Lokmin Revisi Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PROPOSAL LOKAKARYA MINI PRAKTIK PROFESI MANAJEMEN KEPERAWATAN TERKAIT EDUKASI PASIEN DIRUANG RAWAT INAP ANAK LANTAI 7 RUANG MELATI RSUD PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN



Disusun Oleh :



1. Ade Sugarina 2. Aditiya Kurniawan 3. Desi Ratna Sari 4. Ela Rosiana Chamami 5. Harnika Yasifa Asri 6. Mida Aulia Nurwina 7. Nadya Meyana 8. Nurapriyana 9. Rifa Fauziah 10. Sayekti



PROGRAM PROFESI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA TAHUN 2019



KATA PENGANTAR



Alhamdulillahirabbil’alamin, banyak nikmat yang Allah SWT berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan “Laporan Manajemen Keperawatan Di Ruang 7 Melati Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu”. Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata ajar Manajemen Keperawatan pada program Profesi S1 Keperawatan–Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. Penulis menyadari banyak pihak yang turut membantu sejak awal penyusunan sampai laporan ini selesai. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. DR. Mardjo Soebiandono, SpB selaku Direksi PERTAMEDIKA dan Pembina Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA. 2. Dr. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA. 3. Muhammad Ali, SKM, M.Kep selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 4. Wasijati, SKp selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 5. Devi Trianingsih, S.Kep., Ns., M.Kepselaku Pembimbing Manajemen Keperawatan 6. Ns. Deliana S. Kep selaku kepala ruangan lantai 7 Ruang Melati 7. Perawat Ruang 7 Melati atas kerjasamanya, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya. 8. Teman-teman Program Profesi S1 keperawatan – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA. 9. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut berpartisipasi sehingga selesainya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak sekali kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan penulisan dan penyusunan dimasa mendatang Jakarta, 20 Mei 2019



BAB I



PENDAHULUAN A. Latar Belakang Didalam rumah sakit tidak sedikit pasien yang tidak mendapatkan edukasi mengenai beberapa hal. Hal tersebut dikarenakan berbagai macam faktor yang menjadi penghambatnya. Dalam Pedoman Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (Depkes RI) disebutkan bahwa penyuluhan kesehatan merupakan suatu proses belajar. Proses belajar merupakan rangkaian kegiatan yang esensial untuk perkembangan individu, baik sebagai perorangan maupun individu sebagai makhluk sosial. Proses belajar ini bertujuan untuk terjadinya suatu perubahan respons atau reaksi individu terhadap lingkungannya. Proses belajar menyangkut 3 bidang (domain), yaitu : (1) pengertian (cognitive domain), (2) sikap (affective domain) dan (3) tindakan/keterampilan (motordomain). Untuk melaksanakan penyuluhan kesehatan di rumah sakit dapat dilakukan oleh petugas yang mempunyai kredibilitas yang cukup bagi pasien dan mampu berkomunikasi. Tentu saja petugas yang akan melakukan penyuluhan ini perlu mendapat pelatihan terlebih dahulu tentang penyuluhan, termasuk komunikasi. Kemudian salah seorang dari mereka bisa dipilih sebagai koordinator (Depkes RI). Edukasi yang efektif diawali dengan asesmen kebutuhan edukasi pasien dan keluarganya. Asesmen ini menentukan bukan hanya kebutuhan akan pembelajaran, tetapi juga proses edukasi dapat dilaksanakan dengan baik. Edukasi paling efektif apabila sesuai dengan pilihan pembelajaran yang tepat dan mempertimbangkan agama, nilai budaya, juga kemampuan membaca serta bahasa. Edukasi akan berdampak positif bila diberikan selama prosesasuhan. Edukasi termasuk pengetahuan yang diperlukan selama proses asuhan maupun pengetahuan yang dibutuhkan setelah pasien dipulangkan(discharged) kepelayanan kesehatan lain atau ke rumah. Dengan demikian, edukasi dapat mencakup informasi sumber-sumber di komunitas untuk tambahan pelayanan dan tindak lanjut pelayanan apabila diperlukan, serta bagaimana akses ke pelayanan emergensi bila dibutuhkan. Edukasi yang efektif dalam suatu rumah sakit hendaknya menggunakan format visual dan elektronik, serta berbagai edukasi jarak jauh dan teknik lainnya.



Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan sudah seharusnya memiliki sistem manajemen yang baik mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengontrolan dan evaluasi kualitas pelayanan khususnya pelayanan keperawatan sebagai motor penggerak di rumah sakit, sehingga seluruh unit dalam organisasi yang ada dapat terkoordinir dengan baik, dan pelayanan yang diberikan kepada konsumen/pasien dapat optimal. Keberhasilan suatu rumah sakit sangat ditentukan oleh unit-unit yang ada di dalamnya. Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu merupakan salah satu Rumah Sakit milik Pemerintah daerah tipe B Non Pendidikan yang terletak di pusat kota Jakarta Selatan. Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu melayani pasien Umum dan BPJS. Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan efektif untuk memberikan nilai terbaik, sehingga menjadi pilihan utama bagi semua masyarakat dan perusahaan. . Direktur RSUD Pasar Minggu adalah Dokter Gigi Yudi. S Sp.U dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang disiapkan sebanyak 300 orang. RSUD Pasar Minggu terletak di Jalan TB Simatupang No 1, RT 05 RW 01, Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. B. Visi dan Misi RSUD Pasar Minggu 1. Visi Menjadikan rumah sakit pilihan masyarakat dengan layanan terbaik menujuJakarta Sehat untuk semua 2. Misi : a. Memberikan pelayanan kesehatan yang cepat, tanggap, bermutu dan nyaman secara paripurna b. Menerapkan system manajemen yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel c. Pengembangan SDM yang profesional dengan peningkatan kompetensi yang berkesinambungan. 3. Sumber daya manusia Jumlah Pegawai Total pegawai



Jumlah ±800 orang



4. Indikator pelayanan rawat inap RSUD Pasar Minggu



Indikator Rawat Inap RS Jumalh pasien masuk (jiwa) Jumlah pasien keluar (hidup/mati) Pasien keluar hidup Pasien meninggal < 48 jam > 48 jam Hari rawat Lama rawat ALOS (hari) BOR (%) TOI (hari) BTO NDR GDR



Realisasi 2018 2880 2854 3007 59 85 12,64 11,45 3,81 83,10 % 0,86 6 2,83 4,79



5. Kapasitas Tempat Tidur Ruangan Lantai 4 Lantai 5 Lantai 6 Lantai 7 Lantai 8 Lantai 9 Lantai 10 Lantai 11 HCU ICU ICCU PICU NICU PERINA KBBL VK TOTAL



Kapasitas TT 40 TT 8 TT 62 TT 62 TT 50 TT 63 TT 63 TT 63 TT 4 TT 28 TT 7 TT 7 TT 12 TT 11 TT 23 TT 15 TT 503 TT



6. Struktur Organisasi Rawat Inap Struktur Organisasi Unit Rawat Inap mengacu kepada Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum DaerahPasar Minggu. Unit Rawat Inap berada dibawah KaSie Pelayanan Medis.



