LP Impaksi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA Tn. M DENGAN DIAGNOSA IMPAKSI PRO ODONTECTOMY GENERAL ANESTESI BALANCE DENGAN INTUBASI ETT NASAL DI RUMAH SAKIT RSU KARDINAH KOTA TEGAL



Disusun Oleh: Nama : NIM :



KHAERUL AMIN TRISETYO 180106007



Pembimbing Akademik



(...................................................)



Pembimbing Klinik



(...............................................)



PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2021



A. DEFINISI Istilah impaksi berarti sebagian gigi atau seluruh gigi yang tidak dapat erupsi dengan sempurna ke bidang oklusal, dikarenakan terhambat oleh gigi sebelahnya, tulang, dan jaringan lunak disekitarnya. Gigi impaksi juga dapat terjadi dikarenakan proses evolusi mengecilnya ukuran rahang sebagai akibat dari perubahan perilaku dan pola makan pada manusia. Beberapa faktor yang diduga juga menyebabkan impaksi antara lain karies pada permukaan distal molar kedua, perikoronitis, kista, hiperplasi jaringan atau infeksi lokal (Amanat, dkk., 2014). Penelitian lain menunjukan bahwa gigi impaksi juga dikarenakan oleh faktor genetika, gangguan endokrinologik, celah palatal, radiasi, gigi supernumerari, terlambat atau hilangnya perkembangan akar, trauma, ekstraksi dini, adanya posisi ektopik, atau adanya tumor odontogenik. Gigi impaksi juga dapat memudahkan makanan terperangkp disekitar gigi dan jaringan lunak disekitarya, sehingga pasien mengalami kesulitan untuk membersihkannya, serta mengakibatkan gigi mudah terserang karies serta sering merasa sakit (Bourzgui, dkk, 2012) Secara umum dapat disimpulkan bahwa impaksi gigi merupakan suatu keadaan dimana gigi mengalami kegagalan erupsi secara normal dalam pertumbuhan akibat terhalang oleh gigi dan tulang sekitarnya sehingga tidak tersedianya ruangan yang cukup. Penatalaksanaan medis adalah dengan melakukan operasi yang disebut dengan odontektomi. Istilah odontektomi digunakan dalam tindakan operasi untuk mengeluarkan gigi impaksi (terpendam). Odontektomi atau surgical extraction adalah metode pengambilan gigi dari soketnya setelah pembuatan flap dan mengurangi sebagian tulang yang mengelilingi gigi tersebut insiden impaksi yang paling sering terjadi adalah gigi molar tiga (fragiskos, 2007). B. ANATOMI DAN FISIOLOGI Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri atas dua bagian. Bagian luar yang sempit, atau vestibuka, yaitu ruang di antara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi di sisisisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi, dan di sebelah belakang bersambung dengan awal farinx. Rongga mulut terbentang mulai dari permukaan dalam gigi sampai orofaring. Atap mulut dibentuk oleh palatum durum dan mole. Di bagian posterior palatum mole berakhir pada uvula. Lidah membentuk dasar mulut. Pada bagian paling posterior dari rongga mulut terletak tonsil di antara kolumna anterior dan posterior.



Rongga mulut



Mulut merupakan jalan masuk menuju system pencernaan dan berisi organ aksesori yang bersifat dalam proses awal pencernaan. Secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu: a. Bagian luar (vestibula) yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi b. Bagian rongga mulut (bagian) dalam yaitu rongga yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis di sebelah belakang bersambung dengan faring. Selaput lendir mulut ditutupi ephitelium yang berlapis-lapis. Dibawahnya terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini sangat kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris. Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir mukosa. Ada beberapa bagian yang perlu diketahui, yaitu: a. Palatum 1) Palatum durum yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan tulang maksilaris: palatum durum adalah suatu struktur tulang berbentuk konkaf. Bagian anteriornya mempunyai lipatan-lipatan yang menonjol, atau rugae. (swartz, 1989) 2) Palatum mole terletak dibelakang yang merupakan lipatan menggantung yang dapat bergerak, terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lender: palatum mole adalah suatu daerah fleksibel muscular di sebelah posterior palatum durum. Tepi posterior berakhir pada uvula. Uvula membantu menutup nasofaring selama menelan.



b. Rongga mulut 1) Bagian gigi terdapat gigi anterior yang sangat kuat yang tugasnya memotong dan gigi posterior yang tugasnya menggiling. Pada umumnya otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang motorik dari saraf cranial ke 5. Proses mengunyah di kontrol oleh nucleus dalam batang otak. Perangsangan formasi retikularis dekat pusat batang otak untuk pengecapan dapat menimbulkan pergerakan mengunyah secara ritmis dan kontinu. Mengunyah makanan bersifat penting untuk pencernaan semua makanan, terutama untuk sebagian besar buah dan sayur-sayuran mentah karena zat ini mempunyai membrane selulosa yang tidak dapat dicerna diantara bagian-bagian zat nutrisi yang harus diuraikan sebelum dapat digunakan.



