Laporan Kasus CHF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I LAPORAN KASUS I. Identitas Pasien Nama : Ny. E Usia : 59 tahun Alamat : Jl. Rawa Jaya rt: 007 rw: 04 No. 40 kel. Pondok Kopi, kec. Duren Sawit, Status Agama Suku Pekerjaan Pendidikan Nomor RM Jaminan



Jakarta Timur : Menikah : Budha : Jawa : Ibu Rumah Tangga : SMA : 78.77.50 : Umum



II. Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 04 November 2015 pukul 21.20 WIB di IGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi. a. Keluhan Utama: Sesak nafas yang memberat sejak tadi siang sebelum masuk RS b. Keluhan Tambahan: Batuk kering dan kedua kaki bengkak c. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak tadi siang sebelum masuk RS. Awalnya sesak dirasakan mulai timbul ± 1 bulan yang lalu, sesak timbul jika pasien melakukan aktifitas fisik berat seperti berolahraga lari-lari ringan. Sejak ± 2 minggu yang lalu pasien merasa sesak semakin bertambah parah dan timbul jika pasien menaiki tangga di rumahnya. Di malam hari pasien biasanya terbangun karena sesak sehingga merasa lebih nyaman jika tidur dengan 2 atau 3 bantal. Sejak tadi siang pasien mengaku keluhan sesak nafasnya semakin memberat sehingga membuat pasien tidak bisa beraktifitas seperti biasa hanya bisa duduk saja untuk mengatasi sesaknya. Pasien merasa sesaknya semakin bertambah jika pasien dalam kondisi berbaring sehingga pasien memilih untuk duduk. Selain sesak nafas, pasien mengaku 1 minggu ini sering batuk kering dan kedua kaki mulai bengkak yang semakin membesar. Pasien juga 1



mengeluh lemas dan menurunnya nafsu makan semenjak keluhan sesak dirasakan. Selama ini pasien belum pernah memeriksakan kesehatannya ke dokter untuk mengatasi keluhan sesaknya. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu, ataupun saat emosi. Sesak nafas juga tidak disertai bunyi mengi dan nyeri dada. Keluhan berdebar debar dan berkeringat dingin disangkal oleh pasien. d. Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien mengakui menderita penyakit hipertensi sejak 4 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat ataupun kontrol ke dokter. Pasien juga memiliki penyakit kencing manis dan minum obat Metformin 2 x 500 mg dan Glimepirid 1 x 2 mg. Penyakit asma atau nyeri dada sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat alergi terhadap obat-obatan ataupun makanan juga disangkal oleh pasien. e. Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien tidak mengetahui adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit hipertensi ataupun kencing manis. f. Riwayat Kebiasaan: Pasien menyangkal merupakan seorang perokok. Pasien juga jarang berolahraga dan kegiatan pasien hanya sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari berada di dalam rumah. III.Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : tampak sakit berat Kesadaran : compos mentis GCS : E4V5M6 = 15 Tanda Vital : TD : 130/80 mmHg RR : 34 x/ menit Nadi : 168 x/ menit S : 36,70 C Status Generalis: Kepala : normocephali Mata : CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+ Hidung : pernapasan cuping hidung – Telinga: MT intake +/+, serumen -/Mulut : bibir sianosis -, mukosa bibir kering – Leher : JVP tidak meningkat Thorax Paru Inspeksi : bentuk dada normal, simetris, retraksi otot bantu pernapasan – Palpasi : vocal fremitus di kedua lapang paru simetris Perkusi : sonor di kedua lapang paru, redup di kedua basal paru Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki basal halus +/+, wheezing -/Jantung 2