DIREKTUR



Kepala Instalasi RI KEPALA SATUAN PELAYANAN RAWAT INAP



KOORDINATOR RAWAT INAP



KEPALA SATUAN PELAYANAN RAWAT INAP KABAG PPSDM



KABAG PPSDM PENANGGUNG JAWAB RAWAT INAP



PENANGGUNG JAWAB ADMINISTRASI ( REKAM MEDIS DAN KLAIM BPJS )



PENANGGUNG JAWAB INVENTARIS



PENANGGUNG JAWAB OBAT DAN ALKES



C. Analisis Ruang Melati Rawat Inap Anak lt 7 RSUD Pasar minggu 1. Serah Terima Operan dilakukan tiga kali dalam sehari, yaitu pada shift pagi (07.00-14.00), shift sore (13.30-21.00) dan shift malam (20.30-07.00). Operan dipimpin oleh Ka.tim pada saat shift pagi dan siang, sedangkan pada operan shift malam dipimpin oleh penanggungjawab.



2. Persiapan pasien pulang Dari hasil observasi yang dilakukan, persiapan pulang sudah dilaksanakan dengan cukup baik. Sebelum pasien pulang perawat akan menyiapkan beberapa hal diantaranya, kalau menggunakan BPJS pasien dimintai fotocopy 1 lembar kartu BPJS pasien, kartu keuarga, sama fotocopy ktp orangtua dan disiapkan resume medis serta surat keterangan boleh pulang yang sudah di tulis oleh dokter. Setelah itu perawat memberikan edukasi untuk perawatan pasien di rumah tentang obat yang harus diminum dan kartu berobat sebagai pengantar untuk pasien kontrol. 3. Dokumentasi Pendokumentasian asuhan keperawatan sudah menggunakan sistem terintegrasi (SIMRS)Untuk pendokumentasian asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi dilampirkan dalam satu file. 4. Mutu pelayanan Dalam pelaksanaan asuhan keperawatan ruangan sudah mempersiapkan SOP, SAK dan kode etik keperawatansebagai acuan dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap klien. Indicator mutu yang dipantau sebanyak 21 indikator. D. Gambaran Ruang Rawat Inap Anak Ruang Melati merupakan ruang rawat inap anak yang terletak di lantai 7 di RSUD Pasar Minggu 1. Man (Sumber Daya Manusia) Bagan struktur Organisasi Ruang Melati Lantai 7 Perawatan Anak KARU



KATIM



PJ



PJ



PJ



PP



PP



PP



Deskriptif Ruangan a.



Nama RS



: RSUD Pasar Minggu



b.



Nama Ruangan



: Lantai 7 Ruang Melati (Ruang Ranap Anak)



c.



Kapasitas Ruangan



: 62 TT



d.



Jumlah pasien rata-rata



: 97,81 % ( 54,7 pasien/hari)



e.



Jenis Penyakitterbesar



:DHF, Dengue Fever, Typoid, BP, GED, Dispepsia,



ISPA, Bacterial infection dan Pneumonia f.



Total Jumlah Perawat



: 27Perawat



g.



Pendidikan perawat



: Ners, Skep : 9 orang, dan D3 keperawtaan : 18 orang



h.



Pembagian tim



:







Shift Pagi



: 2 Katim, 4 PA.







Shift Sore



: 2 PJ, 3 PA.







Shift Malam : 2 PJ, 3 PA.







libur



: 6 orang.



2. Perhitungan Ketenagaan dengan menggunakan Rumus Depkes tahun 2006 Kebutuhan tenaga keperawatan menggunakan rumus Depkes,2006, hasil perhitungan rata- rata berdasarkan jumlah pasien didapatkan : • Minimal Care : 6 x 2 jam = 12 jam • Partial Care : 50 x 4 jam = 200 jam • Total : 212 = 3,7 jam 56  Rata-rata jam :62 x 3,7 jam = 233,12 jam.  Jumlah perawat :  Loss Day :



233,12 = 33,3 Perawat 7



78 x 33,3 = 9,08 Perawat 286



 Non Nursing Job :33,3 + 9,08 x 25% = 10,59 perawat.  Total Perawat yang dibutuhkan = 33,3 + 9,08 + 10,59 = 52,9753 Perawat Jadi kekurangan tenaga = 53 – 27 = 26 orang atau Persentase kecukupan tenaga perawat di ruang perawatan Anak melati hanya dapat memenuhi 49,05 % 3. Material (Sarana dan Prasana) a. Lokasi ruangan Jumlah kamar di ruang rawat inap anak sebanyak 1 kamar yang terisi 5 tempat tidur. b. Fasilitas ruang rawat inap anak untuk pasien, sebagai berikut Tempat Tidur, AC, Kamar Mandi, Westafel, Handrub/tempat tidur,



c. Fasilitas untuk petugas kesehatan Nurse station, komputer, telepon, kursi, meja, lemari obat,troli Obat, trolly emergency, alat-alat kesehatan dan tempat spoelhoek 4. Model Asuhan Keperawatan Profesional Berdasarkan hasil observasi metode penugasan di ruang rawat inapanak melati menggunakan metode tim



5. Pembiayaan Pembiayaan pasien yang dirawat di ruang rawat inap anak berasal dari pembiayaaan jaminan BPJS. Berdasarkan perhitungan jumlah tenaga yang tersedia saat ini berdasarkan rumus Depkes tahun 2006 masih dibawah standar rasio, dimana jumlah kebutuhan tenaga yang dibutuhkan sebanyak 54 orang (dibagi dalam 2 tim, 22 orang tim 1 dan 22 orang tim 2), sementara tenaga yang ada saat ini sebanyak 26 orang (13 orang tim 1 dan 13 orang tim 2) dengan perbandingan perawat (1 perawat : 12 pasien) yang melebihi standar ratio perbandingan metode tim (1 perawat : 6-10 pasien). Hal ini didukung dengan hasil quisioner sebanyak 43,75%, menyatakan bahwa perbandingan jumlah ratio perawat dan pasien tidak sesuai dengan standar. Berdasarkan hasil observasi lapangan, pelaksanaan ronde keperawatan yang dipimpin oleh Katim belum optimal dan belum rutin dijalankan, hal ini didukung dengan hasil quisioner perawat menyatakan pelaksanaan ronde keperawatan belum rutin dilaksanakan dan belum ada tim ronde keperawatan sebanyak 18,75%. Dimana tujuan dari pelaksanaan ronde keperawatan adalah untuk mengatasi masalah keperawatan klien yang di laksanakan oleh anggota tim. Berdasarkan



hasil quisioner Management Keperawatan tentang Pemberian



Edukasi yang disebarkan kepada responden (Perawat) di ruangan Melati 2, didapatkan beberapa keluhan antara lain : perawat tidak memberikan edukasi tentang Hand Hygiene, perawat tidak memberikan edukasi tentang Fisioterapi dada, perawat tidak memberikan edukasi tentang



Manajemen Nyeri pada pasien, perawat tidak



memberikan edukasi tentang kejang Demam pada pasien , perawat belum memberi edukasi tentang Resiko Jatuh1. Data quisioner pasien tersebut di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan pemberian edukasi belum optimal .



E. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu mengelola unit pelayanan keperawatan di Ruang Perawatan anak lantai 7 Ruang Melati sesuai dengan konsep dan langkah manajemen keperawatan 2. Tujuan Khusus Setelah melaksanakan praktek profesi Manajemen Keperawatan di ruang Perawatan Lantai 7 Melati RSUD Pasar Minggu, mahasiswa mampu a. Melakukan pengkajian terkait manajemen di ruang Perawatan Lantai 7 ruang melati RS Pasar Minggu untuk menemukan masalah-masalah yang ada. b. Mengidentifikasi



masalah



keperawatan



yang



terkait



dengan



pelayanan



keperawatan termasuk didalamnya asuhan keperawatan. c. Menyusun perencanaan (planning of action) untuk menyelesaikan masalah yang ada. d. Melakukan tindakan berdasarkan rencana kegiatan yang disusun untuk menyelesaikan masalah. e. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanakan kegiatan yang telah dilakukan. f. Memberikan masukan untuk perbaikan berupa usulan yang dapat dilaksanakan agar pelayanan keperawatan ruang melati semakin baik. F.



Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tempat praktek mahasiswa Program Pendidikan Profesi Ners Stase Manajemen Keperawatan dilaksanakan di ruang Perawatan Lantai 7 Ruang Melati Rumah Sakit Pasar Minggu yang berlangsung mulai tanggal 6 Mei s.d 24 Mei 2019.



G.



Cara Pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam praktik manajemen keperawatan di Ruang Perawatan Lantai 7 ruang Melati RSUD Pasar Minggu dilakukan dengan cara 1. Observasi Observasi dilakukan untuk memperoleh data umum mengenai kondisi fisik ruangan,struktur organisasi, visi dan misi, proses pelayanan keperawatan , inventaris ruangan dan asuhan keperawatan pada pasien serta pelaksanaan asuhan keperawatan dan pendokumentasian proses asuhan keperawatan. 2. Wawancara



Wawancara dilakukan kepada kepala ruang, ketua tim, dan perawat pelaksana untuk memperoleh gambaran secara umum proses pelaksanaan operasional ruangan, serta wawancara kepada pasien dan keluarga untuk mengumpulkan data tentang proses pelayanan keperawatan serta kepuasan pasien dan keluarga terhadap pelayanan yang diberikan 3. Studi dokumentasi Kegiatan ini dilakukan untuk pengumpulan data mengenai karakteristik pasien, ketenagaan, dokumentasi proses keperawatan, manajeman ruangan, prosedur tetap ruangan dan inventaris ruangan.



H.



Manfaat Pelaksanaan Praktik Keperawatan Manajemen 1. Bagi Institusi Rumah Sakit Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan tentang pelaksanaan edukasi keperawatan dan sebagai masukan manajemen keperawatan dalam menentukankebijakan dan pengembangan strategi dalam meningkatkan mutu pelayanan khususnya pelayanan keperawatan lantai 7 ruang Melati RSUD Pasar Minggu. 2. Perawat Ruangan Sebagai masukan dalam menjalankan praktik profesionalisme di lahan praktik guna meningkatkan mutu pelayanan keperawatan a. Diharapkan memberikan pengetahuan dan dapat memberikan edukasi kepada para pasien. b. Tercapainya tingkat kepuasan kerja dan disiplin kerja yang optimal c. Terbinanya hubungan yang baik antara perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lain dan perawat dengan klien 3. Mahasiswa a. Diharapkan dapat memahami tentang manajemen keperawatan dan menambah wawasan mengenai manajemen dan materi-materi edukasi. b. Tercapainya pengalaman dan pengelolaan suatu ruang rawat di rumah sakit mulai dari perencanaan, pengornanisasian, pengarahan, pengontrolan dan evaluasi manajemen keperawatan.



c. Mahasiswa dapat mengumpulkan data dalam penerapan model Tim yang diaplikasikan di ruang Perawatan Lantai 7 ruang Melati Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu. d. Mahasiswa dapat mengidentifikasi, menganalisis masalah di ruang Perawatan Lantai 7 Rumah Sakit Umum DaerahPasar Minggudan menyusun rencana strategi (planning of action) guna menyelesaikan masalah. e. Mahasiswa dapat memperoleh pengalaman dalam menerapkan pemecahan masalah yang dalam bentuk usulan yang mendukung pelayanan keperawatan dan program keselamatan pasien di ruang perawatan anak lantai 7 Ruang melati Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu.



BAB II TINJAUAN TEORI



A. EDUKASI DALAM KEPERAWATAN 1. Pengertian Edukasi Edukasi atau pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat (Notoadmodjo, 2003). Dalam keperawatan, edukasi merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidikan. Pelaksanaan edukasi dalam keperawatan merupakan kegiatan pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut: pengkajian kebutuhan belajar klien, penegakan diagnosa keperawatan, perencanaan edukasi, implementasi edukasi, evaluasi edukasi, dan dokumentasi edukasi (Suliha, 2002). 2. Tujuan Edukasi



Menurut Notoatmodjo tujuan edukasi adalah: a. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat. b. Menolong individu agar mampu secara mandiri atau berkelompok mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat. c. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana pelayanan kesehatan yang ada. Tujuan edukasi di atas pada dasarnya dapat disimpulkan untuk mengubah pemahaman individu, kelompok, dan masyarakat di bidang kesehatan agar menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai, mandiri, dalam mencapai tujuan hidup sehat, serta dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai (Suliha, 2002). Dalam keperawatan, tujuan edukasi adalah untuk meningkatkan status kesehatan, mencegah



timbulnya



penyakit



dan



bertambahnya



masalah



kesehatan,



mempertahankan derajat kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan (Suliha, 2002) 3. Prinsip Edukasi Kesehatan Menurut Mubarak tahun 2007 bahwa terdapat beberapa prinsip pendidikan kesehatan adalah sebagai berikut: 1) Belajar mengajar berfokus pada klien, pendidikan klien adalah hubungan klien yang berfokus pada kebutuhan klien yang spesifik. 2) Belajar mengajar bersifat menyeluruh, dalam memberikan pendidikan kesehatan harus dipertimbangkan klien secara kesehatan tidak hanya berfokus pada muatan spesifik saja. 3) Belajar mengajar negosiasi, pentingnya kesehatan dan klien bersama-sama menentukan apa yang telah diketahui dan apa yang penting untuk diketahui. 4) Belajar mengajar yang interaktif, adalah suatu proses yang dinamis dan interaktif yang melibatkan partisipasi dari petugas kesehatan dan klien. 5) Pertimbangan



umur



dalam



pendidikan



kesehatan,



untuk



menumbuh



kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran sehingga perlu dipertimbangkan umur klien dan hubungan dengan proses belajar mengajar. 4. Peran Perawat sebagai Health Educator Potter & Perry, dikutip dalam Riza (2013), pendidikan kesehatan bagi pasien telah menjadi satu dari peran yang paling penting bagi perawat yang memberikan



asuhan keperawatan kepada pasien.Dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan, sebagai pendidik, seorang perawat menjalankan perannya dalam memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan keterampilan kepada pasien, keluarga maupun anggota masyarakat.Sesuai tanggung jawabnya, perawat berperan mendidik dan mengajarkan individu, keluarga, kelompok, masyarakat, dan tenaga kesehatan lain, dan berupaya memberikan pendidikan atau penyuluhan kesehatan yang disertai evaluasi untuk meningkatkan pembelajaran klien (Simamora, 2009). Perawat sebagai pendidik harus memiliki kemampuan sebagai syarat utama dalam perannya antara lain (Asmadi, 2013): a. Wawasan ilmu pengetahuan Pendidikan kesehatan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh seorang edukator untuk mempengaruhi orang lain agar dapat berperilaku atau memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sesuai dengan yang diharapkan. Dalam proses pendidikan ini terjadi transfer ilmu pengetahuan. Karenanya, perawat harus memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, bukan hanya menyangkut ilmu keperawatan, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang mendukung agar perannya sebagai edukator dapat terlaksana dengan benar dan tepat. b. Komunikasi Keberhasilan proses pendidikan dipengaruhi oleh kemampuan perawat dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun non verbal. Kemampuan berkomunikasi ini merupakan aspek mendasar dalam keperawatan. Perawat harus berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh. Dalam proses tersebut, sudah tentu terjadi komunikasi sebab interaksi merupakan bagian dari komunikasi. c. Pemahaman psikologis Sasaran pelayanan keperawatan adalah pasien, dalam hal ini individu, keluarga, dan juga masyarakat. Perawat harus mampu memahami psikologis agar dapat mempengaruhi orang lain, selain itu perawat harus meningkatkan kepeduliannya. Saat berbicara dengan orang lain perawat harus melakukannya dengan sepenuh hati, menjadi pendengar yang baik, dan dapat menuangkan ide-idenya. d. Menjadi contoh/model Seberapa bagusnya gaya komunikasi perawat dan luasnya wawasan ilmu pengetahuan, orang lain perlu melihat bukti atas apa yang disampaikan. Upaya untuk mengubah dan meningkatkan profesionalisme perawat paling baik dilakukan melalui pembuktian secara langsung melalui peran sebagai model.



