Makalah Stigma Odha [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH STIGMA ODHA (ORANG DENGAN HIV/AIDS) KEPERAWATAN HIV/AIDS



DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2 : 1. MEGA SUMANGKUT (16061063) 2. MERCY TENDAGE (16061174) 3. CHRISTINE RUMOKOY (16061052) 4. WENDA KAWUWUNG (16061013) 5. JOVITA LEGI (16061192) 6. THERESIA Palar (16061108) 7. INKA POLUAN (16061102) 8. JULIET MANGUANDE (16061131) 9. HIZKIA KANSIL (16061033)



FAKULTAS KEPERAWATAN UNIKA DE LA SALLE MANADO FEBRUARI, 2018



KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena berkat tuntunanNya sehingga kami boleh menyeselaikan tugas mata kuliah KEPERAWATAN HIV/AIDS ini. Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada dosen yang mengajar mata kuliah ini, Mem Freisy Lumowa, yang sudah mengajar kami dalam mata kuliah ini dan juga sudah memberikan tugas ini untuk kami kerjakan. Semoga makalah ini bisa berfungsi untuk menambah pengetahuan bagi kita semua yang membaca ini. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman atau dosen yang membaca makalah ini. Terimakasih.



Manado, February 2018



Penulis



DAFTAR ISI



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang HIV di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan komplek serta menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di Indonesia juga masih tinggi, hal ini karenakan virus HIV/AIDS merupakan virus yang mudah ditularkan dan mudah berkembang terutama di kalangan remaja yang memiliki gaya hidup bebas. HIV/AIDS menjadi fenomena gunung es yang artinya penyakit ini memiliki jumlah persentasi sedikit yang terdeteksi namun sangat banyak yang tidak terdeteksi walaupun orang itu bisa dianggap positif ODHA. Orang dengan HIV/AIDS tidak hanya berjuang masalah fisik tetapi juga psikososial seperti stigma, kemiskinan, depresi, penyalahgunaan zat dan keyakinan tertentu yang dapat mempengaruhi kualitas hidup yang holistik mencakup kesehatan fisik, kesehatan mental dan sosial sehingga menyebabkan beberapa masalah dalam beberapa kegiatan dan minat dari penderita (Aranda, 2004). Berdasarkan penelitian tentang stigma internal di Bangladesh tahun 2012 tentang stigma internal pada orang yang hidup dengan HIV/AIDS menunjukan hasil bahwa prevalensi stigma internal tinggi di Bangladesh, dan banyak hal yang harus dilakukan oleh organisasi yang bekerja untuk ODHA untuk mengurangi stigma internal. Stigma internal membuat ODHA frustasi dan tertekan, sehingga menyebabkan penderita enggan untuk mencari perawatan, pengobatan, dan layanan kesehatan. Akibat dari stigma internal ODHA merasa bersalah, malu, dan pikiran untuk bunuh diri. ODHA merasakan bahwa penyakit yang diderita adalah salahnya sendiri, hal ini menyebabkan penurunan kepercayaan diri, kehilangan motivasi, penarikan dari kontrak sosial, menghindari pekerjaan dan mengabaikan perencanaan untuk masa depan (UNAIDS, 2011). Presentase depresi pada penderita yang terinfeksi HIV sebesar 22% (Department of Health AIDS Institute, 2010). Penyebab depresi yaitu adanya perasaan stres selama menjalani terapi, kemunculan infeksi oportunistik, efek samping dari konsumsi obat antiretroviral, adanya stigma sosial, atau diskriminasi masyarakat mempengaruhi keadaan mental ODHA (Simoni et al., 2010; Payuk et al., 2012). Di Indonesia jumlah penderita terus meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Untuk jangka waktu 6 tahun jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) meningkat 6 kali lipat. Di tahun 2003 angka penderita HIV/AIDS berjumlah 4.159 kasus dan di tahun 2009 menjadi 26.632 atau naik sebesar 84,4%. Walaupun terlihat tidak setinggi jumlah penderita HIV/AIDS di negaranegara benua Afrika, total estimasi jumlah ODHA di Indonesia pada tahun 2010 adalah 371.800 dan pada tahun 2014 diperkirakan meningkat menjadi 541.700 ODHA (Ministry of Health, 2007) atau sekitar 68,6%. Berdasarkan data statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan September 2014 oleh Kemenkes, Jawa Timur menduduki urutan ke 2 yaitu sebanyak 8.976 penderita dan 19.249 penderita HIV (Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2014). Untuk di RSUD dr.



