Melakukan Koreksi Fiskal Dan Menyusun Laporan Keuangan Fiskal [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1. Melakukan Koreksi Fiskal dan Menyusun Laporan Keuangan Fiskal Koreksi Fiskal A. Definisi dan Ruang Lingkup Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena adanya perbedaan antara laba atau rugi menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksikoreksi fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto). B. Jenis-jenis Koreksi Fiskal Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis – jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 dan UU Nomor 17 Tahun 2000).



Secara umum terdapat dua



perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu: 1. Beda Tetap Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undangundang PPh yang sifatnya permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena : a)



Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh



1



perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh) b) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya: 1)



Bunga Deposito dan Tabungan lainnya



2)



Penghasilan berupa hadiah undian



3)



Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan,



4)



Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan



5)



Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan



6)



Dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)



Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya: a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan: 1) yang bukan objek pajak 2)



yang pengenaan pajaknya bersifat final



3) yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan b) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan c) Pajak Penghasilan d) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan. e) Biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh)



2



Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif atau koreksi positif. Koreksi negatif artinya penghasilan yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena pajak berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang lebih kecil. Sedangkan koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang menjadi lebih besar. 2. Beda Waktu Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undangundang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda waktu terjadi karena : Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh, penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima. Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena : a.



Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun



3



b. Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undangundang PPh metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO c. Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan. 1) Koreksi Positif Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan Penghasilan Kena Pajak. koreksi fiskal positif diantaranya: a)



Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham



b)



Pembentukan atau pemupukan dana cadangan



c)



Pengeluaran dalam bentuk natura



d)



Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd



pemegang saham e) Sumbangan atau bantuan f) Pajak Penghasilan g) Sanksi administrasi (Pajak) h) Penyusutan/amortisasi i) Dan lain - lain 2) Koreksi Negatif Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial sehingga semakin besar apabila dilihat secara fiskal, atau



4



yang akan mengakibatkan adanya pengurangan Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya: a.



Penyusutan/amortisasi



b.



Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya



c.



Dan lain - lain



Penyustan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil. Untuk lebih mendalami koreksi fiskal kita dapat juga membaca laporan audit akuntan publik atas laporan keuangan suatu perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda atas koreksi fiskalnya. C. Teknik Rekonsiliasi Fiskal Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut



fiskal,



rekonsiliasi



dilakukan



dengan



mengurangkan



sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi. 2. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi. 3. Jika suatu biaya/ pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui



sebagai



pengurang



penghasilan



bruto



menturt



fiskal,



rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah biaya/ pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi. 4. Jika suatu biaya/ pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah biaya/ pengeluaran teersebut pada biaya menurut akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi. D. Format Rekonsiliasi Fiskal Contoh format Rekonsiliasi Fiskal. Laba menurut Laporan Keuangan komersial ……………..



Rp xxx



Koreksi Positif (Ditambah) Pengeluaran yg tidak dapat dikurangkan………………..



Rp xxx



5



Pengeluaran berkaitan penghasilan yang bukan objek pajak Rp xxx Pengel. berkaitan pengh. yg telah dikenakan pjk brsfat final Rp xxx. Beda penghitungan antara PSAK dan PPh ………….



Rp xxx.



Total koreksi positif



Rp xxx



Koreksi Negatif (Dikurangi) Penghasilan yang bukan objek pajak ……………………



Rp xxx



Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final….



Rp xxx



Beda penghitungan antara PSAK dan PPh………...………



Rp xxx



Total koreksi negatif



Rp. xxx



Penghasilan Kena Pajak menurut fiskal……………………….



Rp xxx



PPh terutang……………………………………………………



Rp xxx



Laba setelah PPh……………………………………….…….



Rp. Xxx



Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila: 1. Pendapatan menurut fiskal lebih besar dari pada menurut akuntansi atau suatu penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi. 2. Biaya/ pengeluaran menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi atau suatu biaya/ pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui menurut akuntansi Perbedaan diakui sebagai koreksi negatif apabila: 1. Pendapatan menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi atau suatu penghasilan tidak diakui menurut fiskal (bukan objek pajak) tetapi diakui menurut akuntansi. 2. Biaya atau pengeluaran menurut fiskal lebih besar dari pada menurut akuntansi atau suatu biaya/ pengeluaran diakui menuruttt fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi. 3. Suatu pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.



