Laporan Kasus Keratitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS KERATITIS



PEMBIMBING dr. Moch Soewandi, Sp.M



PENULIS Siti Abila Zebadiah 030.14.177



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 6 JANUARI – 7 FEBRUARI 2020



LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING



PERSETUJUAN



Laporan Kasus



Judul: Keratitis Nama: Siti Abila Zebadiah 030.14.177



Telah disetujui untuk dipresentasikan Pada Hari Kamis, 6 Februari 2020



Pembimbing



dr. Moch Soewandi, Sp.M



2



BAB I LAPORAN KASUS



I.



Identitas Pasien Nama



: Ny. M



No. RM



: 02.94.09



Usia



: 25 tahun



Jenis Kelamin



: Perempuan



Alamat



: Jakarta Timur



Agama



: Islam



Pekerjaan



: Guru



Status Pernikahan : Belum menikah II.



Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di Poli Mata



RSAU dr. Esnawan Antariksa pada hari Kamis, 16 Januari 2020 pukul 10.30 WIB. Keluhan



Mata kiri merah sejak 3 hari SMRS.



Utama Keluhan



Sulit membuka mata, kelopak mata bengkak, mata berair.



Tambahan Riwayat



Pasien datang ke Poli Mata RSAU dengan keluhan mata kiri merah



Penyakit



sejak 3 hari SMRS . Keluhan mata merah terjadi pada keseluruhan



Sekarang



mata pasien. Keluhan muncul secara tiba-tiba. Keluhan semakin dirasa memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai susah membuka mata, kelopak mata bengkak, silau, dan pandangan kabur. Keluhan seperti mata berair, gatal, terasa pegal, mual, muntah disangkal. Tidak ada keluhan nyeri pada satu sisi badan. Riwayat kelilipan, mengucek mata, dan penggunaan lensa kontak disangkal. Pasien menyangkal adanya riwayat demam, batuk, trauma pada mata atau terkena cairan dan bahan kimia pada mata atau riwayat operasi.



Riwayat



Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.



Penyakit



Pasien menggunakan kacamata. Riwayat hipertensi, riwayat



3



Dahulu



penyakit diabetes mellitus, riwayat penyakit paru, riwayat penyakit hati, riwayat alergi disangkal.



Riwayat



Dalam anggota keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang



Penyakit



sama. Riwayat hipertensi, riwayat penyakit diabetes mellitus,



Keluarga



riwayat alergi dalam keluarga disangkal.



Riwayat



Pasien belum mendapatkan terapi untuk mata merah sebelumnya.



Pengobatan



Pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi obat dalam kesehariannya.



Riwayat







Pasien terkadang lupa membersihkan make up



Kebiasaan







Merokok (-)







Konsumsi alkohol (-)







Konsumsi NAPZA (-)



III.



Pemeriksaan Fisik Status Generalis o Keadaan Umum -



Kesan sakit



: Tampak sakit ringan



-



Kesadaran



: Compos mentis



-



Indeks Massa Tubuh: 37.5 (Obesitas Derajat II) BB: 90 kg TB: 156 cm



o Tanda Vital -



Tekanan Darah



: 120 / 80 mmHg



-



Nadi



: 80 x / menit



-



Suhu



: 36,0C / afebris



-



Pernapasan



: 20 x / menit



4



Status Oftalmologi OD



OS



6/7,5



Visus



6/7,5



Ortophoria



Kedudukan Bola Mata



Ortophoria



Pergerakan Bola Mata



Bebas ke segala arah



Bebas ke segala arah



Hiperemis (-)



Hiperemis (-)



Edema (-)



Edema (-)



Massa (-)



Massa (-)



Sikatriks (-)



Sikatriks (-)



Ektropion (-) Entropion (-)



Palpebra Superior



Ektropion (-) Entropion (-)



Ptosis (-)



Ptosis (-)



Lagoftalmus (-)



Lagoftalmus (-)



Trikiasis (-)



Trikiasis (-)



Distikiasis (-)



Distikiasis (-)



Hiperemis (-)



Hiperemis (-)



Edema (-)



Edema (-)



Ektropion (-) Entropion (-)



Palpebra Inferior



Ektropion (-) Entropion (-)



Trikiasis (-)



Trikiasis (-)



Distikiasis (-)



Distikiasis (-)



Hiperemis (-)



Hiperemis (-)