Soedono Madiun jumlah penderita HIV/AIDS yang memeriksakan diri ke klinik VCT sampai akhir tahun 2013 sebanyak 717 orang dan pada bulan November 2015 sudah sebanyak 1.104 orang penderita, di mana jumlah penderita laki-laki 618 orang dan penderita perempuan 486 orang. Banyak jumlah ODHA yang ada di wilayah Madiun dan sekitarnya, tentunya membuat semua orang merasa prihatin, mengingat bahwa ODHA akan mengalami berbagai tekanan sosial yang ada di sekitarnya. Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis pada bulan Oktober 2015, dari 10 penderita HIV di Klinik VCT Kemuning RSUD dr. Soedono Madiun, ditemukan 20 % menyatakan tidak mengalami masalah psikologis yang mengganggu aktivitasnya sehari-hari; 20 % lainnya juga merasa tidak mengalami stigma, kemudian 40 % merasakan adanya stigmatisasi oleh masyarakat dan keluarganya dan 20 % juga mengalami stigmatisasi diri di mana merasa malu, merasa kotor dan mengucilkan diri dari masyarakat. Kemudian juga ditemukan bahwa dari 80 % penderita ODHA yang mengalami stigma dari masyarakat, keluarga ataupun stigma internal, menunjukkan bahwa 40 % dari ODHA sempat mengalami depresi. Adanya depresi pada penderita HIV/AIDS juga disebabkan karena pengetahuan penderita HIV/AIDS yang masih rendah. Pada umumnya ODHA yang berobat di Klinik Kemuning masih memiliki pengetahuan yang minim terkait dengan penyakit yang dideritanya. Rendahnya pengetahuan ODHA tentang HIV/AIDS ikut mempengaruhi sikap dan perilaku dalam keseharian, sehingga rendahnya pengetahuan mempengaruhi timbulnya stigma internal dan depresi. Timbulnya stigma lebih disebabkan karena adanya diskriminatif terhadap ODHA. Diskriminatif ini disebabkan oleh faktor resiko penyakit ini yang terkait dengan prilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan obat narkotika dan obat berbahaya atau narkoba (Herek dan Capitiano, 2009). Stigma dan diskriminasi terjadi karena adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS selalu berujung pada kematian. Penyakit ini sering diasosiasikan dengan perilaku atau kebiasaan buruk yang dianggap tidak sesuai dan bertentangan dengan norma positif dalam masyarakat, persepsi masyarakat bahwa ODHA dengan sengaja menularkan penyakitnya, serta kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularannya (Kemenkes, 2012). Stigma masih menjadi masalah di dalam upaya pengendalian HIV/AIDS di dunia karena tidak semua ODHA mau membuka statusnya kepada orang lain karena takut masyarakat tahu akan status HIV nya, sehingga ODHA akan diperlakukan diskriminatif dalam kehidupan masyarakat. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Jika stigma ditemukan pekat menyebar pada suatu komunitas, maka ODHA di komunitas tersebut dapat menginternalisasi sikap dan kepercayaan negatif mengenai infeksi HIV sehingga menyebabkan tindak menstigmatisasi diri, tingkat harga diri yang rendah, depresi, rasa khawatir, serta keputuaasaan (Gaddist, dan Mayer, 2008). Stigma internal atau stigmatisasi diri artinya seseorang menghakimi dirinya sendiri sebagai “tidak berhak” tidak disukai masyarakat (Kemenkes RI, 2012). Hal ini



