Makalah Maqashid Al-Syari'ah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAQASHID AL-SYARIAH Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam Dosen Pengampu: Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si



Disusun Oleh Kelompok 7: Alif Fachrul Rachman



11180430000118



Kiflan Radhina



11180430000104



PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2021 M



BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu prinsip penting dalam literatur hukum Islam adalah mengenai prinsip maqashid syariah1. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap maqashid syariah harus dimiliki oleh setiap elemen individu umat Islam, terlebih bagi para mujtahid yang akan melakukan ijtihad2. Hal demikian disebabkan, karena inti dari prinsip maqashid syariah adalah untuk menciptakan maslahat dan menghindarkan keburukan. Bahkan, sudah menjadi pendapat umum para ahli hukum Islam (communis opinio doctorum) bahwa istilah yang sekiranya sepadan dengan masqashid syariah adalah maslahat. Sebab, suatu hukum yang ditetapkan dalam Islam harus bermuara untuk kemaslahatan3. Kendati demikian, dalam praktiknya, prinsip maqashid syariah ini belum seutuhnya digunakan untuk dijadikan batu uji atau pisau analisis dalam menganalisa dan mengidentifikasi pelbagai permasalahan keagamaan (Islam) yang dewasa ini kian muncul. Bahkan, kerap kali respon yang justru muncul ke permukaan adalah tindakan kontra-produktif dan sikap defensif-apologetik. Akibatnya, banyak umat Islam yang semakin terkungkung dalam kondisi yang serba memprihatinkan. Tidak dapat



1



Disebutnya maqashid syariah sebagai prinsip, tidak lain berangkat dari pandangan Jasser Auda yang secara tegas menyatakan bahwa maqashid syariah adalah prinsip-prinsip yang selalu menyediakan jawaban atas seputar pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang hukum Islam. Seperti halnya pertanyaan, mengapa menunaikan zakat menjadi salah satu rukun Islam, kemudian apa manfaat fisik dan spiritual dari pelaksanaan puasa ramadhan, dan mengapa alkhohol diharamkan serta merupakan dosa besar bagi umat Islam yang meminumnya. Kesemuaan dari pertanyaan tersebut, akan dengan mudah untuk dijawab jika menggunakan pendekatan prinsip maqashid syariah. Lihat untuk selengkapnya dalam Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syariah, diterjemahkan dari Maqashid Shariah as Philoshopy of Islamic Law, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 31. 2 Pentingnya melakukan ijtihad dengan menggunakan pendekatan maqashid syariah adalah karena tujuan dari maqashid syariah itu sendiri, yaitu untuk menciptakan kebaikan dan menghindarkan keburukan. Lihat Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid Syariah Dalam Hukum Islam”, Jurnal Unissula Sultan Agung Islamic University, Vol. 44, No. 118, 2009, h. 117. Hal demikian kiranya senada dengan pandangan Amin Abdullah yang menyebutkan, meski sudah banyak dilakukan ijtihad oleh umat Islam. Akan tetapi, mereka melakukannya hanya sebatas pembacaan berulang-ulang (al-qira’ah almutakarriroh), atau dengan kata lain mereka kurang berani untuk melakukan ijtihad yang baru (al-qira’ah al-muntajih). Oleh karenanya, pandangan Jasser Auda yang selalu menggunakan maqashid syariah sebagai basis pangkal tolak filosofi berpikirnya dan menjadi pisau analisis, merupakan hal yang patut untuk dipelajari dan ditelaah lebih dalam. Jasser Auda, Membumikan Hukum…, h. 11. 3 Beberapa ahli seperti Syaikh Amir Syakib Arsalan, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan yang lainnya cenderung menggunakan pendekatan maqashid syariah dalam menyelsaikan pelbagai permasalahan. Seperti dalam melakukan ijtihad yang menjadikan maqashid syariah sebagai prinsip penting untuk diperhitungkan eksistensinya. Jasser Auda, Membumikan Hukum…, h. 9.