Folikel (-)



Konjungtiva Tarsalis



Folikel (-)



Sekret (-)



Superior



Sekret (-)



Cobblestone / hipertrofi papil (-)



Cobblestone / hipertrofi papil (-)



5



Injeksi konjungtiva (-)



Injeksi konjungtiva (-)



Injeksi siliar (+)



Injeksi siliar (-) Injeksi episklera (-) Jaringan fibrovaskular (-)



Injeksi episklera (-) Konjungtiva Bulbi



Perdarahan Subkonjungtiva(-) Jaringan fibrovaskular (-)



Penebalan sekitar limbus (Horner



Penebalan sekitar limbus (Horner



Trantas dots) (-)



Trantas dots) (-)



Hiperemis (-)



Hiperemis (-)



Benda asing (-)



Benda asing (-)



Sekret (-)



Konjungtiva Tarsalis



Sekret (-)



Massa (-)



Inferior



Massa (-)



Papil (-)



Papil (-)



Folikel (-)



Folikel (-)



Jernih



Keruh



Benda asing (-)



Benda asing (-)



Sikatrik (-)



Kornea



Sikatrik (-)



Infiltrat (-)



Infiltrat (+)



Erosi pungtata (-)



Erosi pungtata (-)



Dalam



Dalam



Hipopion (-)



Hipopion (-)



Hifema (-)



COA



Hifema (-)



Sel (-)



Sel (-)



Flare (-)



Flare (-)



Warna cokelat



Warna cokelat



Kripta baik



Kripta baik



Sinekia (-) Atrofi (-)



Iris



Sinekia (-) Atrofi (-)



Iridodialisis (-)



Iridodialisis (-)



Tremulans iris (-)



Tremulans iris (-)



Bulat



Bulat



Isokor Refleks cahaya langsung (+) Refleks cahaya tidak langsung (+)



Pupil



Isokor Refleks cahaya langsung (+) Refleks cahaya tidak langsung (+)



6



Jernih Shadow test (-)



Lensa



Jernih Shadow test (-)



Jernih



Vitreous Humor



Jernih



12 mmhg



TIO



11 mmhg



Sama dengan pemerika



Tes Konfrontasi



Sama dengan pemeriksa



IV.



Resume



Pasien datang ke Poli Mata RSAU dengan keluhan mata kiri merah sejak 3 hari SMRS . Keluhan mata merah terjadi pada keseluruhan mata pasien. Keluhan muncul secara tiba-tiba. Keluhan semakin dirasa memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan disertai susah membuka mata, kelopak mata bengkak, silau, dan pandangan kabur. Keluhan seperti mata berair, gatal, terasa pegal, mual, muntah disangkal. Tidak ada keluhan nyeri pada satu sisi badan. Riwayat kelilipan, mengucek mata, dan penggunaan lensa kontak disangkal. Pasien menyangkal adanya riwayat demam, batuk, trauma pada mata atau terkena cairan dan bahan kimia pada mata atau riwayat operasi. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien menggunakan kacamata. Riwayat hipertensi, riwayat penyakit diabetes mellitus, riwayat penyakit paru, riwayat penyakit hati, riwayat alergi disangkal. Pasien belum mendapat terapi untuk mengatasi keluhannya sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, dan tanda vital dalam batas normal. Status oftalmologi didapatkan visus OD 6/7,5 dan visus OS 6/7,5. Kedudukan bola mata ortophoria pada kedua mata. Pemeriksaan TIO dalam batas normal, pada mata kanan adalah 12 mmHg dan mata kiri adalah 11 mmHg. Pada konjungtiva bulbi mata kiri tampak injeksi siliar dan pada kornea mata kiri tampak keruh. V.Diagnosis Kerja Keratitis



VI.Penatalaksanaan Non medikamentosa 



Rajin mencuci tangan dan membersihkan mata dengan air bersih lalu dikeringkan dengan kain atau handuk bersih.







Tidak mengucek mata.







Tidak menggunakan lensa kontak saat terjadi keluhan pada mata.



