Laporan Kasus L. Sonora D. - Atrial Fibrilasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS COVID-19 TERKONFIRMASI GEJALA RINGAN DENGAN FIBRILASI ATRIUM



Disusun Oleh : dr. Lidwina Sonora Dwiyanti



Pembimbing : AKP. dr. Putra Habibie Adnantama Lubis, Sp.JP, FIHA, MM. Pendamping : dr. Putro Setyobudyo Muhammad



PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA RUMAH SAKIT DARURAT PENANGANAN COVID-19 WISMA ATLET KEMAYORAN PERIODE FEBRUARI 2020 – APRIL 2021



DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................................... 4 BAB 2 LAPORAN KASUS............................................................................................................ 5 2.1 IDENTITAS PASIEN............................................................................................................5 2.2 ANAMNESIS........................................................................................................................ 5 2.3 PEMERIKSAAN FISIK........................................................................................................ 7 2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG.........................................................................................10 BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................... 18 3.1 COVID-19............................................................................................................................18 3.1.1 DEFINISI......................................................................................................................18 3.1.2 MANIFESTASI KLINIS.............................................................................................. 19 3.1.3 DIAGNOSIS................................................................................................................. 20 3.1.4 TATALAKSANA.........................................................................................................20 3.2 FIBRILASI ATRIUM..........................................................................................................23 3.2.1 DEFINISI......................................................................................................................23 3.2.2 FAKTOR RISIKO........................................................................................................ 24 3.2.3 DIAGNOSIS................................................................................................................. 25 3.2.4 TATALAKSANA.........................................................................................................26 3.3 KORELASI FIBRILASI ATRIUM DENGAN COVID-19................................................ 29 BAB 4 DISKUSI............................................................................................................................32 BAB 5 KESIMPULAN..................................................................................................................33 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 34



1



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 EKG Tn. MMS…………………………………………………………… …………………. 12 Gambar 2.2 CXR Tn. MMS …………………………………………………………… ………………… 13 Gambar 3.1 Faktor Risiko Fibrilasi Atrium ……………………………………………………………. 24 Gambar 3.2 Hubungan Faktor Risiko dengan Fibrilasi Atrium …………………………………….25 Gambar 3.3 Diagnosis Fibrilasi Atrium…………………………………………….…………25 Gambar 3.4 Tatalaksana Fibrilasi Atrium ………………………………………………….…26 Gambar 3.5 Tatalaksana Fibrilasi Atrium pada Pasien Covid-19 …………………………….28 Gambar 3.6 Patogenesis Fibrilasi Atrium pada Pasien Covid-19 …………………………….31



2



DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Follow Up Status Pasien…………………………………………………………… 15



3



BAB 1 PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) melaporkan kasus pneumonia dengan etiologi yang belum diketahui di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina pada tanggal 31 Desember 2019. Satu minggu setelahnya, pada tanggal 7 Januari, agen biologis yang menyebabkan kondisi tersebut telah ditemukan sebagai tipe baru coronavirus (2019-nCoV) yang sebelumnya tidak terdeteksi. Penyakit yang disebabkan oleh 2019-CoV yaitu Covid-19. Kasus positif Covid-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020. Pada tanggal 11 Maret, WHO mendeklarasi Covid-19 sebagai penyakit pandemik. Hingga tanggal 5 Desember 2020, terdapat 570.000 kasus positif yang telah dilaporkan di Indonesia. Data pada tanggal 1 Maret 2021, Indonesia menempati peringkat pertama kasus terbanyak dan kematian terbanyak di Asia dengan jumlah total kasus sebesar 1,341,314 dan jumlah total kematian sebesar 36,325 kematian.2 2019-nCoV merupakan keluarga β-coronavirus, keluarga yang sama dengan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) dan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV). Tingkat mortalitas dari SARS-CoV dan MERS-CoV yaitu 11% dan 35 % sedangkan tingkat mortalitas virus Covid-19 sekitar 3,4% berdasarkan data yang tersedia. Covid-19 dapat menyebar ketika orang yang terinfeksi bersin, batuk, menyentuh permukaan atau barang seperti meja, tangkai pintu, anak tangga, dan pegangan tangan.1 Beberapa laporan menunjukkan bahwa hingga 80% orang yang terinfeksi memiliki gejala ringan hingga sedang. Meskipun COVID-19 sebagian besar ditandai dengan gejala pada saluran pernapasan, penyakit kardiovaskular dan komplikasi sering menyertai infeksi COVID-19 yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien COVID-19. Aritmia sering dilaporkan pada pasien COVID-19, dengan fibrilasi atrium (AF) menjadi bentuk yang paling umum.7 Penyebab AF pada pasien COVID-19 sebagian besar tidak diketahui. Berdasarkan literatur yang tersedia, di antara pasien COVID-19, AF terdeteksi pada 19% hingga 21% dari semua kasus. Satu studi melaporkan prevalensi 36% pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, dengan AF diamati pada 42% pasien yang meninggal. Dalam presentasi kasus, penulis melaporkan kasus covid-19 konfirmasi simptomatik ringan dengan AF.7 4



