Pekerja Afektif [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEKERJA AFEKTIF1



Fokus dari produksi afeksi dalam praktek ketenagakerjaan dan kemasyarakatan kita sering digunakan sebagai dasar dari proyek-proyek antikapitalis, dalam konteks wacana, misalnya, diterapkan pada hasrat atau pada nilai guna. Sementara pekerja afektif adalah dirinya sendiri dan secara langsung merupakan penyusun dari komunitas dan subjektivitas kolektif.



Alur produksi sentimen emosional (afeksi) dan nilai terlihat dari berbagai sisi sebagai sirkuit otonom yang menyusun subjektivitas, sebagai alternatif dari proses valorisasi kapitalis2. Kerangka teoretis yang telah dikemukakan oleh Marx dan Freud telah menggambarkan pekerja afektif dengan mengunakan terminologi produksi hasrat, dan, lebih signifikan lagi, sejumlah penelitian yang telah dilakukan feminis untuk menganalisa potensi akan hal-hal yang telah didesain secara tradisional sebagai pekerjaan perempuan telah memasukkan pekerja afektif ke dalam sebutan seperti pekerja keluarga atau pekerja kasih-sayang. Setiap analisa ini mengungkap proses dimana praktekpraktek pekerjaan kita memproduksi subjektivitas kolektif, memproduksi 1. Michael Hardt,”Affective Labor”, Boundary 2, 26:2, Duke University Press, 1999, hlm. 89-100, terj. Fitri Bintang Timur 2. Valorisasi adalah konsep yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk menjelaskan proses produksi suatu nilai dari suatu barang. Penjerj.



1



kemampuan bermasyarakat, dan terutama memproduksi masyarakat itu sendiri.



Pertimbangan pekerja afektif sekarang ini, bagaimanapun – dan ini merupakan poin nomer satu dari esai ini – haruslah disituasikan dalam konteks perubahan peran pekerja afektif dalam ekonomi kapitalis. Dengan kata lain, meskipun pekerja afektif belum pernah berada sepenuhnya di luar ruang produksi kapitalis, proses posmodernisasi ekonomi yang telah berlangsung selama dua puluh lima tahun telah memposisikan pekerja afektif ke dalam peran yang tidak hanya secara langsung produktif dari segi kapital namun juga berada di titik paling atas dari hirarki bentuk pekerjaan. Pekerja afektif di satu sisi merupakan apa yang akan saya sebut sebagai “pekerja immaterial”, yang telah memiliki posisi dominan dibandingkan dengan bentuk pekerjaan lain dalam ekonomi kapitalis global. Mengatakan bahwa kapital telah terintegrasi dan memuja pekerja afektif dan bahwa pekerja afektif adalah salah satu dari bentuk penghasil nilai dari suatu pekerjaan melalui sudut pandang kapital tidak berarti bahwa, walaupun tak murni, ia tidak lagi digunakan dalam proyekproyek antikapitalis. Malah sebaliknya, dengan adanya peran pekerja afektif sebagai salah satu simpul terkuat dalam rantai posmodernisasi kapitalisme, potensi subversi dan konstitusi otonom menjadi lebih besar. Dalam konteks ini, kita dapat melihat ciri potensi biopolitik dari pekerja, dengan menggunakan “biopower” di sini



berarti bahwa keduanya mengadopsi dan membalikkan penggunaan terminologi Michel Foucault. Saya ingin melanjutkannya dalam isi tulisan ini, mengenai tiga langkah: pertama, mensituasikan pekerja immaterial dalam fase kontemporer posmodernisasi kapitalis; kedua, mensituasikan pekerja afektif dalam kaitannya dengan bentukbentuk lain pekerjaan immaterial; dan akhirnya, mengeksplorasi potensi dari pekerja afektif sebagai bentuk “biopower”.



Posmodernisasi Sekarang sangatlah umum untuk mengamati suksesi paradigma ekonomi di negara-negara dominan kapitalis sejak abad pertengahan di tiga waktu berbeda, dimana masing-masing didefinisikan oleh sektor yang diuntungkan dari ekonomi: paradigma pertama, saat pertanian dan ekstraksi bahan mentah mendominasi ekonomi; kedua, saat dimana industri dan manufaktur barang tahan lama menempati posisi yang diberi hak istimewa; dan paradigma terkini, dimana menyediakan jasa dan memanipulasi informasi adalah jantung dari produksi ekonomi. Posisi dominan yang ada telah melewati produksi dari yang primer ke sekunder ke tersier. Modernisasi ekonomi adalah nama dari transisi paradigma pertama ke kedua, dari dominasi pertanian ke industri. Modernisasi artinya industrialisasi. Kita dapat menamakan peralihan dari paradigma kedua ke yang ketiga, dari dominasi industri ke jasa dan



3



informasi, sebuah proses posmodernisasi ekonomi, atau lebih tepat lagi, informatisasi.