7



Medikamentosa 



antibiotik & antiradang topikal  tobroson eyedrop 6 dd gtt I os







antibiotik topikal  LFX eyedrop 6 dd gtt I OS







avtivirus topikal  Hervis eye ointment 3 dd OS







analgetik & anti radang  Na diclofenac 25 mg 2x1



VI.Prognosis Ad vitam



: ad Bonam



Ad functionam



: ad Bonam



Ad sanationam



: dubia ad Bonam



8



BAB II ANALISIS KASUS



Keratitis disebabkan oleh adanya peradangan pada kornea. Keratitis dapat terjadi salah satunya akibat adanya benda asing pada mata seperti reaksi terhadap debu, polusi, atau kosmetik mata. Keratitis juga bisa terjadi karena adanya riwayat pembedahan pada mata sebelumnya, riwayat penyakit pada permukaan mata, trauma, penggunaan steroid jangka panjang, penggunaan lensa kontak, dan kebiasaan merokok. Gejala yang ditimbulkan berupa mata merah dengan penglihatan turun.



Pada pemeriksaan fisis didapatkan : 



Pemeriksaan visus:







VOD



: OD 6/7,5







VOS



: OS 6/7,5







Injeksi siliar pada konjungtiva bulbi OS (+)







Kornea keruh OS (+)



Keratitis merupakan peradangan yang terjadi pada kornea. Peradangan kornea dapat di klasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis, dan interstisial atau profunda. Keratitis berdasarkan akibat atau etiologi dibedakan menjadi keratitis bakterial (streptococci, staphylococci, pneumonia), viral dibagi menjadi keratitis herpes simpleks dan keratitis varicella zoster (herpes zoster oftalmikus), jamur atau fungi, dan protozoa. Hasil pemeriksaan diatas mendukung untuk didiagnosis sebagai suatu perdarahan subkonjungtiva. Pada penatalaksanaan diberikan farmakoterapi berupa obat topikal maupun oral. Obat topikal berupa obat tetes mata tobroson yaitu antiradang yang disertai dengan antibiotik. Natrium diclofenac sebagai obat anti inflamasi sistemik, tetes mata hervis sebagai antivirus topikal, dan tetes mata LFX sebagai antibiotik topikal.



9



BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Anatomi dan Histologi Kornea Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. Kornea terdiri atas lima lapisan, yaitu: 1. Epitel -



Terdiri atas lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.



-



Pada sel basal terjadi proses mitosis sel, dimana sel mudanya akan terdorong ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya sehingga menghambat aliran air, elektrolit, dan glukosa membentuk suatu barrier.



-



Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.



2. Membran Bowman -



Merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur dan tidak mempunyai daya regenerasi.



3. Stroma -



Menyusun 90% ketebalan kornea.



-



Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yaitu sekitar 15 bulan.



-



Keratosit merupakan sel pada stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Keratosit diduga sebagai bahan dasar pembentukan serat kolagen dalam penyembuhan pasca trauma.



4. Membran Descement -



Merupakan lapisan aselular yang bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup.



5. Endotel -



Memiliki satu lapisan, berbentuk heksagonal, dan tidak memiliki daya regenerasi.(1)



Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari nervus siliar longus, nervus nasosilia, cabang kelima nervus siliar longus berjalan



10



suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada ujung saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf setelah terputus di daerah limbus terjadi dalam waktu tiga bulan.(1)



Gambar 1. Anatomi Kornea(1) 3.2 Keratitis 3.2.1 Definisi Keratitis merupakan peradangan yang terjadi pada kornea. Peradangan kornea dapat di klasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis superfisialis, dan interstisial atau profunda. Keratitis berdasarkan akibat atau etiologi dibedakan menjadi keratitis bakterial (streptococci, staphylococci, pneumonia), viral dibagi menjadi keratitis herpes simpleks dan keratitis varicella zoster (herpes zoster oftalmikus), jamur atau fungi, dan protozoa. (1,3)



3.2.2 Epidemiologi Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang dilakukan oleh Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian keratitis bakteri di Banglades 82%, India 68,4%, dan yang terendah yaitu di Taiwan 40%. Perbedaan tersebut dipegaruhi oleh faktor iklim dan lingkungan. Keratitis jamur dan keratitis bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini berhubungan dengan 11



peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan proliferasi dari agen patogen pada periode tersebut. (9) 3.2.3 Faktor Resiko(10,11,12) Faktor-faktor terjadinya keratitis dapat dipengaruhi oleh: 



Pemakaian lensa kontak Faktor resiko paling sering ditemukan pada pasien keratitis adalah penggunaan lensa kontak semalaman atau berkepanjangan, higienitas dari lensa kontak yang digunakan (dapat disebabkan kontaminasi dari tempat penyimpanannya atau dari cairan lensa kontak tersebut)