BAB 2 LAPORAN KASUS



2.1 IDENTITAS PASIEN Nama



: Tn. MMS



Tanggal Lahir



: 22 Maret 1956



Umur



: 64 tahun



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Agama



: Islam



Alamat



: Jakarta Pusat



No. RM



: 0004302X



Pekerjaan



: PNS



Pendidikan



: S1



Status



: Menikah



Tanggal Masuk



: 7 Februari 2021



Tanggal Periksa



: 7 Februari 2021



2.2 ANAMNESIS Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 7 Februari 2021 pukul 23:00 di Kamar Perawatan Tower 7 Lantai 26. Keluhan Utama: Batuk Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien rujukan dari PKC Kemayoran datang ke RSDC Wisma Atlet Kemayoran dengan keluhan batuk sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Batuk dirasakan setiap hari dengan frekuensi sering, tidak ada yang memperingan dan memperberat batuk. Batuk tidak berdahak. Keluhan lain yang dirasakan yaitu nyeri kepala, meriang, dan nyeri tenggorokan. 5



Nyeri kepala dirasakan sejak 1 hari SMRS. Nyeri kepala dirasakan berdenyut pada tengkuk kepala. Meriang dan nyeri tenggorokan dirasakan sejak 3 hari SMRS. Nafsu makan masih baik. Keluhan hidung tersumbat, sesak nafas, nyeri dada, nyeri otot, dan dada berdebar disangkal. Pasien membawa hasil swab PCR positif tanggal 3 Februari 2021 di Puskesmas Kemayoran Jakarta. Pasien melakukan pemeriksaan swab PCR karena Anak pasien merupakan pasien konfirmasi covid-19 dan telah menjalani rawat inap selama 3 hari sebelum pasien datang di RSDC Wisma Atlet Kemayoran. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit



: Disangkal



Riwayat hipertensi



: Disangkal



Riwayat diabetes melitus



: Disangkal



Riwayat penyakit jantung : Disangkal



Riwayat Penyakit Keluarga: Pasien menyangkal riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan jantung pada keluarga sekandung. Riwayat Kebiasaan: Riwayat Merokok



: Disangkal



Riwayat Alkohol



: Disangkal



Riwayat Olahraga



: Tidak rutin



Riwayat Meminum Obat



: Disangkal



Riwayat Gizi Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk, dan sayur dengan porsi cukup.



6



Riwayat Sosial Ekonomi Pasien seorang PNS dan berobat menggunakan BPJS



2.3 PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 7 Februari 2021 dengan hasil sebagai berikut: Keadaan Umum : Tampak sakit ringan Kesadaran



: Compos mentis



GCS



: E4-V5-M6



Tanda-Tanda Vital 



TD



: 125/80 mmHg







Nadi



: 108x/menit, kuat angkat, irreguler







RR



: 22 kali/menit







Suhu



: 36.50C







SpO2



: 94-95% O2 bebas, 96-97% NK 3 lpm



Status Gizi 



BB



: 70 kg







TB



: 165 cm







IMT



: 25.7 kg/m2







Kesan



: Normal



Kulit



: Sianotik (-), ikterik (-)



Kepala



: Bentuk normocephal



Mata



: Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+)



Telinga



: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)



7



Hidung



: Nafas cuping hidung (-), sekret (-)



Mulut



: Mukosa ikterik (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-) oral thrush (-)



Leher



: Trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku (-)



Thorax



: Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-).



Pulmo



:



Depan -



Inspeksi Statis



: Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar



Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-) -



Palpasi Statis



: Simetris



Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-) -



-



Perkusi Kanan



: Sonor



Kiri



: Sonor



Auskultasi Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui suara dasar vesikuler dan suara tambahan seperti wheezing atau ronkhi di kedua lapang paru



Belakang -



Inspeksi 8



Statis



: Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga tidak mendatar



Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga tidak melebar, retraksi intercostal (-) -



Palpasi Statis



: Simetris



Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-) -



-



Perkusi Kanan



: Sonor



Kiri



: Sonor



Auskultasi Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui suara dasar vesikuler dan suara tambahan seperti wheezing atau ronkhi di kedua lapang paru



Jantung Inspeksi



: Ictus cordis tidak tampak



Palpasi



: Pulsasi dan Ictus cordis bergeser ke kaudolateral (SIC VI linea axilaris anterior) dan tidak kuat angkat



Perkusi



: Batas jantung: Kanan atas: SIC II Linea Parasternalis Dextra Kanan bawah: SIC IV Linea Parasternalis Dextra Kiri atas: SIC II Linea Parasternalis Sinistra Kiri bawah: SIC V Linea Aksilaris Anterior Sinistra



Auskultasi



: Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan bunyi jantung I-II dan intensitas, bising, gallop serta murmur. 9



Abdomen Inspeksi



: Dinding perut = dinding thorak, venektasi (-), sikatriks (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)



Auskultasi



: Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan untuk menilai bising usus, bruit hepar, dan bising epigastrium



Perkusi



: Soepel, distended (-), hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)



Palpasi



: Timpani pada seluruh abdomen



Ekstremitas Superior D et S : Eritema palmaris (-/-), oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubbing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-) Inferior D et S : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubbing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)



