Makalah Maqashid [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAQASHID SYARIAH IMAM IBNU TAIMIYYAH Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh dan Maqashid Syariah



Disusun Oleh: Alauddin Naufal Assiraj Muhammad Rizky Kurnia Sah Muhammad Taufik Bunyamin



PROGRAM PASCARSARJANA MAGISTER EKONOMI KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA 1438 H/ 2017 M



A.



Biografi dan Latar Pemikiran Imam Ibnu Taimiyyah Nama lengkap Imam Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin



Abdul Halim bin Al-Imam Majduddin Abul Barakat Abdussalam bin Abil Qasim bin Muhammad bin al-Khidhir bin ‘Ali bin Abdullah bin Taimiyyah al-Harrani. Beliau dilahirkan pada hari Senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H/ 22 Januari 1263 M di Kota Harran. Pada tahun 667 H, Imam Ibnu Taimiyyah beserta kedua orangtua dan keluarganya hijrah ke Damaskus untuk menghindari serangan bangsa Tartar. Beliau berasal dari keluarga besar Taimiyah yang dikenal sebagai keluarga pecinta ilmu dan sangat Islami. Ayahnya bernama Syihabbuddin bin Abdussalam (627-682 H), seorang ulama besar di kota Damaskus, fuqaha, imam, khatib dan guru di Masjid Damaskus direktur sebuah lembaga pendidikan bernama Madrasah Daar al-Hadits As-Sukkariyah. Pada sekolah pimpinan ayahnya inilah Ibnu Taimiyyah memulai pendidikannya. Selain berguru pada ayah dan kakeknya, Imam Ibnu Taimiyyah juga berguru pada beberapa ulama, diantaranya : 1.



Zainuddin Ahmad bin Abdu ad-Dayim bin Ni’mah al-Maqdisy, Musnid Syam (wafat tahun 667 H)



2.



Ibn Shairafi Al Mufti Jamaluddin Abu Zakaria Yahya bin Abi Mansyur bin Abi Al-Fath Al-Harrani Al-Hanbali (wafat tahun 678 H)



3.



Abdur Rahman bin Muhamad al-Maqdisy (wafat 682 H),



4.



Syaraf ad-Din Abu al-Abbas al-Maqdisy (wafat tahun 694 H)



5.



Al-Munjy bin Usmanat-Tanukhy (wafat tahun 694 H)



6.



Al Majd ibn A’sakir Muhammad ibn Ismail bin Mudhofar bin Hibatullah AdDimasqi (w 696 H)



7.



Abdurahman bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi, keponakan dari Syeikh Muwafaqudiin, pengarang kitab al mughni



8.



Muhammad bin Abdul QowiAttanukhi



Adapun murid-murid beliau diantaranya adalah 1.



Al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj al-Massyi (wafat tahun 742 H)



2.



Muhamad bin Ahmad bin Abdu al-Hadi al-Maqdisy (wafat tahun 744 H)



3.



Al-Qady Abual-Abbas al-Maqdisy (wafat tahun 771 H).



4.



Ibnu Al-Qayyim (wafat tahun 751 H)



5.



Ath-Thuufi (wafat tahun 716 H)