Inspeksi Palpasi Perkusi



Auskultasi Abdomen : Inspeksi Auskultasi Palpasi



: ictus cordis tidak terlihat : ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra : batas jantung kanan di ICS III-IV linea sternalis dextra batas jantung kiri atas di ICS II linea parasternalis sinistra batas jantung kiri bawah di ICS IV 2 cm lateral linea midclavicula sinistra : bunyi jantung I- II regular, murmur - , gallop – : datar, tidak tampak massa, tidak tampak efloresensi bermakna : bising usus 6-8 x / menit, bruit – : supel, nyeri tekan-, tidak teraba massa, hepatomegali -,



splenomegali –, hepatojugular reflex Perkusi : timpani di 4 kuadran Ekstremitas : Superior : CRT < 2 detik +/+ Akral hangat +/+ Edema pitting -/Inferior : CRT < 2 detik +/+ Akral hangat +/+ Edema pitting +/+ IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Tanggal 04 November 2015 Jenis



Hasil



Nilai Normal



Hemoglobin



13,1



12,5 – 15,5 mg/Dl



Leukosit



19.800



5000 – 10000 / uL



Hematokrit



38



37 – 47 %



Trombosit



299000



150000 – 400000 / uL



Natrium



130



132 – 145 mmol/ L



Kalium



3,63



3,50 – 5,50 mmol / L



Chloride



105



98 – 110 mmol/ L



SGOT



184, 70



10 – 35 U/L



SGPT



132, 10



10 – 45 U/L



Hematologi Rutin



Elektrolit



Kimia Darah



3



Aceton Blood



0,3



< 0,6 mmol/ L



Urea



42



10 – 50 mg/ dL



Creatinin



1,1



0,51 – 0,95 mg / dL



GDS (18.00 WIB)



474



< 200 mg/dL



PH



7, 474



7, 400 – 7, 500



PCO2



23



35 – 46 mmHg



PO2



97, 7



71 – 104 mmHg



HCO3



20, 4



22 – 26 mmol / L



Base Excess



-7, 1



-2, 00 – 3, 00 mmol / L



Saturasi O2



98, 1



94 – 98 %



Analisa Gas Darah



Rontgen Thorax PA



:   



CTR > 50 % Paru dalam batas normal Kesan : kardiomegali



EKG 4



Interpretasi EKG: Irama QRS rate Axis Gelombang P PR interval Gelombang QRS ST – T changes LVH, RVH Kesan



: bukan sinus rhythm (atrial fibrilasi) : 200 x / menit : normal axis : tidak didapatkan gelombang P, P mitral -, P pulmonal – :tidak dapat diukur : normal, tidak melebar, Q patologis + d lead avR ::+ : Atrial Fibrilasi Rapid Ventrikular Respon, LVH



V. Resume Pasien perempuan usia 59 tahun datang diantar oleh keluarganya ke IGD RS Islam Jakarta Pondok Kopi dengan keluhan sesak nafas yang semakin memberat sejak tadi siang sebelum masuk RS. Awalnya sesak dirasakan mulai timbul ± 1 bulan yang lalu, sesak timbul jika pasien melakukan aktifitas fisik berat seperti berolahraga lari-lari ringan. Sejak ± 2 minggu yang lalu pasien merasa sesak semakin bertambah parah dan timbul jika pasien menaiki tangga di rumahnya. Di malam hari pasien biasanya terbangun karena sesak sehingga merasa lebih nyaman jika tidur dengan 2 atau 3 bantal. Sejak tadi siang pasien mengaku keluhan sesak nafasnya semakin memberat sehingga membuat pasien tidak bisa beraktifitas seperti biasa hanya bisa duduk saja untuk mengatasi sesaknya. Pasien merasa sesaknya semakin bertambah jika pasien dalam kondisi berbaring sehingga pasien memilih untuk duduk. Selain sesak nafas, pasien mengaku 1 minggu ini sering batuk kering dan kedua kaki mulai bengkak yang semakin membesar. Pasien juga mengeluh lemas dan menurunnya nafsu makan semenjak keluhan sesak dirasakan. Selama ini pasien belum pernah memeriksakan kesehatannya ke dokter untuk mengatasi keluhan sesaknya. Sesak nafas tidak dipengaruhi oleh cuaca, debu, ataupun saat emosi. Sesak nafas juga tidak disertai bunyi mengi dan nyeri dada. Keluhan berdebar debar dan berkeringat dingin disangkal oleh pasien. Pada riwayat penyakit dahulu ditmeukan bahwa pasien menderita penyakit hipertensi sejak 4 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat ataupun kontrol ke dokter serta pasien juga memiliki penyakit kencing manis dan minum obat Metformin 2 x 500 mg dan Glimepirid 1 x 2 mg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien tampak sakit berat, TD: 130/ 80 mmH, Nadi: 168 x/menit, RR: 34 x/menit. Pada pemeriksaan paru auskultasi ditemukan suara nafas vesikuler, rhonki basal halus +/+. Dan ditemukan udem pitting pada kedua ekstremitas inferior. 5



Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya leukositosis, peningkatan gula darah sewaktu, dan hasil analisa gas darah menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi penuh. Pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan adanya pembesaran jantung (CRT > 50%) dan EKG menunjukkan tanda atrial fibrilasi rapid ventricular respon dan tanda hipertrofi ventrikel kanan dan kiri. VI. Diagnosis  Atrial Fibrilasi Rapid Ventricle Respon  Congestive Heart Failure NYHA II-III  Diabetes Melitus Tipe 2 Tidak Terkontrol



VII. Terapi Farmakologis :  O2 nasal kanul 3 liter per menit  IVFD Asering 16 tetes per menit  Pasang DC : urin jernih, darah -, volume 400 cc  Inj. Lasix 1 ampul iv  Inj. Lanoxin ½ ampul iv  dilanjutkan ½ ampul iv  Konsultasi dr. Sp. JP : - Anjuran rawat ICU - Inj. Lanoxin ½ ampul  6 jam kemudian lanjutkan ½ ampul berikutnya - Inj. Lasix 2 x 1 ampul - Digoxin 1x1 tablet - Aldacton x 25 mg - Ramipril 1 x 2,5 mg - Simarc 1 x 2 mg - Konsultasi ke dr Sp. PD  Konsultasi dr.Sp. PD : - SC / 6 jam - Koreksi gula darah 5 IU (mulai dari 200 – 250 mg/Dl) - Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr Non Farmakologis :  Total Bed Rest  Restriksi cairan  Diet rendah garam  Edukasi VIII. Pemeriksaan Anjuran 1. EKG Serial 6



2. Profil Lipid ( Kolesterol Total, LDL, HDL, Trigliserida) 3. Ekokardiogram IX. Prognosis Ad Vitam : Dubia Ad Bonam Ad Funtionam : Dubia Ad Malam Ad Sanationam : Dubia Ad Malam



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



7



2.1 Congestive Heart Failure Definisi Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan masalah kesehatan di dunia1. Gagal jantung juga merupakan salah satu masalah kardiovaskuler yang menjadi masalah serius di Amerika. American Heart Association (AHA) pada tahun 2004 melaporkan 5,2 juta penduduk di Amerika Serikat menderita gagal jantung. Asuransi kesehatan Medicare USA paling banyak mengeluarkan biaya untuk diagnosis dan pengobatan gagal jantung.2 Gagal jantung merupakan sindrom kompleks dimana seseorang harus memiliki gejala khas gagal jantung yaitu sesak saat istirahat atau aktifitas, serta tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki, dan meliputi tanda khas gagal jantung seperti takikardi, takipneu, ronki, efusi pleura, peningkatan JVP, edema perifer, dan hepatomegali. Serta didapatkan bukti objektif kelainan structural atau fungsional jantung saat istirahat yaitu kardiomegali, bunyi jantung 3, murmur, kelainan pada ekokardiografi, peningkatan natriuretic peptide. Pada gagal jantung terjadinya ketidakmampuan jantung untuk menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.3 Etiologi Penyebab gagal jantung antara lain adalah infark miokardium, miopati jantung, defek katup, malformasi congenital dan hipertensi kronik. Penyebab spesifik gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri, hipertensi paru, dan PPOK . Berikut adalah etiologi gagal jantung akibat etiologi penyebabnya: 