2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Serologis COVID-19 Swab Naso/Orofaring: POSITIF 3 Februari 2021 di Puskesmas Kecamatan Kemayoran NEGATIF 16 Februari 2021 di RSDC Wisma Atlet Kemayoran B. Laboratorium Darah Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan tanggal 7 Februari 2021 di RSDC Wisma Atlet Kemayoran Pemeriksaan



Hasil



Satuan



Rujukan



Hemoglobin



15.5



g/dL



13.2-17.3



Hematokrit



42.3



%



40-48



10



Leukosit



4.07



ribu/µl



4.4-11.3



Trombosit



152



ribu/µl



150-400



Eritrosit



5.15



juta/µl



4.3-5.7



MCV



82.1



/um



87.1-102.4



MCH



30.1



Pg



27.5-32.4



MCHC



36.6



g/dl



30.7-33.2



Eosinofil



0.00



%



1-4



Basofil



0.00



%



0-1



Neutrofil



68



%



40-70



Limfosit



24



%



30-45



Monosit



8



%



2-10



SGOT



32



u/l



0-35



SGPT



24



u/l



0-41



Creatinine



1.2



mg/dl



0.7-1.2



Ureum



33



mg/dl



18-55



Glukosa Sewaktu



95



mg/dl



80-180



Kesan: Leukopenia, MCV dan MCHC meningkat, Limfopenia C. Elektrokardiografi Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 7 Februari pukul 21:11 di RSDC Wisma Atlet Kemayoran.



11



Gambar 2.1 EKG Tn. MMS



Dibacakan EKG dengan identitas Tn. MMS, 64 tahun, dengan hasil Expertise sebagai berikut: -



Kalibrasi



: 25 mm/s



-



Rhythm (Irama) : Asinus



-



Rate



: 160 x/menit, irreguler



-



Axis



: Normoaxis 12



-



Gel P



: P (-), PR interval tidak dapat dinilai



-



Gel Q



: Tinggi < 25% gel R, lebar < 1 kotak



-



Interval QT



: 7 kotak kecil



-



ST Segmen



: tidak ada ST elevasi ataupun depresi



-



Gel T



: tidak inversi



-



QTc



: 329 ms



-



QRS complex



: 0.12 detik



Kesimpulan: AF RVR D. Foto Thorax Pemeriksaan foto thorax posteroanterior (PA) dilakukan pada tanggal 8 Februari 2021 di RSDC Wisma Atlet Kemayoran.



Gambar 2.2 CXR Tn. MMS



Bacaan: Trakhea di tengah 13



Sistem tulang baik Cor tampak membesar Pulmo tampak infiltrat di kedua lapang paru Sinus costophrenicus kanan kiri tajam Hemidiaphragma kanan kiri normal Kesimpulan: Bronkopneumonia bilateral dengan kardiomegali. Resume Pasien laki-laki 64 tahun terkonfirmasi COVID-19 dengan fibrilasi atrium E. Daftar Masalah 



Vital Sign



: Nadi 108x/menit, kuat angkat, irregular; SpO2 94-95% O2 bebas, 96-97% NK 3 lpm







Pemeriksaan fisik: Batas jantung kiri melebar







EKG







Rontgen Thoraks : Bronkopneumonia bilateral dengan kardiomegali







Hasil Swab



: AF RVR : Positif Covid-19



F. Diagnosis a. Confirmed Covid-19 Simptomatik Ringan b. AF RVR G. Tatalaksana O2 3 lpm Observasi KU dan TTV Methisoprinol 4x500 mg selama 7 hari PO Azithromycin 1x500 mg selama 5 hari PO Becefort 2x1 PO VIP Albumin 3x1 PO Zinc 1x20 mg PO Vit. D3 1x1000 IU PO 14



Digoxin 1x0.25 mg PO Edoxaban 1x60 mg PO NAC 3x200 mg PO Rencana Swab ulang 9 hari kemudian (16/02/2021) Follow-Up Status Pasien Tabel 2.1 Follow Up Status Pasien Tanggal



Subjective



Objektive



Assessment



Planning -



O2 3 lpm



Keadaan umum



-



Observasi KU dan TTV



baik, kesadaran



-



Methisoprinol 4x500



compos mentis



mg selama 7 hari PO -



Vital Sign: 07/02/2021 23.00 Ruangan Tower 7



mg selama 5 hari PO



TD 125/80 mmHg



H-0 Batuk, Sesak disangkal



Lantai 26



Azithromycin 1x500



-



Becefort 2x1 PO



-



VIP Albumin 3x1 PO



-



Zinc 1x20 mg PO



-



Vit. D3 1x1000 IU PO



-



Digoxin 1x0.25 mg PO



SpO2 94-95%



-



Edoxaban 1x60 mg PO



dengan O2 bebas,



-



NAC 3x200 mg PO



96-97% dengan



-



Rencana Swab ulang 9



N 108 x/m, kuat angkat, iireguler RR 20 x/m



-Confirmed COVID-19 SR -AF RVR



T 36,5°C



nasal 3 lpm



hari kemudian (16/02/2021)



EKG: AF RVR H-3



Keadaan umum



10/02/2021 Batuk,



sedang, kesadaran



Ruangan



compos mentis



Sesak +



Tower 7 15



-Confirmed COVID-19 SR -AF RVR



-



EKG serial



-



O2 4 lpm



-



Observasi KU dan TTV



-



Methisoprinol 4x500 mg PO (H3/7)