1



dipungkiri, kondisi demikian terjadi, dikarenakan rendahnya pemahaman umat Islam akan nilai-nilai ajaran agama Islam, termasuk dalam memahami prinsip maqashid syariah. Alih-alih semua kekurangan tersebut ingin dibenahi dengan melakukan reformasi akan pemahaman ajaran Islam yang utuh dan kompleks, justru yang dihadirkan hanyalah sekadar melakukan dekorasi terhadap khazanah peradaban Islam lama. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk melakukan reformasi pemahaman yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern4, yang salah satunya dapat dilakukan dengan mendalami dan menelaah lebih lanjut pengertian dan kandungan yang terdapat dalam prinsip maqashid syariah. Di satu sisi, kondisi ini dilakukan dalam rangka menjawab pelbagai perubahan sosial yang dihadapi oleh umat Islam modern yang berkaitan dengan hukum Islam. Dan di sisi lain, metode yang digunakan untuk menjawab perubahan tersebut terlihat belum memuaskan5. Berdasarkan hal di atas, makalah ini secara konstruktif mencoba untuk menjelaskan terkait dengan pemahaman akan prinsip maqashid syariah. Oleh karenanya, pada bagian awal subbab pembahasan, makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian dan teori maqashid syariah. Adapun pada subbab pembahasan selanjutnya, pembahasan akan difokuskan untuk mengetahui macam-macam dari maqashid syariah. Dan subbab terakhir dalam makalah ini, akan menguraikan analisa penulis terhadap kontekstualisasi maqashid syariah. Rumusan Masalah 1. Bagaimana penjelasan terhadap pengertian, teori, dan macam-macam, serta kontekstualisasi dari maqashid syariah?



4



Implikasi yang akan hadir dari adanya pemahaman akan hukum Islam yang mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan modern, seperti sosial, humaniora, dan lain sebagainya. Secara langsung akan berdampak pada sistem pendidikan Islam maupun sistem ketatanegaraan Islam. Hal ini yang sejatinya menjadi cikal bakal untuk menghilangkan framing yang tercipta dari ketegangan antara agama dan negara. 5 Dalam beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Anderson disebutkan bahwa kebanyakan, metode yang digunkan oleh para pembaru hukum Islam dalam menangani isu-isu hukum yang berkaitan dengan keagamaan (Islam) masih bertumpu pada pendekatan yang kurang holistik dan cenderung mengeksploitasi prinsip takhayyur dan talfiq. J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, (London: University of London Press, 1976), h. 42.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Teori Maqashid al-Syari'ah Secara bahasa, “Maqashid” berasal dari bahasa arab dan merupakan bentuk jama‟ dari kata “Maqsad” yang memiliki arti “maksud, prinsip atau tujuan akhir”6. Sedangkan “syariah” diartikan sebagai hukum-hukum Allah SWT yang diperuntukan bagi manusia. Beberapa ahli seperti Ibn Asyur sebagaimana dikutip oleh Jasser Auda memberikan defini kepada dua kata di atas yaitu maqashid dan syariah (maqashid syariah) yang secara istilah diartikannya dengan sasaran atau maksud serta tujuan dibalik hukum itu7. Senada dengan hal itu, Asafri Jaya juga mengatakan hal yang sama, menurutnya maqashid syariah adalah cita/tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum 8. Dengan demikian, berdasarkan kedua pendapat di atas, maqashid syariah memiliki makna yakni kandungan nilai yang menjadi tujuan dari disyariatkannya hukum itu. Lebih lanjut, sejarah awal mengenai sebuah ide maqashid syariah, sejatinya telah dikenal sejak masa sahabat Nabi Muhammad SAW. Hal demikian ditandai dengan adanya praktik yang cukup populer pada masanya, seperti ketika Nabi Muhammad SAW mengirim sekelompok sahabat untuk pergi ke Bani Quraizah dan kemudian memerintahkannya untuk melaksanakan shalat ashar di sana9. Namun demikian, dalam perjalanan, batas waktu untuk menunaikan shalat ashar di tempat tujuan (Bani Quraizah) sudah hampir habis, sehingga tidak memungkinkan. Dalam merespon hal tersebut, para sahabat kemudian terpecah menjadi 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama bersikeras untuk tetap melaksanakan shalat ashar di Bani Quraizah apapun yang terjadi. Sedangkan, kelompok kedua justru menginginkan shalat ashar dalam perjalanan (sebelum waktu ashar habis).