Ibnu Taimiyah juga dikenal sebagai pengikut Mazhab Hanbali. Dalam ruang lingkup ibadah, Imam Ibnu Taimiyah mengartikan ibadah dalam arti luas yang mencakup semua ucapan dan perbuatan yang diridhai Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Semasa hidupnya, Imam Ibnu Taimiyyah memiliki fokus pada perjuangan mempertahankan negeri Islam dari kerusakan yang ditimbulkan pihak external (serangan pasukan Salib & bangsa Tartar) serta dari pihak internal (paham kufur, khurafat, bid’ah dan sufisme). Ibnu Taimiyyah meninggal dalam penjara benteng Damaskus pada tanggal 20 Dzul Qa’dah tahun 728 H/ 1328 M. Selama hidupnya, Imam Ibnu Taimiyyah juga sudah merasakan masuk penjara empat kali. Namun walapun beliau masuk bui, karya tulis beliau sangat banyak hingga mencapai jumlah sekitar 500 buku baik yang berukuran besar maupun yang kecil. Salah satu karya terbesarnya adalah Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah yang mencapai 35 jilid. Karangannya yang lain misalnya adalah Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (8 jilid), ar-Ra’d ‘ala al-Manthiqiyyin (Jawaban Terhadap Ahli Logika), Ma’arij al-Wushul (Jenjang-jenjang Pencapaian), Bughyah al Murtad (Kecongkakan Orang Murtad), Dar’u ta’aarudh al-‘Aql wa Naql (Penolak Kontradiksi Akal dengan Naql), ash-Sharim al-Maslul fii Syatim ar Rasul (Pedang Terhunus bagi Pecela Rasul), al-Jawaab as-Shahih liman Baddala Din al-Masih (Jawaban yang Benar bagi Para Penukar Agama Isa Al-Masih), as-Siyasah asy-Syar’iyyah fi Ishlah ar-Ra’i wa ar-Ra’iyyah (Politik Islam), Fadhl al-‘Arab (Keutamaan Arab), dan lain sebagainya. Latar pemikiran Ibnu Taimiyyah mengenai ilmu Maqashid Syari’ah berasal dari salah satu pembahasan Ushul Fiqh, yaitu qiyas dan ‘illat. Adapun yang menjadi pokok dalam bab yang berhubungan dengan Maqashid Syari’ah apakah hukum syariah itu mu’alalah (dibangun berdasarkan ‘illat). Bab ini juga sangat berhubungan erat dengan ilmu kalam, artinya apakah akal menerima teks begitu saja tanpa bertanya mengapa, atau akal dimungkinkan untuk mengetahui untuk apa syariat diturunkan. Banyak dari perkataan Imam Ibn Taimiyah yang mendukung pendapat kedua. Dr Yusuf Al Badawi menerangkan bahwa dari penelitian beliau sudah menulis tentang masalah secara khusus dengan judul Aqwamu Maa Qila fil Qadha wal Qadar, wal Hikmah wa ta’lil. Beliau mengatakan apabila alasan suatu perintah atau syariat itu dijelaskan kepada umat maka akan lebih mudah untuk dipatuhi. Bahkan beliau mengatakan secara eksplisit bahwa pembahasan ta’lil merupakan salah satu pokok Islam.



B.



Teori Maqashid Imam Ibnu Taimiyyah



1. Definisi Maqashid menurut etimologi: Sebelum mengetahui lebih lanjut definisi Maqashid menurut etimologi sebaiknya dilakukan istiqra tentang tata cara penggunaanya ke dalam bahasa Arab, dan mengetahui asal-usul kalimat tersebut, serta melihat sejauh mana kolerasinya dengan makna syara’. Maqashid berasal dari fii'l tsulasi (‫ قصدا‬،‫ يقصد‬،‫)ق ص د‬, kalimat ini seringkali dipergunakan dengan makna yang berbeda. Sebagaimana yang disebutkan pada mu'jam bahasa (lisan al-Arab): •



al- I'timad wa al- I'tisham ‫ وطلب الشئى‬،‫اإلعتماد واإلعتصام‬



Dalam kamus misbah la-munir di katakan, ‫ طلبته بعينه‬: ‫ وإليه قصد من باب ضرب‬، ‫قصد الشيئ له‬ •



Adil dan moderat, atau tidak berpihak pada satu sisi, sebagai mana firman Allah ‫ومنهم‬



‫مقتصد‬ •



Istiqamu al-Tariq, sebagaimana firman tuhan ‫وعلى هللا قصد السبيل‬







al-Qurbu, sebagaimana firman Tuhan dalam al-Qur'an, ‫لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا‬







al-Kasr (mematahkan) sebagaimana kalau dikatakana(‫)قصدت العود قصدا‬



Setelah melakukan istiqra tentang bagaimana penggunaan mufradat ini dalam bahasa Arab, maka jelaslah bahwa makna asli Maqashid adalah makna yang pertama yaitu ‫اإلعتماد واإلعتصام‬



2. Definisi menurut terminologi. Mengenai Maqashid secara terminologi, para ulama Ushul sudah memberikan beberapa definisi. Penulis hanya akan mengutarakan definisi Imam Ibnu Taimiyah mengingat jumlah ulama Ushul yang sangat besar sehingga tidak memungkinkan untuk dicover dalam tulisan ini.