Perawat harus mampu menjadi model yang baik dalam menjalankan profesinya. 5. Karakteristik Perawat Dalam Pemberian Edukasi Pendidikan kesehatan pasien di rumah sakit dipengaruhi oleh faktor dari perawat sebagai pemberi informasi dan pasien sebagai penerima. Faktor yang berasal dari perawat yang berpengaruh terhadap pendidikan kesehatan adalah sikap, nilai yang dimiliki, emosi, pengetahuan dan pengalaman masa lalu (Notoadmodjo dikutip dalam Gaguk, 2010). a. Sikap baik yang dimiliki perawat akan mempengaruhi penyampaian informasi kepada pasien, sehingga informasi akan lebih jelas untuk dapat dimengerti pasien. b. Pengendalian emosi yang dimiliki perawat merupakan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan kesehatan. Pengendalian emosi yang baik akan mengarahkan perawat untuk lebih bersikap sabar, hati-hati dan telaten. Dengan demikian informasi yang disampaikan lebih mudah diterima pasien. c. Pengetahuan adalah kunci keberhasilan dalam pendidikan kesehatan. Perawat harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk memberikan pendidikan kesehatan. Pengetahuan yang baik juga akan mengarahkan perawat pada kegiatan pembelajaran pasien. Pasien akan semakin banyak menerima informasi dan informasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pasien. 6. Tujuan Edukasi Pada Pasien Menurut Potter & Perry (2005) pendidikan klien yang komprehensif meliputi tiga tujuan penting yang setiap tingkatannya mencakup tingkatan perawatan kesehatan yang berbeda. a. Pemeliharaan, peningkatan dan pencegahan penyakit Memungkinkan klien untuk hidup dengan perilaku yang lebih sehat. Peningkatan perilaku sehat melalui pendidikan meningkatkan harga diri dengan mengizinkan klien mengambil tanggung jawab dan menjaga kesehatannya. Pengetahuan yang lebih besar dapat menghasilkan kebiasaan mempertahankan kesehatan yang lebih baik. b. Perbaikan kesehatan Klien yang mengalami kecelakaan atau sakit memerlukan informasi dan keterampilan yang akan membantunya mengembalikan atau mempertahankan



tingkat kesehatannya. Perawat perlu melibatkan keluarga karena keluarga merupakan bagian vital dalam pengembalian kesehatan klien dan mungkin membutuhkan informasi yang sama banyaknya dengan klien. c. Koping terhadap gangguan fungsi Tidak semua klien benar-benar pulih dari sakit atau cedera. Banyak klien belajar untuk menghadapi perubahan kesehatan permanen.Pengetahuan dan keterampilan baru seringkali dibutuhkan klien untuk melanjutkan aktivitas hidup sehari-hari 7. Sasaran Edukasi Kesehatan Sasaran edukasi kesehatan di rumah sakit yaitu pasien dan keluarga pasien (Suliha, 2002). Sasaran edukasi kesehatan pada pasien adalah mengembangkan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan, khususnya yang terkait dengan masalah atau penyakit yang dialami oleh pasien yang bersangkutan. Peningkatan peran keluarga dan bertambahnya pengetahuan dipihak keluarga akan memberikan manfaat yang positif bagi pasien dan pemberi edukasi. Dengan demikian klien akan mendapatkan kepuasan dan kemandirian yang lebih besar didalam perawatan dirinya, dan perawat mendapatkan kepuasan kerja dan kepuasan diri yang juga lebih besar jika dapat membantu klien menemukan potensinya dan mencapai hasil yang berprestasi. Terkadang anggota keluarga memerlukan lebih banyak informasi dibandingkan pasien untuk mengimbangi semua kekurangan pengindraan atau keterbatasan kognitif yang mungkin ada pada pasien. 8. SPO Pemberian Edukasi Nadiah (2014) menyatakan Standard Operating Procedure dalampemberian edukasi adalah sebagai berikut: a. Sebelum



pendidikan



kesehatan



diberikan,



terlebih



dahulu



dilakukan



pengkajian/analisis terhadap kebutuhan pendidikan dengan mendiagnosis penyebab masalah kesehatan yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Green, 1980 dikutip dalam Nadiah, 2014): 1) Faktor pendukung mencakup pengetahuan, sikap, tradisi, kepercayaan, nilai, pendidikan, sosial dan ekonomi. 2) Faktor pemungkin mencakup fasilitas, misalnya spal, air bersih, pembuangan sampah dan makanan bergizi. 3) Faktor penguat mencakup sikap dan perilaku: petugas kesehatan, Kebijakan/peraturan.



b. Jenis informasi yang diperlukan dalam pengkajian tersebut antara lain pentingnya masalah kesehatan bagi individu, kelompok, masyarakat, masalah kesehatan yang dilihat oleh perawat dan petugas lain, jumlah orang yang mempunyai masalah kesehatan, kebiasaan-kebiasaan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan, alasan mengapa masalah kesehatan tersebut muncul serta penyebab lain dari masalah kesehatan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan observasi, wawancara, angket/quesioner dan dokumentasi. c. Agar edukasi dapat dipahami dengan baik dilakukan penilaian terlebih dahulu terhadap pasien dan keluarga yang meliputi: 1) Kepercayaan dan nilai-nilai agama yang dianut pasien dan keluarga. 2) Kecakapan baca tulis, tingkat pendidikan dan bahasa mereka. 3) Hambatan emosional dan motivasi. 4) Keterbatasan fisik dan kognitif. 5) Kemauan pasien untuk menerima informasi d. Perhatikan cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif. Komunikasi yang baik melibatkan pemahaman bagaimana orang-orang berhubungan dengan yang lain, mendengarkan apa yang dikatakan dan mengambil pelajaran dari hal tersebut. Syarat dalam komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan mudah dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan (kesalahpahaman). e. Tatalaksana pemberian informasi dan edukasi: 1) Petugas yang melakukan hal ini harus memiliki pengetahuan tentang informasi yang akan disampaikan, memiliki rasa empati, dan keterampilan berkomunikasi secara efektif. 2) Pemberian informasi dan edukasi dilakukan melalui tatap muka dan berjalan secara interaktif, dimana kegiatan ini biasa dilakukan pada saat pasien di rawat, akan pulang atau ketika datang kembali untuk berobat. 3) Kondisi lingkungan perlu diperhatikan untuk membuat pasien atau keluarga merasa nyaman dan bebas, seperti dilakukan dalam ruang yang dapat menjamin privacy, ruangan cukup luas bagi pasien dan keluarga untuk kenyamanan mereka, penempatan meja, kursi atau barang-barang lain hendaknya tidak menghambat komunikasi, dan suasana tenang, tidak bising. 4) Pada pasien yang mengalami kendala dalam berkomunikasi, maka pemberian