6



Mohammad al-Tahir ibn Ashur, Treatise On Maqashid al-Syariah, terjemahan Muhammad elTahir al-Masawi, (London: International Institute Of Islamic Thought, 2006), h. 2. 7 Jasser Auda, Membumikan Hukum…, h. 33. Lihat juga dalam Ibn Asyur, Maqashid al-Syariah alIslamiyyah, h. 183. 8 Jaya, Asafri, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). h. 5. 9 Penerpan prinsip maqashid syariah terhadap beberapa praktik ketika masa sahabat nabi, merupakan salah satu bukti kuat yang mempertegas bahwa prinsip maqashid syariah telah dikenal dan digunakan untuk dijadikan dasar salam setiap adanya permasalahan. Lebih lanjut, praktik tersebut, disarikan oleh penulis dalam bukunya Jasser Auda. Oleh karenanya sebagai bahan bacaan dan diskusi bisa dilihat selengkapnya dalam Jasser Auda, Membumikan Hukum…, h. 41.



3



Adapun rasionalisasi kelompok pertama adalah bahwa perintah Nabi diartikannya secara tekstual yang memerintahkan setiap orang untuk shalat di Bani Quraizah. Sedangkan, kelompok kedua berpendapat bahwa maksud dan tujuan dari perkataan Nabi yaitu meminta untuk bergegas ke Bani Quraizah, akan tetapi bukan bermaksud untuk menunda shalat ashar hingga kehabisan waktu shalat. Berdasarkan praktik tersebut, terlihat perbedaan yang cukup signifikan dari kedua kelompok sahabat, di mana kelomok pertama hanya mengartikulasikan perkataan nabi secara tekstual. Sedangkan, kelompok sahabat yang kedua mengartikulasikan perkataan nabi secara lebih kompleks yaitu dengan melihat maksud dan tujuan10. Model yang kedua ini, kiranya selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dalam mendefinisikan maqashid syariah, yang diartikannya dengan makna atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia yang diletakkan oleh syara‟ pada setiap hukumnya11. Perhatian yang besar para ulama terhadap prinsip maqashid syariah, bukan tanpa alasan, melainkan didasari pada beberapa pertimbangan. Setidaknya terdapat 3 (tiga) point yang dijadikan dasar pertimbangan mengapa penting untuk memahami dan mendalami maqashid syariah sebagai salah satu prinsip/elemen dalam literatur hukum Islam. Pertama, secara hakikat, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Allah SWT dan diperuntukkan bagi manusia. Dengan demikian, hukum Islam akan selalu berhadapan dengan dinamika perubahan sosial. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan suatu prinsip atau teori yang dapat dijadikan dasar untuk menjawab berbagai perubahan sosial tersebut. Jawaban terhadap hal itu baru dapat diberikan setelah melalui riset yang mendalam terhadap teori, prinsip, dan elemen dalam literatur hukum Islam, dan salah satunya merujuk kepada maqashid syariah. Kedua, jika dilihat secara historis, perhatian besar terhadap prinsip maqashid syraiah telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pemahaman yang utuh dan 10



Namun demikian, uniknya, terdapat pandangan berbeda yang datang dari salah seorang ulama yaitu Ibn Hazm al-Zahiri, menurutnya pendapat kelompok sahabat kedua adalah salah dan tidak mengikuti arahan dari Nabi. Seharusnya para sahabat tersebut tetap melaksanakan shalat ashar ketika sudah sampai di tujuan (Bani Quraizah) sekalipun waktu sudah larut malam. Sebab, Ibn Hazm hanya mengertikulasikan perkataan Nabi secara tekstual an sich namun tidak konteksual dengan melihat maksud dan tujuan. Lihat untuk selengkapnya dalam lbn Hazm, Al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-'llmiyyat, 1988), h. 29. Kendati demikian, kejadian yang dialami oleh para sahabat itu, kemudian diceritakan kepada Nabi, dan respon Nabi terhadap kedua pendapat kelompok sahabat itu dibenarkan. Hal ini diungkapkan oleh para perawi, salah satunya adalah Abdullah Ibn Umar, yang juga diafirmasi oleh Bukhori dan Muslim. 11 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh fil Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 1017.