1



Pengisian volume yang abnormal:  Inkompetensi aorta  Inkompetensi mitral  Inkompetensi trikuspidal  Overtransfusi  Pirau kiri ke kanan  Hipervolemia sekunder Tekanan pengisian yang abnormal:  Stenosis aorta  Hipertrofi Idiopatik 8











 Stenosis Subaorta  Koarktasio aorta  Hipertensi Disfunsi miokard:  Kardiomiopati  Miokarditis  Penyakit arteri koroner  Iskemik  Infark  Disritmia  Presbikardia Gangguan pengisian  Stenosis mitral  Stenosis tricuspid  Tamponade jantung



Patofisiologi Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolism dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankna cardiac output (volume darah yang dipompa oleh ventrikel per menit). Cardiac output dipengaruhi oleh perputaran denyut jantung dan pengaturan curah sekuncup. Mekanisme kompensai meliputi 1). Respon sistem saraf simpatik terhadap baroreseptor atau kemoreseptor, 2) Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume, 3) vasokontriksi arteri renal dan aktivitas sistem rennin angiotensin, 4) respon-respon terdap serum sodium dan regulasi ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk menentang peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dan arteri koronaria, menurunkan cardiac output dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan tekanan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Dengan kata lain, apabila kebutuhan oksigen tidak terpenuhi maka serat otot jantung semakin hipoksia, sehingga kontraktilitas berkurang.



9



Hipertensi sistemik yang kronik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertropi dan melemah. Hipertensi paru yang berlangsung lama akan menyebabkan ventrikel kanan mengalami hipertropi dan melemah. Ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium kiri, lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka darah akan mulai terkumpul di sistem vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta perburukan siklus gagal jantung. Kenaikan tekanan vena pulmo mengakibatkan terjadinya transudasi cairan dari kapiler ke dalam jaringan alveoli dan hal ini menyebabkan sesak napas. Pegurangan curah jantung dan volume darah arteri berakibat perubahan aliran darah ginjal. Pengaktifan sistem saraf simpatik dan sistem angiotensin menyebabkan vasokonstriksi arteriola dan pemintasan aliran darah menjauhi kortek perifer. Jadi kadar filtrasi glomeruli seiring dengan peningkatan reabsoprsi tubuli proksimal dan keduanya menyebabkan retensi garam dan air. Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, terjadi dilatasi dari ruang, peningkatan volume dan tekanan pada diastolic akhir ventrikel kanan, tahanan untuk mengisi ventrikel dan peningkatan tekanan ini sebaliknya memantulkan ke hulu vena kava dan dapat diketahui dengan peningkatan pada tekanan vena jugularis. Retensi natrium dan air dapat terakumulasi pada rongga abdominal akibat peningkatan tekanan intravaskuler yang mendorong cairan keluar dari sirkulasi portal, yang dikenal sebagai ascites. Hal ini menimbulkan manifestasi seperti mual, muntah, atau anoreksia. Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Tanda dan gejala gagal jantung kiri adalah adanya dispnea, ortopnea, dispnea nocturnal paroksismal, batuk iritasi, oedema pulmonal akut, penurunan curah jantung, irama gallop, crakles paru, disritmia, pernapasan cheyne stoke. Untuk gagal jantung kanan ditandai dengan curah jantung rendah, distensi vena jugularis, edema, dependen disritmia, penurunan bunyi napas.



10



Pemeriksaan penunjang untuk CHF dapat bermacam-macam. Diantaranya adalah: o EKG: Hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis dan iskemia o Sonogram: Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi struktur katup atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler. o Rontgen dada: dapat menunjukkan perbesaran jantung, bayangkan mencerminakan dilatasi/hipertropi bilik o Enzim hepar: meningkat dalam gagal/kongestif hepar o Elektrolit: mungkin berubah karena penurunan fungsi ginjal o Analisa gas darah: gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan atau hiposemia o BUN: peningkatan BUN menandakan penurunan fungsi ginjal o Kreatinin: Peningkatan merupakan indikasi gagal jantung Kriteria Framingham untuk diagnosis CHF adalah sebagai berikut: 