Adapun persoalan yang dianggap penting untuk dipertegas disini adalah mengetahui terma-terma Ibnu Taimiyah yang sering dia gunakan dalam konteks maqashid, dimana dengan mengetahui terma-terma tersebut, kita bisa menangkap makna-makna daripada Maqashid yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Selanjutnya dari terma tersebut nanti, akan membawa kita untuk mengenal teoriteori Maqashid versi Imam mujtahid Ibnu Taimiyah. Adapun dari terma-terma tersebut adalah:



1. Pada perbuatan Allah terdapat tujuan yang dicintai dan balasan yang agung. 2. Al-Hikma merupakan hasil daripada tujuan Allah dan maksud perbuatan tersebut.



3. Barangsiapa yang menginkari bahwa dalam syar'iat mencakup mashlahat dan Maqashid terhadap manusia di dunia dan di akhirat, maka hal tersebut menunjukkan kesalahan yang jelas. Hal tersebut diketahui melalui al- darurat.



Barangkat dari statment tersebut maka penulis akan mengabstraksikan pandangan-pandangan Maqashid Ibnu Taimiyah dalam beberapa point sebagai berikut: 1. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah menggunakan kalimat al-awaqib, al-gayat, al-manaf'i, alMaqashid, al-hukm, al-masaleh, al-mahasin dengan pengertian yang sama. 2. Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Allah memiliki tujuan dan maksud yang sama pada penciptaan dan perintahnya. 3. Sesungunya ketika tujuan yang diinginkan oleh Allah secara syar'i tercapai, maka hal itu memastikan terealisasinya ubudiyyah kepadanya.



Setelah membaca terma Maqashid kemudian mengetahui pemahaman Maqashid versi Ibnu Taimiyah, maka selanjutnya kita melangkah kepada pengertian syari'at, dimana penulis akan menelusuri apakah Ibnu Taimiyah sepakat dengan ulama-ulama Ushul tentang definisi syariah, ataukah ada perbedaan mendasar dalam pengertian tersebut, yang nantinya akan berimplikasi pada produksi hukum yang berbeda.



b. Definisi Syariah Versi Ibnu Taimiyah



Dalam mendefinisikan syr'iat, Imam Ibnu Taimiyah memiliki definisi yang lebih umum dibandingkan ulama-ulama Ushul dan fuqa'ha yang lain. Akan tetapi ada sebagian ulama yang memiliki definisi yang sama dengan Imam Ibnu Taimiyah seperti halnya Abu Bakr al-A'jiri, beliau mendefinisikan syar'it sebagai “segala sesuatu yang disyariatkan oleh Allah yang mencakup akidah wal-ahkam –hukum-” dengan dalil bahwa kalimat ‫ الشرعة‬adalah ‫الشريعة‬ sebagaimana firman Allah: )‫ (ثم جعلناك على شريعة من األمر فاتبعها‬:‫(لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا) وقال ايضا‬ Dan kalimat‫ المنهج‬berarti ‫ الطريق‬sebagaimana firman Allah: )‫قال هللا تعاللى (وان لواستقاموا على الطريقة ألسقيناهم ماءا غدقا‬



Ibnu Taimiyah juga mengkritik ulama-ulama yang mengatakan bahwa syariah hanya terfokus pada hukum saja, tidak ada kaitannya dengan problem-problem akidah. Beliau mengatakan "pada realitasnya syar'iat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad meliputi kemaslahatan dunia dan ahkirat, dan syari'at adalah apa-apa yang tercantum dalam al-kitab dan al-sunnah, dan semua yang direalisasikan oleh salaf yang berkaitan dengan akidah, al-ushul, alibadat, politik, peradilan, pemerintahan.



Demikianlah definisi dan pemahaman sederhana al-Maqashid dan al-syariah yang bisa dilihat dalam cara berpikir Imam Ibnu Taimiyah.



C. Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap al-Dharuriyat al-Khamsa



Jika konsep Maqashid adalah akumulasi ide-ide Ushuliyyah sepanjang sejarah, maka para ulama yang datang belakangan tidak lain hanyalah mengadopsi akumulasi ide-ide tersebut. Salah satu contoh yang bisa kita ambil adalah Imam al-Ghazali, dimana konsep Ushuliyyah yang ia bangun tak lain hanyalah merupakan representasi dan resistematisasi dari konsep-konsep yang telah dikonstruksi oleh gurunya al-Juwaeni.



Dalam konsep Maqashidnya, Imam Syatibi membagi mashlahat menjadi tiga bagian: pertama, ad-Dharuriyyat yaitu hal-hal yang mesti ada dalam mencapai maslahat dunia dan agama, yang terkenal dengan ad-dharuriyyat al-khamsa -hifdsu ad-din, hifdsu an-nafs, hifdz al-aql, hifds alnasl dan hifds al-mal-. Kedua, al-hujiyyat yaitu hal-hal yang diperlukan dalam mewujudkan suatu mashlahat dengan menghadirkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan dan kesukaran. Seperti, berbuka puasa bagi orang yang sakit, dan disyari'atkanya menjama’ shalat bagi seorang musafir. Dan yang ketiga adalah at-tahsiniyyat yang berarti hal-hal yang sesuai dengan adab, dan kebiasaan yang jauh dari perilaku buruk yang bertentangan dengan akal sehat dan etika manusia. Seperti menutup aurat dan berlebih-lebihan dalam segala hal. Tiga hal tersebut merupakan interpretasi dari maksud dan tujuan Maqashid al-syariah yang terkandung dalam teks hukum guna mewujudkan kemaslahatan ummat manusia.



Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berbeda dengan Syatibi’ dia menambahkan bahwa konsep addaruyyat bukan hanya terfokus pada lima pembahasan saja -al-kulliyah al-khams- yang merupakan trend kajian Ushuliyah klasik. Meski dianggap penting oleh Ibnu Taimiyyah, namun secara substansial konsep tersebut sudah tidak lagi memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu Imam Ibnu Taimiyyah menambahkan nilai-nilai universal lainnya seperti: fitra, kebebasan, toleransi, egalitarisme, dan hak asasi manusia.



Konsep Imam Ibnu Taimiyyah tersebut kemudian diamini oleh beberapa ulama pada masa sekarang ini. Diantaranya adalah Syekh al-Gazali dan Ahmad al-Khumalisi. Mereka termasuk para ulama yang mengikuti jejak Ibnu Taimiyah dengan mengaktualisasikan konsep-konsep yang disusung oleh beliau.



Untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh Imam Ibnu Taimiyah selanjutnya kita kembali bisa melihat bahwa mayoritas ulama usul membagi mashlahat ke dalam dua sisi, maslahat duniawi dan maslahat ukhrawi, dimana mashlahat duniawi hanyalah terfokus pada ad-daruriyyat yang lima tadi. Dari sinilah, Imam Ibnu Taimiyah kemudian mengkritisi ulama-ulama ushul tentang pengkrucutan terasebut. Dan mengatakan "mayoritas ulama Ushul tidak memperhatikan secara seksama tentang al-ma'rifa yang disukai oleh Allah dan Rasulnya. Atau dengan kata lain bahwa mayoritas ulama tidak memperhatikan maslahat sebuah hukum kecuali hanya pada amsalih al-mal wa al-badan. adapun mashlahat implisit dalam qalbu dan nafsu seperti apa-apa yang bermanfaat bagi manusia berkat buah keimanan yang tinggi, serta kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kekhilafan dan nafsu ammarah sebagaimana dalam firman Allah, 28 ‫(الكهف‬. ‫(والتطع من أغفلنا قلبه عن ذكرك وانبع هواه وكان امره فرطا‬ ‫وقال تعالى فأعرض عن من تولى عن ذكرنا ولم يرد إال حياة الدنيا‬



Tidak mendapat perhatian yang tinggi oleh ulama Ushul. Sebelum menganalisa nalar intelektual Imam Ibnu Taimiyah dalam kajian Maqashid, hendaknya ada pendahuluan terlebih dahulu, supaya kita bisa menkolaborasikan antara Imam Ibnu Taimiyah dengan ulama yang lain dan kemudian kita dapat menarik kesimpulan dan memberikan fonis yang sesuai atas nalar intlektul tersebut.