4



komprehensif terhadap maqashid syariah, merupakan salah satu kunci keberhasilan bagi mujtahid dalam melakukan ijtihadnya12. Begitu pentingnya prinsip maqashid syariah, Abdul Wahab Khallaf yang merupakan seorang pakar ushul fiqh memberikan pernyataan yang cukup terkenal, menurutnya nash-nash syariah itu tidak akan bisa dipahami secara benar dan tepat, kecuali seseorang tersebut telah memahami dan mendalami maqashid syariah (tujuan hukum)13. Dengan demikian, kajian utama dalam maqashid syariah adalah mengenai hikmah dari ditetapkannya suatu hukum, yang selalu berorientasi pada kemaslahatan14. B. Macam-Macam Maqashid al-Syariah Imam As-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwaffaqot menyebutkan bahwa maqasid Syariah terbagi menjadi dua macam, yaitu maqosid ashliyah dan maqosid tabi‟ah.15 Selanjutnya imam As-Syatibi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqosid ashliyah adalah maqosid (tujuan-tujuan) hukum dimana tidak ada ruang bagi keterlibatan mukallaf (manusia),16 sedangkan maqosid tabi‟ah adalah maqosid (tujuantujuan) hukum yang didalamnya memenuhi kebutuhan mukallaf, dalam artian ada campur tangan mukallaf.17 Dari pengertian diatas, pemakalah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan maqasid ashliyyah adalah maqosid yang tidak memperhatikan kepentingan para hamba atau dalam kata lain maqosid ashliyyah ini merupakan tujuan utama yang isinya adalah kewajiban kewajiban mukallaf dalam memenuhi doruriyat al khams sehingga terciptanya kemaslahatan yang bersifat umum.18 Dharuriyah al khams adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh setiap mukallaf yaitu dalam hal memelihara agama, 12



Ghofar Shodiq, “Teori Maqashid al-Syariah Dalam Hukum Islam”, Jurnal Sultan Agung, Vol. XLIV, No. 118, 2009, h. 119. 13 Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Da'wah al Islamiyah, 1968), h. 198. 14 Dalam literatur hukum Islam, kemaslahatan dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama, kemaslahatan untuk mewujudkan manfaat, kebaikan, dan kesenangan bagi manusia, atau dengan kata lain istilah ini disebut dengan jalb al-manafi’. Sedangkan, kemaslahatan dalam kategori yang kedua, diartikannya dengan menghindari dan mencegah kerusakan serta keburukan, yang kedua ini diistilahkannya dengan dar’ al-mafasid. Namun demikian, dalam praktiknya, untuk mennetukan terhadap suatu persoalan bahwa itu dapat dikatakan maslahat, maka memiliki tolok ukur yang bisa dijadikan parameter yaitu dengan merujuk kepada 3 (tiga) tingkatan, yakni tingkat primer, sekunder, dan tersier. 15 Asy-Syatibi, Muwaffaqot Jilid 2…, Hlm. 300 16 Asy-Syatibi, Muwaffaqot Jilid 2…, Hlm. 300 17 Asy-Syatibi, Muwaffaqot Jilid 2…, Hlm. 302 18 Atik Wartini, Konsep Maqashid Syariah dalam Pemikiran Al-Syatibi, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Hlm. 54