Kriteria Mayor  Paroksismal nocturnal dispnea  Distensi vena leher  Kardiomegali pada gambaran radiologis  Edema paru akut  Ronki paru  Gallop S3  Refleks hepatojugular 11







 Didapatkan edema paru, kongesti visceral, atau kardiomegali pada otopsi  Peninggian tekanan vena jugularis Kriteria Minor  Edema tungkai bilateral  Batuk malam hari  Sesak napas saat beraktifitas normal  Hepatomegali  Efusi pleura  Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal  Dispnea d’effort  Takikardia (>120/menit) Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat 2 gejala mayor atau 1 gejala



mayor dan ditambah dengan dua gejala minor. New York Heart Association (NYHA) menetapkan klasifikasi sesak napas berdasarkan aktifitas:    



Derajat I : Tidak ada gejala bila melakukan kegiatan fisik biasa Derajat II : Timbul gejala bila melakukan aktifitas fisik biasa Derajat III: Timbul gejala sewaktu melakukan kegiatan fisik ringan Derajat IV : Timbul gejala pada saat istirahat



Penatalaksanaan Terapi Medikamentosa  Obat yang mempengaruhi kerja angiotensin II Gagal jantung fase kompensata terjadi akibat aktifitas baik sistem simpatis maupun sistem rennin angiotensin aldosteron, disini angiotensin II dan aldosteron merupakan respon neuro-humoral yang mengakibatkan gangguan pada jantung, sehingga sesudah sewajarnya diperlukan agen yang mampu menghambat aktifitas keduanya. ACE adalah suatu zat yang diperlukan dalam konversi dari angiotensin I menjadi angiotensin II di dalam sistem RAA. Sistem ini juga berpengaruh terhadap hipertensi, namun yang lebih penting lagi adalah efek remodeling pada target organ sehingga menimbulkan gangguan fungsi target organ.  Diuretika Diuretika dianjurkan diberikan pada semua gagal jantung kongestif dimana agen ini lebih bersifat simptomatis daripada proteksi di organ target. Pada gagal jantung kongestif loop diuretika (furosemid) lebih dianjurkan dibandingkan golongan tiazid . Namun demikian 12



pemakaian lama diuretika jenis ini dapat mengakibatkan aritmia yang ganas. Sebaliknya kombinasi furosemid dengan spironolakton (diuretic hemat kalium) tidak meningkatkan risiko aritmia ganas. Bahkan spironolakton direkomendasikan untuk diberikan pada gagal jantung berat (NYHA III-IV) guna memperbaiki baik angka kesakitan maupun angka kematian.  Penghambat Beta Pada masa yang lalu penghambat beta merupakan kontraindikasi pada semua klas fungsional gagal jantung dan telah dibuktikan dapat menurunkan baik angka kematian maupun angka kesakitan pada gagal jantung. Pada penelitian CIBIS II, penambahan bisoprolol pada terapi dengan diuretika dan penghambat ACE pada pengobatan penderita gagal jantung dapat menurunkan angka kematian oleh sebab apapun sebesar 32%, kematian mendadak 45%, masuk rumah sakit 29% dengan tanpa efek samping yang berarti. Namun demikian beberapa keadaan seperti asma bronkiale dan bradikardi tidak dianjurkan pemberian penghambat beta.  Digitalis Dahulu digitalis merupakan indikasi utama pada pengobatan gagal jantung, akan tetapi akhir-akhir ini sudah tidak merupakan indikasi utama walaupun masih bisa digunakan sebagai tambahan terapi pada penderita gagal jantung yang dengan pemberian obat konvensional masih belum membaik. Saat ini digitalis lebih dipakai untuk tujuan mengontrol frekuensi ventrikel yang terlalu cepat baik pada atrial takikardi, flutter, maupun fibrilasi.  Agen anti aritmia Pada umumnya anti aritmia dipakai pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi dimana respon ventrikelnya sangat cepat. Disini fungsi anti aritmia hanyalah mengontrol frekuensi ventrikel sehingga masa diastolnya lebih panjang oleh karenanya isi ventrikel saat diastole makin besar dan strok volume akan meningkat. Anti aritmia yang paling sering dipakai adalah amiodaron, namun amiodaron ini punya efek toksik pada paru, hepar, dan tiroid dan juga mempunyai efek inotropik negative sehingga tidak tepat untuk gagal jantung berat.  Anti koagulan Pemberian anti koagulan warfarin pada pasien gagal jantung berat dengan irama sinus masih merupakan kontroversi. Oleh karena itu perlu pertimbangan masak terapi anti koagulan pada gagal jantung, dan mesti sangat dipertimbangkan efek dan risikonya. Pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi, warfarin dapat member manfaat menurunkan risiko terjadinya trombo-emboli maupun stroke. Tidak semua pusat rumah sakit yang menangani 13