bisa mendorong dalam beberapa kasus terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan. Penelitian yang dilakukan Saragih (2008) mendapatkan 74% pasien yang terinfeksi HIV/AIDS di RS Adam Malik Medan mengalami depresi pada berbagai tingkat. Penelitian yang dilakukan di Jakarta (RSCM) oleh Kusuma (2010) mendapatkan 51,5% pada pasien HIV mengalami depresi yang diukur dengan instrument CES-D sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui depresi pada penyakit kronis. Pada penelitian di Malawi, Afrika tahun 2015 tentang stigma HIV yang berakibat pada kecemasan dan depresi pada perempuan Malawi disebutkan bahwa stigma HIV dapat menimbulkan kecemasan dan depresi pada perempuan Malawi. Akibat dari depresi yang berkelanjutan yaitu penurunan kondisi fisik dan mental, sehingga dapat menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas self care harian secara rutin. Depresi dapat menyebabkan tidak tetap dalam perawatan, tidak hadir dalam klinik dan melupakan dosis terapi antiretroviral (ART). Depresi juga dapat meningkatkan prilaku beresiko menularkan HIV pada orang lain (Yayasan Spirita, 2014). Untuk memerangi stigma di kalangan ODHA, program yang komprehensif, termasuk pendidikan untuk memahami kompleksitas dan faktorfaktor tentang HIV/AIDS dapat membantu mengurangi stigmatisasi. Dukungan dari pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman sekerja, keluarga juga dapat membantu mengurangi stigma internal. Melihat dapat diinternalisasinya stigma serta akibatnya terhadap depresi dalam kehidupan seorang ODHA, maka penelitian ini bermaksud untuk meneliti tingkat depresi pada ODHA kaitannya dengan stigma internal yang mungkin dialami sebagai efek dari menyandang status HIV positif.



1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun?. 1.3



Tujuan Penelitian



1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum pada penelitian ini adaah untuk mengetahui hubungan antara stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini ada tiga poin, diantaranya: 1. Mengidentifikasi kejadian stigma internal pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun.



2. Mengidentifikasi kejadian depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun. 3. Menganalisis hubungan antara stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS di RSUD dr. Soedono Madiun.



1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi intelektual bagi ilmu keperawatan tentang hubungan stigma internal dengan tingkat depresi pada penderita HIV/AIDS.



1.4.2 Manfaat Praktis 1.



Bagi pelayanan kesehatan



Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada rumah sakit tentang hubungan stigma dengan depresi pada pasien HIV/AIDS sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam merumuskan perencanaan asuhan keperawatan dan melaksanakan tindakan keperawatan sehingga dapat memberikan kontribusi dalam upaya menurunkan tingkat depresi akibat stigma internal pada penderita HIV/AIDS. 2.



Bagi masyarakat



Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi kepada masyarakat dalam perawatan kesehatan khususnya dalam mengatasi depresi akibat stigma internal pada penderita HIV/AIDS. 3.



Bagi peneliti lain



Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan pertimbangan dalam mengembangkan penelitian tentang pelayanan yang ditujukan pada penderita HIV/AIDS pada penelitian selanjutnya.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stigma 1. Pengertian Stigma Menurut Lacko, Gronholm, Hankir, Pingani, dan Corrigan dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) stigma berhubungan dengan kehidupan sosial yang biasanya ditujukan kepada orangorang yang dipandang berbeda, diantaranya seperti menjadi korban kejahatan, kemiskinan, serta orang yang berpenyakitan salah satunya orang HIV. Orang yang mendapat stigma dilabelkan atau ditandai sebagai orang yang bersalah. 2. Faktor-Faktor Terbentuk Stigma Faktor-faktor terbentuknya stigma sebagai berikut: a. Pengetahuan. Stigma terbentuk karena ketidaktahuan, kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan kesalahpahaman tentang penularan HIV (Liamputtong, 2013). Hal-hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan adalah hasil tahu dari informasi yang ditangkap oleh panca indera. Pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan, pekerjaan, umur, lingkungan, sosial dan budaya (Wawan dan Dewi, 2011). Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund (2013) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebih baik dibandingkan perawat yang berpengetahuan rendah. b. Persepsi. Persepsi terhadap seseorang yang berbeda dari orang lain dapat mempengaruhi perilaku dan sikap terhadap orang tersebut. Cock dan kawan-kawan menyatakan bahwa stigma bisa berhubungan dengan persepsi seperti rasa malu dan menyalahkan orang yang memiliki penyakit seperti HIV (Paryati et al, 2012). c. Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan dapat mempengaruhi munculnya stigma. Jika tingkat pendidikan tinggi maka tingkat pengetahuan juga akan tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Walusimbi dan Okonsky dalam Erkki dan Hedlund (2013) dimana menyatakan bahwa perawat yang memiliki pengetahuan tinggi akan memiliki rasa ketakutan penularan HIV yang rendah dan sikap positif yang lebih baik d. Lama Bekerja