6



Laporan Keuangan Fiskal A. Pengertian Laporan Keuangan Fiskal Laporan Keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan perhitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan perhitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan (Balance Sheet) dari satu entitas, sedangkan laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan pajak yaitu : 1. Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan pembukuan perusahaan



menyusun



laporan



harus



menurut



ketentuan



perpajakan dan menurut praktek pembukuan. 2. Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi. 3. Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi. B. Perbedaan Orientasi Pelaporan Dalam system perpajakan, Negara mempunyai instrument untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menutup kebutuhan financial dan memepengaruhi kehidupan social ekonomi nasional. Secara budgetair pajak merupakan alat untuk mentransfer sumberdaya dari masyarakat kepada Negara. Negara lebih memperhatikan laporan keuangan dilampirkan dalam SPT yang meliputi unsur: 1.



Laba tahun berjalan



2.



Distribusi laba



7



3.



Peredaran



4.



Pengeluaran untuk karyawan dan pembelian jasa yang lain.



C. Prinsip Akuntansi Sebagai Subjek Perbedaan Orientasi Kemampuan



pajak



untuk



mempengaruhi



perilaku



pengusaha



umumnya dianggap suatu alasan pendukung penyimpangan dari prinsip dan praktek akuntansi komersial. Prinsip-prinsip akuntansi yang sering menjadi focus perbedaan orientasi antara pelaporan keuangan fiscal dan pelaporan keuangan komersial seperti dibawah ini : 1.



Prinsip pemadanan (matching) biaya dan manfaat Untuk keperluan komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan pendapatan



pada



saat



realisasi



transaksi



pertukaran



dan



pembebanan biaya atau beban dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Meskipun dalam prinsip perpajakan (fiscal) menggaris bawahi prinsip tersebut, sering kali kebijakan tersebut dihiraukan dan terjadi penyimpangan seperti: a.



Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang penghasilan meskipun secara ekonomis pengeluaran tersebut merupakan unsure biaya yang dapat menghasilkan profit bagi perusahaan.



b.



Penyusutan asset mulai tahun pengeluaran walaupun harta itu belum dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan.



c.



Imputansi penghasilan bentuk usaha tetap (BUT) atas dasar force of attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya dan secara nyata tidak dicatat dalam pembukuan.



2. Konsistensi Metode ini digunakan untuk menilai kinerja bisnis dari tahun ke tahun. Maka dari itu metode ini penerapan nya secara tata asas, kecuali apabila terdapat bukti dan alasan yang kuat untuk melakukan penggantian metode. Missal terhadap berbagai kelompok kelompok dipakai metode penilaian dan pembukuan yang berbeda. Pada dasarnya laporan fiscal juga menganut system ini. Tapi, dalam konsepsional ketentuan perpajakan dapat menentukan lain, misalnya pengakuan hasil bisnis mancanegara.



8



3. Konservatisme Yang



dimaksud



dengan



laporan



keuangan



fiscal



yang



konservatisme yaitu laporan keuangan dalam suatu transaksi yang belum menjadi fakta harus diteliti kebenarannya. Dalam akuntansi perusahaan memiliki anggaran untuk pembentukan poenyisihan atau resiko kerugian yang mungkin diderita seperti cadangan kerugian piutang dan penghapusan piutang. Dalam kasus ini administrasi



pajak



kurang



tertarik



dengan



perhitungan-



perhitungan yang belum terjadi secara nyata. Perhitungan pajak lebih cenderung kepada keadaan nyata atau sedang berlangsung dan sudah terjadinya transaksi dengan meneliti elemen yang dikenakan pajak. 4. Substansi mengesampingkan bentuk formal Dalam konsep ini laporan keuangan fiscal menitikberatkan kepada substansi ekonomi daripada bentuk formal tiap transaksi atau fakta bisnis. Kadangkala ketentuan tersebut dikesampingkan dan lebih mengutamakan benrtuk formal dalam kasus tertentu seperti leasing. D. Penyusunan Laporan Keuangan Susunan laporan keuangan fiscal : 1.