5



jiwa, akal, keturunan, kehormatan dan harta. Ketika 5 hal tersebut tidak dipenuhi maka kehidupan manusia akan hancur.19 Contoh dalam hal menjaga agama, orang yang tidak sholat akibatnya adalah tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Lalu dalam hal menjaga jiwa, ketika manusia membunuh orang lain atau dibunuh orang lain, menganiaya orang lain atau dianiaya orang lain maka ia tidak akan merasa Bahagia hidup di dunia, begitu juga ketika nanti diakhirat apabila dia membunuh orang lain. Lalu dalam hal menjaga akal orang yang tidak waras (gila) atau ada akal tapi tidak dipergunakan dengan baik (bodoh) maka dia tidak akan bahagia di dunia dan tatanan kehidupannya akan rusak maka dari itu dilarang meminum khamar agar akal tidak rusak dan dianjurkan belajar dengan giat agar dapat memaksimalkan manfaat akal. Lalu dalam hal menjaga keturunan dan kehormatan apabila orang berzina maka akan banyak permasalahan yang muncul, seperti hubungan kewarisan dan perwalian dan yang terakhir dalam menjaga harta, apabila manusia tidak menjaga hartanya dengan baik, maka kehidupannya akan terasa sulit. Memang harta bukanlah segalanya akan tetapi dengan hart akita bisa melakukan berbagai macam hal (yang positif) seperti sedekah maka dari itu allah memerintahkan mencari harta dan memeliharanya dengan baik.20 Selanjutnya mengenai maqosid tabi‟ah, kami berpendapat bahwa maqosid tabi‟ah adalah maqosid (tujuan-tujuan) yang bersifat sekunder yang berarti menyediakan atau memenuhi keuntungan pribadi bagi mukallaf.21 Dapat dikatakan juga bahwa Maqosid tab‟iyah merupakan maqosid (tujuan-tujuan) yang memberikan pelayanan agar terealisasinya maqosid asliyah. Contoh musafir yang dalam perjalanan juga harus memenuhi kewajiban solat agar maqosid asliyahnya terpenuhi, maka diberikan rukhsah untuk mengkosor solat agar tidak terlalu membebani musafir.22 Pembahasan diatas telah menyebutkan bahwa maqashid Syariah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan dari disyariatkannya hukum oleh Allah SWT. Tujuan yang dimaksud disini adalah mengarah kepada kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun individu.23 Agar dapat mewujudkan suatu kemaslahatan maka ulama



19



Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 156 Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 156 21 Atik Wartini, Konsep Maqashid Syariah dalam Pemikiran Al-Syatibi, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Hlm.. 54 22 Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 161 23 Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 143 20



6



menyimpulkan beberapa bentuk yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Pemeliharaan kelima bentuk tersebut terbagi juga sesuai dengan skala prioritas yaitu dalam tingkat dharuriyah, hajiyyah dan tahsiniyah.24 Dharuriyat adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kemaslahatan manusia baik agamanya maupun dunianya, apabila dharuriyah tidak dipelihara dengan baik, maka rusaklah kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, tujuan hukum islam dalam bentuk dharuriuat ini adalah kewajiban dalam pemeliharaan lima hal yang sangat esensial bagi manusia atau biasa dikenal dengan dharuriyat al-khoms, yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Hajiyyah adalah suatu kebutuhan yang keberadaannya akan membuatt hidup manusia akan lebih mudah dan terhindar dari kesulitan, orang yang tidak mengedepankan hajiyyah tidak membuat kehidupannya hancur melainkan hanya membuat kehidupannya sulit. Lalu yang terakhir adalah Tahnsiniyyah,



yang dimaksud tahsiniyyah adalah kebutuhan manusia untuk



menyempurnakan sesuatu yang dilakukan dan membuatnya menjadi lebih indah, apabila hajiyyah tidak dikedepankan makan tidak akan merusak kehidupannya dan juga tidak mempersulit kehidupannya.25 Contoh dari ketiga skala prioritas dalam memelihara 5 hal untuk mewujudkan kemaslahatan dari Syariah adalah sebagai berikut. Dalam dharuriyat diwajibkan untuk mengerjakan sholat untuk memelihara agama, ketika manusia tidak mengerjakan solat maka seperti yang dikatakan diatas apabila dharuriyah tidak dipelahara maka akan rusak kehidupannya di dunia dan di akhirat. Dalam hajiyyahnya, allah memberikan rukhsoh bagi para musafir untuk mengqoshor solatnya dengan tujuan mempermudah, apabila tidak dikerjakan tidak akan merusak kehidupannya melainkan hanya mempersulit kehidupannya dan tahsiniyatnya adalah dianjurkannya memakai wewangian ketika hendak melaksanakan solat berjamaah, apabila dikerjakan akan membuat pemenuhan kewajiban menjadi lebih indah apabila tidak dikerjakan tidak merusak kehidupan dan juga tidak mempersulit kehidupan,26 C. Kontekstualisasi Maqashid al-Syariah Ilmu Maqashid Syariah sangat menentukan nilai kemaslahatan dari sebuah hukum yang dihasilkan, maka dari itu penggunaan ilmu Maqashid Syariah tidak bisa diabaikan 24



Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 149 Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 154 26 Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016). Hlm. 152 25