Seseorang yang masa bekerja yang paling lama maka memiliki pengalaman yang banyak sehingga dapat membuat keputusan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya (Suganda dalam Paryati et al, 2012). Maka dari itu, seseorang yang sudah berpengalaman akan memiliki rasa percaya diri. e. Umur Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stigma seseorang. Semakin bertambah umur seseorang maka semakin berubah sikap dan perilaku seseorang sehingga pemikiran seseorang bisa berubah (Suganda dalam Paryati et al, 2012). WHO (2013) membagi umur seseorang terbagi atas 4, yaitu balita (di bawah 1 tahun), anak-anak (2-9 tahun), remaja (10-19 tahun), dan dewasa (lebih dari 19 tahun). Elizabeth dalam Jahja (2011) menyebutkan masa dewasa terbagi menjadi 3, yaitu masa dewasa awal (21-40 tahun), masa dewasa madya (40-60 tahun), dan masa dewasa lanjut (60 tahun sampai meninggal). Masa dewasa awal adalah masa seseorang berusaha menyesuaikan dirinya terhadap pola hidupnya yang baru. Seseorang dengan masa ini memiliki emosi yang tidak stabil serta belajar menjaga sebuah komitmen dan tanggung jawab. Masa dewasa madya adalah masa seseorang lebih mendekatkan dirinya terhadap agama. Masa dewasa lanjut adalah masa seseorang secara fisik dan psikologi telah menurun. f. Pelatihan Pemberian pelatihan yang sesuai dengan bidang, salah satunya pelatihan HIV, dapat memotivasi tenaga kesehatan untuk meningkatkan kinerja dirinya dalam pekerjaan. Selain itu, pelatihan juga meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan sikap bagi seseorang sehingga dapat berpikir kritis (Wu Z et al dalam Paryati et al, 2012). g. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerja seseorang (Gibson dalam Paryati, 2012). Perempuan juga cenderung memiliki stigma yang tinggi dimana bersikap menyalahkan dibanding dengan laki-laki (Andrewin dalam Salmon et al, 2014). h. Dukungan Institusi Pada institusi kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas, memiliki SOP (Standard Operating Procedure) sesuai kebijakan masing-masing institusi, sarana dan fasilitas, serta penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) dalam melakukan tindakan khusus kepada pasien dengan penyakit tertentu, seperti HIV (Paryati et al, 2012). i. Kepatuhan Agama Kepatuhan agama bisa mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Seseorang yang patuh pada nilai-nilai agama bisa mempengaruhi peran dalam kinerja bekerja dalam pelayanan kesehatan khususnya terkait HIV (Paryati et al, 2012). 3. Manifestasi Stigma Biasanya orang yang terkena stigma dihubungkan dengan seks bebas, penggunaan narkoba, dan homoseksual. Hal ini menjadi bumerang bagi mereka dimana dianggap masyarakat sebagai



orang yang berperilaku buruk. Wanita pun juga menjadi korban terkena stigma karena berhubungan seksual dengan lawan jenis yang diduga memiliki HIV. Maka dari itu, stigma bisa muncul dari kata-kata kasar, gosip, dan menjauhi atau mendiskriminasi orang HIV (Liamputtong, 2013).



