Makalah Prostitusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“FENOMENA PROSTITUSI” Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Masalah Sosial Budaya semester 3 Dosen pengampu : Terry Irenewati. M. Hum.



Oleh 1. Enggar Rustiafuri



(12413244021)



2. Diah Agil . S



(12413244022)



PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memeberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Fenomena Prostitusi” ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Masalah Sosial Budaya di Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta sebagai syarat untuk memperoleh nilai. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin



Yogyakarta,29 September 2013



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. Sedangkan menurut istilah prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang memakai jasa saksualnya tersebut. Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kala telah ditemukan prostitusi atau pelacuran ini. Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang sangat sulit untuk dihapus atau dimusnahkan dari kehidupan kita. Adanya prostitusi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor pendukung sehingga hal ini juga yang mempengaruhi sulitnya menyelesaikan masalah sosial yang satu ini. Prostitusi di Indonesia sendiri dianggap sebagai kejahatan terhadap moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang ilegal dan bersifat melawan hukum. Tumbuh suburnya kegiatan prostitusi di Indonesia merupakan bukti bahwa kegiatan prostitusi masih menjadi momok untuk moral masyarakat bangsa Indonesia, sehingga sulit untuk pemerintah dalam menghapus kegiatan prostitusi. Bahkan kegiatan prostitusi di tempatkan dalam satu tempat yang biasa disebut lokalisasi. Sikap para penegak hukum pun di nilai kurang berani untuk mengurangi kegiatana pelacuran atau prostitusi, bahkan kegiatan ini telah banyak menjarah mental generasi bangsa. Sehingga dalam makalah ini kami akan membahas lebih lanjut tentang prostitusi yang dalam hal ini merupakan salah satu masalah sosial yang cukup sulit untuk diatasi. 2. Rumusan Masalah a. Apakah yang dimaksud dengan prostitusi ? b. Bagimana prostitusi di Indonesia ? c. Bagaimana upaya untuk menanggulangi adanya prostitusi ?



3. Tujuan Penulisan a. Mengetahui pengertian prostitusi. b. Mengetahui berbagai hal tentang prostitusi di Indonesia. c. Mengetahui upaya-upaya untuk menanggulangi adanya prostitusi.



BAB II PEMBAHASAN a. Pengertian Prostitusi Prostitusi adalah berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere  atau prostauree, yang artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan (perselingkuhan). Sedangkan prostitute  adalah pelacur atau sundal dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Dan pelacuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang celaka atau perihal menjual diri (persundalan) atau orang sundal. Menurut istilah, prostitusi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK). Dalam Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan sebagai berikut : Barang siapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak- banyaknya seribu rupiah.             Jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita atupun kaum laki- laki. Jadi, ada persamaan predikat lacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama melakukan perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini, perbuatan cabul tidak hanya berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual dan permainanpermainan seksual lainnya. b. Protitusi di Indonesia Sejarah awal berkembangnya prostitusi di Indonesia adalah adanya Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia yang masing-masing memiliki Raja sebagai



pemimpin. Dalam hal itu Raja adalah pemimpin sekaligus pemilik kekuasaan atas apapun, bisa dibilang Raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Makin banyaknya selir yang dipelihara maka bertambah kuat posisi raja di mata masyarakat. Dari sisi ketangguhan fisik, mengambil banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan para raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Hanya Raja dan kaum bangsawan dalam masyarakat yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada bupati atau pejabat tinggi merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan, seperti tercermin dari tindakan untuk memperbanyak selir. Tindakan ini mencerminkan dukungan politik dan keagungan serta kekuasaan raja. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir. Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal.  Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda (Hull; 1997:3). Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara. Dari semula, isu tersebut telah menimbulkan banyak dilema bagi penduduk pribumi dan non-pribumi. Dari satu sisi, banyaknya lelaki bujangan yang dibawa pengusaha atau dikirim oleh pemerintah kolonial untuk datang ke