7



begitu saja oleh para ulama saat melakukan ijtihad.27pemakalah akan memaparkan beberapa hasil ijtihad ulama yang memerhatikan maqashid Syariah, diantaranya sebagai berikut. 1) Tawaf dan Sa’I di lantai 2 Jumlah jama‟ah haji dan umrah yang bertambah tiap tahunnya membuat tingkat kepadatan saat dilaksanakannya ibadah tawaf dan sa‟I semakin meningkat, untuk mengantisipasi hal tersebut dan hal hal yang tidak diingkan maka pemerintah arab Saudi membangun lantai 2 dan 3 untuk penyelenggaraan ibadah tawaf dan sa‟I. pembangunan ini berangkat dari prinsip-prinsip kemudahan yang terkandung dalam syariat Islam.28 Menurut pemakalah membangun lantai 2 dan 3 untuk penyelenggaraan ibadah tawaf dan sa‟I merupakan kontekstualisasi maqashid Syariah, sama halnya dengan dharuriyat al-khoms yang mewajibkan kita untuk memelihara agama dengan menunaikan Solat 5 waktu, dan diberikan kemudahan/rukshoh untuk mengqosor solat ketika kita sedang menjadi musafir agar pemeliharaan agama tetap terlaksana. Sama halnya dengan orang yang melaksanakan umrah dan haji, dibangunnya lantai 2 untuk ibadah tawaf dan sa‟I adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan juga memudahkan orang orang yang sedang tawaf dan sa‟I karena terhindar dari kepadatan dan dengan hal ini pemeliharaan agama dengan melaksanakan ibadah haji tetap berjalan. 2) Donor Darah Mayoritas ulama membolehkan donor darah dengan alasan bahwa darah yang dimiliki seseorang bisa diperbaharui oleh sistem produksi tubuhnya, dengan catatan orang yang mau mendonorkan darahnya juga harus memerhatikan Kesehatan tubuhnya, jika ada penyakit penyakit tertentu maka tidak dibolehkan untuk mendonorkan darah.29 Hal tersebut merupakan kontekstualisasi dari maqashid Syariah dalam tingkatan dharuriyat al-khoms pada bagian pemeliharaan jiwa, orang yang membutuhkan darah bisa tertolong jiwanya dengan bantuan donor darah dari seseorang.



27



Andriayldi, Ijtihad Maqasihidiy, Kontekstualisasi Teori Maqashid Syariah di Era Modern, Jurnal Al-Hurriyyah, Vol. 14, No. 1, 2013. Hlm. 23 28 Andriayldi, Ijtihad Maqasihidiy, Kontekstualisasi Teori Maqashid Syariah di Era Modern, Jurnal Al-Hurriyyah, Vol. 14, No. 1, 2013. Hlm. 31 29 Andriayldi, Ijtihad Maqasihidiy, Kontekstualisasi Teori Maqashid Syariah di Era Modern, Jurnal Al-Hurriyyah, Vol. 14, No. 1, 2013. Hlm. 33



8



Selain ijtihad para ulama diatas, ternyata ada agenda yang lahir dari konferensi PBB yang merupakan kontekstualisasi dari maqashid Syariah, agenda tersebut adalah Sustainable Development Goals yang artinya Pembangunan Berkelanjutan. Hasil yang ingin dituju dari agenda tersebut adalah mencakup tujuan kolektif yang bersifat universal dalam tiga dimensi, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan30. Berikut tujuan Pembanungan Berkelanjutan dan klasifikasinya dalam maqahsid Syariah: No



Klasifikasi



Maqashid Point Pembangunan Berkelanjutan



Syariah 1



Hifdzu Din







Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh



2



Hifdzu Nafs







Kehidupan Sehat dan Sejahtera







Kota dan Komunitas Berkelanjutan



3



Hifdzu Irdh







Kesetaraan Gender



4



Hifdzu Aql







Pendidikan Berkualitas



5



Hifdzu Nasl







Kemitraan untuk mencapai tujuan







Air bersih dan sanitasi yang layak







Penanganan Perubahan Iklim







Ekosistem Bawah Laut







Eksosistem darat







Pengetasan Segala bentuk kemiskinan







Mengakhiri kelaparan







Energi bersih dan terjangkau







Pekerjaan yang layak dan pertumbuhan



6



Hifdzu Mal



Ekonomi31 Dalam pandangan Maqashid Syariah, hukum yang ada harus menciptakan kemasalahatan, tidak boleh ada hukum yang sia sia dan menurut pemakalah target yang berada dalam agenda pembangunan berkelanjutan sangat mencerminkan kemaslahatan 30