Trauma Pembedahan Riwayat pembedahan pada bola mata maupun kelopak mata sebelumnya, terutama pembedahan pada kornea, baik pembedahan refraktif atau keratoplasti merupakan faktor resiko terjadinya keratitis







Penyakit pada bagian permukaan bola mata Defisiensi film air mata, terpaparnya kornea karena abnormalitas kelopak mata, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus dan status imunocompromised







Merokok Toksin yang berasal dari asap rokok dapat mengiritasi mata secara langsung atau terserap di dalam lensa kontak dan berperan sebagai suatu iritan yang dapat menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya suatu infiltrasi pada kornea.







Pemakaian kortikosteroid jangka panjang Kortikosteoid lokal maupun sistemik akan memodifikasi reaksi imun dari host dengan berbagai mekanisme sehingga mempermudah organisme oportunistik melakukan invasi dan berkembang pada host







Benda asing Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel udara 
seperti debu, serbuk sari, jamur atau ragi. 




3.2.4 Patofisiologi(1,3,4) Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya,



12



kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan. Pelindung yang baik dari invasi mikroorganisme bagi kornea yaitu epitel kornea. Apabila terjadi trauma pada epitel maka akan mengakibatkan stroma dan lapisan bowman yang merupakan lapisan avascular akan menjadi rentan terhadap infeksi dari berbagai mikooganisme sehingga korne akan lebih mudah teriritasi. Kornea bagian mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian. Badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Selanjutnya terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batasbatas tak jelas dan permukaan tidak licin. Apabila terjadi terus-menerus dapat terjadi kerusakan epitel hingga terjadi ulkus. Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, akan mengakibatkan terjadinya proliferasi dan lebih lanjut akan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi lesi awal dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea. Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal. Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada bentuk stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan 13



terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak. Kornea memiliki banyak serabut nyeri. Lesi superfisial maupun profundus akan menyebabkan nyeri dan fotofobia. Nyeri yang disebabkan gangguan pada epitel diperparah dengan gerakan dari kelopak, terutama kelopak bagian atas dan biasanya nyeri bersifat menetap sampai penyembuhan terjadi. Kornea merupakan “jendela” mata yang berfungsi sebagai media refraksi. Oleh karena itu, gangguan pada kornea akan menyebabkan pandangan kabur, terlebih jika gangguan terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi pada keratitis disebabkan oleh kontraksi nyeri akibat inflamasi dari iris. Dilatasi pembuluh darah pada iris merupakan suatu fenomena refleks yang terjadi bila iritasi pada kornea terjadi terus-menerus. Pada keratitis herpetic rasa nyari sangat minimal karena terjadi hipestesia dan merupakan salah satu tanda khas dalam mendiagnosis keratitis ini. Mata berair dan fotofobia merupakan gejala khas keratitis. Keratitis tidak menimbulkan sekret, kecuali pada keratitis bakteri yang sudah menjadi ulkus. 3.2.5 Klasifikasi Keratitis(2) Klasifikasi keratitis berdasarkan etiologi yang infeksi dapat dibagi menjadi keratitis bakteri, keratitis jamur, keratitis virus, dan keratitis protozoa. Gambaran Klinis Berdasarkan Lapisan Keratitis



Epitalialis



superfisialis



Mengenai



Uji



fluoresens Uji



kornea



(+)



(+)



Mengenai



Uji fluoresens



Uji



kornea



(-)



(+)



plasido



didepan membrane bowmen Subepitel



plasido



dibawah epitel kornea



14



Profunda



Didalam



Didalam



Uji fluoresens



Uji plasido



stroma kornea



stroma kornea



(-)



(-)