Input berupa dokumen dasar



2.



Dicatat dalam buku harian jurnal



3.



Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar



4.



Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang, hutang dll



5. Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir tahun dan catatan penutup. 6. Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial 7. Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan 8. Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan keuangan fiskal. 2. Kompensasi Kerugian Fiskal



9



Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut : 1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan. 2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan. 3. Kompensai kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan. 4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari dalam negeri. Sebagai contoh, misalnya wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2008, 2009, 2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai dengan tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2013 atau sesudahnya. Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai berikut : 2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00 2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00 2010 : laba fiskal NIHIL



10



2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00 2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00 Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut : Tahun 2008 : Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2009 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2010 : Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2011 : Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Tahun 2012 : Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil. Sisa kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2013 atau setelahnya.



Pengertian dan ketentuan Kompensasi Kerugian Fiskal dalam UndangUndang No.36 Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan diatur sebagai berikut : a. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak 11



sebelumnya terdapat kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil/Lebih Bayar tetapi ada kerugian) . b. Kerugian Fiskal timbul apabila penghasilan bruto yang dikurangi oleh pengurangan yang diperbolehkan mengalami kerugian, c. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto fiskal atau laba neto fiskal dimulai tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. d. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal berlaku untuk tahun pajak mulai tahun 2009, untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. 3. Penghitungan Penghasilan Kena Pajak 4. Norma Penghitungan Penghasilan Neto Norma Penghitungan Neto adalah norma yang dapat digunakan oleh wajib pajak dalam penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang. Norma Penghitungan Neto adalah norma yang dapat digunakan oleh wajib pajak dalam penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang. Kita harus menghitung penghasilan neto karena untuk menghitung Pajak Penghasilan harus diketahui dulu penghasilan neto. Pajak Penghasilan adalah perkalian tarif dengan penghasilan neto. Tarif yang dimaksud sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU PPh. Dan penghasilan neto disebut juga penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak menjadi dasar penerapan tarif sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU PPh. Menurut UU PPh tidak mungkin menghitung Pajak Penghasilan jika penghasilan neto tidak diketahui. Menghitung penghasilan neto ada dua, yaitu : menggunakan pembukuan dan menggunakan norma. a. Menggunakan pembukuan Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan



kegiatan



menyelenggarakan



usaha



atau



pembukuan.



pekerjaan Dikecualikan



bebas



diwajibkan



dari



kewajiban



12



menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan undang-undang perpajakan: 1. Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dan 2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang sematamata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek Pajak Penghasilan di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final. Pembukuan atau pencatatan harus: 1. Diselenggarakan



dengan



memperhatikan



itikad



baik



dan



mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan 3. Disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan (misalnya, bahasa inggris) Perhitungan dengan menggunakan pembukuan dapat dirumuskan sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi) = Penghasilan netto – PTKP = ( Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh ) – PTKP



Penghasilan Kena Pajak (WP Badan) = Penghasilan netto = Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh



13



Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. b. Menggunakan norma perhitungan penghasilan neto Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto besarnya penghasilan neto adalah sama besarnya dengan (persentase) norma perhitungan penghasilan neto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerja bebas setahun. Wajib pajak yang boleh menggunakan norma perhitungan neto adalah WP orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut : a. Peredaran bruto kurang dari 4.800.000.000/tahun b. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun buku. c. Menyelenggarakan pencatatan. Ada syarat yang harus dipenuhi yaitu memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dalam tahun pajak yang bersangkutan. Apabila Wajib Pajak menggunakan norma penghitungan maka Wajib Pajak tersebut tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi harus menyelenggarakan pencatatan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Yang dimaksud dengan pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. Nampak bahwa kegiatan pencatatan ini jauh lebih sederhana dibandingkan kalau menyelenggarakan pembukuan. Untuk menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, Wajib Pajak orang pribadi wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan. Pemberitahuan ini disampaikan ke KPP terdaftar. Disampaikan paling lambat bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan. 3 bulan sejak awal tahun pajak artinya bulan Maret karena tahun