Lantai 26



Vital Sign:



-



TD 118/68 mmHg



Azithromycin 1x500 mg PO (H3/5)



N 64 x/m



-



Becefort 2x1 PO



RR 22 x/m



-



VIP Albumin 3x1 PO



T 36,3°C



-



Zinc 1x20 mg PO



SpO2 96%



-



Vit. D3 1x1000 IU PO



dengan NK 4 lpm,



-



Digoxin 1x0.25 mg PO



94% dengan O2



-



Edoxaban 1x60 mg PO



bebas



-



NAC 3x200 mg PO



-



Rencana Swab ulang 9 hari kemudian (16/02/2021)



Keadaan umum



-



O2 3 lpm



-



Observasi KU dan TTV



-



Methisoprinol 4x500



baik, kesadaran



mg PO (H7/7)



compos mentis



-



Azithromycin 1x500 mg PO (Selesai)



Vital Sign:



H-7 14/02/2021 Ruangan Tower 7



Batuk, Sesak +



Lantai 26



-



Becefort 2x1 PO



TD 121/72 mmHg



-Confirmed



-



VIP Albumin 3x1 PO



N 71 x/m



COVID-19 SR



-



Zinc 1x20 mg PO



RR 24 x/m



-AF RVR



-



Vit. D3 1x1000 IU PO



T 36,4°C



-



Digoxin 1x0.25 mg PO



SpO2 97%



-



Edoxaban 1x60 mg PO



dengan NK 5 lpm,



-



NAC 3x200 mg PO



94% dengan O2



-



Rencana Swab ulang 9



bebas



hari kemudian (16/02/2021)



H-9



Batuk



Keadaan umum



16



-Confirmed



-



O2 3 lpm



16/02/2021



baik, kesadaran



COVID-19 SR



-



Observasi KU dan TTV



Ruangan



compos mentis



-AF RVR



-



Terapi Lini 1 Selesai



-



Becefort 2x1 PO



Vital Sign:



-



VIP Albumin 3x1 PO



TD 142/80 mmHg



-



Zinc 1x20 mg PO



N 72 x/m



-



Vit. D3 1x1000 IU PO



RR 22 x/m



-



Digoxin 1x0.25 mg PO



T 36,7°C



-



Edoxaban 1x60 mg PO



SpO2 98%



-



NAC 3x200 mg PO



dengan NK 4 lpm



-



Rencana Swab ulang 9



Tower 7 Lantai 26



hari kemudian (16/02/2021)



Follow-Up Hasil Pemeriksaan Penunjang 16/02/2021 SWAB PCR: Negatif  Pro KRS H. Prognosis Prognosis pasien dalam perjalanan penyakit COVID-19 dubia ad bonam. Dalam perjalanan penyakit, ditemukan fibrilasi atrium pada gambaran EKG yang terkontrol dengan obat-obatan.



17



BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 COVID-19 3.1.1 Definisi Human Coronovirus (HCoV) yang sangat patogen, pertama kali diidentifikasi sebagai 2019-nCoV dan sekarang dinamai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2), pertama kali ditemukan di Wuhan, Cina, sebagai penyebab penyakit virus corona 2019 (COVID-19) dengan morbiditas dan mortalitas yang mengkhawatirkan. Perjalanan klinis dari sekitar 15% pasien dengan COVID-19 mungkin dipersulit oleh timbulnya pneumonia interstitial yang parah, yang kemudian dapat berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan akut dan/atau kegagalan multiorgan dan kematian1. WHO telah mengumumkan infeksi virus ini sebagai pandemi yang penyebaran utamanya melalui droplet dengan gejala umum yang ringan pada infeksi tersebut seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, kelelahan, nyeri otot, diare serta komplikasi mengancam seperti ARDS yang sering menyerang orang dewasa lanjut usia dengan penyakit komorbid serta gangguan kekebalan tubuh2. Novel Beta Coronavirus (SARS-CoV-2) yang saat ini menyebabkan penyakit COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) adalah virus dengan rantai positif genom RNA untai tunggal. COVID-19 termasuk dalam subfamili Orthocoronavirinae, sesuai dengan namanya, dengan karakteristik paku “seperti mahkota” di permukaannya. Bersama SARS-CoV, SARS-like CoV pada kelelawar juga masuk dalam genus betacoronavirus.3 Asal, lokasi, dan reservoir alami pasti dari SARS-CoV-2 masih belum jelas, meskipun diyakini bahwa virus tersebut bersifat zoonosis dan kelelawar mungkin menjadi penyebabnya karena terdapat identitas sekuens pada bat-CoV. Pada awalnya infeksi COVID-19 diduga berasal dari kelelawar, yang kemudian menyerang