A. Keratitis Bakterial



Keratitis bakteri adalah infeksi pada kornea yang disebabkan oleh bakteri dan dapat menyebabkan timbulnya rasa sakit, penglihatan menurun, fotofobia, mata berair atau mengeluarkan sekret yang pada kasus yang parah dapat menyebabkan hilangnya penglihatan. Keratitis bakteri berkembang dengan cepat dan kerusakan kornea bisa sempurna dalam 24 - 48 jam jika bakteri penyebabnya memiliki virulensi yang tinggi. Tingkat keparahan infeksi kornea biasanya bergantung pada kondisi kornea dan patogenisitas bakteri yang menginfeksi. Infeksi mungkin terjadi pada pusat kornea atau bagian perifer kornea (bagian yang paling dekat dengan sklera) atau keduanya. Keratitis dapat mempengaruhi satu mata atau kedua mata. Keratitis mungkin ringan, sedang, atau parah dan mungkin terkait dengan inflamasi bagian lain mata. Spesies



yang



paling



umum



yang



menyebabkan



infeksi



adalah



Staphylococcus, diikuti oleh Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, spesies Moraxella, dan Klebsiella pneumoniae. Dalam kelompok pediatrik, patogen yang paling sering adalah dari



genus Pseudomonas dan Staphylococcus. Pada



pengguna lensa kontak, baik bakteri gram positif maupun gram negatif memiliki potensi yang sama dalam menimbulkan infeksi, walaupun spesies yang paling umum ditemukan adalah Pseudomonas aeruginosa.



15



Gejala klinis pada keratitis bakteri tidak khas untuk agen spesifik tertentu. Manifestasi klinis yang dihasilkan tergantung pada virulensi organisme yang menginfeksi, metode inokulasi, waktu sejak dimulainya inokulasi, kondisi kornea sebelumnya, terapi antimikroba dan kortikosteroid sebelumnya, serta faktor host lainnya. Nyeri adalah gejala yang paling umum dari keratitis bakteri. Gerakan kelopak mata akan meningkatkan rasa sakit. Tajam penglihatan biasanya berkurang, terlebih bila area yang terlibat berada dalam jalur visual. Fotofobia, blefarospasme, dan mata berair adalah gejala umum lainnya. Produksi sekret mungkin terjadi bila infeksi terusmenerus terjadi. Temuan lain mungkin termasuk hiperemis pada konjungtiva, reaksi papil nonspesifik, dan edema pada kelopak bawah maupun atas.



B. Keratitis Fungal



Jamur adalah sekelompok mikroorganisme yang memiliki dinding kaku dan nukleus yang berbeda dengan banyak kromosom yang mengandung DNA dan RNA. Keratitis jamur jarang terjadi di negara beriklim sedang tetapi merupakan penyebab utama kehilangan penglihatan di negara-negara tropis dan berkembang. Meskipun sering berkembang secara diam-diam, keratitis jamur dapat menimbulkan respons peradangan yang parah bahkan perforasi kornea sering terjadi, dan pandangan untuk penglihatan sering buruk. Dua jenis jamur utama menyebabkan keratitis yaitu ragi (genus candida) yang merupakan organisme uniseluler ovoid yang berkembang biak dengan tunas yang bertanggung jawab untuk sebagian besar kasus keratitis jamur di daerah beriklim sedang dan jamur berfilamen (Fusarium dan Aspergillus) merupakan organisme multisel yang menghasilkan proyeksi tubular yang dikenal sebagai hifa. Mereka adalah patogen yang paling umum di iklim tropis, tetapi tidak jarang di



16



daerah yang lebih dingin keratitis sering mengikuti arah yang agresif. Keluhan biasanya timbul lebih lambat dari terjadinya resiko sekitar 3 minggu kemudian. Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan lipatan Descemet.




C. Keratitis Virus 1. Keratitis Herpes Simpleks Keratitis herpes simpleks terjadi dalam dua bentuk yaitu infeksi primer dan nfeksi rekurens. Infeksi primer terjadi akibat penularan melalui droplet atau inokulasi langsung. Bentuk infeksi primer pada mata biasanya blefaritis dan konjungtivitis folikular. Sedangkan infeksi rekuren terjdi akibat virus yang dibawa menuju ganglion sensoris masuk ke dermatom tertentu yang menjadi infeksi laten. Aktivasi dari virus yang masuk ke ganglion tersebut dapat dipicu oleh demam, perubahan hormonal, radiasi ultraviolet, trauma dan jejas nervus trigeminus. Keratitis akibat herpes simpleks terbagi menjadi dua berdasarkan letak lesi yaitu: a. Keratitis Epitelial Keratitis epitelial bermanifestasi secara klinis sebagai keratitis dendritic atau geografik. Pada epitelial terjadi pembelahan virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak kornea superfisial. Keratitis dendritik merupakan keratitis superfisial yang membentuk garis infiltrate pada permukaan kornea kemudian membentuk cabang.
 Gejala yang ditimbulkan berupa fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemis disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat berkonsultasi dan dapat menjadi tukak kornea. Pada pasien yang mengalami dengan tukak dendritis dapat sembuh sempurna atau biasanya bisa meninggalkan jaringan parut yang dapat menurunkan tajam penglihatan, bergantung pada letak aksis visual.