14



pajak sama dengan tahun kalender. Kewajiban memberitahukan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015. Penghasilan Neto Oleh Pemeriksa Peraturan direktur jenderal pajak tentang norma penghasilan neto sudah lama ada. Sebelumnya dengan KEP-536/PJ./2000. Hanya saja ada sesuatu yang baru denganPeraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-17/PJ/2015, yaitu norma bagi Wajib Pajak yang diperiksa. Pasal 3 ayat (1) PER-17/PJ/2015: Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto PER-17/PJ./2015 memberikan kewenangan kepada pemeriksa pajak untuk: 



menghitung penghasilan neto



Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang diperiksa: 



tidak menyelenggarakan pembukuan, atau







tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau







tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, atau







tidak memperlihatkan pencatatan, atau







tidak memperlihatkan bukti-bukti pendukungnya.



Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto dalam satu tahun untuk penghitungan PPh Pasal 25/29 adalah hanya Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai peredaran bruto/omzet bruto tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan PP Nomor 46 Tahun 2013. 2. Ketentuan tersebut berlaku sejak tahun pajak 2007.



15



3. Khusus mulai bulan Juli 2013 penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013. 4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang bermaksud menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto wajib memberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak bersangkutan (dapat didownload di Formulir Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Neto ). Jenis Pekerjaan Bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (apabila peredaran usaha tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak) adalah sebagai berikut : 1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; 2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,



bintang



iklan,



sutradara,



kru



film,



foto



model,



peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; 3. olahragawan; 4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. pengarang, peneliti, dan penerjemah: 6. agen iklan: 7. pengawas atau pengelola proyek; 8. perantara; 9. petugas penjaja barang dagangan; 10. agen asuransi; dan 11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut : 1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak; 2. Ibukota propinsi lainnya; 3. Daerah lainnya. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah.



16



Penghasilan



neto



dihitung



dengan



cara



penghasilan



bruto/omzet



bruto dikalikan dengan norma penghitungan penghasilan neto. Adapun pasalpasal yang berkaitan dengan norma penghitungan penghasilan neto, yaitu : Pasal 1 1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih wajib menyelenggarakan pembukuan 2. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutam memilih menyelenggarakan pembukuan. 3. Wajib Pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Pasal 2 1. Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan. 2. Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak



tidak



memenuhi



persyaratan



untuk



menggunakan



Norma



Penghitungan Penghasilan Neto. 3. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Pasal 3 1. Dalam hal terhadap Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dilakukan pemeriksaan



sebagaimana



diatur



dalam



UndangUndang



tentang



Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ternyata Wajib Pajak orang



17



pribadi



atau



badan



tersebut



tidak



atau



tidak



sepenuhnya



menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau buktibukti pendukungnya, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. 2. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan di bidang perpajakan. 3. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 4 1. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut : a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak b. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. c. Daerah lainnya. 2. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur JenderalPajak ini. 3.



Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur JenderalPajak ini.



4. Daftar Persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 5 1. Penghitungan penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masingmasing jenis usaha atau pekerjaan bebas dengan memperhatikan pengelompokan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat(1).



18



2. Penghasilan neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas adalah penjumlahan penghasilan neto dari masingmasing jenis usaha atau pekerjaan bebas yang dihitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 1. Penghasilan neto bagi tiap jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun Pajak. 2. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 Petunjuk penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 8 Dengan berlakunya peraturan ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan dinyatakan tidak berlaku. Contoh perhitungan dengan norma penghasilan neto Tahun Pajak 2015 : Tuan Adit adalah seorang dokter di Purwokerto yang membuka usaha praktek dokter (klinik kesehatan). Dari pekerjaan bebas sebagai dokter tersebut tuan Adit memperoleh penghasilan kotor (bruto) dalam bulan Januari s/d Desember adalah sebesar Rp.600.000.000,00. Penghasilan neto tuan Adit dalam setahun (Januari s/d Desember 2015) dihitung sebagai berikut : Penghasilan Bruto



: 600.000.000



Norma penghasilan neto kode 93213 dengan tarif sebesar : 40 % Penghasilan neto: 240.000.000 (600.000.000 x 40 % = 240.000.000) Contoh Penghitungan Penghasilan Neto Lainnya :