Proses dari modernisasi dan industrialisasi mengubah dan meredefinisi semua elemen di masyarakat. Ketika pertanian dimodernisasi menjadi industri, peternakan secara progresif berubah menjadi pabrik, dengan semua disiplin, teknologi, hubungan upah dan kelengkapan pabrik lainnya. Secara umum, masyarakat sendiri secara bertahap terindustrialisasi hingga pada titik mentransformasi hubungan antar manusia dan sifat dasar manusia. Masyarakat menjadi sebuah pabrik. Pada awal abad ke-20, Robert Musil menggambarkan secara indah transformasi kemanusiaan saat terjadinya perubahan dari dunia bertani ke pabrik sosial: ”Terdapat waktu dimana manusia tumbuh secara natural mengikuti kondisi yang mereka temukan telah menunggu mereka, dan cara ini dulu adalah yang paling meyakinkan untuk menjadi diri mereka sendiri. Namun belakangan, dengan pergeseran yang terjadi, ketika semua tercerabut dari tanah dimana mereka tumbuh, bahkan yang berkaitan dengan produksi jiwa, seseorang haruslah benar-benar, seperti sebelumnya, menggantikan kerajinan tradisional dengan intelektual yang sama yang datang bersama mesin dan pabrik”.3 Kemanusiaan dan jiwanya telah diproduksi dalam proses yang sama dengan produksi 3. Robert Musil, The Man without Qualities, Vol. 2, terj. Sophie Wilkins (New York: Vintage, 1996), 367.



ekonomi. Proses untuk menjadi manusia dan sifat dasar manusia itu sendiri secara fundamental berubah dalam pergeseran kualitatif modernisasi.



Pada masa kita, bagaimanapun, modernisasi telah sampai pada sebuah akhir. Dengan kata lain, produksi industri tidak lagi meluaskan dominasinya atas bentuk-bentuk ekonomi dan fenomena sosial. Sebuah simptom dari perubahan ini termanifes dalam perubahan kuantitatif dari pekerja. Sedangkan proses modernisasi yang ditandai dengan migrasi tenaga kerja dari pertanian dan pertambangan (sektor primer) ke industri (sektor sekunder), proses posmodernisasi atau informatisasi dapat dikenali melalui migrasi dari industri ke perkerjaan jasa (sektor tersier), perubahan telah terjadi pada negara-negara dominan kapitalis, dan khususnya di Amerika Serikat, paska awal 1970an.4 Terminologi jasa di sini mencakup aktivitas yang luas, mulai dari kesehatan, pendidikan dan keuangan, hingga transportasi, hiburan, dan periklanan. Pekerjaan ini, kebanyakan, memiliki mobilitas yang tinggi dan melibatkan keahlian yang fleksibel. Lebih penting lagi, mereka dikarakterisasikan secara umum dengan peran utama yang dimainkan oleh pengetahuan, informasi, komunikasi dan sentimen emosional. 4. Di sini pergeseran pekerjaan di negara-negara dominan, lihat Manuel Castells dan Yuko Aoyama, “Path toward the Informational Society: Employment Structure in G-7 Countries 1920-90”, International Labor Review 133, No. 1 (1994), 5-33.



5



Dalam hal ini, kita dapat menamakan ekonomi paskaindustial dengan sebutan ekonomi informasional.



Klaim bahwa proses modernisasi telah usai dan bahwa ekonomi global sekarang ini telah menjalani proses posmoderinisasi menuju ekonomi internasional tidak berarti bahwa produksi industrial dapat dianggap selesai atau tidak memainkan peran utama lagi, bahkan di kawasankawasan paling penting penting dunia. Seperti halnya revolusi industri mentransformasikan pertanian dan membuatnya lebih produktif, hal tersebut juga terjadi dengan revolusi informasional yang mengubah industri, mendefinisikan dan menyegarkan proses manufaktur melalui integrasi, contohnya pada jaringan informasi di dalam proses industri. Operasi manajerial baru yang harus dilakukan di sini adalah ”memperlakukan manufaktur sebagai jasa”.5 Sebagai dampaknya, karena industri telah berubah, pembagian antara manufaktur dan jasa menjadi kabur. Sama seperti melalui tahapan proses modernisasi dimana semua produksi menjadi terindustrialisasi, demikian juga saat melalui tahapan proses postmodernisasi dimana semua produksi cenderung menjadi produksi jasa, menjadi lebih terinformasionalisasi. 5. Franyois Bar, “Information Infrastructure and the Transformation of Manufacturing”, dalam The New Information Infrastructure: Strategies for U.S. Policy, ed. William Drake, (New York: Twentieth-Century Fund Press, 1995), 56.