Dalam sejarah Maqashid kita temukan bahwa ulama ushul membagi atau mengklasifikasi Maqashid dalam dua sisi yaitu: Maqashid al-dunyawi wa Maqashid al-ukhrawi. Yang mereka maksudkan dengan Maqashid ukhrawi adalah mensucikan jiwa dari hal-hal yang keji, seperti latihan pembersian jiwa dan mensuciaan moral, yang bisa membantu untuk mencapai keselematan dan kebahagiaan akhirat. Maqashid ukhrawi juga terkadang berhubungan dengan masalah-masalah dunia seperti wajibnya kaffarah dengan harta, dimana pahala orang bayar kaffarah sampai kepada orang yang membayar kaffarah tersebut.



Menurut al-Juwaeni -ulama Ushul- ibadah tersebut tidak berkaitan dengan Maqashid dan tidak pula berkaitan dengan ad-daruriyyat atau al-hajiyyat dan at-tahsiniyyat dan juga tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan daf'iyyah atau memberikan manfaat.



Dari pernyataan tersebut diatas bisa disimpulkan bahwa Imam Ibnu Taimiyah berbeda dengan kebanyakan ulama ushul yang menganggap bahwa syariah diturunkan untuk kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat, dimana maslahat tersebut kembali kepada manusia, tidak kembali kepada Allah. Dan menurut Imam ar-Rasi dalam kitabnya al-mahsul konsep maslahat tersebut adalah konsep yang sudah disepakati oleh para ulama ushul.



Sisi perbedaan antara Imam Ibnu Taimiyyah dengan ulama ushul bisa kita lihat pada kitab assahih dimana ia mengatakan "ulama salaf menggap bahwa ma'rifatullah dan mencintainya termasuk dalam bentuk maqshid lizatih, karena Allah berhak untuk disembah, dan Allah mencintai hambanya yang menuruti perintanya dan memurkai hambanya yang melaksanakan laranganya. Juga Allah menyukai hambanya yang selalu bertaubat dan benci kepada kekafiran. Semua hal tersebut mengandung hikmah yang agung dan Maqashid yang mulia.



Keberanian Ibnu Taimiyah untuk berbeda dengan para ulama ushul memang cukup beralasan. Sebagai ulama yang dianggap kontraversial, beliau berbeda dengan ulama ushul atas berbagai alasan yang bisa disebutkan sebagai berikut; Pertama, mayoritas ulama ushul terpengaruh oleh para filsuf dan ulama kalam dalam hal metodologi istimbat hukum. Sehingga mereka –ulama Ushul- menganggap bahwa Maqashid syariah hanyalah berkisar pada kemaslahan hidup manusia . Kedua, teori Maqashid mayoritas ulama ushul terbatas pada anggapan bahwa kemaslahatan



hanya kembali kepada umat manusia. Ketiga, kebanyakan ulama ushul beranggapan bahwa tidak ada illat dalam ibadah akan tetapi hanya sekedar at-tahakkum.



D. Tujuan dan Alasan Munculnya Maqashid al-Difai versi Ibnu Taimiyyah.



Tujuan pokok dari langkah inovatif Imam Ibnu Taimiyyah, seperti yang dia kemukakan dalam karangannya adalah, agar Maqashid mempunyai kedigjayaan dalam meminilisir khilafiyah, dan menjadi nilai universal yang menjadi pijakan hukum dalam skala lintas terotorial-geografis. Adapun Maqashid al-difaiyyah, diantaranya: a. Mukhalafa al-musyrikin Hal tersebut bisa kita lihat karangan Ibnu Taimiyyah iq'tida' al-shirata al-musthakim b. Mukhalafah al-syayatin Imam Ibnu Taimiyyah juga menganggap bahwa hal ini sebagai Maqashid al-syariah. Sebagaimana sabda Rasulullah ‫ال يأكلن احدكم بشماله وال يشربن بها فإلن الشيطان يأكل بشماله ويشرب بها‬ c. Mengajak untuk berjihad di jalan Allah. Beliau melihat bahwa mengajak ke jalan Allah dan Rasulnya adalah suatu kewajiban bagi tiaptiap muslim. Dan wajib membunuh orang yang meninggalkan syri'at Allah.