19



Tigor memiliki usaha jasa perantara (pekerjaan bebas) dengan tidak memiliki pembukuan yang lengkap. Tigor hanya memiliki catatan tentang penerimaan usahanya selama satu tahun sebesar Rp 1.200.000.000,00. Berdasarkan peraturan perpajakan tarif yang digunakan untuk Tigor sebesar 25% untuk menghitung penghasilan neto usahanya. Status Tigor saat ini telah menikah dengan memiliki 4 orang anak. Berapakah pajak yang harus dibayarkan Tigor? Jawaban: Penghasilan Setahun Perhitungan Penghasilan Neto (Norma): (25% x



Rp 1.200.000.000,00



Rp



Rp 300.000.000,00



1.200.000.000,00) Penghasilan Tidak Kena Pajak Wajib Pajak Sendiri Status Kawin Tanggungan (3 x Rp



Rp Rp Rp



2.025.000,00)



24.300.000,00 2.025.000,00 6.075.000,00 + Rp 32.400.000,00 Rp 267.600.000,00



Perhitungan Pajak: 5% x



Rp



Rp



2.500.000,00



50.000.000,00 15%xRp200.000.000,00 25%xRp



Rp Rp



30.000.000,00



17.600.000,00 Pajak Tuan Tigor



4.400.000,00 + Rp 36.900.000,00



Tanggungan maksimal 3 (tiga). Jadi pajak yang harus dibayarkan Tuan Tigor sebesar Rp 36.900.000,00 Keuntungan dan Kerugian Norma Penghitungan Keuntungan menggunakan norma penghitungan adalah adanya kemudahan dalam praktek penghitungan pajak. Wajib Pajak tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan pembukuan. Keuntungan yang lain adalah adanya kemudahan dalam menghitung Pajak Penghasilan. Sementara itu, paling tidak ada dua kerugian menggunakan tarif norma ini. Pertama, norma penghitungan tidak mengenal kerugian. Artinya, walaupun kenyataannya rugi, dengan penghitungan norma Wajib Pajak dianggap 20



mengalami keuntungan. Kedua, tidak adanya kompensasi rugi tahun-tahun sebelumnya. 5. Penghitungan Penghasilan Neto Karyawan yang Tidak Punya Usaha Untuk WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas, penghasilan neto dihitung sesuai dengan selisih antara penghasilan bruto dengan biaya yang diperkenankan secara fiskal untuk menjadi pengurang. Contohnya, untuk WP OP yang berstatus sebagai karyawan tetap (tidak melakukan pekerjaan bebas), maka penghasilan netonya dihitung dengan cara Penghasilan Bruto (1 tahun) dikurangi dengan biaya jabatan (besarnya 5% x Penghasilan bruto, maximal Rp 6 juta pertahun), dikurangi lagi dengan iuran pensiun atau jaminan hari tua (JHT) atau yang sejenis yang dibayarkan oleh karyawan tetap tersebut kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Contoh lainnya, seseorang yang menjual aktiva tetapnya (bukan barang dagangan), misalkan sebuah lukisan untuk hiasan di rumah, pada saat dia beli harga lukisannya sebesar Rp 1 juta, kemudian dia jual seharga Rp 7 juta, maka penghasilan netonya adalah sebesar Rp 6 juta ( Rp 7 juta – Rp 1 Juta). Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai karyawan, berhak atas penghasilannya yaitu gaji berupa biaya jabatan / biaya pensiun yang diberikan kepada pegawai tetap atau pensiunan, untuk dijadikan sebagai pengurang dari penghasilan bruto berupa gaji, tunjangan, uang lembur, premi asuransi JPK, JKK, JKM, bonus dan lain-lain, yang diterima pegawai tetap. Jika karyawan membayar premi Jaminan Hari Tua (JHT) juga dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto baik untuk penghitungan PPh Pasal 21 maupun



perhitungan



PPh



Orang



Pribadi.



- Penghasilan bruto – biaya jabatan/biaya pensiun = penghasilan netto. Kepada Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri diberikan pengurangan berupa PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) yang besarnya PTKP ditentukan keadaan pada awal tahun takwim. Untuk penghasilan istri digabung, tambahan seorang istri (hanya seorang istri) dilakukan dalam hal istri : a) Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas yang tidak ada hubungannya dengan usaha / pekerjaan bebas suami, anak / anak angkat yang belum dewasa. b) Bekerja sebagai karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai pemotong pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas. c) Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.