Fakta bahwa informatisasi dan perubahan ke bidang jasa adalah yang paling terlihat di negara-negara yang didominasi kapitalis seharusnya tidak membawa kita kembali ke pemahaman situasi ekonomi politik global kontemporer pada tahap perkembangannya – seolah-olah hari ini yang dominan adalah negaranegara dengan ekonomi jasa informasi, bawahan pertama mereka adalah ekonomi industri dan mereka yang lebih tersubordinasi lagi adalah ekonomi pertanian. Bagi negara-negara yang tersubordinasi, runtuhnya modernisasi berarti, pertama-tama, industrialisasi tidak dapat dilihat sebagai kunci dari kemajuan dan kompetisi ekonomi. Beberapa kawasan yang paling tersubordinasi, seperti sub-Sahara Afrika, telah secara efektif terekslusi dari arus modal dan teknologi baru, bahkan dari ilusi strategi pembangunan, dan dengan demikian mereka menemukan diri mereka di ambang kelaparan (tapi kita harus mengakui bagaimana posmodernisasi telah mengenakan pengecualian ini dan tetap mendominasi wilayah tersebut). Persaingan untuk posisi tingkat menengah dalam hirarki global dilakukan sebagian besar dengan tidak melalui industrialisasi tetapi informatisasi produksi. Negaranegara besar dengan ekonomi yang bervariasi, seperti seperti India, Brasil, dan Rusia, dapat mendukung secara simultan semua varietas proses produktif: produksi jasa berbasis informasi, industri modern yang produksi barang, dan kerajinan tradisional, pertanian, dan produksi pertambangan. Tidak perlu ada



7



kemajuan historis teratur antara bentukbentuk ini, melainkan mereka tercampur dan hidup berdampingan, tidak perlu untuk melewati modernisasi sebelum informatisasi – produksi kerajinan tangan tradisional dapat segera terkomputerisasi; telepon selular dapat dimanfaatkan secara langsung di desa nelayan terisolasi. Semua bentuk produksi ada dalam jaringan pasar dunia dan di bawah dominasi produksi informasi jasa.



Pekerja Immaterial Peralihan menuju ekonomi informasi terutama melibatkan perubahan dalam kualitas pekerja dan sifat dasar dari proses pekerjaan. Ini adalah dampak sosiologis dan antropologis paling cepat dari peralihan paradigma ekonomi. Informasi, komunikasi, pengetahuan, dan sentimen emosional turut memainkan peran mendasar dalam proses produksi.



Aspek pertama dari transformasi ini dilihat banyak pihak terjadi dalam hal perubahan di pabrik yang menggunakan pekerja, yakni industri otomotif, sebagai titik pusat rujukan dari model Fordist ke model Toyotist.6 Perubahan struktural utama antara model ini melibatkan sistem komunikasi antara produksi dan konsumsi komoditas, yaitu arus informasi 6. Mengenai perbandingan antara model Fordist dan Toyotist, lihat Benjmin Coriat, Penser á l’envers: Travail et organisation dans l’entreprise japonaise (Paris : Christian Bourgois, 1994)



antara pabrik dan pasar. Model Fordist membangun hubungan yang relatif ”bisu” antara produksi dan konsumsi. Produksi massal komoditas standar di era Fordist bisa mengandalkan pada permintaan yang memadai sehingga memiliki sedikit kebutuhan untuk ”mendengarkan” pasar secara dekat. Rangkaian umpan balik dari konsumsi ke produksi tidak memungkinkan perubahan di pasar untuk memacu perubahan dalam produksi, tetapi komunikasi ini dibatasi (karena saluran perencanaan yang tetap dan terkotak-kotak) dan juga lambat (karena kekakuan teknologi dan prosedur produksi massal) .