17



b. Keratitis Stromal Keratitis stromal dapat di sebabkan oleh infeksi ataupun proses imunologi. Pada Stromal diakibatkan reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi (tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen (virus) yang juga merusak jaringan stromal di sekitarnya. Gambaran keratitis diskiformis membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di dalam jaringan kornea.




18



Gejala yang dapat di timbulkan akibat dari keratitis HSV berupa iritasi, fotofobia serta mata yang berair. Dapat pula terjadi gangguan penglihatan bila sudah terjadi atau mengenai kornea bagian sentral. Pasien memiliki riwayat melepuh (vesikel), demam atau dapat pula gejala infeksi herpes lain, ulkus kornea dapat terjadi pada herpes rekurens.



2. Keratitis Varicella-Zoster Keratitis varicella zoster disebabkan oleh virus varicella zoster yang teraktivasi dan menyebar melalui nervus trigeminuscabang oftalmikus. Dari infeksi virus ini terjadi dalam dua bentuk yaitu varicella (primer) dan herpes zoster (rekurens). Pada varisella tidak ditemukan klinis pada mata namun pada infeksi rekurens sering dijumpai temuan klinis pada mata. Temuan klinis seperti cacar dipalpebra dan tepi palpebral. Infeksi rekurens pula sering diketemukan keratouveitis. Pada keratitis HSV rekurens hanya mengenai epitel saja sedngkan pada keratitis VZV dapat mengenai stroma dan uvea anterior.



19



Manifestasi klinis yang terjadi pada VZV berupa rasa lelah, demam, malaise dan nyeri kepala ini merupakan fase prodromal. Selain itu terdapat manifestasi akut dan kronik, adapun manifestasi klinis akut berupa keratitis epitel akut yang ditandai dengan lesi densritik kecil dan halus, konjungtivitis, episkleritis, uveitis anterior, keratitis nummular yang ditandai dengan deposit granular subepitel dikelilingi halo stroma keruh. Adapun manifestasi kronis berupa neurotropikkeratitis, skleritis, keratitis plak mucus dan degenerasi lipid pada keratitis nummular.



D. Keratitis Acantamoeba Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat di dalam air tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh Acanthamoeb biasanya dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak lunak, termasuk lensa hidrogel silikoru atau lensa kontak rigid (permeabel-gas) yang dipakai semalaman, untuk memperbaiki kelainan refraksi (orthokeratologi). Infeksi ini juga ditemukan pada individu bukan pemakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang tercemar. Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya, kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahanperubahan yang terbatas pada epitel kornea. Gejala yang semakin memberat termasuk nyeri yang hebat, mata berair, fotofobia, blepharospasm dan penglihatan kabur. Tanda-tanda keratitis Acanthamoeba berevolusi selama beberapa bulan sebagai keratitis yang memburuk secara bertahap dengan periode remisi sementara. Presentasi sangat bervariasi, membuat diagnosis menjadi sulit. Lesi awal acanthamoeba keratitis berupa limbitis, kasar, goresan opak, epitel halus dan kekeruhan subepitelial, dan radial kerato-neuritis, dalam bentuk



20



infiltrat sepanjang saraf kornea. Kasus lanjut menunjukkan lesi berbentuk cincin sentral atau paracentral dengan infiltrat stroma dan defek epitelial atasnya, yang akhirnya tampak sebagai abses cincin, hypopyon juga bisa hadir.