2) Tulang alveolar. Tulang alveolar terdiri atas tulang spons di antara dua lapis tulang kortikal. Pembuluh darah dan saraf gigi menembus tulang alveolar ke foramen apical untuk memasuki rongga pulpa. Tulang alveolar cukup labil dan berfungsi sebagai sumber kalsium siap pakai untuk mempertahankan kadar darah ion ini. Setelah hilangnya gigi permanen atau setelah periodontitis dapat terjadi resorbsi nyata dari tulang alveolar. 3) Gingiva. Gingiva adalah membran mukosa yang melapisi vestibukum dari rongga mulut dan melipat di atas permukaan luar tulang alveolar. Saat mendekati gigi, ia menyatu dengan tepian bawah lapis merah muda yang lebih kuat yang disebut gusi atau gingiva, yang merupakan bagian membrane mukosa yang terikat erat pada periosteum krista tulang alveolar. Ia dilapisi epitel berlapis gepeng dengan banyak papilla jaringan ikat menonjol pada dasarnya. Epitel ini berkeratin, tetapi dalam lingkungan basah ini ia tidak memiliki stratum granulosum dan sel-sel gepeng lapis superfisialnya tetap berinti piknotik. 4) Ligamentum periodontal. Akar gigi masing-masing dibungkus lapis kolagen padat, membentuk membrane periodontal atau ligament periodontal di antara sementum dan tulang alveolar di sekitarnya. Serat-seratnya berjalan miring ke atas dari sementum ke tulang hingga tekanan pada gigi menekan serat-serat yang tertanam dalam tulang. Ligamen periodontal menahan gigi pada sakunya dan masih memungkinkan sedikit gerak. 5) Pulpa. Pulpa, yang memenuhi rongga gigi, berasal dari jaringan yang membentuk papilla dentis selama perkembangan embrional. Arteriol kecil memasuki pulpa melalui foramen apical dan cabang kapilernya pecah dekat dasar odontoblas dan sebagian terdapat diantaranya. Mereka ini berlanjut ke dalam vena kecil yang letaknya lebih ke pusat pulpa. 6) Lidah. Lidah manusia sebenarnya dibentuk oleh otot-otot yang terbagi atas 2 kelompok, yaitu otot-otot yang hanya terdapat dalam lidah (otot intrinsik) dan otot-otot ekstrinsik yang salah satu ujungnya mempunyai perlekatan di luar lidah, yaitu pada tulang rahang bawah di dasar mulut dan tulang lidah. Otot intrinsik mempunyai serat lebih halus daripada otot ekstrinsik. Otot-otot ini penting dalam proses mengunyah dan mengucapkan kata-kata. Pergerakan lidah diatur oleh saraf otak ke-12. Permukaan belakang lidah yang terlihat pada saat seseorang membuka mulut ditutupi oleh selaput lendir yang mempunyai tonjolan-tonjolan (papilla). Pada papilla ini terdapat alat pengecap (taste-bud) untuk mengenal rasa manis, asin, asam (di ujung depan), dan pahit (di pangkal



lidah). Di samping itu, lidah juga mempunyai ujung-ujung saraf perasa yang dapat menangkap sensasi panas dan dingin. Rasa pedas tidak termasuk salah satu bentuk sensasi pengecapan, tetapi suatu rasa panas yang termasuk sensasi umum. Pengecapan diurus oleh saraf otak ke-7 dan sensasi umum oleh saraf otak ke-5. Apabila lidah diangkat ke atas, suatu perlekatan mukosa, frenulum, dapat terlihat di bawah C. PENYEBAB Terdapat beberapa faktor etiologi dari gigi impaksi menurut berger dalam indonesian journal of oral and maxillofacial surgeon ( 2004) dan yaitu: 1) Faktor lokal a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)