Toyotism didasarkan pada inversi struktur komunikasi Fordist antara produksi dan konsumsi. Idealnya, menurut model ini, perencanaan produksi akan berkomunikasi dengan pasar secara terus-menerus dan langsung. Pabrik akan menjaga stok barang agar kosong dan komoditas akan diproduksi tepat pada waktunya, sesuai dengan permintaan terkini pasar yang ada. Sehingga model ini tidak hanya melibatkan umpan balik yang lebih cepat tetapi inversi hubungan karena, setidaknya dalam teori, keputusan produktif sebenarnya berasal setelah dan sebagai reaksi terhadap keputusan pasar. Konteks industri ini memberikan kesan pertama bahwa komunikasi dan informasi telah memainkan peran sentral baru dalam produksi. Seseorang mungkin dapat mengatakan bahwa tindakan instrumental dan tindakan



9



komunikatif telah terjalin erat dalam proses industri yang terinformationalisasi. (Akan menjadi menarik dan berguna untuk mempertimbangkan bagaimana proses-proses ini mengganggu pembagian yang dilakukan Jorgen Habermas antara tindakan instrumental dan komunikatif, seperti, dalam hal lain, ketika mereka menjalankan pembedaan Hannah Arendt antara tenaga kerja, bekerja, dan tindakan).7 Seseorang harus cepat menambahkan, bagaimanapun, ini merupakan gagasan yang miskin atas komunikasi, yang hanya sebatas transmisi data pasar.



Sektor jasa dari ekonomi menyajikan model yang lebih kaya atas komunikasi produktif. Kebanyakan jasa memang didasari atas pertukaran terus-menerus informasi dan pengetahuan. Karena produksi jasa tidak menghasilkan materi dan barang tahan lama, kita dapat mendefinisikan pekerja yang terlibat dalam produksi ini sebagai pekerja immaterial – yang mana adalah pekerja yang mengasilkan berang non material, seperti jasa, pengetahuan, atau 7. Saya berpikir terutama pada Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, terj. Thomas McCarthy (Boston: Beacon, 1984) dan Hannar Arendt, The Human Condition (Chicago: University of Chicago Press, 1958). Untuk kritik yang brilian atas pembagian Habermas antara tindakan komunikasi dan instrumental dalam konteks ekonomi posmodernisasi, lihat Christian Mazzi. Il posto dei calzini: La svolta linguistica dell’economia e I suoi effetti nella politica (Bellinzona, Swis: Casagrande, 1995), 29-34.



komunikasi.8 Salah satu wajah pekerja immaterial bisa dikenali dalam analogi fungsi dari sebuah komputer. Penggunaan komputer semakin luas sehingga semakin cenderung untuk mendefinisikan kembali praktik dan hubungan kerja (bersama dengan, tentu saja, semua praktik dan hubungan sosial). Mengenal secara akrab dan berfasilitas dengan teknologi komputer adalah kualifikasi utama yang menjadi semakin umum untuk bekerja di negara-negara kuat. Bahkan ketika kontak langsung dengan komputer tidak terlibat, manipulasi simbol dan informasi sepanjang model operasi komputer sangat tersebar luas. Salah satu aspek baru dari komputer adalah bahwa ia terusmenerus dapat memodifikasi operasi sendiri melalui penggunaannya. Bahkan bentuk yang paling dasar dari kecerdasan buatan memungkinkan komputer untuk memperluas dan menyempurnakan operasinya berdasarkan interaksi dengan pengguna dan lingkungannya. Jenis interaktivitas yang sama terusmenerus ini merupakan ciri berbagai kegiatan produktif kontemporer dari seluruh perekonomian, baik perangkat keras komputer secara langsung terlibat ataupun tidak. Dalam era sebelumnya, pekerja belajar bagaimana untuk bertindak seperti mesin baik di dalam dan di luar pabrik. Sekarang, karena pengetahuan sosial umum menjadi semakin berdaya langsung pada produksi, 8. Untuk definisi dan analis dari pekerja immaterial, lihat Maurizio Lazzarato, “Immaterial Labor”, dalam Radical Thought in Italy: A Potential Politics, ed. Paolo Virno dan Michael Hardt (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 133-47.