18



trenggiling sebagai host perantara yang kemudian baru menyerang manusia, sebagai host terminal.3 3.1.2 Manifestasi Klinis COVID-19 memiliki masa inkubasi rata-rata 5,2 hari. Infeksi bersifat akut tanpa status karier. Gejala biasanya dimulai dengan sindrom nonspesifik, termasuk demam, batuk kering, dan kelelahan. Beberapa sistem mungkin terlibat, termasuk pernapasan (batuk, sesak napas, nyeri tenggorokan, rinorea, hemoptisis, dan nyeri dada), gastrointestinal (diare, mual, dan muntah), muskuloskeletal (nyeri otot), dan neurologis (nyeri kepala atau kebingungan). Tanda dan gejala yang lebih umum adalah demam (83% –98%), batuk (76% –82%), dan sesak napas (31% –55%). Sekitar 15% menderita demam, batuk, dan sesak napas.3 Setelah onset penyakit, gejala yang timbul menjadi ringan dan waktu rata-rata dibutuhkan untuk perawatan dirumah sakit adalah 7,0 hari (4,0-8,0). Tetapi penyakit dapat berkembang menjadi sesak napas (~8 hari), sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) (~ 9 hari), dan membutuhkan bantuan ventilasi mekanis (~ 10,5 hari) pada sekitar 39% pasien. Pasien dengan penyakit yang berat berkembang menjadi ARDS dapat memburuk dalam waktu singkat dan meninggal karena kegagalan banyak organ. Angka kematian pada seri awal pasien rawat inap adalah 11% -15%, tetapi statistik selanjutnya adalah 2% -3%.3 Virus SARS-CoV-2 dapat masuk ke inang melalui saluran pernapasan atau permukaan mukosa (seperti konjungtiva). Penularan melalui feses belum dikonfirmasi. Virus ini memiliki tropisme preferensial pada sel epitel saluran napas manusia dan reseptor seluler, seperti SARS, adalah ACE2. Namun, perubahan patologis penyakit dan patogenesisnya pada manusia tidak dijelaskan dengan jelas. Secara teoritis paruparu adalah organ utama yang terlibat. Apakah virus akan berkembang biak di bagian tubuh yang lain masih belum jelas.3



19



3.1.3 Diagnosis COVID-19 biasanya muncul sebagai infeksi saluran pernapasan virus akut dan banyak diagnosis banding yang terkait dengan pneumonia virus umum harus dipertimbangkan, seperti influenza, parainfluenza, infeksi adenovirus, infeksi virus syncytial pernapasan, infeksi metapneumovirus, dan patogen atipikal, seperti Mycoplasma pneumoniae dan infeksi Clamydophila pneumoniae dll. Oleh karena itu, sangat penting untuk melacak riwayat perjalanan dan paparan saat mendekati pasien yang dicurigai kembali dari daerah epidemi.3 WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RTPCR.3 Rontgen dada dan computer tomography (CT) biasanya menunjukkan pneumonia bilateral (75-98%) dengan beberapa bintik dan opasitas ground glass. Data laboratorium rutin pada tahap awal epidemi COVID-19 mirip dengan infeksi virus umum yaitu limfopenia, waktu protrombin yang memanjang, D-dimer tinggi, enzim hati (alanine aminotransferase), bilirubin total, dan dehidrogenase laktat, dengan data yang memburuk pada kasus ICU. Leukositosis dapat terjadi jika terjadi komplikasi dengan infeksi bakteri sekunder.3 3.1.4 Tatalaksana Strategi utama adalah perawatan simptomatik dan suportif, seperti menjaga tanda-tanda vital, menjaga saturasi oksigen dan tekanan darah, serta mengobati komplikasi, seperti infeksi sekunder atau kegagalan organ.3 1. Tanpa Gejala24 a. Vitamin C (untuk 14 hari) b. Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk



20



diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien. c. Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.



2. Derajat Ringan a. Vitamin C dengan non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari) b. Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari c. Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari Atau d. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau e. Favipiravir (Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari f. Klorokuin



fosfat



500



mg/12



jam



oral



(untuk



5-7



hari)



ATAU



Hidroksiklorokuin (sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat dipertimbangkan apabila pasien dirawat inap di RS dan tidak ada kontraindikasi. g. Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam. h. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada



3. Derajat Sedang a. Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan b. Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 mg) hari pertama 400 mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) Ditambah c. Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah d. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau e. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau 21



f. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau g. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari h. Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP i. Pengobatan simptomatis (Parasetamol dan lain-lain). j. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada 4. Derajat Berat/Kritis a. Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan b. Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena c. Klorokuin fosfat, 500 mg/12 jam/oral (hari ke 1-3) dilanjutkan 250 mg/12 jam/oral (hari ke 4-10) atau Hidroksiklorokuin dosis 400 mg /24 jam/oral (untuk 5 hari), setiap 3 hari kontrol EKG d. Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). e. Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan



kultur



sputum



(dengan



kehati-hatian



khusus)



patut



dipertimbangkan. f. Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau g. Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau h. Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau i. Remdesivir 200 mg IV drip/3jam dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari j. Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP



22



k. Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator. l. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada m. Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang sudah ada n. Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi4



3.2 Fibrilasi Atrium 3.2.1 Definisi Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular dengan aktivasi listrik atrium yang tidak terkoordinasi dan akibatnya kontraksi atrium menjadi tidak efektif. Karakteristik elektrokardiografi AF meliputi: Interval R-R yang tidak teratur tidak teratur (ketika konduksi atrioventrikular tidak terganggu), Tidak adanya gelombang P berulang yang berbeda, dan aktivasi atrium tidak teratur. Istilah AF klinis yang saat ini digunakan yaitu AF dengan gejala atau tanpa gejala yang didokumentasikan dengan EKG. Durasi minimum penelusuran EKG AF yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis AF klinis adalah sekurang-kurangnya 30 detik, atau keseluruhan EKG 12 sadapan.5