4. Tipe-Tipe Stigma Van Brakel dalam Fiorillo, Volpe, dan Bhugra (2016) mengungkapkan ada 5 tipe stigma sebagai berikut : a. Public stigma, dimana sebuah reaksi masyarakat umum yang memiliki keluarga atau teman yang sakit fisik ataupun mental. Salah satu contoh kata-katanya adalah “saya tidak mau tinggal bersama dengan orang HIV”. b. Structural stigma, dimana sebuah institusi, hukum, atau perusahaan yang menolak orang berpenyakitan. Misalnya, perusahaan X menolak memiliki pekerja HIV. c. Self-stigma, dimana menurunnya harga dan kepercayaan diri seseorang yang memiliki penyakit. Contohnya seperti pasien HIV yang merasa bahwa dirinya sudah tidak berharga di dunia karena orang-orang disekitarnya menjauhi dirinya. d. Felt or perceived stigma, dimana orang dapat merasakan bahwa ada stigma terhadap dirinya dan takut berada di lingkungan komunitas. Misalnya seorang wanita tidak ingin mencari pekerjaan dikarenakan takut status HIV dirinya diketahui dan dijauhi oleh rekan kerjanya. e. Experienced stigma, dimana seseorang pernah mengalami diskriminasi dari orang lain. Contohnya seperti pasien HIV diperlakukan tidak ramah dibandingkan dengan pasien yang tidak HIV diperlakukan ramah oleh tenaga kesehatan. f. Label avoidance, dimana seseorang tidak berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan untuk menghindari status dirinya sebagai orang yang memiliki penyakit. Salah satu contoh adalah pasien menyembunyikan obatnya. 5. Alat Pengukuran Stigma Adanya stigma HIV bagaikan memiliki dinding pemisah antara orang HIV dengan upaya pencegahan dan pengobatan HIV dari pelayanan kesehatan. Maka dari itu, stigma HIV memiliki alat pengukuran untuk mengetahui seberapa banyak stigma HIV yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di pelayanan kesehatan. Pengukuran stigma HIV ada berbagai macam, yaitu HIV and AIDS Stigma Instrument-PLWA (HASI-P) dari Holzemer et al, internalized stigma



scale dari Sayles et al, dan measuring HIV stigma and discrimination among health facility staff dari Nyblade et al yang dikembangkan Health Policy Project. Alat ukur stigma dari Nyblade et al memiliki beberapa indikator sebagai berikut (Damalita, 2014): a. Tenaga kesehatan takut terinfeksi HIV (termasuk di dalamnya pengetahuan tentang cara penularan). b. Sikap terhadap ODHA (stereotip dan prasangka). c. Enacted Stigma (Stigma yang berlaku dan dapat diamati). d. Diskriminasi yang diantisipasi (meliputi stigma sekunder yang dialami oleh staf fasilitas kesehatan). e. Kebijakan di tingkat kelembagaan dan lingkungan. 6. Tingkat Stigma Menurut Azwar (2016) untuk membuat kategorisasi individu ke dalam tingkatan atau kategori berjenjang menjadi 3 jenjang dapat menggunakan rumus sebagai berikut: µ-



µ+𝑡 𝜇



= Mean teoretis pada skala



𝑡(𝛼⁄2,𝑛−1) = Harga t pada 𝛼/2 dan derajat kebebasan n-1 = Deviasi standar skor



𝑠 𝑛



= Banyaknya subjek



Pada instrument ini berisi pernyataan favourable berisi Ya=1 dan Tidak=0 serta unfavourable berisi Tidak=1 dan Ya=0. Skala dalam penelitian ini yaitu skala ordinal dengan kategori tinggi, sedang, dan rendah. Cara menentukan kategori tersebut bisa dengan rumus berikut: µ-



µ+𝑡



14,78 – 2,011(4,5/



14,78 + 2,011(4,5/



13,49≤X≤16,07 13≤X≤16 Hasilnya adalah stigma tinggi jika >16, stigma sedang jika 13-16, dan stigma rendah jika