informasi



dan



edukasi



dapat



disampaikan



kepada



keluarga/pendamping pasien. 5) Membina hubungan yang baik dengan pasien/keluarga agar tercipta rasa



percaya terhadap peran petugas dalam membantu mereka. 6) Mendapatkan data yang cukup mengenai masalah medis pasien (termasuk adanya keterbatasan fisik maupun mental dalam mematuhi pengobatan). 7) Mendapatkan data yang akurat tentang obat-obat yang digunakan pasien, termasuk obat non resep. 8) Mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial budaya, pendidikan dan tingkat ekonomi pasien/keluarga. f. Informasi yang dapat diberikan pada pasien/keluarga adalah yang berkaitan dengan perawatan pasien: 1) Assessment pendidikan pasien dan keluarga. 2) Pendidikan kesehatan pengobatan seperti penggunaan obat-obatan yang aman, kegunaan obat, aturan pakai, cara penyimpanan, berapa lama obat harus digunakan dan kapan obat harus ditebus lagi, serta efek samping yang akan dialami dan bagaimana cara pencegahannya. 3) Pendidikan kesehatan manajemen nyeri. 4) Pendidikan kesehatan diet. 5) Pendidikan kesehatan penggunaan peralatan medis. 6) Pendidikan kesehatan proses penyakit. 7) Pendidikan kesehatan pre operasi (informed consent). g. Tahap cara penyampaian informasi dan edukasi yang efektif setelah melalui tahap assessment pasien, ditemukan: 1) Pasien dalam kondisi baik, senang, maka proses komunikasinya mudah disampaikan. 2) Jika pada tahap assessment pasien ditemukan hambatan fisik (tuna rungu dan tuna wicara), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan leaflet kepada pasien dan keluarga dan menjelaskan kepada mereka. 3) Jika pada tahap assessment pasien ditemukan hambatan emosional pasien (marah atau depresi), maka komunikasi yang efektif adalah memberikan materi edukasi dan menyarankan pasien membaca leaflet. Apabila pasien tidak mengerti materi edukasi, pasien bias menghubungi medical information. Tahap



cara



verifikasi



bahwa



pasien



dan



keluarga



menerima dan memahami edukasi yang diberikan:  Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, kondisi pasien baik dan senang, maka verifikasi yang dilakukan adalah menanyakan kembali edukasi yang telah diberikan.  Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, pasiennya mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan



pihak keluarganya dengan menanyakan kembali edukasi yang telah dilakukan.  Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, ada hambatan emosional, maka verifikasinya adalah dengan menanyakan kembali sejauh mana pasiennya mengerti tentang materi edukasi yang diberikan dan di pahami. Proses pertanyaan ini bisa via telepon atau datang langsung ke kamar pasien setelah pasien tenang. 9. Metode Edukasi Metode adalah cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tecapai tujuan pengajaran. Oleh karena itu metode mengajar dapat berupa alat yang merupakan perangkat atau bagian dari suatu strategi pengajaran (Kamsinah, 2008).Pemilihan metode pendidikan kesehatan oleh perawat bergantung pada beberapa faktor seperti karakteristik sasaran/partisipan (jumlah, status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin), waktu dan tempat yang tersedia, serta tujuan spesifik yang ingin dicapai dengan pendidikan kesehatan tersebut (perubahan, pengetahuan, sikap, atau praktik partisipan) (Nursalam & Effendy, 2012). Menurut Notoadmodjo (2003) metode edukasi dibagi menjadi tiga,yaitu: a. Individual Bentuk pendekatan ini antara lain: 1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance dan counseling) Bimbingan berisi penyampaian informasi yang berkenaan dengan masalah pendidikan, pekerjaan, pribadi, dan masalah sosial yang disajikan dalam bentuk pelajaran. Konseling adalah proses belajar yang bertujuan memungkinkan klien mengenal dan menerima diri sendiri serta realisatis dalam proses penyelesaian dengan lingkungannya (Nurihsan, 2009). Kelebihan metode Konseling antara lain sebagai berikut: a) Kontak antara klien dan konselor lebih intensif b) Memberikan kesempatan bagi klien dan konselor untuk saling memberi dan menerima umpan balik. c) Dapat digunakan untuk menggali tiap masalah yang dialami klien, belajar untuk meningkatkan kepercayaan kepada orang lain



serta



dapat meningkatkan sistem dukungandengan cara berteman akrab. Kekurangan metode Konseling antara lain sebagai berikut: a) Solusi yang ditawarkan konselor tidak selalu sesuai dengan keinginan



klien



disebabkan



oleh



ketidakakuratan



data



atau



kurangnya



kelengkapan data bahkan mungkin karena kesalahan dalam analisis data. b) Dalam proses konseling, klien bersifat pasif, kurang inisiatif dan lebih banyak menjadi pendengar karena didominasikan oleh konselor. 2) Interview (wawancara) Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan konseling. Wawancara petugas dengan klien dilakukan untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, apakah tertarik atau tidak terhadap perubahan dan untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau belum diadopsi memiliki dasar pengertian dan kesadaran yang kuat. Data diperoleh melalui suatu komunikasi lisan antara pewawancara dan klien. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, face to face (tatap muka) ataupun menggunakan telepon. Kelebihan metode wawancara antara lain sebagai berikut: a) Bebas menggali informasi dari klien b) Data yang diperoleh dari klien lebih akurat c) Dapat mengetahui langsung dari ekspresinya klien menjawab bohong/jujur. Kekurangan metode wawancara antara lain sebagai berikut: a) Pewawancara harus punya skill untuk mewawancarai b) Ada kesepakatan waktu/tempat antara pewawancara dengan klien. b. Kelompok 1) Kelompok besar: a) Ceramah: metode yang baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Media yang digunakan antara lain media elektronik (laptop), slide transparant dan sound system. b) Seminar: metode ini sangat cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah keatas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli dari beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat dimasyarakat. Media yang digunakan dalam seminar yaitu media elektronik (laptop), slide dan sound system. 2) Kelompok kecil: apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang.



Metode-metode yang cocok yaitu diskusi kelompok, curah pendapat (brain storming), bola salju (snow balling), kelompok kecil-kecil (bruzz group) dan memainkan peran (role play) . a) Diskusi kelompok Dibuat sedemikian rupa sehingga saling berhadapan, pimpinan diskusi/penyuluh duduk diantara peserta agar tidak ada kesan lebih tinggi, tiap kelompok punya kebebasan mengeluarkan pendapat, pimpinan diskusi memberikan pancingan, mengarahkan, dan mengatur sehingga diskusi berjalan hidup dan tak ada dominasi dari salah satu peserta b) Curah pendapat (brain storming) Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan memberikan satu masalah, kemudian peserta memberikan jawaban/tanggapan, tanggapan/jawaban tersebut ditampung dan ditulis di papan tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak boleh ada komentar dari siapa pun, baru setelah semuanya mengemukaan pendapat, tiap anggota mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi. c) kelompok kecil-kecil (bruzz group) Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil, kemudian dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak sama dengan kelompok lain, dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari kesimpulannya. d) Role play (memainkan peranan) Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu untuk memainkan peranan tertentu, misalnya sebagai dokter puskesmas, sebagai perawat atau bidan sedangkan anggota lainnya sebagai pasien/anggota masyarakat. Mereka memperagakan bagaimana interaksi/komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas. 10. Media Edukasi Media edukasi adalah alat (saluran) yang digunakan untuk penyampaian pesan. Manusia menggunakan indra untuk berinteraksi dengan lingkungannya sehingga untuk mempengaruhi interaksi tersebut digunakanlah berbagai media. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima suatu pesan maka akan semakin mudah pesan itu diterima/dipahami.