23



3.2.2 Faktor Risiko



Gambar 3.1 Faktor Risiko Fibrilasi Atrium5



AF



dapat



dikaitkan



dengan



penyebab



reversibel



sementara,



seperti



tirotoksikosis, MI akut, perikarditis akut, operasi jantung baru-baru ini, penyakit paru akut, asupan alkohol, atau sengatan listrik. Dalam kasus ini, AF biasanya menghilang setelah perawatan kondisi pencetus yang mendasarinya. AF dianggap sekunder dari penyakit jantung struktural yang mendasari pada lebih dari 70% pasien dan merupakan ekspresi aritmia terakhir dari beragam penyakit keluarga. Penyebab AF akut yang paling sering adalah MI dan operasi kardiotoraks. Faktor risiko klinis yang paling umum untuk AF kronis adalah hipertensi dan penyakit jantung iskemik, dengan sebagian besar pasien yang mengalami gagal jantung kongestif kemungkinan besar mengalami aritmia. Di negara berkembang, hipertensi dan penyakit katup reumatik (biasanya mitral) dan jantung bawaan adalah kondisi yang paling sering berhubungan.6



24



Gambar 3.2 Hubungan Faktor Risiko dengan Fibrilasi Atrium6



3.2.3 Diagnosis Diagnosis



AF



memerlukan



dokumentasi



ritme



dengan



penelusuran



elektrokardiogram (EKG) yang menunjukkan AF. Menurut kesepakatan, episode yang berlangsung setidaknya 30 detik merupakan diagnostik untuk AF klinis. Rekaman EKG 12 sadapan standar atau pelacakan EKG sadapan tunggal 30 detik yang menunjukkan irama jantung tanpa gelombang P berulang yang terlihat dan interval RR tidak teratur (bila konduksi atrioventrikular tidak terganggu) merupakan diagnostik AF klinis.5



Gambar 3.3 Diagnosis Fibrilasi Atrium5 25



3.2.4 Tatalaksana Penatalaksanaan AF harus ditujukan dalam mengidentifikasi dan mengobati penyebab yang mendasari aritmia, serta mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan mencegah morbiditas dan mortalitas kardiovaskular yang terkait dengan AF. Ada empat masalah utama yang harus diatasi dalam pengobatan AF: pencegahan embolisasi sistemik, kontrol laju ventrikel, pemulihan dan pemeliharaan ritme sinus normal, dan modifikasi faktor risiko.6



Gambar 3.4 Tatalaksana Fibrilasi Atrium5



Jalur holistik Atrial fibrillation Better Care (ABC) sederhana ('A' Antikoagulasi/Hindari



stroke;



'B'



Manajemen



gejala



yang



lebih



baik;



'C'



Pengoptimalan Kardiovaskular dan Komorbiditas) menyederhanakan perawatan terintegrasi pasien AF di semua tingkat perawatan kesehatan dan diantara spesialisasi yang berbeda. Dibandingkan dengan perawatan biasa, penerapan jalur ABC secara signifikan dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari semua penyebab kematian, hasil gabungan dari stroke/perdarahan mayor/kematian kardiovaskular dan rawat inap 26



pertama, tingkat kejadian kardiovaskular yang lebih rendah, dan biaya terkait kesehatan yang lebih rendah.5 Kardioversi



yang



mendesak



(dilakukan



dalam



beberapa



hari)



harus



dipertimbangkan pada pasien hemodinamik yang tidak stabil (juga dalam kasus infark miokard akut atau gagal jantung akut) karena AF onset baru atau di mana AF mungkin menjadi faktor yang berpartisipasi. Pada pasien lainnya, tidak memerlukan kardioversi mendesak, kebutuhan kardioversi harus diimbangi dengan kebutuhan akan lebih banyak peralatan dan personel disamping pasien, dan kemungkinan kebutuhan untuk intubasi (dengan risiko peningkatan pembentukan aerosol virus). Pada pasien sakit kritis dengan ketidakstabilan hemodinamik karena onset baru AF Amiodarone intravena adalah obat antiaritmia pilihan untuk mengontrol ritme.5 Pada pasien rawat inap dibawah pengobatan antiviral dengan AF yang baru muncul atau berulang tetapi tanpa ketidakstabilan hemodinamik, penghentian obat antiaritmia lebih disukai dan memulai terapi kontrol laju dengan beta-blocker (atau penghambat saluran kalsium nondihidropiridin, kecuali kontraindikasi, dengan atau tanpa digoksin) lebih disukai sehingga pengobatan antivirus yang aman tanpa risiko perpanjangan interval QT. Selama infeksi COVID-19, risiko terkait QT dapat diperkuat dengan penggunaan obat-obatan perpanjangan QT secara bersamaan (misalnya hydroxychloroquine, azithromycin, lopinavir / ritonavir), peradangan miokard dan/atau ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hipomagnesemia dan / atau hipokalsemia). Interaksi obat-obat termasuk obat antivirus dan antiaritmia harus dipertimbangkan sebelum memulai terapi.5,7



