Makalah Qowaid Fiqiyyah [PDF]

  • Author / Uploaded
  • huda
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH QOWAID FIQHIYYAH ASSASIYYAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqhiyyah & Maqosidus Syariah Dosen Pengampu: Bapak: Dr. MOH. NASUKA,S.E.,M.Pd.



Disusun oleh: 1. Wafiq Nur Azizah



(211130001786)



2. Imron Rosyadi



(211130001739)



PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM FAKULTAS EKONOMI BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA TAHUN 2021/2022



i



KATA PENGANTAR Assalamulaikum Wr.Wb. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah qowaid fiqhiyyah Assasiyyah dengan lancar dan tepat waktu. Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah dan Maqosidus Syariah Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Qowaid Fiqhiyyah” bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Moh.Nasuka,S.E.,M.Pd.selaku dosen mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah dan Maqosidus Syariah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terlepas dari semua itu kami menyadari seutuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan untuk membuat makalah yang lebih baik kedepanya. Wassalamualaikum Wr.Wb



Jepara,04 April 2022



Penyusun



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i KATA PENGANTAR ........................................................................................................ii DAFTAR ISI ......................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1 1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................1 1.2. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................1 1.3. TUJUAN .................................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................2 2.1..................................................................................................................................KAI DAH FIQHIYYAH ASSASIYYAH ......................................................................2 2.2..................................................................................................................................MA CAM – MACAM KAIDAH FIQHIYYAH ASSASIYYAH .................................3 BAB III PENUTUP ............................................................................................................13 3.1..................................................................................................................................KES IMPULAN...............................................................................................................13 3.2..................................................................................................................................SAR AN ...........................................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................15



iii



iv



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah,kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫) قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫) قواعد‬. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hokum,aturan yang sudah pasti, patokan,dalil. Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh. Secara garis besar para ulama terbagi menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini berdasarkan atas realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid fiqhiyyahsebagai suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja. 1.2. Rumusan Masalah a. Apa pengertian kaidah fiqhiyyah assasiyyah? b. Apa saja macam – macam kaidah fiqhiyyah assasiyyah? 1.3. Tujuan a. untuk mengetahui kaidah fiqhiyyah assasiyyah b. untuk mengetahui macam – macam kaidah fiqhiyyah assasiyyah



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Kaidah Fiqhiyyah Assasiyyah Pada dasarnya qawaid fiqhiyyahyang dibuat para ulama berpangkal dan menginduk kepada limaqaidah asasiyyah (qawaid asasiyyahal-khamsah). Kelima qaidah pokok ini melahirkan bermacam-macam qaidahyang bersifat cabang.Sebagian ulama menyebut kelima qaidahasasiyyahini dengan qawaid al-kubra. Adapun qawaid asasiyyahtersebut adalah sebagai berikut:41 Qaidah pertama:



‫األ مُو ُر ِبمقاص ِد َها‬



Segala perkara tergantung niatnya Qaidah kedua: Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan. Qaidah ketiga: Kesulitan itu menimbulkan adanya kemudahan Qaidah keempat: Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan. Qaidah kelima



‫اليقين ال يزال بالشك‬



‫ير‬ َ ِ‫ال َم َش َّق ُة َتجْ لِبُ ال َّتيس‬



‫الض ََّرا ُر ي َُزا ُل‬



‫ال َعا َدةُ م َُح َّك َم ٌة‬



Adat kebiasaan dijadikan hukum.



Adapun qaidahyang keenam, merupakan tambahan oleh Ibnu Nujaim adalah :



‫ال ثواب إال بالنيات‬



Tidak ada pahala kecuali dengan niat



Memperhatikan terhadap qaidah keenam di atas, maka menurut al-Suyuthi telah masuk pada bagian cabang qaidahyang pertama. Karena tujuan itu sama dengan niat. Kalau seseorang mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan keridhaan Allah atau untuk ibadah, atau apapun saja yang baik karena Allah, maka akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya, kalau niat atau tujuannya untuk yang tidak baik, maka tidak mendapat pahala.



