Laporan Kasus Trauma Kapitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif. Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak di atas usia 1 tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis, meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera otak adalah suatu kerusakan pada otak, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Tahun 2020 diperkirakan WHO bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Amerika diestimasi 5,3 juta warga negaranya hidup dengan cedera otak dan dihadapkan pada tantangan untuk dapat sembuh kembali. Cedera kepala di Eropa tahun 2010 insidensi mencapai 500 per 100.000 populasi. Setiap tahun di Inggris diestimasi 1,4 juta pasien dengan cedera kepala datang ke departemen kecelakaan dan gawat darurat. Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.



1



Prediksi insiden per tahunnya di dunia akan menurun secara signifikan dengan adanya undang-undang pemakaian helm dan sabuk pengaman bagi pengendara motor/mobil. Diperkirakan sebanyak kurang lenih 10 juta orang menderita trauma kapitis berat dengan angka kematian sekitar separuhnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis cukup tinggi.Oleh karena itu, pemahaman mengenai trauma kapitis perlu ditingkatkan sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma kapitis.



1.2. Tujuan Pembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai trauma kapitis serta sebagai syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Putri Hijau, Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia.



1.3. Manfaat Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai trauma kapitis.



.



2



BAB 2 LAPORAN KASUS



2.1.



Anamnesis



Identitas Pribadi No. Rekam Medis



: 042788



Nama



: Ernistu



Jenis Kelamin



: Laki-laki



Usia



: 52 tahun



Suku Bangsa



: Batak



Agama



: Islam



Alamat



: Jl. Gaharu no. 10 Medan Timur



Status



: Kawin



Pekerjaan



: Wiraswasta



Tanggal Masuk



: 02 April 2014 pukul 02.00 WIB



Tanggal Keluar



:-



2.2.



Riwayat Perjalanan Penyakit



2.2.1. Keluhan Keluhan Utama



: Nyeri Kepala



Telaah



: Hal ini dialami os sejak 2 hari yang lalu. Nyeri kepala dirasakan di sebagian kepala. Tidak dijumpai gangguan penglihatan pada kedua mata. Os juga mengalami muntah menyembur sebanyak 1 kali sebelum masuk rumah sakit. Nyeri kepala dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 3 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor,



dan



mengalami



tabrakan



dengan



pengendara sepeda motor lainnya. Os terjatuh ke aspal. Kemudian kepala os membentur aspal. Pada saat kejadian os tidak memakai helm. Os tidak



3



mengalami gangguan ingatan pasca kecelakaan. Riwayat pingsan (+) selama ± 15 menit, riwayat kejang (-), riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-). Riwayat Penyakit Terdahulu : Riwayat penggunaan obat



:-



2.2.2. Anamnesa Traktus Traktus Sirkulatorius



: Nyeri dada (-), hipertensi (-)



Traktus Respiratorius



: Tidak dijumpai gangguan, sesak (-), batuk (-)



Traktus Digestivus



: Tidak dijumpai kelainan, mual (-), muntah (-) BAB normal.



Traktus Urogenitalis



: Tidak dijumpai kelainan, BAK normal



Penyakit Terdahulu



: Kecelakaan lalu lintas



dan Kecelakaan Intoksikasi dan Obat-obatan : (-)



2.2.3. Anamnesa Keluarga Faktor Herediter



:-



Faktor Familier



:-



Lain-lain



:-



2.2.4. Anamnesa Sosial Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir normal, pertumbuhan baik Imunisasi



: Tidak jelas



Pekerjaan



: Wiraswasta



Perkawinan



: Sudah menikah.



4



2.3.



Pemeriksaan Jasmani



2.3.1. Pemeriksaan Umum Tekanan Darah



: 120/77mmHg



Nadi



: 92x/menit



Frekuensi Nafas



: 22x/menit



Temperatur



: 36,2°C



Kulit



: Sianosis (-), dijumpai luka robek pada pelipis kiri.



Kelenjar dan Getah Bening : Tidak teraba Persendian



: Tidak dijumpai pembengkakan



2.3.2.Kepala dan Leher Bentuk dan Posisi



: Normosefalik, bulat, dan medial



Pergerakan



: Bebas, dalam batas normal



Kelainan Panca Indera



: Tidak dijumpai



Rongga Mulut dan Gigi



: Tidak dijumpai kelainan



Kelenjar Parotis



: Dalam batas normal



Desah



: Tidak dijumpai



Dan Lain-lain



:-



2.3.3. Rongga Dada dan Abdomen Rongga Dada Inspeksi



:



Palpasi



: SF ka=ki, kesan normal



Perkusi



:



Auskultasi



: SP vesikuler, ST (-), SJ dbn



Rongga Abdomen



Simetris Fusiformis



Simetris soepel



sonor



Timpani Peristaltik(+) normal



2.3.4. Genitalia Toucher



: Tidak dilakukan pemeriksaan



5



2.4.