11



kita semakin berpikir seperti komputer, dan model interaktif teknologi komunikasi menjadi makin sentral dalam kegiatan kita bekerja.9 Mesin-mesin interaktif dan cybernetic menjadi anggota tubuh buatan baru yang terintegrasi ke dalam tubuh dan pikiran kita dan menjadi lensa yang digunakan untuk mendefinisikan kembali tubuh dan pikiran kita dengan cara mereka sendiri.10



Robert Reich menyebut jenis kerja immaterial sebagai ”jasa simbolik9. Peter Drucker memberikan pengertian peralihan menuju produksi immaterial sebagai pengerusakan keseluruhan dari kategori tradisional ekonomi politik. “Dasar sumber daya ekonomi – ‘alat-alat produksi’, menggunakan terminologi ekonom – adalah tidak lagi kapital, juga tidak sumber daya alam (‘tanah’ versi ekonom), pun juga bukan ‘pekerja’. Dasarnya adalah dan akan menjadi pengetahuan.” (Peter Drucker, PostCapitalist Society [New York: HarperBusiness, 1993], 8). Apa yang Drucker tidak mengerti adalah bahwa pengetahuan tidak begitu saja ada, namun diproduksi dan produksinya melibatkan caracara baru dari produksi dan pekerja. 10. Marx menggunakan terminologi pengetahuan umum (general intellect) untuk merujuk pada paradigma produksi aktivitas sosial: “Perkembangan kapital tetap mengindikasikan sampai pada derajat mana pengetahuan sosial telah menjadi kekuatan produksi langsung, dan oleh karena itu hingga pada derajat mana kondisi dari proses kehidupan sosial itu sendiri telah berada di bawah kontrol pengetahuan umum dan telah tertransformasi sesuai dari padanya. Hingga derajat mana kekuatan produksi sosial telah diproduksi, tidak hanya dalam bentuk pengetahuan, tapi juga sebagai organ langsung dari praktek-praktek sosial, dari proses kehidupan nyata” (Karl Marx, Grundrisse: Foundations of the Critique of Political Economy, trans. Martin Nicolaus [New York: Vintage, 1973], 706)



analitis” – tugas-tugas yang melibatkan ”pemecahan masalah, pengidentifikasian masalah, dan kegiatan percaloan strategis”.11 Jenis pekerjaan ini diklaim memiliki nilai tertinggi dan dengan demikian Reich mengidentifikasinya sebagai kunci untuk kompetisi dalam ekonomi global yang baru. Dia mengakui, bagaimanapun, bahwa pertumbuhan pekerjaan berbasis pengetahuan manipulasi simbol kreatif ini merupakan penyesuaian atas pertumbuhan nilai dan pekerjaan keterampilan rendah yang memanipulasi simbol rutin, seperti entri data dan pengolah kata. Di sini mulai muncul sebuah pemisahan mendasar tenaga kerja dalam proses-proses immaterial.



Model komputer, bagaimanapun, dapat diperhitungkan sebagai hanya satu sisi pekerja komunikasi dan immaterial yang terlibat dalam produksi jasa. Sisi lain dari tenaga kerja immaterial adalah pekerja afektif yang bekerja melalui kontak dan interaksi manusia. Ini adalah aspek tenaga kerja immaterial yang para ekonom seperti Reich bicarakan, tetapi yang saya lihat sebagai aspek yang lebih penting adalah elemen mengikatnya. Pelayanan kesehatan, misalnya, mengandalkan secara terpusat pada pekerja yang memberi perhatian dan afeksi (sentimen emosional), dan industri hiburan dan berbagai industri budaya juga berfokus 11. Robert Reich, The Work of Nations: Preparing Ourselves for 21st-Century Capitalism (New York: Knopf, 1991), 177.



13



pada penciptaan dan manipulasi afeksi. Untuk satu level atau lainnya, pekerja afektif ini memainkan peran tertentu di seluruh industri jasa, dari pelayan restoran cepat saji hingga penyedia jasa keuangan, afeksi tertanam di saatsaat interaksi dan komunikasi manusia. Pekerjaan ini immaterial, meskipun jika itu berbentuk dan berkaitan dengan sentimen emosional, dalam arti bahwa produk-produk perusahaan bisa saja tidak berwujud: perasaan kemudahan, kesejahteraan, kepuasan, kegembiraan, semangat – bahkan rasa keterhubungan atau komunitas. Kategori seperti jasa “kehadiran-seseorang” atau layanan dengan kedekatan sering digunakan untuk mengidentifikasi jenis pekerjaan ini, tetapi apa yang penting untuk itu (aspek kehadiran-seseorang), adalah penciptaan dan manipulasi afeksi. Produksi afeksi, pertukaran, dan komunikasi tersebut, umumnya dikaitkan dengan kontak manusia, dengan kehadiran sebenarnya yang lain, namun kontak tersebut dapat berupa aktual atau virtual. Dalam produksi afeksi di industri hiburan, misalnya, kontak manusia, keberadaan orang lain, adalah penting secara virtual, tetapi bukan karena itu menjadi kurang nyata.