2



2.2. Macam – Macam Kaidah Fiqhiyyah Assasiyyah a. Segala perkara tergantung kepada tujuan / niatnya Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama.Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,



bermaksud



untuk



melakukan



sesuatu



yang



disertai



dengan



pelaksanaanya.Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut: Qur’an surah al-Bayyinah ayat 5 :



َّ ‫َو َمٓا ا ُ ِمر ُْٓوا ِااَّل لِ َيعْ ُب ُدوا هّٰللا َ م ُْخلِصِ ي َْن لَ ُه ال ِّدي َْن ۙە ُح َن َف ۤا َء َو ُيقِ ْيمُوا الص َّٰلو َة َويُْؤ ُتوا‬ ‫الز ٰكو َة َو ٰذل َِك ِديْنُ ْال َق ِّي َم ۗ ِة‬ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. Dasar Qoidah dari hadis Rasullullah SAW. Hadis riwayat Muslim dari Umar bin Khattab r.a. Rasulullah bersabda:



ْ‫ ف َمن‬، ‫مْرٍئ َما َن َوى‬ ِ ‫ِإ َّن َما اَألعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا‬ ِ ِ‫ َوِإ َّن َما ال‬، ‫ت‬ ْ ‫َكا َن‬ ‫ت ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى ال َِّّل َو َرسُولِ ِه َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى ال َِّّل‬ ْ ‫و َمنْ َكا َن‬، ‫ت ِهجْ َر ُت ُه لِ ُد ْن َيا يُصِ ي ُب َها َأ ِو ام َْرَأ ٍة‬ َ ‫َو َرسُولِ ِه‬ ‫اج َر ِإ َليْه‬ َ ‫َي َت َزوَّ ُج َها َف ِهجْ َر ُت ُه ِإ َلى َما َه‬ Bahwasanya setiap perbuatan (amal) tergantung kepada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniyatkannya. siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya tersebut karena Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang berhijrah karena ingin memperoleh harta dunia atau karenaperempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya tersebut karena hal tersebut. Ayat-ayat al-Qur’an di atas sebagai dasar dibentuknya qaidah,telah diperkuat oleh hadis-hadis Rasulullah SAW.yaitu bahwa tujuan, atau niat dari amal perbuatan harus dikerjakan dengan ikhlas karena Allah. Dengan demikian, maka setiap urusan tergantung pada tujuan atau niat orang yang melaksanakannya .Kalau niat karena 3



Allah atau untuk ibadah, maka akan memperoleh pahala dan keridhaan Allah. Sebaliknya jika niatnya untuk mengerjakan suatu perbuatan hanya karena terpaksa, atau karena ria, maka ia tidak mendapat pahala. Demikian pula, jika seseorang mengerjakan suatu perbuatan tanpa niat terutama dalam masalah ibadah, maka ibadahnya tidak sah. b. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan Kaidah fikih yang kedua yaitu kaidah tentang keyakinan dan keraguan.



ْ ِ‫ اليَق‬secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqin juga bisa ‫ين‬ dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya.Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonim dari AsySyakk. Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid alAsfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu: 1. Keragu-raguan yang berasal dari haram. 2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah. 3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut ‫األصل براءة الذمة‬ (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dan keraguan, antara lain sebagai berikut: Dasar QaidahAl-Qur’an pada surah Yunus ayat 36:



ِّ ‫م اِاَّل ظَنًّاۗ اِ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِ ْي ِمنَ ْال َح‬fُْ‫َو َما يَتَّبِ ُع اَ ْكثَ ُره‬ َ‫ق َشيْـٔ ًۗا اِ َّن اللّٰهَ َعلِ ْي ٌم ۢبِ َما يَ ْف َعلُوْ ن‬



Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.Sesungguhnya persangkaan



itu



tidak



sedikitpun



berguna



untuk



mencapai



kebenaran.



Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan Dasar QaidahHadis Rasulullah SAW. antara lain: Hadis riwayat Muslim dari Abi Sa’id al-Kudry, Rasulullah SAW. bersabda:



‫صلَّى َثالَ ًثا‬ َّ ‫ِإ َذا َش‬ َ ‫ َفلَ ْم َي ْد ِر َك ْم‬، ‫صالَ ِت ِه‬ َ ‫ك َأ َح ُد ُك ْم فِى‬ ‫َأ ْم‬ 4



‫ْن َعلَى َما‬ َّ ‫َأرْ َب ًعا؟ َف ْل َي ْط َر ِح ال َّش‬ ِ ‫ك َو ْل َيب‬



‫و ْل َيسْ ج ُْد‬، َ ‫اسْ َت ْي َق َن‬



‫ِى‬ َ ‫ان ه‬ َ ‫ َفِإنْ َك‬، ‫ْن َوه َُو َجالِسٌ َق ب َل َأنْ ي َُسلِّ َم‬ ِ ‫َسجْ َد َتي‬ ‫َخمْ سًا‬ ‫صلَّى َت َما َم اَألرْ َب ِع َكا َن َتا‬ َ ْ‫ َوِإن‬، ‫َكا َن َتا َش ْف ًعا‬ ‫َترْ غِ يمًا‬ َ ‫لِل َّشي‬ ‫ْطا‬ ‫ِن‬ Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelumsalam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan. c. Kesulitan Menyebabkan Kemudahan Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ ‫ المشقه تجلب التيسير‬adalah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ ‫ المشقه تجلب التيسير‬menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih Dasar Qaidah dari Al-Qur’an a) Qur’an surah al-Baqarah ayat 185 :



‫ي ُِري ُد ه ال ّل ِب ُك ُم ْالي ُْس َر َوال ي ُِري ُد ِب ُك ُم‬



‫ْالعُسْ َر‬ 5



Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. b) Qur’an surah al-Baqarah ayat 286



‫ال ُي َكلِّفُ ه ال ّل َن ْفس اً ِإال‬



‫وُ سْ َع َها‬ Allah SWT. tidak kemampuannya



membebani



seseorang



melainkan



sesuai



dengan



Dasar Qaidahdari Hadis Rasulullah SAW, antara lain: a) Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a.:



‫يس ٌر‬.



ُ‫ال دين‬ Agama itu mudah



b) Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas ra.:



َ‫ َو َب ِّشرُوا َوال‬،‫تع ِّسرُوا‬ َ َ‫َي ِّسرُوا َوال‬



‫ُت َن ِّفرُوا‬



Mudahkanlah dan jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan menakuti Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi SAW.yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa Islam selalu menginginkan kemudahan bagi manusia. Semua hukum yang ada di dalam ajaran Islam tidak melampaui batas kemampuan manusia yang bersifat lemah. Berdasarkan ayat dan hadis tersebut para ulama membentuk qaidah tersebut. Al-Masyaqqah (‫قه‬fff‫ ) المش‬secara etimologi adalah at-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Seperti terdapat dalam Quran Surah An-Nahl ayat 7:



‫َو َتحْ ِم ُل َأ ْث َقالَ ُك ْم ِإلَى َبلَ ٍد لَ ْم َت ُكو ُنوا َبالِغِي ِه ِإال ِبشِ ِّق‬



‫س‬ ِ ُ‫األ ْنف‬



Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan susah. Sedangkan al-Taysir (‫ ) التيسير‬secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadis Nabi SAW. diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan: 6



ُ‫الدين‬ ‫يس ٌر‬ Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.Jadi makna qaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.Maksudnya adalah hukum-hukum syari’ah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan.Hukumhukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran.Maksudnya adalah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada qaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur keterpaksaan, Dalam hukum Islam, Ada hukum azimah dan ada hukum rukhsah. Hukum dalam bentuk azimahyaitu:



ُ َ ‫ما‬ ‫ش ِر َع من االحكام الكلية‬



‫إبتدا ًء‬.



Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum. Hukum azimah adalah hukum yang berlaku secara umum kepada semua mukallaf tanpa adanya kesulitan. Adapun Hukum rukhsah:



َّ ‫الح ُْك ُم‬. ُ ‫الث ِاب‬ ‫دليل لِع ُْذ ٍر‬ ِ ‫ت على ِخالَفِ ال ه‬ Hukum yang berlaku berdasarkan suatu dalil menyalahi dalil yang ada karena adanya uzur. Hukum rukhsah adalah hukum tentang keringanan yang dilakukan oleh karena adanya kesulitan. Faktor Penyebab adanya Rukhsah adalah, karena: 1. Dharurat (keterpaksaan) seperti orang yang keadaannya sangat lapar apabila ia tidak makan dikhawatirkan akan mati, sementara yang ada di hadapannya hanya makanan yang haram dimakan, maka ia boleh makan makanan yang haram itu untuk menjaga jiwanya 2. Hajat menghilangkan masyaqqah (kesukaran). Al-Masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Maksudnya, bagi seseorang mungkin masyaqqah tetapi bagi orang lain tidak merasa masyaqqah. tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti merasa 7