21



d) Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak, tidak memperoleh pengurangan PTKP. e) Bagi masing-masing suami istri yang telah hidup berpisah untuk diri masing-masing, maka PTKP bagi Wajib Pajak OP diperlakukan seperti PTKP Wajib Pajak tidak kawin, sedangkan tanggungan



sesuai



dengan



kenyataan



sebenarnya



yang



diperkenankan. f) PTKP untuk Wajib Pajak yang melakukan pisah harta adalah sebesar PTKP masing-masing. Namun status kawin dan tanggungan disertakan pada suami sebagai kepala keluarga. Besaran Nilai Pendapatan Tidak Kena Pajak per Januari 2013 - Untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi = IDR 2.025.000,- Tambahan untuk WP yang sudah menikah = IDR 2.025.000,-



Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan



suami =IDR 24.300.000,- Untuk setiap tambahan pada anggota keluarga sedarah atau hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan dengan jumlah paling banyak adalah 3 (tiga) orang untuk setiap anggota keluarga = IDR 2.025.000, 6. Penghitungan Pajak Terhutang, Kredit Pajak Pasal 21, 22, 23, 24, dan 25 a. Pasal 21 Saat terhutang PPh Pasal 21 dibagi menjadi dua yaitu bagi penerima penghasilan dan pemotong penghasilan. Bagi penerima penghasilan adalah pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Sedangkan bagi pemotong PPh Pasal 21 adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. Contoh Soal : Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. Ia memperoleh gaji bulan Desember sebesar Rp. 2.500.000,00 menerima THR sebesar Rp. 1.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 50.000,00 sebulan. Ikhsan Alisyahbani menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0). PPh Pasal 21 atas gaji dan THR:Penghasilan Bruto setahun = 12 x 2.500.000 = Rp. 30.000.000THR = Rp. 1.000.000Jumlah Penghasilan Bruto = Rp. 31.000.000Pengurangan: 



Biaya Jabatan = 5% x 31.000.000 = Rp. 1.550.000 22







Iuran pensiun = 12 x 50.000 = Rp. 600.000







Total Pengurangan = Rp. 2.150.000



Penghasilan netto setahun = Rp. 28.850.000, PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000, PKP setahun = Rp. 11.690.000, PPh Ps. 21 terutang = 5% x 11.690.000 Rp. 584.500, PPh Pasal 21 atas gajiPenghasilan Bruto setahun = 12 x 2.500.000 = Rp.30.000.000 Pengurangan : 



Biaya Jabatan = 5% x 30.000.000 = Rp. 1.500.000







Iuran pensiun = 12 x 50.000 = Rp. 600.000







Total Pengurangan = Rp. 2.100.000



Penghasilan netto setahun Rp. 27.900.000PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000PKP setahun = Rp. 10.740.000PPh Ps. 21 terutang = 5% x 10.740.000 Rp. 537.000PPh Pasal 21atas gaji dan THR – PPh Pasal 21 atas gaji:= Rp. 584.500– Rp.537.000= Rp. 47.500 b. Pasal 22 Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22 1.



Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.



2.



Atas pembelian barang terutang dan dipungut pada saat pembayaran.



3.



Atas penjualan hasil produksi terutang dan dipungut pada saat penjualan.



4.



Atas penjualan hasil produksi dipungut pada saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order).



5.



Atas pembelian bahan-bahan terutang dan dipungut pada saat pembelian.



Contoh soal : PT. AYAM CRISPY PEDAS, memiliki nomor API, melakukan impor Bahan Baku Makanan dari Amerika Serikat dengan perincian sebagai berikut : Harga Bahan Makanan



US$ 15,000.00 23



Asuransi



US$ 1,000.00



Biaya Angkut



US$ 4,000.00



Harga Pabean



US$ 20,000.00



Pengutan :  Bea Masuk 20%



US$ 4,000.00



 Bea Masuk Tambahan 10%



US$ 2,000.00



NILAI IMPOR



US$ 26,000.00



Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor : (Pemberitahuan Impor Barang) nilai kurs US$ 1.00 = Rp 10.000,00 maka : 