Kurangnya ruangan untuk erupsi normal pada lingkungan gigi Trauma pada benih gigi sehingga benih gigi terdorong lebih dalam lagi Posisi ektopik dari gigi Jarak benih gigi ke tempat erupsi jauh Infeksi pada benih gigi Adanya gigi berlebih yang erupsi lebih dulu Ankylosis gigi pada tulang rahang Persistensi gigi sulung yang menyebabkan impaksi gigi tetap di bawahnya Mukosa gingiva yang tebal sehingga sulit di tembus oleh gigi Pergerakan erupsi tertahan karena posisi yang salah dan tekanan dari gigi samping k) Neoplasma / tumor yang menggeser kedudukan benih gigi l) Kista dentigerous yang berkembang pada benih gigi yang masih dalam tahap pembentukan sering kali mencegah gigi erupsi 2) Faktor sistemik Menurut bergee, faktor sistemik yang menyebabkan gigi impaksi dapat terbagi dalam 2 sebab : a) Sebab prenatal (herediter) Faktor keturunan memegang peranan penting. Faktor keturunan ini tidak dapat diketahui dengan pasti apakah tulang rahang terlalu kecil, gigi teralu besar atau benih gigi-gigi yang letaknya abnormal. Dan keadaan miscegenation b) Sebab postnatal merupakan semua keadaan atau kondisi yang dapat mengganggu pertumbuhan pada anak-anak seperti : ricketsia, anemia, syphilis kongenital, tbc, gangguan kelenjar endokrin dan malnutrisi. i. Kelainan kelenjar endokrin  Hipopituitari mengakibatkan kelambatan erupsi  Hipotiroid mengakibatkan kelambatan erupsi ii. Malnutrisi Faktor ini sangat penting dalam pertumbuhan tubuh. Bila terjadi defisiensi maka pertumbuhan akan terganggu.



c) Kelainan pertumbuhan i. Cleido cranial dysostosis Terjadi pada masa kongenital di mana terjadi kerusakan atau abnormalitas dari tulang cranial. Hal ii. Oxycephali Disamping faktor-faktor yang disebutkan diatas, stimulasi otot-otot pengunyahan yang kurang juga dapat menyebabkan impaksi. Erupsi gigi yang normal harus disertai dengan pertumbuhan rahang yang normal. Untuk itu perlu adanya stimulasi otot-otot pengunyahan. (dym, 2001) D. PATHOFISIOLOGI Beberapa peneitian menunjukkan bahwa gangguan impaksi gigi disebabkan oleh karena factor lokal dan sistemik. Akibat dari adanya pengaruh beberapa faktor menimbulkan gejala-gejala seperti gangguan saluran cerna, sakit kepala, telinga berdengung, sakit leher, rematik, kencing manis, gangguan jantung, gangguan pada kulit, badan cepat lelah. Gangguan ini sering hilang timbul berkepanjangan atau gejalagejala lain pada tubuh yang tidak bisa diobati maka gigi ini mulai dicurigai sebagai penyebab. Sementara itu berbagai gejala itu juga sering dialami oleh penderita alergi. Padahal kaitan antara gangguan pencernaan, gangguan kulit dan badan cepat lelah secara teori patobiologis tidak bisa dijelaskan secara baik kaitannya. Bila gangguan itu berkaitan dengan penderita alergi, secara imunopatobiologis kaitan antara impaksi gigi dan penderita alergi bisa dijelaskan. Secara teori penyebab impaksi gigi adalah reaksi inflamasi noninfeksi pada jaringan di sekitar gigi. Saat terjadi pembengkakkan tersebut menekan persarafan di sekitarnya yang menyebabkan rasa ngilu dan nyeri di sekitar lokasi tersebut. Pada penderita alergi saat terjadi kekambuhan bisa mengakibatkan rekasi di seluruh organ tubuh termasuk gusi dan jaringan sekitarnya. Pembengkakan tersebut juga terjadi pada daerah gusi lainnya. Hal inilah yang juga sering dikeluhkan pada penderita gigi hipersensitif yang sangat mungkin mekanisme terjadi gangguan tidak berbeda. Demikian juga pada anak di bawah usia 2 tahun sering terjadi pembengkakkan gusi sering dianggap tumbuh gigi. Tetapi saat gejala alergi lainnya membaik bengkak tersebut berkurang tetapi tidak diikuti tumbuhnya gigi. Pembengkakkan jaringan pada gigi molar yang tumbuh di dasar gigi dan tumbuh tidak sempurna mengakibatkan desakan inflamasi atau pembengkakkan tersebut lebih mengganggu dan menekan persarafan. Hal ini juga dijelaskan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa impaksi gigi tidak terjadi pada gigi molar ketiga tetapi dapat terjadi pada gigi lainnya. Posisi gigi yang belum erupsi sempurna akan memudahkan makanan, debris dan bakteri terjebak di bawah gusi yang di bawahnya terdapat gigi bungsu sehingga menyebabkan infeksi pada gusi yang disebut pericoronitis. Jika tidak segera ditangani infeksi tersebut akan menyebar ke tenggorokan atau leher. Gigi impaksi dapat mendorong gigi-gigi lain di depannya sehingga bergerak dan berubah posisi. Posisi gigi impaksi sulit dijangkau sehingga sulit dibersihkan dan menjadi berlubang. Tidak hanya gigi impaksinya saja yang berlubang tetapi gigi di depannya juga berlubang karena sulit dibersihkan. Para ahli menyatakan bahwa 50% kasus kista berhubungan dengan gigi geraham impaksi pada rahang bawah. Mahkota gigi impaksi tumbuh dalam suatu selaput. Jika selaput tersebut menetap dalam tulang rahang, dapat terisi oleh cairan yang akhirnya