Kalau kita memperhatikan secara seksama Maqashid tersebut, maka dapat dideteksi bahwa Maqashid tersebut kembali kepada hifdz ad-din. Wa allahu wa'lam



E. Pilar Maqashid versi Imam Ibnu Taimiyah



Menajamkan dan mengfungsikan rasio merupakan sarana terciptanya kesinambungan antara wahyu dan realita. Akan tetapi disini tidak dikenal yang namanya mendewakan rasio dan menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebenaran, melainkan rasio harus tetap berpegang teguh pada intisari teks. Dalam mengkaji dan membahas subtansi sebuah hukum kita dituntut untuk mengetahui hikmah dan illat serta sebab adanya sebuah teks syariat. Oleh sebab itu Imam Ibnu Taimiyyah menjadikan pembahasan illat dan al-masaleh serta al-mafsadah sebagai rpilar dari Maqashid as-syariah.



Melihat realita yang terus berkembang, maka kita dituntut untuk memahami hukum syariat secara realities dan fleksibel. Hal tersebut kemudian menjadikan syari'at sebagai jembatan yang mengantarkan manusia menuju pintu kemaslahatan dan kebahagiaan, bukan ancaman yang membelenggu, apalagi mempersulit gerak-gerik manusia.



Kalau melihat karangan-karangan Imam Ibnu Taimiyah maka kita akan menemukan peran akal sangat terbatas untuk mengetahui apakah ini maslahah atau mafsadah. Dalam hal ini ulama tentunya berbeda pendapat dalam menyikapi hal tersebut. Diantaranya as-Syatibi yang menawarkan metode penggalian Maqashid yang diandaikan dapat mengsingkronkan antara suara teks dengan maknanya, sekaligus dapat menjembatani silang pendapat antara aliran literalistik dengan subtansialistik. Metode tersebut adalah dengan memahami teks yang bermuatan perintah atau larangan secara eksplisit, melihat perintah dan larangan, mengetahui maksud Tuhan yang eksplisit-elementer maqshudal-asli sekaligus yang implisit-subsider maqshud al-tab'i dan istiqra'



Nah, pola pencarian spirit teks versi Syatibi ini secara gamblang menunjukkan bahwa peran syatibi lebih tepat disebut sebagai upaya pengukuhan bayan, bukan transformasi usul fiqhi dari teoritis ke nalar argumentatif. Sebab Syatibi sendiri secara tegas mengatakan "tidak ada peran nalar dalam Maqashid syariah", dan rasionalisme semata hanya memberikan secuil pedoman kehidupan. Hal ini disebabkan karena Syatibi berpegang teguh pada madzhab al-asyaira' ketika menegaskan "‫"ان العقل ال يحسن وال يقبح‬



Tetapi, bagi Izzuddin bin Abdussalam, adalah keliru jika nalar tidak di jadikan piranti guna menentukan kemaslahatan. Untuk itu dia menilai bahwa konklusi-konklusi rasio dari beberapa objek penelitian, adat kebiasaan dan asumsi-asumsi yang dianggap valid punya peran besar memilah dan memilih kemaslahatan dan kerusakan duniawi. Pun tanpa menafikan jika kemaslahatan dan kerusakan ukhrawianya dapat diketahui melalui suara wahyu divine revelation.



Peran nalar semakin mendapat porsi luas di tangan Najmuddin at-Thufi. Inti teorinya adalah memberikan supremasi terhadap kemaslahatan dan menolak dikotomi antara kemaslahatan legal dan illegal, karena menurutnya, tujuan syar'iat adalah kemaslahatan yang senantiasa harus digapai, baik didukung oleh teks-teks ilahiyyah maupun tidak.



Adapun ketika Ibnu Taimiyah menganggap bahwa nalar juga memberikan supremasi hukum yang berdiri sendiri, sebagaimana halnya as-Syara’, maka ketika itu beliau mengadakan pengecualian yaitu pada batasan yang terentu dari mashlahat, diamana akal tidak mengetahui balasan ukhrawi dari pahala dan siksaan. Adapun yang memiliki otoritas untuk mengetahui semua itu tidak lain adalah teks syariat.