Dasar pengenaan PPh Pasal 22 : US$ 26,000.00 x Rp 10.000,00 = Rp 260.000.000,00



PPh Pasal 22 yang harus dipungut : Rp 260.000.000,00 x 2,5% = Rp 6.500.000,00



c. Pasal 23 Saat terutangnya PPh Pasal 23 adalah saat yang terjadi lebih dahulu antara pembayaran atau terutangnya penghasilan. Saat pembayaran adalah saat dilakukannya pemindahbukuan dana suatu pihak kepada pihak lain, sedangkan



saat



pengakuan



terutangnya



penghasilan



adalah



saat



dilakukannya pemindahbukuan dana dari akun harta ke akun hutang. Saat terutangnya penghasilan antara lain : 1. Pada saat jatuh tempo, seperti : bunga dan sewa; 2. Saat tersedia untuk dibayarkan, seperti : gaji dan dividen; 3. Saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur, seperti : royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya; 4. Saat tertentu lainnya. Contoh soal : Pada tanggal 20 juni 2010, PT. AYAM CRISPY membayar bunga atas pinjaman membayarkan bunga kepada PT. SAMBAL COLEK sebesar Rp 80.000.000,PPh pasal 23 yang harus dipotong oleh PT AYAM CRISPY adalah : 15% x Rp 80.000.000 = Rp 12.000.000,-



24



Saat terutang : akhir bulan dilakukan pembayaran yaitu pada tanggal 31 Agustus 2010 Saat Penyetoran : paling lambat 10 Juli 2010 Saat Pelaporan : paling lambat 20 Juli 2010



d. Pasal 24 Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP Contoh soal : PT Kartika berkedudukan di Jakarta pada tahun pajak 2006 memperoleh penghasilan bersih sebagai berikut: - di negara A memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp200.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%) - di negara B memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000 (tarif pajak yang berlaku 30%) - di negara C memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp400.000.000 (tarif pajak yang berlaku 40%) - di dalam negeri memperoleh laba usaha sebesar Rp100.000.000 1. menghitung total penghasilan kena pajak: penghasilan



dari



negara



A



Rp



200.000.000 penghasilan



dari



negara



B



Rp



300.000.000 penghasilan



dari



negara



C



Rp



400.000.000 penghasilan dari dalam negeri



Rp



100.000.000 25



total penghasilan kena pajak Rp1.000.000.000 a. menghitung total PPh terutang 10% x Rp50.000.000 =



Rp



5.000.000



15% x Rp50.000.000 =



Rp



7.500.000



30% x Rp900.000.000 =



Rp270.000.000



Total pajak terutang



Rp282.500.000



b. menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan dari negara A = (Rp200.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp56.500.000 dari negara B = (Rp300.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp84.750.000* dari negara C = (Rp400.000.000 : Rp1.000.000.000) x Rp282.500.000 = Rp113.000.000** c. menghitung PPh yang dibayar atau terutang di LN PPh terutang di negara A = 20% x Rp200.000.000 = Rp 40.000.000* PPh terutang di negara B = 30% x Rp300.000.000 = Rp 90.000.000 PPh terutang di negara C = 40% x Rp400.000.000 = Rp160.000.000 Dari perhitungan di atas kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah Dari negara A



Rp 40.000.000



Dari negara B



Rp 84.750.000



Dari negara C



Rp113.000.000



Total kredit pajak LN



Rp237.750.000



d. Pasal 25 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar



26



sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25 ayat 1) adalah sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan: a) PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan pasal 23 b) PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 22 c) PPh yang dibayar/terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 24, dibagi dua belas atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak Contoh penghitungan angsuran PPh Pasal 25 ayat 1 bagi Wajib Pajak orang pribadi: Pajak Penghasilan yang terutang untuk tuan Ali berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2009 sebesar Rp 50.000.000,00. Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri dalam tahun 2009 adalah sebagai berikut: 



Pemotongan PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja sebesar Rp







15.000.000,00 Pemotongan PPh Pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp 10.000.000,00