membentuk kista yang dapat merusak tulang, gigi dan saraf. Mengingat komplikasi yang ditimbulkan oleh gigi geraham impaksi maka kita perlu mengetahui waktu terbaik gigi tersebut dicabut. Kalsifikasi gigi geraham bungsu terjadi mulai umur 9 tahun dan mahkota gigi selesai terbentuk umur 12-15 tahun. Jadi gigi geraham bungsu sudah dapat dilihat melalui rontgen pada umur 12-15 tahun walaupun gigi tersebut belum tumbuh.



E. PATHWAY IMPAKSI Faktor lokal



Faktor sistemik



b. Kurangnya ruangan untuk erupsi normal pada lingkungan gigi c. Trauma pada benih gigi d. Posisi ektopik gigi e. Jarak benih gigi f. Infeksi pada benih gigi g. Adanya gigi berlebih yang erupsi lebih dulu h. Ankylosis gigi pada tulang rahang i. Persistensi gigi sulung



Nyeri akut



a. Sebab prenatal (herediter) b. Sebab postnatal merupakan semua keadaan atau kondisi yang dapat mengganggu pertumbuhan pada anak-anak c. Kelainan pertumbuhan



Impaksi gigi



Prosedur pembedahan Odontectomy



Resiko ketidakefektifan pola nafas



Ketidakefektifan bersihan jalan nafas



Cemas



Resiko aspirasi



F. MANIFESTASI KLINIS Tanda dan gejala dari gigi impaksi antara lain: a. b. c. d. e. f.



Rasa sakit di sekitar gigi dan gusi Pembengkakan di sekitar rahang Pembengkakan dan warna kemerahan pada gusi di sekitar gigi yang terimpaksi Nyeri di rahang Bau mulut dan rasa tidak nyaman ketika menguyah Dapat disertai dengan rasa sakit kepala



Banyak penelitianyang telah dilakukan untuk melihat gambaran impaksi yang terjadi di seluruh dunia. Menurut national institute for health and clinical excellence (nice), gigi molar yang menaglami impaksi ini bila tidak dicabut, maka akan menimbulkan masalah. Masalah yang ditimbulkan adalah perubahan patologis, seperti imflamasi jaringan lunak sekitar gigi, reabsorbsi akar, penyakit tulang alveolar dan jaringan jaringan lunak, kerusakna gigi sebelahnya, perkembangan kista dan tumor, karies bahkan sakit kepala atau sakit rahang. (chanda, 2007; astuti, 2002). Gigi yang impaksi juga bertendensi menimbulkan masalah peridontal yang berhubungan dengan perikoronitis, karies molar, reabsorbsi gigi molar kedua dan juga pembentukan kista dan tumor infeksi atau karies pada gigi di dekatnya. Cukup banyak kasus karies pada gigi molar dua karena gigi molar ketiga mengalami impaksi. Gigi molar ketiga merupakan penyebab tersering karies pada molar kedua karena retensi makanan. Karies distal molar kedua yang disebabkan oleh karies posisi gigi molar ketiga. G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Radiografi panoramik juga dikenal sebagai orthopantomogram atau rotationalradiografi. Radiografi panoramik telah menjadi komponen yang penting dalam membantu mendiagnosis kelainan mulut selama 40 tahun. Radiografi panoramik menjadi teknik radiografi yang sangat populer dikedokteran gigi karena semua gigi dan jaringan pendukung dapat ditampilkan dalam satu gambar foto dengan teknik yang relatif mudah. H. PENATALAKSANAAN MEDIS Operasi bedah minor mulut (odontektomi) Sebelum melakukan pembedahan terlebih dahulu harus mengetahui indikasi dan kontraindikasi dari pengambilan molar tiga impaksi rahang bawah. a. Indikasinya adalah : 1) Infeksi karena erupsi yang terlambat dan abnormal (perikoronitis) 2) Berkembangnya folikel menjadi keadaan patologis (kista odontogenik dan neoplasma) 3) Usia muda, sesudah akar gigi terbentuk sepertiga sampai dua pertiga bagian dan sebelum klien mencapai usia 18 tahun 4) Adanya infeksi