berat berwudhu pada masa musim dingin, atau merasa berat berpuasa pada masa musim panas, atau juga merasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah. Qaidah tersebut mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu ketetapan hukum dari hokum pokoknya, agar pemenuhan kewajiban dapat terlaksana dalam kapasitas seorang manusia secara normal. ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa. d. Kemudharatan dihilangkan Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.Al-dharar(‫رر‬f‫) الض‬ adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar(‫رار‬ff‫) الض‬ adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam alQur’an ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari ‫ ضرر‬. Ayat-ayat itu seluruhnya menyuruh mengusahakan kebaikan dan melarang tindakan merugikan; keharusan mengikuti ajakan perbaikan hubungan (‫الح‬ff‫ ) إص‬suami isteri (QS. alBaqarah ayat



31), larangan membuat keputusanyang merugikan dalam



pembagian warisan (‫( ) غير مضار‬QS. al-Nisa ayat 12), larangan saling merugikan antar anggota rumah tangga suami, isteri dan anak (‫( ) التضار‬QS. al-Baqarah ayat 233), dan larangan menyusahkan isteri (‫( ) والتضاروهن‬QS. al-An’am ayat 6). Sedangkan Dharar secara terminologi ada beberapa pengertian diantaranya adalah Abu Bakar al-Jashas, mengatakan makna Dharar adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya. Menurut



sebagian



ulama



dari



Mazhab



Maliki,



Dharar



ialah



mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Menurut al-Suyuti, Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas, kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa



8



Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil simpulan, bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena dhararadalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan yang selain yang demikian itu. Dalam kaitan ini Wahbah az-Zuhaily membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu: 



Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, apabila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya







Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang apabila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.







Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayurmayur, lauk-pauk, dan sebagainya.







Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.







Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum sad al-dzariah, yakni menutup jalan atau segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah. Contoh qaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi Qaidah fiqh tersebut di atas mencakup banyak masalah fiqh dan dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum, baik bidang ibadah, muamalat, munakahat, maupun jinaya. e. Adat Kebiasaan Ditetapkan Sebagai Hukum 9



Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat yaitu suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantara dapat diterima akal dan secara kontinyu manusiamau mengulanginya.Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib.Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Adat apabila dipandang dari segi sifatnya, maka dibagi kepada dua, yaitu: 1. Adat qawli (perkataan), yaitu adat yang berupa perkataan, Misalnya panggilan “walad” untuk anak laki-laki bukan anak perempuan. 2. Adat‘amali perbuatan, yaitu adatberupa perbuatan. Misalnya kebiasaan jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad yang lengkap dalam jual beli, tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tanpa akad jualbeli dan tidak terjadi kekacauan, maka syarak membolehkannya. Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut: 1. Tidak bertentangan dengan syari'at. 2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan 3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim. 4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah. 5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya 6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas Dasar Hukum Kaidah: Al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 228: 10



‫ال‬ ِ ‫َولَهُنَّ م ِْث ُل الَّذِي َعلَي ِْهنَّ ِب ْال َمعْ رُوفِ َولِلرِّ َج‬



َّ‫َعلَي ِْهن‬



‫د ََر َج ٌة َو ه ال ّل َع ِزي ٌز‬



‫َح ُكي ٌم‬



Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, Al-Qur’an pada surah al-Nisa ayat 19



َّ‫َوعَاشِ رُوهُن‬



ِ‫ِب ْال َمعْ رُوف‬



Dan bergaullah dengan mereka secara patut Al-Qur’an pada surah al-A’raf ayat 199:



‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأمُرْ ِب ْالعُرْ فِ َوَأعْ ِرضْ َع ِن‬



‫ِين‬ َ ‫ْال َجا ِهل‬



Jadilah engkau pema`af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf (suatu kebiasaan yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dasar Qaidahdari Hadis Rasulullah SAW: a. Hadis riwayat dari banyak perawi Hadis antara lain imam Bukhari ra.:



ِ‫ُخ ذِى َم ا َي ْكفِي كِ َو َولَ دَك‬



ِ‫ِب ْال َمعْ رُوف‬



Ambillah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik. b. Hadis riwayat al-Hakim dari Abdullah r.a: c.