Menurut Notoadmodjo (2003) berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesanpesan kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3: cetak, elektronik, media papan (bill board). a. Media cetak 1) Booklet: untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baiktulisan maupun gambar. 2) Leaflet: melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar/tulisanatau keduanya. 3) Flyer (selebaran): seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan. 4) Flip chart (lembar balik): pesan/informasi kesehatan dalam bentuklembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat sebagai pesan/informasi berkaitan dengan gambar tersebut. 5) Rubrik (tulisan-tulisan):pada surat kabar atau majalah, mengenaibahasan suatu masalah kesehatan atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. 6) Poster: bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan,yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di kendaraan umum. 7) Foto yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan. b. Media Elektronik 1) Televisi: dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum diskusi/tanya jawab, pidato/ceramah, quiz, atau cerdas cermat, dll. 2) Radio: bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, sandiwara radio, ceramah dan radio spot. 3) Video Compact Disc (VCD): menayangkan objek berupa gambar 4) Slide: media visual yang diproyeksikan melalui alat yang disebut dengan proyektor slide. 5) Film strip: alat visual yang terdiri atas serangkaian foto yang tersusun pada film dengan panjang tertentu dan diproyeksikan dengan proyektor khusus. c. Media papan (bill board) Billboard pada dasarnya identik dengan papan nama atau papanreklame, sebagai media komunikasi luar ruangan (outdoor) billboard di desain untuk menyampaikan pesan berupa pemberitahuan, ajakan, atau peringatan yang di tujukan kepada masyarakat atau publik. 11. Frekuensi Pemberian Edukasi Edukasi idealnya harus diberikan secara berulang-ulang. Pemberian edukasi



mengenai satu topik tidak efektif jika hanya diberikan satu kali karena pemberian satu kali saja belum tentu penyerapan informasi yang diberikan dapat diterima sesuai dengan yang diharapkan (Quinn, 2011). 12. Aspek-aspek Yang Harus Diperhatikan Dalam Pemberian Edukasi Menurut Quinn (2001) ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemberian edukasi, diantaranya: Satu jenis topik dijelaskan dengan beberapa cara. Terkadang penerimaan satu topik yang sama akan berbeda cara yang diinginkan oleh pasien, misalnya ada partisipan yang menerima dengan cara hanya dijelaskan dan ada pula yang harus dengan metode demontrasi. a. Materi atau informasi yang disampaikan harus sesuai dengan apa yang betulbetul dibutuhkan atau penting bagi pasien.Jika materi yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien, maka akan mempengaruhi minat pasien terhadap edukasi yang diberikan. b. Sebaiknya jika menyampaikan edukasi kesehatan sebaiknya dalam bentuk tulisan agar pasien tidak lupa dengan apa yang diajarkan.Tidak semua orang memiliki memori untuk mengingat penjelasan secara lisan. Saat diberikan informasi dalam bentuk tulisan, pada saat pasien lupa pasien dapat membaca kembali apa yang dituliskan, sehimgga dapat dingat kembali. c. Menghindari menggunakan bahasa medis, contohnya: Ca mammae,anoreksia, alopesia, konstipasi. Penggunan bahasa sehari-hari ataubahasa sederhana tanpa istilah medis yang dirasa rumit lebih berpengaruh positif terhadap kesembuhan pasien karena pasien dapat mengerti terhadap apa yang disampaikan. d. Mengobservasi tanda-tanda stress, apabila terdapat tanda-tanda stres edukasi dihentikan. Tanda-tanda stres diantaranya tidak berkonsentrasi ketika sedang berbicara, sakit kepala, nyeri otot, sakit perut dan gelisah. 13. Pengukuran/evaluasi dikatakan edukasi yang berhasil atau target telah memahami yang telah diberikan Sebagai indikator yang dapat diperoleh dalam mencapai keberhasilan suatu proses edukasi kesehatan adalah adanya peningkatan pengetahuan dan sikap yang diaplikasikan dalam perilaku (Sadiman, 2002)



B. KONSEP MANAJEMEN KEPERAWATAN 1. Definisi Manajemen sebagai suatu usaha dengan melibatkan banyak orang dalam organisasi sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi (Sudarta, 2015). Manajemen keperawatan merupakan suatu bentuk koordinasi dan integrasi sumber-sumber keperawatan dengan menerapkan proses manajemen untuk mencapai



tujuan



dan obyektifitas



asuhan keperawatan



dan pelayanan



keperawatan. Menurut Suyanto (2009) menyatakan bahwa lingkup manajemen keperawatan adalah manajemen pelayanan kesehatan dan manajemen asuhan keperawatan.



2. Prinsip-Prinsip Manajemen Keperawatan Swanburg (2000) menyatakan bahwa prinsip-prinsip manajemen keperawatan sebagai berikut: a.



Manajemen keperawatan adalah perencanaan



b. Manajemen keperawatan adalah penggunaan waktu yang efektif c.



Manajemen keperawatan adalah pembuatan keputusan



d. Pemenuhan kebutuhan asuhan keperawatan pasien adalah urusan manajer perawat e.



Manajemen keperawatan adalah suatu perumusan dan pencapaian tujuan sosial



f.



Manajemen keperawatan adalah pengorganisasian



g.



Manajemen keperawatan merupakan suatu fungsi, posisi atau tingkat sosial, disiplin, dan bidang studi



h. Manajemen keperawatan bagian aktif dari divisi keperawatan, dari lembaga, dan lembaga dimana organisasi itu berfungsi i.



Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai kepercayaan



j.



Manajemen keperawatan mengarahkan dan pemimpin



k. Manajemen keperawatan memotivasi l.



Manajemen keperawatan merupakan komunikasi efektif



m. Manajemen keperawatan adalah pengendalian atau pengevaluasian. 3. Fungsi Manajemen Keperawatan a. Fungsi Perencanaan Kegiatan Keperawatan di Ruang Rawat Inap



Perencanaan merupakan suatu fungsi manajer yang mencakup pemilihan kegiatan yang akan dijalankan, bagaimana menjalankan dan kapan dimulai dan selesainya pekerjaan itu, untuk membantu tercapainya tujuan organisasi (Wijayanti,



2012).