Indonesia, telah menyebabkan adanya permintaan pelayanan seks ini. Kondisi tersebut ditunjang pula oleh masyarakat yang menjadikan aktivitas memang tersedia, terutama karena banyak keluarga pribumi yang menjual anak perempuannya untuk mendapatkan imbalan materi dari para pelanggan baru (para lelaki bujangan) tersebut. Pada sisi lain, baik penduduk pribumi maupun masyarakat kolonial menganggap berbahaya mempunyai hubungan antar ras yang tidak menentu. Perkawinan antar ras umumnya ditentang atau dilarang, dan perseliran antar ras juga tidak diperkenankan. Akibatnya hubungan antar ras ini biasanya dilaksanakan secara diam-diam. Situasi pada masa kolonial tersebut membuat sakit hati para perempuan Indonesia, karena telah menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan secara hukum, tidak diterima secara baik dalam masyarakat, dan dirugikan dari segi kesejahteraan individu dan sosial. Maka sekitar tahun 1600-an, pemerintah mengeluarkan peraturan yang melarang keluarga pemeluk agama Kristen mempekerjakan wanita pribumi sebagai pembantu rumah tangga dan melarang setiap orang mengundang perempuan baik-baik untuk berzinah. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apa dan mana yang dimaksud dengan perempuan “baik-baik”. Pada tahun 1650, “panti perbaikan perempuan” (house of correction for women) didirikan dengan maksud untuk merehabilitasi para perempuan yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seks orang-orang Eropa dan melindungi mereka dari kecaman masyarakat. Seratus enam belas tahun kemudian, peraturan yang melarang perempuan penghibur memasuki pelabuhan “tanpa izin” menunjukkan kegagalan pelaksanaan rehabilitasi dan juga sifat toleransi komersialisasi seks pada saat. Tahun 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Kerangka hukum tersebut masih berlaku hingga sekarang. Meskipun istilah-istilah yang digunakan berbeda, tetapi hal itu telah memberikan kontribusi bagi penelaahan industri seks yang berkaitan dengan karakteristik dan dialek yang digunakan saat ini. Apa yang



dikenal dengan wanita tuna susila (WTS) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “wanita publik” menurut peraturan yang dikeluarkan tahun 1852. Dalam peraturan tersebut, wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11). Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil. Sayangnya peraturan perundangan yang dikeluarkan tersebut membingungkan banyak kalangan pelaku di industri seks, termasuk juga membingungkan pemerintah. Untuk itu pada tahun 1858 disusun penjelasan berkaitan dengan peraturan tersebut dengan maksud untuk menegaskan bahwa peraturan tahun 1852 tidak diartikan sebagai pengakuan bordil sebagai lembaga komersil. Sebaliknya rumah pelacuran diidentifikasikan sebagai tempat konsultasi medis untuk membatasi dampak negatif adanya pelacuran. Meskipun perbedaan antara pengakuan dan persetujuan sangat jelas bagi aparat pemerintah, tapi tidak cukup jelas bagi masyarakat umum dan wanita publik itu sendiri. (Hull; 1997:5-6). Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Berkaitan dengan aktivitas industri seks ini, penyakit kelamin merupakan persoalan serius yang paling mengkhawatirkan pemerintah daerah. Tetapi terbatasnya tenaga medis dan terbatasnya alternatif cara pencegahan membuat upaya mengurangi penyebaran penyakit tersebut menjadi sia-sia (ENOI dalam Hull; 1997:6).



Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat. Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala (Ingleson dalam Hull; 1997:6). Tahun 1875, pemerintah Batavia (kini Jakarta), mengeluarkan peraturan berkenaan dengan pemeriksaan kesehatan. Peraturan tersebut menyebutkan, antara lain bahwa para petugas kesehatan bertanggung jawab untuk memeriksa kesehatan para wanita publik. Para petugas kesehatan ini pada peringkat kerja ketiga (tidak setara dengan eselon III zaman sekarang yaitu kepala biro pada organisasi pemerintahan) mempunyai kewajiban untuk mengunjungi dan memeriksa wanita publik pada setiap hari Sabtu pagi. Sedangkan para petugas pada peringkat lebih tinggi (peringkat II) bertanggung jawab untuk mengatur wadah yang diperuntukkan bagi wanita umumnya yang sakit dan perawatan lebih lanjut. Berdasarkan laporan pada umumnya meskipun telah dikeluarkan banyak peraturan, aktivitas pelacuran tetap saja meningkat secara drastis pada abad ke-19, terutama setelah diadakannya pembenahan hukum agraria tahun 1870, di mana pada saat itu perekonomian negara jajahan terbuka bagi para penanam modal swasta (Ingleson dalam Hull; 1997:6). Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhada aktivitas prostitusi. Selama pembanguna kereta api yang menghubungkan kotakota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyarakta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang timbul untuk melayani para pekerja bangunan di setiap kota yang dilalui kereta api, tapi juga



pembangunan tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya meningkat bersamaan dengan meningkatnya aktivitas pembangunan konstruksi jalan kereta api. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem. Kompleks prostitusi di Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Di Yogyakarta, kompleks pelacuran didirikan di daerah Pasarkembang, Balongan, dan Sosrowijayan. Di Surabaya, kawasan pelacuran pertama adalah di dekat Stasiun Semut dan di dekat pelabuhan di daerah Kremil, Tandes, dan Bangunsari. Sebagian besar dari kompleks pelacuran ini masih beroperasi sampai sekarang, meskipun peranan kereta api sebagai angkutan umum telah menurun dan keberadaan tempat-tempat penginapan atau hotel-hotel di sekitar stasiun kereta api juga telah berubah. 



Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran



            Berlangsungnya perubahan- perubahan social yang serba cepat dan perkembangan



yang



tidak



sama



dalam



kebudayaan,



mengakibatkan



ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri, dan mengakibatkan timbulnya disharmonisasi, konflik- konflik eksternal dan internal, juga organisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi.             Peristiwa- peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan polapola umum yang berlaku. Dalam hal ini ada pola pelacuran, untuk mempertahankan hidup ditengah- tengah hiruk-pikuk alam pembangunan, khususnya di Indonesia. 



Motif- motif yang Melatarbelakangi Pelacuran



            Motif- motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita itu beraneka ragam, antara lain sebagai berikut : 1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.



2. Ada nafsu- nafsu yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga mereka tidak merasa puas mengadakan relasi seks dengan satu pria/ suami. 3. Tekanan ekonomi, factor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status social yang lebih baik. 4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian- pakaian indah dan perhiasan mewah. 5. Rasa ingin tahu gadis- gadis cilik dan anak- anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan- bujukan bandit- bandit seks. 6. Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu terhadab peraturan seks. 7. Banyaknya simulasi seksual dalam bentuk : film- film biru, gambargambar porno, bacaan cabul. Sebab- sebab timbulnya pelacuran pada pria antara lain ialah sebagai berikut : 1. Nafsu kelamin laki- laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan. 2. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan. 3. Istri sedang berhalangan haid, mengandung tua atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak mampu melakukan relasi seks dengan suaminya. 4. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja, dan belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga. 5. Tidak mendapat kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atau istrinya. 6. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis. 



Akibat- akibat Pelacuran



            Beberapa akibat yang di timbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut :



1.



Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah).



2.



Merusak sendi- sendi kehidupan keluarga, suami- suami yang tergoda oleh pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga.



3.



Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak- anak muda remaja pada masa puber.



4.



Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan- bahan narkotika (ganja, morfin, heroin, dan lain-lain).



5.



Merusak sendi- sendi moral, susila, hukum dan agama.



6.



Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.



7.



Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual.



c. Penanggulangan Prostitusi Prostitusi merupakan masalah dan patologi sosial sejak sejarah kehidupan manusia sampai sekarang. Masalah tentang prostitusi tersebut merupakan masalah sosial dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan dan immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak. Sehingga perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan guna menanggulangi masalah tersebut.Usaha penanggulangannya sangat sukar sebab harus melalui proses dan waktu yang panjang serta biaya yang besar. Usaha mengatasi tuna susila pada umumnya dilaukan secara preventif dan represif kuratif. Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Kegiatan yang dimaksud berupa : a. Penyempurnaan undang-undang tentang larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran. b. Intensifikasi pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk menginsafkan kembali dan memperkuat iman terhadap nilai religius serta norma kesusilaan.



c. Bagi anak puber dan remaja ditingkatkan kegiatan seperti olahraga dan rekreasi,



agar



mendapatkan



kesibukan,



sehingga



mereka



dapat



menyalurkan kelebihan energi. d. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita disesuaikan dengan kodratnya dan bakatnya, serta memberikan gaji yang memadahi dan dapat untuk membiayai kebutuhan hidup. e. Diadakan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga. f. Pembentukan team koordinasi yang terdiri dari beberapa instansi dan mengikutsertakan masyarakat lokal dalam rangka penanggulangan prostitusi. g. Penyitaan, buku, majalah, film, dan gambar porno sarana lain yang merangsang nafsu seks. Sedangkan usaha-usaha yang bersifat represif kuratif dengan tujuan untuk menekan, menghapus dan menindas, serta usaha penyembuhan para wanita tuna susila, untuk kemudian dibawa kejalan yang benar. Usaha tersebut antara lain sebagai berikut : a. Melakukan kontrol yang ketat terhadap kesehatan dan keamanan para pelacur dilokalisasi. b. Mengadakan



rehabilitasi



dan



resosialisasi,



agar



mereka



dapat



dikembalikan sebagai anggota masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi dilakukan melalui pendidikan moral dan agama, latihan kerja, pendidikan ketrampilan dengan tujuan agar mereka menjadi kreatif dan produktif. c. Pembinaan kepada para WTS sesuai dengan bakat minat masing-masing. d. Pemberian pengobatan (suntikan) paa interval waktu yang tetap untuk menjamin kesehatan dan mencegah penularan penyakit. e. Menyediakan



lapangan



kerja



meninggalkan profesi pelacur.



baru



bagi



mereka



yang



bersedia



f. Mengadakan pendekatan kepada pihak keluarga dan masyarakat asal pelacur agar mereka mau menerima kembali mantan wanita tuna susila untuk mengawali hidup barunya. g. Mencarikan pasangan hidup yang permanen (suami) bagi para wanita tuna susila untuk membawa mereka ke jalan yang benar. h. Mengikutsertakan para wanita WTS untuk berpratisipasi dalam rangka pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan bagi kaum wanita.



BAB III SIMPULAN Prostitusi diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa seksual atau disebut juga dengan pekerja seks komersial. Menurut istilah, prostitusi di artikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi khususnya di Indonesia sudah ada sejak masa Kerajaan-kerajaan besar yang menguasai Indonesia. Bahkan semakin parah ketika masa penjajahan Belanda, keberadaan pelacuran ini semakin memperburuk dan merendahkan harkat serta martabat kaum wanita khususnya. Prostitusi juga mengakibatkan banyak dampak negatif yang perlu ditindaklanjuti. Prostitusi ini menjadi masalah sosial yang tidak mudah u8ntuk ditanggulangi, namun perlu adanya penanggulangan secara preventif maupun represif. Baik pemerintah maupun warga Indonesia harus bekerja sama untuk meminimalisir adanya praktek prostitusi yang sudah menjadi rahasia umum di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrapindo Persada. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Edisi pertama. Terj. The Sociology of Social Change oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media Group. Bangbuday.



2011.



Sekilas



Sejarah



Pelacuran



di



Indonesia.



http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=12 90. Diakses pada 5 Oktober 2013. 2012. Efek/Dampak Buruk Membiarkan Pelacuran/Prostitusi Berkembang Di Sekitar Kita. http://organisasi.org/efek-dampak-buruk-membiarkanpelacuran-prostitusi-berkembang-di-sekitar-kita. Oktober



2013.



Diakses



pada



5