‫ما رأى المسلمون حسنا فهو عند ال ّل حسن و ما رآهالمسلمون سيئا فهو عند ال ّل سيىء‬



Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah Qaidah fiqhiyyah asasiyyah kelima tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu adat dan al-‘urf. Adat dan ‘urf keduanya berasal dari kata bahasa arab dan sering dibicarakan dalam literatur fiqh.‘Urf secara etimologi berarti yang baik, dan juga berarti pengulangan atau berulang-ulang. Adapun dalam tataran terminologi, sebagian ulama ushul Fiqhmemberi definisi yang sama terhadap ‘adatdan 'urf. 11



Dalam



penilaian



al-Raghib



kata



‘urf



yang



seakar



dengan



kata



ma’rufmerupakan nama bagi suatu perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan agama. Sebagian ulama ada yang membedakan antara adat dengan ‘urf.Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Al-Jurjani membedakan antara adat dan ‘urf.Sesuatu yang disebut ‘urfbukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi juga harus sejalan dengan akal manusia.Sementara sesuatu yang disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga telah dipraktekkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka. Abu Zahrah membatasi urf menyangkut kebiasaan manusia dalam kegiatan muamalah mereka. Muamalah yang dimaksud ulama ini sebagai bandingan dari bagian hukum Islam yang lain, yaitu aspek ibadah. Pembatasan ini tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa umumnya ‘urfterkait dengan kegiatan muamalah Sebab, masalah muamalah cukup banyak diatur dalan bentuk prinsip-prinsip dasar dalam Qur’an dan Hadis sehingga berpeluang dimasuki unsur ‘urf di mana umat Islam berada.Sebaliknya, masalah ibadah yang sudah dijelaskan secara rinci kecil kemungkinan dimasuki unsur ‘urf setelah sumber hukum Islam, Qur’an dan Hadis lengkap diturunkan. Makna adat dalam qaidah fiqh di atas meliputi ‘urfdalam bentuk perkataan dan perbuatan yang bersifat umum maupun khusus qaidah ini mengisyaratkan adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam ketika nash tidak ada. Menurut al-Suyuthi, banyak sekali masalah hukum Islam yang didasarkan pada qaidah ini, diantaranya penentuan usia haid, lama masa suci dan haid, usia baligh, lama masa nifas, batasan sedikit najis yang dapat dimaafkan, batasan berturut-turut (muwalat) dalam wudhu, jarak waktu ijab dan qabul, jual beli salam, jual beli mu’athah, merawat bumi yang tidak bertuan (ihya’ al-mawat), masalah titipan, memanfaatkan harta sewaan, masalah hidangan yang boleh dimakan ketika bertamu, keterpeliharaan harta di tempat penyimpanan dalam masalah pencurian, dan menerima hadiah bagi hakim. 12



13



BAB III PENUTUP 3.1. Simpulan Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah,kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫) قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫) قواعد‬. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Segala perkara tergantung kepada tujuan / niatnya. Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulamaulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.‫ اليَقِ ْي ن‬secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu. Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Kesulitan Menyebabkan Kemudahan. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ ‫ المشقه تجلب التيسير‬ialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kemudharatan dihilangkan. Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.Al-dharar(‫رر‬fff‫ ) الض‬adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar(‫ ) الضرار‬adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan. Dalam al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung kata yang berakar dari ‫ضرر‬ Adat Kebiasaan Ditetapkan Sebagai Hukum. Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. 14



3.2. Saran Jika ditinjau ulang, tentu didalam makalah ini tidak akan lepas dari koreksi para pembaca. Karena kami menyadari apa yang kami sajikan ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca agar nantinya makalah ini akan menjadi lebih sempurna dan baik



15



DAFTAR PUSTAKA Helim, Abdul, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at Taisir, http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-asasiyah-tentang-almasyaqqah.html qowaid fiqhiyyah muamalahISBN : 978-602-17662-9-3 Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha, http://www.abdulhelim.com/2012/05/kaidah-prinsip-dan kaidahasasiyyah.html#ixzz30MflVBjQ



16