Menjalankan



fungsi



perencanaan



dalam



praktik



keperawatan merupakan fokus dari manajemen keperawatan, perencanaan yang baik akan menghasilkan produk pelayanan keperawatan yang baik pula. Perencanaan merupakan komponen yang penting, pada titik ini dapat merancang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, sehingga dapat menetapkan antisipasi melalui mekanisme kerja yang profesional (Winarti et al, 2012). b. Fungsi Pengorganisasian Keperawatan di Ruang rawat Inap Perorganisasian merupakan suatu fungsi manajemen yang dipandang sebagai alat yang dipakai oleh orang-orang atau anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama secara efektif (Wijayanti, 2012). c. Fungsi Pengarahan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Salah satu fungsi kepala ruangan berdasarkan proses manajemen yang berkaitan dengan prosedur keperawatan menurut Marquis dan Huston (2016) adalah pengarahan yang mencakup tanggung jawab dalam mengelola sumber daya manusia seperti motivasi, komunikasi, pendelegasian, dan manajemen konflik. 1) Motivasi Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan, terutama dalam berprilaku (Nursalam, 2016). Pemimpin/manajer harus menciptakan lingkungan kerja yang dapat memenuhi, baik kebutuhan organisasi maupun individu. Ketegangan yang memadai harus diciptakan untuk mempertahankan produktivitas sekaligus mendorong kepuasan kerja pegawai (Marquis & Huston, 2016). 2) Komunikasi Komunikasi merupakan unsur penting dalam menggerakkan atau mengarahkan bawahan. Komunikasi suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan pemberian nasihat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerjasama (Nursalam, 2016). Dalam organisasi pelayanan keperawatan ada beberapa bentuk kegiatan pengarahan yang didalamnya terdapat komunikasi, Asmuji (2012) antar lain sebagai berikut: a) Operan/Timbang Terima



Operan merupakan suatu kegiatan komunikasi yang bertujuan mengoperasikan asuhan keperawatan kepada shift berikutnya. Kegiatan operan ini dipimpin oleh manajer ruangan (kepala ruang) atau penanggung jawab shift jika tidak ada kepala ruang. Pemimpin operan bertugas dalam mengatur kegiatan operan, sekaligus juga memberikan pengutan-pengutan yang bertujuan untuk menggerakkan perawat bawahannya. b) Pre-Conference Pre-conference adalah komunikasi ketua tim/penanggung jawab shift dengan perawat pelaksana setelah selesai operan. Kegiatan ini dilakukan pada masing-masing tim. Kegiatan pre- conference dipimpin oleh ketua tim/penanggung jawab shift memberikan arahan (pembagian penanggung jawab masing-masing pasien, menanyakan rencana harian, dan lain-lain) kepada perawat pelaksana sebelum terjun ke pasien. c) Post-Conference Post-conference adalah komunikasi ketua tim atau penanggung jawab shift dengan perawat pelaksana sebelum timbang terima atau operan/mengakhiri dinas dilakukan, kegiatan ini juga dilakukan pada masing- masing tim. Isi komunikasi dalam kegiatan ini membahas segala hal yang telah dilaksanakan dalam asuhan keperawatan kepada pasien, apa saja yang belum dilaksanakan dan perlu disampaikan kepada shift berikutnya, apa saja yang perlu dilaporkan terkait dengan kondisi pasien, kendala-kendala yang dialami selama memberikan asuhan keperawatan, dan lain-lain. d) Pendelegasian Delegasi adalah pemberian otorisasi atau kekuasaan formal dan tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan tertentu kepada orang lain. Pelimpahan otoritas oleh atasan kepada bawahan diperlukan agar organisasi dapat berfungsi secara efisien karena tak ada atasan yang dapat mengawasi pribadi setiap tugas-tugas organisasi (Winarti et al., 2012). d. Fungsi Pengawasan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Fungsi pengawasan adalah penemuan dan penerapan cara dan pelaran untuk menjamin bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan (Wijayanti, 2012). Fungsi pengawasan adalah suatu kegiatan



manajemen yang di tujukan untuk mengamati dan memonitor secara berkelanjutan yang penting, adalah apakah sesuai dengan rencana atau tujuan untuk mengadakan pembenaran terhadap hasil yang menyimpang dari rencana (Winarti et al., 2012). C. MANAJEMEN NYERI 1. Definisi International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri (Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012) Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subjektif dan multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis adalah akut dan memiliki banyak sebab, seperti dari proses



penyakitnya,



monitoring



dan



terapi



(perangkat



ventilasi,intubasi



endotrakheal), perawatan rutin (suction, perawatan luka, mobilisasi), immobilitas berkepanjangan dan trauma. Nyeri dilaporkan nyeri sedang-berat. Nyeri yang berkepanjangan dpt mengurangi mobilitas pasien shg bisa menimbulkan emboli paru dan pneumonia. 2. Komponen Nyeri a. Komponen sensori Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan kualitas nyeri b. Komponen afektif Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak menyenangkan, kecemasan, ketakutan yang dihubungkan dengan pengalaman nyeri. c. Komponen kognitif Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan pengalamannya. d. Komponen tingkah laku Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk mengekspresikan menghindari atau mengontrol nyeri. e. Komponen fisiologis Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K, 2010) 3.Jenis-jenis nyeri yang sering dijumpai dibagian gawat darurat a. Nyeri akut 1) Karakteristik : serangan datang mendadak, terjadi akibat kerusakan jaringan, durasinya singkat kurang dari 6 bulan, bisa diidentifikasi area



nyerinya, tanda dan gejala objektifnya spesifik seperti takikardi, hipertensi, diaforesis, midriasis dan pucat, serta timbul kecemasan 2) Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur, fraktur, infeksi, pankreatitis b. Nyeri kronis 1) Karakteristik : nyeri yang menetap selama lebih dari 6 bulan, disertai awitan yang temporer yang batasnya tidak jelas. 2) Penyebab : artritis, migrain, nyeri pelvis, low back pain c. Nyeri kanker 1) Karakteristik : nyeri kanker dapat akut, kronik, intermiten atau campuran juga bisa berupa kombinasi dari berbagai nyeri. 2) Penyebab : Tumor, HIV/AIDS, kemoterapi, terapi radiasi d. Nyeri neuropathic 1) Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk seperti sensasi kejut, atau seperti dijepit. Nyeri ini dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu nyeri deaferentasi akibat kerusakan, nyeri yang melewati jaras simpatis akibat trauma, nyeri neuropatik perifer pada cedera saraf. 2) Penyebab : lesi primer, disfungsi sistem saraf pusat dan saraf perifer e.



Nyeri Viseral Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, sulit dilokalisasi, dalam atau meremas-remas dan biasanya mengacu pada sisi kutaneus. Nyeri visera akut dapat disertai gejala otonom seperti mual muntah. Penyebab : iskemia, oklusi vena, obstruksi usus



f.



Nyeri Somatik 1) Karakteristik



: digambarkan sebagai nyeri konstan, terlokalisasi,



berdenyut, perih atau tajam. 2) Penyebab : metastase kanker tulang (Kemp C, 2010) 4. Fisiologi Nyeri a. Rasa nyeri Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari. Secara klinis nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal- hal yang mempengaruhi sensitisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah prosesyang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,



pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis. Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral



dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain



ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tractus spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan konsumsi



curah



jantung



sekuncup,



kerja



jantung,



dan



oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan



kemih. Respon reflex suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat. b. Perjalanan Nyeri Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. 1) Transduksi



merupakan



suatu aktifitas



proses



perubahan



rangsang



nyeri



menjadi



listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik.



Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas yang merusak jaringan. Pada perawatan kritis banyak rangsangan rasa nyeri termasuk kondisi penyakit pasien, terpasang berbagai alat teknologi yang canggih seperti ventilator, dan banyak tindakan lain yang harus dijalani oleh pasien. Rangsangan



tersebut



akan merangsang pelepasan banyak zat-zat kimia



seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin, glutamate dan zat P. 2) Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul - molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya. Secara umum 2 cara bagaimana sensasi nosiceptive dapat mencapai sistem saraf pusat ada yaitu melalui traktus neospinotalamikus untuk nyeri cepat yang melalui serat A-delta dan traktus paleospinotalamikus untuk nyeri lambat yang melalui serat C.