3.2.6 Penegakan Diagnosis(4) Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, melihat gejala klinik dan menentukan hasil pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetik akibat infeksi herpes simpleks yang kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena kortikosteroid merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau virus terutama keratitis herpes simpleks. Pada pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea. 21



Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan. Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah : 1. Pemeriksaan tajam penglihatan
 Pemeriksaan



tajam



penglihatan



dilakukan



untuk



mengetahui



fungsi



penglihatan setiap mata secara terpisah. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu Snellen maupun secara manual yaitu menggunakan jari tangan. 
 2. Uji dry eye
 Pemeriksaan mata kering (dry eye) termasuk penilaian terhadap lapis film air mata (tear film), danau air mata (tear lake), dilakukan uji break up time tujuannya yaitu untuk melihat fungsi fisiologik film air mata yang melindungi kornea. Penilaiannya dalam keadaan normal film air mata mempunyai waktu pembasahan kornea lebih dari 25 detik. Pembasahan kornea kurang dari 15 detik menunjukkan film air mata tidak stabil. 
 3. Ofthalmoskop
 Tujuan pemeriksaan untuk melihat kelainan serabut retina, serat yang pucat atropi, tanda lain juga dapat dilihat seperti perdarahan peripapilar. 4. Keratometri (pengukuran kornea)
 Keratometri tujuannya untuk mengetahui kelengkungan kornea, tear lake juga dapat dilihat dengan cara fokus kita alihkan kearah lateral bawah, secara subjektif dapat dilihat tear lake yang kering atau yang terisi air mata. 5. Tonometri digital palpasi 
Cara ini sangat baik pada kelainan mata bila tonometer tidak dapat dipakai atau sulit dinilai seperti pada sikatrik kornea, kornea ireguler dan infeksi kornea. Pada cara ini diperlukan pengalaman pemeriksa karena terdapat factor subjektif, tekanan dapat dibandingkan dengan tahahan lentur telapak tangan 22



dengan tahanan bola mata bagian superior.



Dapat pula dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mengetahui mikroorganisme penyebabnya, seperti 1. Kerokan kornea Ini mungkin tidak diperlukan untuk infiltrasi kecil, terutama yang tanpa cacat epitel dan jauh dari sumbu penglihatan. Kemudian digunakan media kultur berupa agar darah yang terutama spesifik untuk bakteri dan jamur, kecuali Neisseria, Haemophilus, dan Moraxella. Dapat digunakan juga agar coklat untuk bakteri seperti H.influenzae, Neisseria, Moraxella. Agar Sabouraud digunakan untuk kultur jamur. 2. Pewarnaan Gram, Giemsa, KOH, asam periodik Schiff, methenamine silver dapat dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri, jamur, maupun virus 3. PCR Cepat dan sangat sensitif (sampai 90%) dan mungkin merupakan metode pilihan untuk identifikasi saat ini. Wadah yang mengandung kalsium dapat menghambat aktivitas polimerase sehingga tatacara pengumpulan lharus dipastikan sebelum pengumpulan spesimen. 4. Biopsi kornea Diindikasikan pada keratitis jamur yang dicurigai dengan tidak adanya perbaikan klinis setelah 3-4 hari dan jika tidak terjadi pertumbuhan dari kerokan setelah seminggu. Blok 2-3 mm harus diambil, mirip dengan eksisi blok skleral selama trabekulektomi. Jamur filamen cenderung berkembang biak hanya di anterior membran Descemet dan spesimen stroma dalam mungkin diperlukan. Blok yang dieksisi dikirim untuk analisis kultur dan histopatologi.



3.2.7 Tatalaksana Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.
 23



A. Keratitis Bakterial Pada keratitis akibat bakteri dapat diberikan terapi antibiotic topical berupa: 



Terapi empiris : fluorokuinolon (ofloxacin 0,3%, levofloksasin 0,3%, gantifloxacin 0,3%) + gentamicin 1,5% atau sefazolin







Kokus gram positif : vankomisin 5%, fluorokuinolon 0,3%, atau sefuroksim 0,3%







Batang gram negative : fluorokuinolon 0,3% atau seftriason 5%







Mycobacterium : amikacin 2%, klaritromisin 1%. Terapi lain dapat pula diberikan antibiotic subkonjungtiva abapbila terdapat



kepatuhan berobat yang rendah. Midriatiku dapat diberikan untuk mencegah terbentuknya sinekia posterior dan mereduksi nyeri. Adapula antiglaukoma dapat diberikan apabila terdapat komplikasi glaukoma sekunder. B. Keratitis Jamur Terdapat dua tatalaksana pada keratitis jamur yaitu nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakalogi dapat dilakukan dengan menghentikan penggunaan lensa kontak dan menggunakan pelindung mata terutama bila terdapat penipisan atau perforasi kornea. Sedangkan tatalaksana farmakologi dapat diberikan terapi topical : 



Candida : amfoterisin B 0,25 %, natamisin 5%, atau flukonazol 2%.