Pemeriksaan Neurologis



2.4.1. Sensorium



: Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)



2.4.2. Kranium Bentuk



: Bulat



Fontanella



: Tertutup



Palpasi



: Pulsasi a. temporalis (+), a. carotis (+),



Perkusi



: Cracked pot sign (-)



Auskultasi



: Desah (-)



Transilumnasi



: Tidak dilakukan pemeriksaan



2.4.3. Perangsangan Meningeal Kaku Kuduk



: (-)



Tanda Brudzinski I



: (-)



Tanda Brudzinski II



: (-)



2.4.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial Muntah



: (-)



Sakit Kepala



: (+)



Kejang



: (-)



2.4.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis Nervus I



Meatus Nasi Dextra



Meatus Nasi Sinistra



Normosmia



:



(+)



(+)



Anosmia



:



(-)



(-)



Parosmia



:



(-)



(-)



Hiposmia



:



(-)



(-)



Nervus II Visus



Oculi Dextra (OD)



Oculi Sinistra (OS)



:



tdp



tdp



:



(+)



(+)



Lapangan Pandang Normal



6



Menyempit



:



(-)



(-)



Hemianopsia



:



(-)



(-)



Scotoma



:



(-)



(-)



Refleks Ancaman



:



(+)



(+)



Fundus Okuli Warna



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Batas



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Ekskavasio



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Arteri



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Vena



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Nervus III, IV, VI



Oculi Dextra (OD)



Gerakan Bola Mata



:



(+)



Nistagmus



:



tdp



Oculi Sinistra (OS) (+) tdp



Pupil Lebar



:



Ø 3 mm



Ø 3 mm



Bentuk



:



bulat



bulat



Refleks Cahaya Langsung :



(+)



(+)



Refleks Cahaya tidak Langsung:



(+)



(+)



Rima Palpebra



:



7 mm



7 mm



Deviasi Konjugate



:



(-)



(-)



Fenomena Doll’s Eye :



tdp



tdp



Strabismus



:



(-)



(-)



Ptosis



:



(-)



(-)



Nervus V



Kanan



Kiri



Motorik Membuka dan menutup mulut



: dalam batas normal dalam batas normal



Palpasi otot masseter dan temporalis : dalam batas normal dalam batas normal Kekuatan gigitan



: dalam batas normal dalam batas normal



Sensorik



7



Kulit



: dalam batas normal dalam batas normal



Selaput lendir



: dalam batas normal dalam batas normal



Refleks Kornea Langsung



:



(+)



(+)



Tidak Langsung



:



(+)



(+)



:



(+)



(+)



(+)



(+)



Refleks Masseter Refleks bersin



:



Nervus VII



Kanan



Kiri



simetris



simetris



Motorik Mimik



:



Kerut Kening



:



(+)



(+)



Menutup Mata



:



(+)



(+)



Meniup Sekuatnya



:



tidak bocor



tidak bocor



Memperlihatkan Gigi



:



simetris



simetris



Tertawa



:



simetris



simetris



Sensorik Pengecapan 2/3 Depan Lidah :



(+)



(+)



Produksi Kelenjar Ludah



(+)



(+)



(-)



(-)



(+)



(+)



:



Hiperakusis



:



Refleks Stapedial



:



Nervus VIII



Kanan



Kiri



Auditorius Pendengaran



:



(+)



(+)



Test Rinne



:



tdp



tdp



Test Weber



:



tdp



tdp



Test Schwabach



:



tdp



tdp



Vestibularis Nistagmus



: tidak dilakukan pemeriksaan



Reaksi Kalori



: tidak dilakukan pemeriksaan



8



Vertigo



:



(-)



(-)



Tinnitus



:



(-)



(-)



Nervus IX, X Pallatum Mole



: Arcus pharynx terangkat saat bersuara dan simetris



Uvula



: Medial



Disfagia



: (-)



Disartria



: (-)



Disfonia



: (-)



Refleks Muntah



: (+)



Pengecapan 1/3 Belakang Lidah



: (+)



