif Stress



Respon nonspesifik terhadap Kuesioner berbagai perintah yang menekan Depression keadaan psikis seseorang dalam 1 bulan terakhir. Anxiety Stress Dikategorikan menjadi: 1. Normal (skor 0-69) 2. Stress ringan (skor 69-78) 3. Stress sedang (skor 78-86) 4. Stress berat (skor 86-89) 5. Stress sangat berat (skor 89-91)



Scale (DASS)



Ordinal



54



Pengetahuan



Kategori tingkat pengetahuan dibagi Kuesioner



Ordinal



menjadi tiga tingkatan (skala Guttman) : 1. Kurang : skor UMK Banyumas



Q. Instrumen Pengambilan Data Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner, yang digunakan



untuk



melakukan



wawancara



secara



sistematis



untuk



mengumpulkan data primer. Wawancara selanjutnya dilakukan dengan mendatangi rumah warga satu per satu. R. Rencana Analisis Data Analisis



data



yang digunakan dalam penelitian ini



adalah sebagai



berikut: 1. Analisis



univariat



digunakan



untuk



menggambarkan



karakteristik



responden. Masing-masing variabel hasil penelitian didiskripsikan dan dilihat frekuensi serta presentasinya. 2. Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas dan variabel terikat menggunakan uji Chi Square. Data yang tidak memenuhi syarat uji Chi Square, maka analisis dilakukan dengan menggunakan uji alternatif Fisher Exact Test. Untuk menganalisis hasil pre-test dan posttest dilakukan dengan uji Wilcoxon. 3. Analisis multivariat yang digunakan adalah uji regresi logistik untuk mengetahui variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap variabel



55



terikat setelah dianalisis bersamasama. Variabel yang dimasukkan untuk analisis regresi logistik adalah variabel dengan nilai p45 tahun Riwayat Keluarga a. Memiliki riwayat keluarga DM tipe 2 b. Tidak memiliki riwayat keluarga DM tipe 2 Aktivitas Fisik a. Ringan b. Sedang c. Berat Obesitas a. Obesitas b. Tidak Obesitas Pola Makan a. Sering b. Kadang c. Jarang Merokok a. Perokok Berat b. Perkok Sedang



Frekuensi



Presentasi (%)



10 29



25,6 74,4



4 35



10,3 89,7



5 34



12,8 87,2



9 20 10



23,1 51,3 25,6



15 24



38,5 61,5



32 7 0



82,1 17,9 0



2 3



5,1 7,7



57



8



9



10



c. Perokok Ringan d. Perokok Pasif e. Bukan perokok aktif/pasif Stress a. Normal b. Stress ringan c. Stress sedang d. Stress berat e. Stress sangat berat Tingkat Pengetahuan a. Kurang b. Baik Pendapatan a. Rendah b. Cukup



1 16 17



2,6 41 43,6



37 2 0 0 0



94,9 5,1 0 0 0



39 0



100 0



26 13



66,7 33,3



Hasil analisis data univariat menunjukkan jumlah sampel perempuan sebanyak 29 orang (74,4%) dan laki-laki 10 orang (25,6%). Sampel dengan usia ≤45 tahun sebanyak 4 orang (10,3%) dan >45 tahun sebanyak 35 orang (89,7%). Sampel yang memiliki riwayat keluarga DM Tipe 2 sebanyak 5 orang (12,8%), sedangkan sampel yang tidak memiliki riwayat keluarga DM Tipe 2 sebanyak 34 orang (87,2%). Tingkat aktivitas fisik sampel mayoritas termasuk ke dalam kategori sedang yaitu sebanyak 20 orang (51,3%), kemudian diikuti dengan aktivitas fisik berat (25,6%) dan ringan (23,1%). Sampel yang mengalami obesitas sebanyak 15 orang (38,5%) dan 24 orang (61,5%) tidak obesitas. Pola makan atau kebiasaan konsumsi karbohidrat sampel mayoritas termasuk ke dalam kategori sering yaitu sebanyak 32 orang (82,1%), dan 7 orang (17,9%) termasuk ke dalam kategoi kadang. Mayoritas sampel adalah bukan perokok aktif/pasif yaitu sebanyak 17 orang (43,6%). Sampel dengan tingkat stress normal yaitu sebanyak 37 orang (94,9%) dan stress ringan 2 orang (5,1%). Tingkat pengetahuan seluruh sampel adalah kurang (100%), sedangkan pendapatan sampel yang termasuk ke dalam kategori cukup yaitu sebanyak 13 orang (33,3%). 2. Hasil Analisis Data Bivariat Analisis data bivariat menggunakan uji Chi Square apabila memenuhi syarat yaitu tidak ada sel yang memiliki nilai expected kurang dari lima.



58



Apabila terdapat satu sel atau lebih yang memiliki nilai expected kurang dari lima maka menggunakan uji Fisher. Tabel 6.2 Hasil Analsis Data Bivariat Variabel Jenis Kelamin Umur Riwayat Keluarga Aktivitas Fisik Obesitas



Pola makan



Merokok



Stress



Tingkat Pengetahuan Pendapatan



DM n 5 17 1 21 5 17 6 10 6 7



Kategori Laki-laki Perempuan ≤45 tahun >45 tahun DM Non-DM Ringan Sedang Berat Obesitas Tidak Obesitas Sering Kadang jarang Perokok berat Perokok sedang Perokok ringan Peorkok pasif Bukan perokok Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat Kurang Baik Rendah Cukup



6



Non-DM n 5 12 3 14 0 17 3 10 4 8



15



9



21 1 0 1



11 6 0 1



1



2



1



0



5



11



14



3



20 2 0 0 0 22 0 16



17 0 0 0 0 17 0 10 7



Nilai p 0,721 0,300 0,056



Interpretasi Tidak signifikan Tidak signifikan Tidak signifikan



1,000



Tidak signifikan



0,332



Tidak signifikan



0,030



Signifikan



0,035



Signifikan



0,495



Tidak signifikan



0,361



Tidak dapat dianalsis Tidak signifikan



Berdasarkan Tabel 6.2 didapatkan hasil uji komparatif antara faktor risiko DM Tipe 2 dengan kejadian DM Tipe 2. Hasil analisis statistik menunjukkan faktor risiko pola makan memiliki nilai p=0,030 atau p