Antibiotic spectrum luas untuk mencegah infeksi sekunder dapat dipertimbangkan



Serta dapat diberikan fluconazole intrastromal atau subkonjungtiva untuk kasus yang berat. Antifungi sistemik dapat diberikan pada infeksi jamur yang berat. C. Keratitis Virus Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan



24



epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat. 1. Herpes Simpleks Tatalaksana pada keratitis akibat HSV berdasarkan bentuk yaitu pada keratitis epitel diberikan terapi topical seperti acyclovir 3% atau gel gansiklofir diberikan 5 kali sehari. Bila terjadi ulkus densritik dapat dilakukan debridement. Toksisitas dapat ditandai dengan erosi pungtata superfisial, epitel terlipat, konjungtivitis volikuler. Adapun tatalaksana berdasarkan keratitis disciform yaitu dapat diberikan terapi awal dengan steroid topical (prednisolone 1% atau dapat pula diberikan deksametasone 0,1%). Terapi tersebut diberikan secara tapering off. Selain itu dapat diberikan antiviral. Adapun tatalaksana ulkus neurotropic yaitu dengan memenejemen terutama dengan menatalaksana defek eptel, steroid topical bila dibutuhkan. 2. Varicella Zoster Pada tatalaksana VZV dapat diberikan asiclovir oral 800 mg perhari selama 710 hari, antiviral topical tidak efektif, steroid topical digunakan pada pasien dengan keratitis nummular, keratitis intertisial, dan keratitis disciform. D. Keratitis Acantomoeba Tatalaksana pada keratitis ini dapat dilakukan debridement epitel untuk tahap awal. Terapi obat pada kasus ini dapat dimulai dengan larutan isethionate propamidine topical 1% secara intensif dan salah satu dari larutan polyhexamethylene biguanide 0,01-0,02% dan tetes mata neomycin forte. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengendalikan reaksi radang di dalam kornea. Keratoplasti dapat dilakukan pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan progesivitas infeksi atau setelah mengalami resolusi dan terbentuk jaringan parut untuk memulihkan penglihatan.



25



DAFTAR PUSTAKA



1.



Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015



2.



Sitorus RS et al editors. Buku Ajar Oftalmologi. Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017



3.



White ML,Chodos J. Herpes Simplex Virus Keratitis:A Treatment Guaidline. American Academy Of Ophtalmology.2014



4.



Riordon-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Indonesia: EGC. 2010



5.



Tanto C et al editors. Kapita Selekta Kedokteran. Ed 4. Jakarta:Media Aesculapius.2014:373-7



6.



Sherrwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Ed 8. Jakarta:EGC.2013



7.



Austin A, Lietman T, Nussbaumer JR. Update On The Management Of Infection Keratitis. American Academy Of Ophtalmology.2017:124(11);1678-86



8.



Azher TM, Yin XT, Taijirouz D, Huang AJW,Stuart PM. Herpes Simplex Keratitis:Challenges



In



Diagnosis



And



Clinical



Managenet.



Clinical



Oftalmologi.2017:11;185-191 9.



Ibrahim MM, Vanini R, et al. Epidemiology and medical protection of microbial keratitis on southeast Brazil. Brazil: Arq Bras Oftalmol. 2011; 74 (1): 7-12 




10. Wahyudi F, Wahdini S. Tingkat Pengetahuan Mengenai Faktor Risiko Acanthamoeba Keratitis Pada Pengguna Lens Kontak Dan Hubungannya Dengan Karakteristik Mahasiswa FKUI.Depatemen FKUI.2014



26



11. King AL, et al. Predisposing Factors, Microbial Characteristics, And Clinical Outcome Of Microbial Keratitis In A Teriary Centre In Hongkong:A-Year Experience. Hindawi Jounal Of Ophtalmology.2015 12. Gebremariam TT, Alemu TA, Daba KT. Bacteriology And Risk Factors Of Bacterial Kertitis in Ethiopia.IMedPub Journal.2015:9(5);1-5 13. Kunski’s. Clinical Ophtalmology.Ed 8. Elsevier.2016 14. Kurana AK. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4. New Age International Publisher.2007 15. Insani ML, Adioka IGM, Artini I, Mahendra AN. Karakteristik Dan Manajemen Konjungtivitis Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Indera Denpasar Periode Januai-April 2014. E-Jurnal Medika 2017:6(7)



27