Nervus XI



Kanan



Mengangkat Bahu



Kiri



:



(+)



(+)



Fungsi Otot Sternocleidomastoideus :



(+)



(+)



Nervus XII Lidah Tremor



: (-)



Atrofi



: (-)



Fasikulasi



: (-)



Ujung Lidah Sewaktu Istirahat



: Medial



Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan



: Tidak ada deviasi



2.4.6. Sistem Motorik Trofi



: Eutrofi



Tonus Otot



: Normotoni



Kekuatan Otot



: ESD : 55555/55555



ESS: 55555/55555



EID : 55555/55555



EIS : 55555/55555



Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Baik – baik – baik



9



Gerakan Spontan Abnormal Tremor



: (-)



Khorea



: (-)



Ballismus



: (-)



Mioklonus



: (-)



Atetotis



: (-)



Distonia



: (-)



Spasme



: (-)



Tic



: (-)



Dan Lain-lain



: (-)



2.4.7. Tes Sensibilitas Eksteroseptif



: Dalam batas normal



Proprioseptif



: Dalam batas normal



Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas Stereognosis



: (+)



Pengenalan Dua Titik



: (+)



Grafestesia



: (+)



2.4.8.



Refleks



Kanan



Kiri



Refleks Fisiologis Biceps



:



(+)



(+)



Triceps



:



(+)



(+)



Radioperiost



:



(+)



(+)



APR



:



(+)



(+)



KPR



:



(+)



(+)



Strumple



:



(+)



(+)



Babinski



:



(-)



(-)



Oppenheim



:



(-)



(-)



Chaddock



:



(-)



(-)



Refleks Patologis



10



Gordon



:



(-)



(-)



Schaefer



:



(-)



(-)



Hoffman-Tromner



:



(-)



(-)



Klonus Lutut



:



(-)



(-)



Klonus Kaki



:



(-)



(-)



Refleks Primitif



:



(-)



(-)



2.4.9. Koordinasi Lenggang



: Sulit dinilai



Bicara



: Bicara spontan, pemahaman baik



Menulis



: Dalam batas normal



Percobaan Apraksia



: Dalam batas normal



Mimik



: Dalam batas normal



Test Telunjuk-Telunjuk



: (+) dapat dilakukan



Test Telunjuk-Hidung



: (+) dapat dilakukan



Diadokhokinesia



: (+) dapat dilakukan



Test Tumit-Lutut



: (+) dapat dilakukan



Test Romberg



: Dapat mempertahankan posisi



2.4.10. Vegetatif Vasomotorik



: Dalam batas normal



Sudomotorik



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Pilo-Erektor



: Tidak dilakukan pemeriksaan



Miksi



: Dalam batas normal



Defekasi



: Dalam batas normal



Potens dan Libido



: Tidak dilakukan pemeriksaan



2.4.11. Vertebra Bentuk Normal



: (+)



Scoliosis



: (-)



11



Hiperlordosis



: (-)



Pergerakan Leher



: Dalam batas normal



Pinggang



: Dalam batas normal



2.4.12. Tanda Perangsangan Radikuler Laseque



: (-)



Cross Laseque



: (-)



Test Lhermitte



: (-)



Test Naffziger



: (-)



2.4.13. Gejala-Gejala Serebelar Ataksia



: (-)



Disartria



: (-)



Tremor



: (-)



Nistagmus



: (-)



Fenomena Rebound



: (-)



Vertigo



: (-)



Dan Lain-lain



: (-)



2.4.14. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal Tremor



: (-)



Rigiditas



: (-)



Bradikinesia



: (-)



Dan Lain-lain



: (-)



2.4.15. Fungsi Luhur Kesadaran Kualitatif



: Compos mentis



Ingatan Baru



:-



Ingatan Lama



: dbn



Orientasi



12



Diri



: dbn



Tempat



: dbn



Waktu



: dbn



Situasi



: dbn



Intelegensia



: dbn



Daya Pertimbangan



: dbn



Reaksi Emosi



: dbn



Afasia Ekspresif



: (-)



Reseptif



: (-)



Apraksia



: (-)



Agnosia Agnosia visual



: (-)



Agnosia Jari-jari



: (-)



Akalkulia



: (-)



Disorientasi Kanan-Kiri : (-)



2.5.