gagal jantung memakai anti koagulan secara rutin untuk semua pasiennya dengan gangguan fungsi ventrikel sedang sampai berat dimana tidak ada kontraindikasinya. Terapi lainnya Ada banyak terapi tambahan yang lain dan biasanya dilakukan di negara maju maupun yang sedang berkembang termasuk di Indonesia, diantaranya pemasangan defibriliator secara implant, biventricular pacing, ventricular assist devices. Demikian juga tindakan bedah seperti transplantasi jantung, Coronary Artery Bypass Grafting (CABG), rekonstruksi katup mitral pada disfungsi ventrikel kiri, Ventricular Reduction Surgery. 2.2 Atrial Fibrilasi Definisi Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung.4 AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal elektrik yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa diakibatkan oleh gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa gangguan dari keduanya. Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan irama jantung dan peningkatan denyut jantung. Secara umum, gangguan AF dapat dikatakan sebagai takikardi, karena denyut jantung pada AF mencapai lebih dari 100x/menit. Takikardi sendiri dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu takikardi



supraventrikuler



dan takikardi



ventrikuler. AF



merupakan



takikardi



supraventrikuler, dimana gangguan potensial aksi ataupun konduksi berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi nodus SA, nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran takikardi supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler. Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol atium, flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme terjadinya melalui 2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry. Pada aktivasi lokal lebih 14



didominasi karena adanya fokus ektopik pada vena pulmonalis superior, sedangkan multiple wavelets reentry lebih cenderung disebabkan oleh pembesaran atrium, pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Selain itu, sebenarnya masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak jantung prematur, aktivitas saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan peningkatan usia. Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan berpengaruh pada penurunan cardiac output, karena kontraksi jantung tidak sempurna walaupun terjadi proses depolarisasi yang berulang. Hilangnya koordinasi proses mekanik lebih disebabkan karena cepat dan seringnya depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada AF mempunyai sifat yang tidak sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga tidak bisa maksimal. Selain itu, peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada atrium akan direspon secara fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan denyut jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan potensial aksi pada atrium yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut pada ventrikel. Penurunan denyut pada ventrikel terjadi karena proses fisiologis yang diperankan oleh sistem nodus AV. Nodus AV akan memperantarai proses ini dengan meningkatkan kinerja sistem saraf parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem konduksi AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara berulang-ulang. Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung dan peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang berbahaya pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari 3 faktor, yaitu statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini terjadi dari statis dan kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran darah yang tidak sempurna. Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan adanya proses bekuan darah yang merupakan bagian penyebab dari tromboembolisme.



Klasifikasi 15



Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu4: a. AF deteksi pertama Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi. b. Paroksismal AF AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi. c. Persisten AF AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal. d. Kronik/permanen AF AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.



Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi



Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang 16



dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam . Etiologi Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya adalah5: a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium 1. Penyakit katup jantung 2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium 3. Hipertrofi jantung 4. Kardiomiopati 5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal



b.



c. d. e. f. g. h.



chronic) 6. Tumor intracardiac Proses infiltratif dan inflamasi 1. Pericarditis/miocarditis 2. Amiloidosis dan sarcoidosis 3. Faktor peningkatan usia Proses infeksi 1. Demam dan segala macam infeksi Kelainan Endokrin 1. Hipertiroid 2. Feokromositoma Neurogenik 1. Stroke 2. Perdarahan subarachnoid Iskemik Atrium 1. Infark miocardial Obat-obatan 1. Alkohol 2. Kafein Keturunan/genetic



Tanda dan Gejala Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan penyakitnya.



Umumnya



gejala



dari AF



adalah



peningkatan



denyut



jantung,



ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut.6 Faktor Resiko 17



a. b. c. d. e. f. g. h. i.



Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah : Diabetes Melitus Hipertensi Penyakit Jantung Koroner Penyakit Katup Mitral Penyakit Tiroid Penyakit Paru-Paru Kronik Post. Operasi jantung Usia ≥ 60 tahun Life Style



Patofisiologi Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA.6 Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF.7



18



Gambar 7.



A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets Reentry Atrial Fibrilasi



Penatalaksanaan Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion). a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme) Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah : 1. Warfarin Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin



19



di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam. 2. Aspirin Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit (COX 2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX 2 ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor II, VII, IX dan X. b. Mengurangi denyut jantung Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi. 1. Digitalis Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal. 2. β-blocker Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.



3. Antagonis Kalsium Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel. c. Mengembalikan irama jantung Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu 20



pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion). 1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia) a. Amiodarone b. Dofetilide c. Flecainide d. Ibutilide e. Propafenone f. Quinidine 2. Electrical Cardioversion Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm). 3. Operatif a. Catheter ablation Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF. b. Maze operation Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA. c. Artificial pacemaker Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung. 2.3 Diabetes Melitus Tipe 2 Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedang menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat 21



dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif dan gangguan fungsi insulin. WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes mellitus gestasional.8 Klasifikasi Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut PERKENI:8 a. Diabetes melitus tipe I Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses imunologik maupun idiopatik. b. Diabetes melitus tipe II Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin bersama resistensi insulin. c. Diabetes melitus tipe lain 1. Defek genetik fungsi sel beta 2. Defek genetik kerja insulin 3. Penyakit eksokrin pankreas 4. Endokrinopati 5. Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, lukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon-alfa, dll 6. Infeksi 7. Sebab imunologi yang jarang 8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM d. Diabetes melitus gestasional (DMG) Faktor Resiko Adapun faktor resiko untuk diabetes tipe 2 yaitu:



22



 Riwayat: Diabetes dalam keluarga, Diabetes Gestasional, Melahirkan bayi dengan berat badan >4 kg, Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome), IFG (Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired  glucose tolerance), Obesitas >120% berat badan ideal  Umur 20-59 tahun : 8,7%, > 65 tahun : 18%  Etnik/Ras  Hipertensi >140/90mmHg  Hiperlipidemia Kadar HDL rendah 250mg/dl  Faktor-faktor Lain : Kurang olah raga, Pola makan rendah serat



Manifestasi Klinik Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada wanita. Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa:9 a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau c. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan. 23



Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun kepekaannya terhadap insulin. Pemeriksaan Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: d. Usia >45 tahun e. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2 f. Hipertensi (>140/90 mmHg) g. Riwayat DM dalam garis keturunan h. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000 gram i. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi glukosa oral (TTGO) standar. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.



24



Diagnosis Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan memperhatikan angkaangka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.9



Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM Kadar glukosa (mg/dl )



Bukan DM



Belum pasti



DM



DM Sewaktu



Puasa



Plasma Vena



< 110



110 – 199



≥ 200



Darah Kapiler



< 90



90 – 199



≥ 200



Plasma Vena



< 110



110 – 125



≥126



Darah Kapiler



< 90



90 – 109



≥110



Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011 Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti tersebut dibawah ini: a. Keluhan khas DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. b. Keluhan tidak khas DM: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara: 25



1. Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir 2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam 3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air



Keluhan klinik diabetes



Keluhan klasik DM (+)



Keluhan klasik DM (-)



GDP



≥126



≥126



GDP



≥126 100-125