Serabut A-delta mentransmisikan nyeri tajam dan tusukan, sedangkan serat C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu dan tekanan halus. 3) Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri.



Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan)



ataupun inhibisi (penghambatan). 4) Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. (Urden L, Stacy K, 2010)



c. Respon stress fisiologis Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri. Respon stres ini melibatkan sistem saraf, endokrin dan kekebalan tubuh dalam hipotalamopituitary-adrenal axis. Pada kondisi nyeri hipotalamus akan melepaskan mediator kortikotropin (CRF) yang mengaktifkan sistem saraf simpatis kemudian norepineprin dikeluarkan dari terminal saraf simpatis dan epineprin dikeluarkan dari saluran luar adrenal. Dampak dari hormon stres ini menyebabkan pengamatan terhadap respon fisiologis yang terkait dengan aktivasi sistem saraf simpatis, yaitu sebagai berikut :  Meningkatnya denyut jantung  Meningkatnya tekanan darah  Meningkatnya frekuensi napas



 Dilatasi pupil  Mual dan muntah  Pucat Setelah respon stres diatas, CRF dikeluarkan dari hipotalamus dan merangsang kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan hormon ACTH sedangkan kelenjar hipofise posterior melepaskan hormon vasopresin dan ADH. ACTH mengaktifkan saluran luar adrenal utk melepaskn hormon aldosteron dan kortisol. Vasopresin dan aldosteron meningkatkan penyimpanan sodium dan air sehingga volume intravaskuler meningkat, diuresis menurun sehingga tekanan darah menjadi meningkat. Kortisol mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan 2 cara : immunosupresi dan pelepasan sitokin 5. Etioloi dan factor resiko a. Kondisi akut 1) Pembedahan (insisi, adanya drain, tube, perangkat keras ortopedi ) 2) Trauma (fraktur, laserasi) 3) Kondisi medis (pankreatitis, kolitis ulseratif, migrain) 4) Kondisi psikologis



(kecemasan)yang dapat meningkatkan persepsi nyeri,



memperpanjang rasa nyeri dan menurunkan ambang nyeri. b. Prosedur (suction, paracentesis, pemasangan atau pencabutan kateter) c. Immobilitas d. Kondisi nyeri kronis, seperti kondisi muskuloskeletal (artritis, low back pain, fibromialgia) dan kondisi lainnya (kanker, stroke, neuropati diabetikum) (Alspach J, 2006) 6. Tanda dan gejala Respon manusia terhadap rasa nyeri bisa terjadi dari keduanya baik fisik dan emosional. respon fisiologis terhadap nyeri adalah hasil dari aktivasi hipotalamus dari sistem saraf simpatik yang berhubungan dengan respon stres. aktivasi simpatik menyebabkan: a. Perpindahan darah dari pembuluh darah yang dangkal ke otot, jantung, paru-paru dan sistem saraf b. Dilatasi bronkhial untuk meningkatkan oksigenasi c. Meningkatkan kontraktilitas jantung d. Menghambat sekresi dan kontraksi lambung e. Meningkatkan sirkulasi gula darah untuk energi Tanda dan gejala aktivasi simpatik sering menyertai nosisepsi dan nyeri:



a. Meningkatnya denyut jantung b. Meningkatnya tekanan darah c. Meningkatnya frekuensi napas d. Dilatasi pupil e. Mual dan muntah f. Pucat 7. Pengkajian nyeri Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin mengkaji nyeri dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk nyeri yang tidak reda pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian nyeri sama pentingnya dengan metode terapi. Nyeri pasien harus dikaji pada interval teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek samping, kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis guna mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang pada interval yang tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi lainnya, seperti 30 menit setelah dosis morfin IV.



Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa



menyertai sehingga pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini meliputi :  Penurunan kesadaran  Terpasang ventilator  Intubasi endotrakheal  Pengaruh obat sedasi  Kaum lansia dan anak-anak  Pengaruh Budaya  Kurangnya pengetahuan Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan kesehatan adalah bahwa mereka yang paling berkualifikasi untuk menentukan adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya tanda fisik atau perilaku seringkali salah diinterpretasikan sebagai tidak ada nyeri. Agar dapat melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat perawatan kritis harus mendapatkan laporan diri pasien. Pengamatan perilaku dan perubahan parameter fisik harus dipertimbangkan dengan laporan diri pasien. a. Laporan diri pasien Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri pasien adalah sumber informasi yang paling andal mengenal adanya nyeri dan intensitasnya. Laporan diri pasien harus diperoleh tidak hanya pada saat intirahat, namun selama aktifitas rutin, seperti pada saat batuk, napas dalam dan miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi perawat perawatan kritis harus menerima gambaran nyeri pasien



sebagai sesuatu yang valid. Dalam mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan gambaran verbal spesifik mengenai nyeri pasien misalnya seperti “terbakar”, “remuk”, “tertusuk”, “tumpul” atau “tajam” dengan teknik PQRSTU, yaitu :  P



: Provokatif/ Paliatif



 Q



: Quality



 R



: Region/ Radiation



 S



: Severity



 T



: Timing



 U



: Understanding/ Pemahaman tentang nyeri



b. Observasi Pasien yang mengalami nyeri dapat memperlihatkan manifestasi perilaku khusus. Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan menghindari gerakan akan melindungi pasien dari stimulus yang menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh pasien untuk meredakan nyeri seperti menggosok daerah nyeri, mengganti posisi atau meminta obat pereda nyeri adalah perilaku paliatif. Menangis, merengek atau menjerit adalah perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional terhadap nyeri. Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi wajah atau mata, gerakan tangan atau tungkai untuk menyatakan nyerinya. Kegelisahan atau agitasi dapat terlihat pada pasien yang tidak dapat memberikan respon. Masukan dari keluarga dapat membantu menginterpretasikan manifestasi perilaku nyeri yang spesifik berdasarkan engetahuan mereka terhadap perilaku nyeri pasien sebelum dirawat di rumah sakit. c. Parameter fisiologis Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik pasien yang meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi jantung atau pernapasan. Oleh karena itu masuk akal apabila observasi terhadap efek fisiologis nyeri akan membantu pengkajian nyeri. Akan tetapi, pada pasien yang sakit kritis, mungkin sulit menghubungkan perubahan fisiologis ini secara khusus dengan nyeri bukan penyebab lainnya. Kadang kala terdapat perbedaan antara laporan diri pasien dengan manifestasi perilaku dan fisiologis. Sebagai contoh, satu orang pasien dapat melaporkan nyeri bernilai 2 dari 10, sementara ia mengalami takikardi, diaforesis, dan splinting pernapasan. Pasien yang lain dapat memberikan laporan diri 8 dari 10 sambil tersenyum. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penggunaan aktivitas pengalihan,



keterampilan koping, kepercayaan mengenai nyeri, latar belakang budaya, ketakutan akan kecanduan, atau takut menyusahkan staf keperawatan (Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012). 8. Pengukuran Intensitas Nyeri Nyeri



dinilai



berdasarkan



tingkah



laku



manusia,



yang



secara



kultur



mempengaruhi, sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tida mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator. a. Skala nyeri verbal (Self Reported) Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun



penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau



vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang hebat 1) Verbal Rating Scale Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :  0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya  1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya  2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya



 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih atau menangis 2) Visual Analogue Scale Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 -