Moh. Farid Fad, Kontekstualisasi Maqashid Syariah Dalam Sustainable Development Goals, Jurnal Iqtishad, Vol. 6, No. 2, 2019. Hlm. 131 31 Moh. Farid Fad, Kontekstualisasi Maqashid Syariah Dalam Sustainable Development Goals, Jurnal Iqtishad, Vol. 6, No. 2, 2019. Hlm. 149



9



Bersama, maka dari itu dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan kontekstualisasi Maqoshid Syariah.



10



BAB III PENUTUP Simpulan Berdasarkan penjelasan di atas, setidaknya terdapat 3 point yang bisa dijadikan kesimpulan dalam penjelasan makalah kali ini, yaitu sebagai berikut: Pertama, pengertian dan teori (prinsip) maqashid al-syariah sudah dikenal sejak masa Rasulullah SAW, yang kemudian eksistensinya terus dilanjutkan ke masa sahabat hingga para tabi‟ tabi‟in. Lebih lanjut, prinsip maqashid al-syariah memiliki sifat dan karakteristik yang elastis dan fleksibel. Sebab, orientasi maqashid syariah adalah kemaslahatan. Dengan demikian, penting kiranya untuk melakukan pendekatan yang berbasiskan pada prinsip maqashid al-syariah dalam mencari jawaban atas setiap permasalahan. Kedua, dalam diskursus maqashid syariah, terdapat beberapa macam kriteria maupun tingkatan yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai terhadap suatu hal, apakah hal itu mengandung kemaslahatan atau justru sebaliknya (mafsadat). Di antara macam dan tingkatan dalam maqashid syariah adalah tingkatan dharuriyat (keniscayaan), hajiat (kebutuhan), dan tahsiniyat (kelengkapan). Ketiga, secara konteks, implementasi prinsip maqashid syariah menjadi sangat penting untuk diterapkan dalam setiap bidang kehidupan. Baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, terlebih hukum. Pemakalah telah menguraikan secara jelas, beberapa contoh yang dewasa ini menjadikan maqashid syariah sebagai prinsip dasar, serta sistem dalam menjalankan dan mengaplikasikan program yang sedang dibangun saat ini, seperti program sustainable development goals (SDGs).



11



DAFTAR PUSTAKA Buku Auda Jasser, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqashid Syariah, diterjemahkan dari Maqashid Shariah as Philoshopy of Islamic Law, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Anderson J.N.D, Law Reform in the Muslim World, London: University of London Press, 1976. Al-Tahir Mohammad ibn Ashur, Treatise On Maqashid al-Syariah, terjemahan Muhammad el-Tahir al-Masawi, London: International Institute Of Islamic Thought, 2006. Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Asyur Muhammad Ibn, Maqashid al-Syariat al-Islamiyyah, Tunisia: Maktabah alIstiqoma, 1366. Busro, Dasar-Dasar Filosofis Hukum Islam (CV. Wade Group: Ponorogo, 2016) Hazm lbn Al-Andalusi, al-Muhalla bi al-Atsar, Beirut: Dar al-Kutub al-'llmiyyat, 1988. Khallaf Abd al-Wahab, Ilmu Ushul Al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da'wah al Islamiyah, 1968. Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, Beirut, 2003. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh fil Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1986. Jurnal Shidiq Ghofar, “Teori Maqashid Syariah Dalam Hukum Islam”, Jurnal Unissula Sultan Agung Islamic University, Vol. 44, No. 118, 2009. Wartini Atik, “Konsep Maqashid Syariah dalam Pemikiran Al-Syatibi”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 2, 2014. Andriayldi, “Ijtihad Maqasihidiy: Kontekstualisasi Teori Maqashid Syariah di Era Modern”, Jurnal Al-Hurriyyah, Vol. 14, No. 1, 2013. Fad Moh. Farid, “Kontekstualisasi Maqashid Syariah Dalam Sustainable Development Goals”, Jurnal Iqtishad, Vol. 6, No. 2, 2019.



12