5) Penyimpangan panjang lengkung rahang dan untuk membantu mempertahankan stabilitas hasil perawatan ortodonsi 6) Prostetik atau restoratif (diperlukan untuk mencapai jalan masuk ke tepi gingiva distal dari molar dua didekatnya) 7) Apabila molar kedua didekatnya dicabut dan kemungkinan erupsi normal atau berfungsinya molar ketiga impaksi sangat kecil 8) Sebelum tulang sangat termineralisasi dan padat yaitu sebelum usia 26 tahun b. Kontraindikasinya adalah: 1) Klien tidak menghendaki giginya dicabut 2) Sebelum panjang akar mencapai sepertiga atau dua pertiga dan apabila tulang yang menutupinya terlalu banyak (pencabutan prematur) 3) Jika kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur penting disekitarnya atau kerusakan tulang pendukung yang luas Apabila kemampuan klien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu oleh kondisi fisik atau mental tertentu (pedersen, 1996) c. Komplikasi dari tindakan pembedahan odontektomi Pada saat pengambilan m3 dapat terjadi komplikasi berupa: 1) Perdarahan karena pembuluh darah terbuka 2) Kerusakan pada gigi m2 karena trauma alat 3) Rasa sakit 4) Parestesi pada lidah dan bibir. Dalam literatur dikatakan bahwa 96 % klien dengan trauma pada n. Alveolaris inferior dan 87 % klien dengan trauma pada n. Ligualis akan sembuh secara spontan ( dym & ogle, 2001) 5) Trismus karena iritasi syaraf 6) Infeksi/peradangan 7) Biasanya disertai dengan pembengkakan, dapat ditanggulangi dengan membuka jahitan, irigasi dengan larutan antiseptik dan diberi antibiotik 8) Fraktur mandibula 9) Emfisema : pembengkakan yang timbul karena terjebaknya udara di dalam jaringan lunak akibat penggunaan bor high speed.



I. TATA LAKSANA ANESTESI PADA BEDAH MULUT Jenis anestesi yang digunakan untuk tindakan odontectomy adalah general anestesi balance. General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2007). Teknik yang digunakan balance anestesi dengan intubasi nasal menggunakan ETT nonkinkin. Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obatobatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik



general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu: 1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain. 2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional. 3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional. Pemasangan ETT nasal pada pasien dewasa adalah sebagai berikut : a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent) b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal ( ET) non kinkin yang sesuai ukuran dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan) d. Berikan obat premedikasi antikolinergik e. Berikan obat analgetik kuat dengan onset cepat (fentanyl) kemudian induksi klien dengan obat sesuai instruksi DPJP anestesi f. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2 100 % dan berikan musculo relaxan g. Masukkan ETT non kinkin melalui lobang hidung kemudian dorong pelan h. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop i. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. j. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. k. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu. l. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. m. Jepit ujung ET menggunakan magill (jangan mengenai balon/cuff ET) kemudian arahkan ke trakea dan dorong dengan smooth ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm. n. Angkat laringoskop isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 20 detik. o. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan



pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. p. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut J. FOKUS PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI a. Pengkajian 1) Identitas Pasien Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-ke, BB/TB, alamat. 2) Keluhan Utama Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan yaitu nyeri pada gigi. 3) Riwayat kesehatan masalalu a) Riwayat Kesehatan Sekarang Adanya riwayat infeksi pada gigi atau penyebab yang lainnya b) Riwayat Penyakit Dahulu Pengkajian meliputi adanya penyakit yang pernah diderita klien selain keluhan saat ini atau pengobatan yang sedang dijalani. 4) Pengkajian psikososiospritual Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan pengruhnya dalam kehidupan sehari- hari. 5) Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik mengunakan pemeriksaan fisik secara head to-toe. 6) Pengkajian tingkat kesadaran Bagaimanakah keadaan umum klien dan tingkat kesadaran klien (GCS) 7) Pengkajian fungsi serebral, meliputi: a) Status mental Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. b) Pengkajin saraf cranial, apakah ada masalah persarafan meliputi i. Saraf I (Olfaktori). ii. Saraf II (Optikus). iii. Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis, Abducens) iv. Saraf V (Trigeminius) v. Saraf VII(facialis). vi. Saraf VIII (Akustikus) vii. Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus). viii. Saraf XI (Aksesorius) ix. Saraf XII (Hipoglosus). 8) Mobilitas Apakah klien mengalami gangguan mobilitas 9) Pengkajian system motorik. Apakah klien mengalami masalah pada ekstremitas.



10) Pengkajian Refleks. Apakah klien mengalami masalah pada refleks 11) Pengkajian system sensorik. Apakah klien mengalami masalah pada system sensorik. K. DIAGNOSA KEPERAWATAN ANESTESI YANG MUNGKIN MUNCUL SELAMA PERIOPERATIF a. b. c. d. e.



Nyeri akut Ansietas Resiko ketidakefektifan pola nafas Ketidak efektifan bersihan jalan nafas Resiko aspirasi



L. INTERVENSI KEERAWATAN ANESTESI a. Nyeri akut 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2) Identifikasi skala nyeri. 3) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misalnya hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain) 4) Kolaborasi pemberian analgesic bila nyeri tidak teratasi dengan terapi nonfarmakologis b. Ansietas 1) Kaji tingkat kecemasan klien 2) Bina hubungan saling percaya 3) Bantu pasien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan, dan takut. 4) Kaji tanda ansietas verbal dan nonvervbal. 5) Jelaskan tentang prosedur anestesi dan pembedahan dengan bahasa yang mudah dipahami. c. Resiko ketidakefektifan pola nafas 1) Bersihkan mulut, hidung, dan sekresi trachea dengan tepat 2) Pertahankan kepatenan jalan nafas 3) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi 4) Auskultasi suara nafas, adanya suara tambahan atau tidak 5) Monitoring status pernafasan dan oksigenasi 6) Catat pergerakan dada, catat ketidaksimetrisan, penggunaan otot bantu nafas, dan retraksi pada otot supklavicula dan intercostal 7) Monitor pola nafas (mis., bradipnea, takipnea, hiperventilasi, pernafasan kusmaul) d. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas 1) Lakukan suctioning pernasal dan peroral paska ekstubasi 2) Kaji fungsi pernafasan. 3) Monitor kemampuan untuk mengeluarkan sekret.



4) Bantu klien untuk mengeluarkan sekret dengan memiringkan tubuh klien dan diberihkan dengan kassa.



5) Berikan terapi oksigen. 6) Monitor TTV. e. Resiko aspirasi 1) Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah dan kemampuan menelan 2) Monitor bunyi napas 3) Pertahankan kepatenan jalan napas (mis tehnik head tilt, chin lift, jaw thrust, in line) atau dengan posisi miring. 4) Sediakan suction dekat meja operasi dan diruang pemulihan



M. DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.J.(2012).Diagnosis keperawatan : Bukusaku / Lynda juall Carpenito- moyet; alih bahasa, Fruriolina Ariani, EstuTiar; editor edisi bahasa Indonesia, Ekaanisa Mardela … [et al] – Edisi 13 – Jakarta : EGC Eroschenko, V. P. 2012, Atlas Histologi difiore. Penerbit buku kedokteran. EGC, Jakarta. Potter & Perry, (2010). Manajemen Nyeri. Available at : www.digilip.fakultaskeperawatangood.hjkduw/dkhdfy.html Rendy, Clevo dan Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikasi Bedah dan Penyakit Dalam. Nuha Medika, Yogyakarta Weller, R.B., Hunter, H.J.A., and Mann, M.W. 2015, Clinical Dermatology, Fifth Edition, John Wiley and Sons Ltd., Chichester. .