27



Gambar 3.5 Tatalaksana Fibrilasi Atrium pada Pasien Covid-197



Antikoagulan Antikoagulan oral (OAC) dengan antagonis vitamin K (VKAs) atau antikoagulan oral non-VKA (NOAC) secara nyata mengurangi stroke dan mortalitas pada pasien AF. Menurut pedoman saat ini, OAC direkomendasikan untuk mencegah tromboemboli pada pasien AF pria dengan skor CHA2DS2-VASc 2 atau lebih (wanita: 3 atau lebih). Karena pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit biasanya berusia lebih dari 65 tahun dan muncul pada sekitar 70% kasus 2 atau lebih komorbiditas, termasuk penyakit jantung iskemik (30,1%), stroke sebelumnya (11,2%), hipertensi (73,8%), dan diabetes (33,9%). Mereka harus membutuhkan terapi OAC jangka panjang jika terjadi AF. Pada populasi umum, ketika terapi OAC dimulai pada pasien dengan AF, NOAC direkomendasikan daripada VKAs; Namun, rekomendasi ini tidak boleh diterapkan pada pasien dengan COVID-19 untuk beberapa interaksi farmakologis antara NOAC dan obat antivirus (lopinavir / ritonavir dan remdesivir) dan terapi eksperimental lainnya (yaitu, tocilizumab) dan chloroquine / hydroxychloroquine) sebenarnya digunakan dalam pengelolaan penyakit.5,7 Obat Antiaritmia untuk "Strategi Rate Control" Rate control merupakan bagian integral dari manajemen pasien dengan AF dan seringkali cukup untuk memperbaiki gejala yang berhubungan dengan AF. Kontrol laju farmakologis dapat dicapai untuk kontrol laju akut atau jangka panjang dengan beta-blocker, penghambat 28



saluran kalsium nondihidropiridin, dan digoksin. Pada populasi umum, pilihan biasanya tergantung pada fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF), khususnya, penggunaan penghambat saluran kalsium harus dihindari pada pasien dengan LVEF, 40%, karena efek inotropik negatifnya, dan penggunaan digoksin direkomendasikan untuk pengobatan pasien dengan gagal jantung dengan penurunan LVEF (HFrEF) dan AF dengan denyut ventrikel cepat ketika pilihan terapi lain tidak dapat dilakukan. Namun, rekomendasi ini harus dievaluasi secara hati-hati pada pasien dengan COVID-19 karena beberapa interaksi farmakologis antara obat yang saat ini digunakan untuk "strategi pengendalian tarif" dan COVID-19 eksperimental terapi dalam terapi.5,7 Obat Antiaritmia untuk Strategi Pengendalian Irama Memulihkan dan mempertahankan ritme sinus merupakan bagian integral dari manajemen AF. Pada populasi umum, terapi kendali ritme diindikasikan untuk memperbaiki gejala pada pasien AF yang tetap bergejala pada terapi kendali laju yang adekuat.5,7 3.3 Korelasi Fibrilasi Atrium dengan COVID-19 Tidak ada laporan khusus tentang terjadinya AF selama infeksi COVID-19. Berdasarkan literatur yang tersedia, di antara pasien COVID-19, AF terdeteksi pada 19% hingga 21% dari semua kasus. Satu studi melaporkan prevalensi 36% pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, dengan AF diamati pada 42% pasien yang tidak bertahan hidup. Dalam sebuah laporan kecil, hingga 75% pasien geriatri COVID-19 yang dirawat di rumah sakit memiliki riwayat AF sebelumnya. Statistik terbaru oleh COVID-19 Task Force of Italian National Institute of Health menunjukkan bahwa 24,5% dari 355 pasien COVID-19 yang meninggal (usia rata-rata 79,5 tahun, 70% laki-laki) menunjukkan AF sebelum infeksi SARS-CoV-2.7 Pada penderita pneumonia berat, gangguan pernapasan akut sindroma (ARDS) dan sepsis, kejadian AF selama rawat inap biasanya tinggi. Misalnya, 23-33% kritis pasien yang sakit dengan sepsis atau ARDS mengalami kekambuhan AF dan 10% menjadi AF onset baru. Namun, data yang dapat diandalkan tentang AF yang pertama kali didiagnosis pada pasien