Pemotongan PPh Pasal 23 oleh penyelenggara kegiatan sebesar Rp 2.500.000,00







Pembayaran pajak di luar begeri sebesar Rp 7.500.000,00 seluruhnya dapat dikreditkan (sebagai PPh Pasal 24)



Angsuran PPh Pasal 25 ayat 1 untuk tahun 2010 adalah: PPh terutang berdasar SPT tahunan PPh tahun 2009 Rp50.000.000,00 Kredit pajak: PPh Pasal 21



Rp 15.000.000,00



PPh Pasal 22



Rp 10.000.000,00



PPh Pasal 23



Rp 2.500.000,00



PPh Pasal 24



Rp 7.500.000,00



Total kredit pajak



Rp 35.000.000,00 –



Dasar penghitungan angsuran



Rp 15.000.000,00



27



Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh Pasal 25 ayat 1) dalam tahun 2010 adalah: Rp 15.000.000,00 : 12 = Rp 1.250.000,00 7. Penghitungan PPh yang Masih Harus Dibayar (Pasal 29/28A) dan Angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan a) PPh Pasal 29 Pasal 28 ayat (1) berbunyi : Bagi WP dalam negeri dan BUT, pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa : a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha di dalam Pasal 21. b. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, sewa, hadiah, dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 23. d. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. e. Pembayaran yang dilakukan oleh WP sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 25. f. Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5).



Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun tahun pajak ternyata lebih besar dari pada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. 



PPh 29 akan dicatat pada saat pembuatan jurnal penyesuaian pada akhir periode.







PPh 29 akan dicatat sebagai utang PPh 29 sebesar kas yang masih harus dibayar atau dicatat sebagai pajak dibayar dimuka jika ada kelebihan pembayaran pajak (pph pasal 28).







Pajak dibayar dimuka yang telah dicatat ditutup direlasifikasikan ke dalam beban pajak kini. 28



Beban pajak tangguhan dihitung berdasarkan beda







temporer yang muncul Pajak terutang dalam satu tahun (dalam akuntansi disebut







beban pajak kini) dihitung dari Penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif. Pajak terutang dalam satu tahun pajak ini dikurangi







dengan



pajak



yang



telah



dibayar



dimuka



akan



menghasilkan pajak kurang bayar PPh 29. PPh 29 merupakan utang pajak penghasilan yang akan







muncul di neraca perusahaan pada akhir tahun pelaporan. Jurnal yang dibutuhkan adalah







Beban pajak (hasil perhit fiskal)



xxx



Pajak dibayar dimuka (22.23,25)



xxx



Utang pajak penghasilan (29)



xxx



Angsuran PPh pasal 25 tahun berjalan b) Pasal 28A Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah



dilakukan



pemeriksaan,



kelebihan



pembayaran



pajak



dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksisanksinya. Sesuai pasal 25 ayat (7) UU PPh, penghitungan PPh pasal 25 bagi WP baru, BUMN,BUMD, dan WP tertentu ditetapkan oleh menteri keuangan. a. Angsuran PPh pasal 25 bagi WP baru WP baru adalah WP orang pribadi atau badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Besarnya angsuran PPh pasal 25 setiap bulan untuk WP baru dihitung berdasarkan penerapan tariff umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12.



29



b. besarnya angsuran pph pasal 25 setiap bulan bagi WP bank atau sewa guna usaha dengan hak opsi adalah sebesar jumlah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi pajak penghasilan pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12. c. Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk WP BUMN,BUMD dengan nama dalam bentuk apapun adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan tariff umum atas laba-rugi fiscal menurut rencana kerja dan anggaran pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan rapat umum pemegang saham dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan pph pasal 22 dan pasal 23 serta pph pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12. d. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, adalah sebesar pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiscal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang diluar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12. e. Besarnya angsuran pajak penghasilan pasal 25 untuk WP orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruti setiap bulan dari ,asing-masing tempat usaha.



30



DAFTAR PUSTAKA Resmi, Siti. http://www.wibowopajak.com/2012/02/norma-penghitungan-neto-bagi-wajib.html (diakses pada tanggal 2 Oktober 2016) https://www.scribd.com/doc/225873801/Koreksi-Fiskal-Dan-Menyusun-LaporanKeuangan-Fiskal (diakses pada tanggal 2 Oktober 2016)



31