Nalar juga tidak berperan untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, atau almasaleh wal-mafsadah. Akan tetapi nalar hanya bisa membedakan antara yang bermanfaat dan tidak bermanfaat pada hal-hal yang bebentuk hissiyyah. Adapun pada persoalan-persoalan yang berbentuk perbuatan, dimana perbuatan tersebut memberikan manfaat atau mudarat bagi yang melakukannya, sesunggunya akal tidak dapat mengetahui secara detail dan pasti, dan tidak ada yang bisa memberikan petujuk yang pasti kecuali dengan ar-risalah as-samawiyyah.



Konklusi: •



Maqashid syariah yang dibangun oleh Ibnu Taimiyyah adalah segala bentuk hukum



syariah yang disyari'atkan oleh Allah baik yang berkaitan dengan aqidah maupun yang berkaitan dengan al-ahkam •



Ad-dharuriyyat, al-hajiyyat, dan at-tahsiniyyat merupakan interpretasi hikmah, maksud,



dan tujuan dari syariat yang di tetapkan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan. Dan kemudian melahirkan undang-undang hidup yang universal yang dielaborasi dari teks-teks syariat. •



Menjunjung tinggi Maqashid memerlukan pisau analisis yang tajam, sebab syari'at



bukanlah ajaran yang terbelakang juga tidak kontekstual atau kehilangan ruh sucinya, akan tetapi dalam perjalanannya syariat akan terus sejalan kebutuhan ummat manusia dan senantiasa mampu mampu menjawab segala tantangan zaman.







Pembahasan illat, maslahat dan mafasid merupakan pilar dari pada Maqashid.







Nalar merupakan salah pedoman yang dijadikan mediator guna menentukan maslahat.



Referensi. 1.



Al-Qur'an Al-Karim



2.



Ibnu Mandzur, Lisan Al-Arab.



3.



DR. Yusuf Ahmad Muhammad Al-Badawy, Maqashid Al-Syariah ‘Inda Ibni Taimiyah.



4.



Imam Ibnu Katsir, Bidaayah Wan-Nihayah.



5.



Al-Imam As-Dsahabi, Siratun-Nubalaa.



6.



Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, Majmu' Fatawa



7.



Imam al-Syatibi, Al-Muwafaqat.



8.



Imam al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari.



9.



Imam Al-Gazali, Al-Mustashfaa.



10.



Ibnu Abd As-Salam, Qawaid Al-Ahkam.



http://islampeace.clubdiscussion.net/t22-diskursus-maqashid-al-syariah-dalam-perspektif-ibnutaimiya



Daftar Pustaka Ahmad, Afrizal. Reformulasi Konsep Maqashid Syari’ah : Memahami Kembali Tujuan Syari’at Islam dengan Pendekatan Psikologi. Hukum Islam, Vol. XIV, No. 1 Juni 2014. Al-‘Askari, Maajid bin Abdullah bin Muhammad, 1435 H. Maqashid as-Syari’ah fii alMu’amalat As-Syari’ah ‘inda Ibni Taimiyyah wa atsaaruhaa fii al-Ahkaam al-Fiqhiyyah wan Nawaazil al-Maaliyah al-Mu’ashirah. Kulliyah As-Syari’ah wad diraasat alIslaamiyyah, Jami;ah Ummul Qurra : Mamlakah al-Arabiyyah as-Su’udiyyah. Muzani, Ahmad. 2005. Konsep Maslahah Ibnu Taimiyah Ditinjau dari Maqasid As-Syari'ah dan Implikasinya Terhadap Pembaharuan Hukum Islam. Skripsi Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo : Semarang. Sucipto. Pembaharuan Hukum Islam (Studi Terhadap Pemikiran Hukum Ibnu Taimiyah). ASAS, Vol.3, No.1, 2011. Taimiyah, Ibnu. 2008. Success Business with Sharia Al-Hisbah. Penerjemah : Rafiqah Ahmad, Alimin. Penerbit Migunani : Jakarta. Wibisana, Wahyu. Pembaharuan Hukum Islam (Studi Terhadap Pemikiran Hukum Ibnu Taimiyah). Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim. Vol. 14, No. 1, 2016