29



dengan COVID-19 terbatas. Berdasarkan laporan kasus dan studi klinis kecil, onset AF baru bervariasi antara 3,6% dan 6,7% pada pasien dengan COVID-19.7 Infeksi COVID-19 merupakan penyakit akut dengan masa inkubasi rata-rata lima hingga enam hari, pada beberapa kasus hingga 14 hari. Jangka waktu yang relatif singkat ini tidak cukup untuk meningkatkan risiko AF, misalnya menyebabkan fibrosis, yang biasanya membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk berkembang. Sementara renovasi struktural atrium penting dalam menyediakan substrat yang memelihara AF, onset AF dan paroksismanya sering kali terkait sementara dengan infeksi COVID-19 akut. Sebagai catatan, pasien COVID-19 yang berkembang menjadi AF berusia lebih tua dan kebanyakan dari mereka memiliki setidaknya satu faktor risiko yang sudah ada sebelumnya, termasuk hipertensi, sementara beberapa tidak melaporkan penyakit apapun. Usia yang lebih tua dan terjadinya gagal jantung juga dikaitkan dengan kemungkinan insiden AF yang lebih besar selama infeksi COVID-19. Oleh karena itu, pasien COVID-19 dengan AF yang baru didiagnosis mungkin memiliki substrat yang sudah ada sebelumnya untuk AF dan infeksi COVID-19 akut dapat menjadi pemicu untuk inisiasi AF, yang konsisten dengan hubungan temporal antara AF yang baru muncul dan infeksi COVID-19.7 Patofisiologi AF terkait COVID-19 tidak dipahami dengan baik dan mekanisme dugaan yang diusulkan termasuk penurunan ketersediaan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), interaksi protein CD-147 dan sialic acid-spike, peningkatan sinyal inflamasi yang pada akhirnya berpuncak pada inflamasi badai sitokin., kerusakan endotel virus langsung, elektrolit dan kelainan keseimbangan asam basa pada fase akut penyakit parah dan peningkatan dorongan adrenergic.7



30



Gambar 3.6 Patogenesis Fibrilasi Atrium pada Pasien Covid-197



31



BAB 4 DISKUSI Perjalanan klinis dari sekitar 15% pasien dengan COVID-19 mungkin dipersulit oleh timbulnya pneumonia interstitial yang parah, yang kemudian dapat berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan akut dan / atau kegagalan multiorgan dan kematian. Virus secara langsung mempengaruhi sistem kardiovaskular, dan penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya merupakan faktor risiko penting untuk morbiditas dan mortalitas pada kasus ini. Pada kasus ini, pasien mengeluhkan batuk dirasakan setiap hari dengan frekuensi sering, tidak ada yang memperingan dan memperberat batuk. Batuk tidak berdahak. Keluhan lain yang dirasakan yaitu nyeri kepala, meriang, dan nyeri tenggorokan. Nyeri kepala dirasakan sejak 1 hari SMRS. Nyeri kepala dirasakan berdenyut pada tengkuk kepala. Meriang dan nyeri tenggorokan dirasakan sejak 3 hari SMRS. Dari pemeriksaan tanda-tanda vital, nadi pasien 108x/ menit dan ireguler, serta saturasi pasien 94-95% pada udara ruang dan 96-97% dengan penggunakan oksigen NK 3 lpm. Pemeriksaan fisik thorax didapatkan pelebaran batas jantung. Dari pemeriksaan penunjang berupa EKG, didapatkan AF RVR. Dari rontgen thorax PA didapatkan bronkopneumonia bilateral dan kardiomegali. Pasien termasuk ke dalam golongan AF simptomatik. Pasien dengan COVID-19 didiagnosis dengan AF, penatalaksanaan AF serupa dengan populasi umum. Banyak terapi COVID-19 memiliki efek samping kardiovaskular dan diperlukan kehati-hatian saat menerapkannya pada pasien dengan AF. Data spesifik terkait pasien AF dan COVID-19 saat ini masih kurang.



32



BAB 5 KESIMPULAN Penatalaksanaan fibrilasi atrium pada keadaan COVID-19 tidak berbeda dengan penatalaksanaan rutin kondisi ini pada populasi umum; Namun, beberapa interaksi farmakokinetik antara obat yang biasa digunakan untuk pencegahan tromboemboli, serta kontrol ritme dan kecepatan dengan terapi eksperimental farmakologis yang sebenarnya digunakan pada pasien dengan COVID-19 mengurangi penanganannya dalam praktik klinis.



33



DAFTAR PUSTAKA 1. 2.



3. 4.



5.



6. 7.



Russo V, Rago A, Carbone A, Bottino R, Ammendola E, Della Cioppa N, et al. Atrial Fibrillation in COVID-19: From Epidemiological Association to Pharmacological Implications. J Cardiovasc Pharmacol. 2020;76(2):138–45. Tim Komunikasi Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19); 2020; Selalu 3M Cegah Peningkatan Penyebaran Covid-19 pada Komunitas dan Risiko Individu; Jakarta: https://setkab.go.id/selalu-3m-cegah-peningkatanpenyebarancovid-19-pada-komunitas-dan-risiko-individu/ Wu Y-C, Chen C-S, Chan Y-J. The outbreak of COVID-19. J Chinese Med Assoc. 2020;83(3):217–20. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestisiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Pedoman dan Tatalaksana COVID-19. Pedoman Tatalaksana COVID-19. 2020. 3–6 hal. Hindricks G, Potpara T, Dagres N, Arbelo E, Bax JJ, et al. 2020 ESC Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation developed in collaboration with the European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS). Eur Heart J. 2021;42(5):373– 498. To AC. Clinical Arrhythmology and Electrophysiology. Clinical Arrhythmology and Electrophysiology. 2019. Gawałko M, Kapłon-Cieślicka A, Hohl M, Dobrev D, Linz D. COVID-19 associated atrial fibrillation: Incidence, putative mechanisms and potential clinical implications. IJC Hear Vasc. 2020;30:1–8.



34