Pemeriksaan Penunjang 



Hasil pemeriksaan laboratorium (02 April 2017)



Jenis Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin



Hasil



Nilai Normal



14,1



Hematokrit



37,1



Leukosit



14.700



L: 13-16 g/dl P: 12-14 g/dl L: 40-48% P: 37-43 % 5-10.103 /µL



Trombosit Kimia Klinik Karbohidrat Glukosa darah (sewaktu)



233.000



150-400. 103 µL



140



7 hari







GCS = 3 – 8



26



3.5.3. Berdasarkan Morfologi A. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window” untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tandatanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan



pemeriksaan



lebih



rinci.



Fraktur



kranium



terbuka



dapat



mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.



B. Lesi Intra Kranial 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi cedera iskemik-hipoksik yang berat. Pada konkusi, penderita biasanya menderita kehilangan gangguan neurologis non fokal sementara, yang seringnya termasuk kehilangan kesadaran.. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus demikian, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak bengkak secara merata dengan batas area substasia putih dan abu-abu hilang. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.



2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah



27



yang terjadi biasanya berasal dari pembuluh darah arteri, namun dapat juga terjadi akibat robekan dari sinus vena besar maupun fraktur tulang tengkorak.



3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.



4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.



3.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis 3 Pemeriksaan awal pada trauma kapitis, antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi:  GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat  GCS 9 – 13 : cedera kepala sedang  GCS > 13 : cedera kepala ringan



28



Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).



Eye Opening Mata terbuka dengan spontan



4



Mata membuka setelah diperintah



3



Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri



2



Tidak membuka mata dengan rangsang apapun



1



Best Motor Response Menurut perintah



6



Dapat melokalisir nyeri



5



Menghindari nyeri



4



Fleksi (decorticate)



3



Ekstensi (decerebrasi)



2



Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun



1



Best Verbal Response Menjawab pertanyaan dengan benar



5



Salah menjawab pertanyaan



4



Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai



3



Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya



2



Tidak ada jawaban



1



Jumlah



15



29



2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.



3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.



4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar. 3.7. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis 4,5 a. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.



b. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang



30



lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007).



c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007).



31



3.8. Penatalaksanaan Trauma Kapitis Akut 1 Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:



A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis: 1. Simple head injury (SHI) Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan tidak ada defisit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit. 2. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.



B. Pasien dengan kesadaran menurun 1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah, tanpa disertai defisit fokal serebral.



32



Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada hematoma, dilakukan CT scan. 2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut: a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas c. Foto kepala dan bila perlu bagian tubuh lain d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial e. e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral



3. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan sama dengantrauma kapitis sedang dengan pengawasan lebih ketat dan dirawat di ICU.



Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation / ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:



33







Jalan nafas (Air way) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.







Pernafasan (Breathing) Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi.



Tata laksana:  Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten  Cari dan atasi faktor penyebab  Kalau perlu pakai ventilator. 



Sirkulasi (Circulation) Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah sistolik 30 ml/jam. Setelah 34 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.



36



3. Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.



4. Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsy dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang. Penelitian menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insiden kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelahnya. Untuk dewasa dosis awal adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi umtuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada epilepsi yang berkepanjangan diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk kejang yang terus-menerus kadang memerlukan anastesi umum.



5. Neuroproteksi Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan sitikolin.



37



3.8. Komplikasi (Penyulit) pada Trauma Kapitis 4 1. Gejala sisa cedera kepala berat. Gejela sisa yang terjadi



berupa ketidakmampuan fisik (disfasia,



hemiparesis, kelumpuhan saraf kranial) dan mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). 2. Kebocoran cairan serebrospinal Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan antara rongga subarakhnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mugkin mengalami meningitis di kemudian hari. 3. Epilepsi pasca trauma 4. Sindrom pascakonkusi Nyeri kepala, vertigo, depresi, dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan.



3.11. Pencegahan Trauma Kapitis 6 Upaya pencegahan Trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas yang berakibat trauma pada kepala. Upaya yang dilakukan yaitu : 3.11.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu lalu lintas dan kendaraan bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.



3.11.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya pencegahan pada saat peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan beratnya Trauma yang dialami.



38



Dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang lapang, memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti bernafas. Tindakan Pengobatan Trauma kapitis craniotomy: a. Meningkatkan jalan nafas dan pola nafas yang efektif Pada pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy kesadaran menurun tidak dapat mempertahankan jalan nafas dan pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik tanda-tanda vital, memberikan posisi



ekstensi



pada kepala,



mengkaji



pola nafas,



memberikan jalan nafas tetap terbuka dan tidak ada sekret (sputum) yang mengganggu pola nafas b. Mempertahankan perfusi otak Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan tekanan intrakranial. Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy tekanan darah perlu diperhatikan supaya tidak menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan, harus segera diatasi serta menghindari terjadinya infeksi pada otak c. Meningkatkan perfusi jaringan serebral Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun perlu diberikan tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30 derajat posisi “midline (setengah terlentang)” untuk menurunkan tekanan vena jugularis, dan menghindarkan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial d. Cairan dan elektrolit Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun atau pasien dengan muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada tubuh e. Nutrisi



39



Pada pasien dengan Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan katabolik. Perlu diberikan makanan melalui sonde lambung. f. Pasien yang gelisah Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang, misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberikan obat analgetik.



3.11.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Pencegahan tersier yaitu upaya untuk menggurangi akibat patologis dari Trauma kapitis. Dilakukan dengan membawa penderita Trauma kapitis ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dengan tindakan segera craniotomy.



40



BAB 4 DISKUSI KASUS



Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis ringan. Hal ini ditegakkan pada kondisi pasien dimana kehilangan kesadaran kurang dari 20 menit, tidak dijumpai amnesia post traumatik, dan GCS 13-15.



TEORI



KASUS



PENYEBAB Menurut teori, cedera kepala dapat terjadi Pasien di diagnosis dengan trauma sebagai akibat langsung dari suatu ruda kapitis karena ditemukan riwayat paksa yang disebabkan oleh benturan benturan langsung kepala dengan langsung kepala dengan suatu benda keras benda keras, dalam kasus ini terbentur maupun proses dari akselerasi – deselerasi dengan aspal pada saat kecelakaan. gerakan kepala DIAGNOSIS Berdasarkan teori, untuk mendiagnosa Pada kasus, berdasarkan anamnesa, trauma kapitis diperlukan anamnesa yang ditemukan bahwa pasien mengalami menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk sakit kepala muntah sebanyak 1 kali menentukan apakah ada gangguan pasien, Pemeriksaan dilakukan



Head



untuk



CT-scan



menegakkan



pasca trauma.



perlu Pada



kasus,



telah



dilakukan



trauma pemeriksaan CT-scan pada pasien



kapitis secara pasti.



41



PENATALAKSANAAN Berdasarkan teori, pengobatan untuk nyeri Dalam kasus ini pasien mengalami nyeri kepala kepala setelah trauma tergantung dari tipe sakit tipe migrain. Pengobatan yang diberikan kepala yang dialami.



analgetik yaitu ketorolac dalam bentuk injeksi.



42



BAB 5 KESIMPULAN



Pada kasus ini, pasien mengalami nyeri kepala sejak 2 hari yang lalu. Nyeri kepala di rasakan hanya pada sebelah kepala. Pasien juga mengalami muntah menyembur pasca trauma. Nyeri kepala dialami os setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 3 hari yang lalu. Os mengendarai sepeda motor, dan mengalami tabrakan dengan pengendara sepeda motor lainnya lalu terjatuh ke aspal. Kepala os membentur aspal. Os tidak memakai helm. Os mengalami pingsan. Diagnosa pasien ini berasal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan hasil head CT-scan sehingga akhirnya di diagnosa sebagai Minor Head Injury. Pasien diberikan terapi analgetik yaitu ketorolac meredakan keluhan pasien.



43



BAB 6 SARAN



Pasien ini disarankan untuk melakukan pemeriksaan Elektro-ensefalografi dan pengobatan sementara untuk pasien tetap dilanjutkan.



44



Daftar Pustaka 1. Soertidewi



L.



2012.



Penatalaksanaan



Kedaruratan



Cedera



kepala



Kranioserebral. Available from: http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan%20Kedarura tan.pdf [Accessed 13 April 2017]. 2. Standar



Pelayanan



Medik.



PERDOSSI.



http://kniperdossi.org/index.php/2013-10-21-11-5748/download/doc_download/5-spm-neurologi [Accessed 13 April 2017]. 3. Atmadja A. 2016. Indikasi Pembedahan Pada Trauma Kapitis. Available from: http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_236Indikasi%20Pembedahan%20pad a%20Trauma%20Kapitis.pdf [Accessed 13 April 2017]. 4. Ginsberg L. 2007. Cedera Kepala. Jakarta. Penerbit Erlangga. 5. Advance Trauma Life Support for Doctors (ATLS). 2004. Cedera Kepala. Chicago 6. Bustan,



MN.



2002.



Epidemiologi



Kesehatan



Darurat.



Departemen



Pendidikan Nasional.



45