Sisi kedua tenaga kerja immaterial, yakni wajah afektifnya, melampaui model intelektualitas dan komunikasi yang didefinisikan oleh komputer. Tenaga kerja afektif dapat lebih baik dimengerti jika dimulai dari analisis feminis tentang ”pekerjaan perempuan” yang telah



disebut sebagai ”tenaga kerja dalam modus tubuh”.12 Pekerja perawat tentu sepenuhnya tenggelam dalam ketubuhan (korporeal), yang somatik, tetapi menghasilkan afeksi yang tetaplah immaterial. Apa yang dihasilkan tenaga kerja afektif adalah jaringan sosial, bentukbentuk masyarakat, dan ”biopower”.



Di sini mungkin seseorang dapat mengenali sekali lagi bahwa tindakan instrumental dari produksi ekonomi telah bergabung dengan tindakan komunikatif hubungan manusia. Dalam kasus ini, bagaimanapun, komunikasi belum miskin tetapi produksi telah diperkaya hingga pada tingkat kompleksitas interaksi manusia. Sedangkan pada saat pertama, dalam industri komputerisasi, misalnya, seseorang bisa mengatakan bahwa tindakan komunikatif, hubungan manusia, dan budaya telah terinstrumentalisasi, menjadi nyata, dan ”terdegradasi” ke tingkat interaksi ekonomi, orang itu harus cepat menambahkan bahwa melalui proses timbal balik, dalam hal ini saat kedua, produksi telah menjadi komunikatif, afektif, de-instrumentalisasi, dan ”terangkat” ke tingkat hubungan manusia – tapi tentu saja, tingkat hubungan manusia seluruhnya didominasi oleh dan berada di dalam modal. (Di sini pembagian antara ekonomi dan budaya mulai terpecah.) Dalam produksi dan reproduksi afeksi, dalam jaringan budaya 12. Lihat Dorothy Smith, The Everyday World As Problematic: A Feminist Sociology (Boston: Northeastern University Press, 1987), 78-88.



15



dan komunikasi tersebut, subjektivitas kolektif diproduksi dan sosialitas diproduksi – bahkan jika subjektivitas dan sosialitas tersebut langsung dieksploitasi oleh modal. Di sinilah kita bisa menyadari potensi besar dalam kerja afektif.



Saya tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa kerja afektif itu sendiri adalah baru atau bahwa fakta bahwa tenaga kerja afektif menghasilkan nilai yang baru dalam arti tertentu. Analisis feminis khususnya telah lama mengakui nilai sosial kerja kasih-sayang, kerja keluarga, pengasuhan, dan aktivitas keibuan. Apa yang bisa disebut baru, di sisi lain, adalah sejauh mana pekerja immaterial afektif ini sekarang langsung menjadi produktif dari sisi kapital dan sejauh mana telah digeneralisir melalui sektor ekonomi yang luas. Yang akibatnya, sebagai komponen pekerja immaterial, tenaga kerja afektif telah mencapai posisi dominan dengan nilai tertinggi dalam ekonomi informasi kontemporer. Dimana produksi jiwa yang bersangkutan menjadi penting, seperti Musil mungkin berkata, kita seharusnya tidak lagi melihat perkembangan tanah dan bahan organik, ataupun dengan pembangunan pabrik dan mekanik, melainkan pada bentuk-bentuk ekonomi yang dominan hari ini, yaitu produksi yang ditentukan oleh kombinasi dari cybernetics dan afeksi.



Tenaga kerja immaterial ini tidak terbatas untuk populasi pekerja tertentu, misalnya programmer komputer dan perawat, yang potensial untuk membentuk aristokrasi buruh baru. Sebaliknya, tenaga kerja immaterial ada dalam berbagai bentuk (pekerja informasi, afektif, komunikatif, dan budaya) cenderung tersebar di seluruh jenis lapangan kerja dan di sepanjang semua pekerjaan bertindak sebagai komponen, baik lebih besar atau lebih kecil, dari semua proses kerja yang berjalan. Hal ini menggambarkan, bagaimanapun, ada banyak divisi dalam komponen kerja immaterial pada pembagian kerja immaterial internasional, seperti pembagian berbasis gender, pembagian berbasis ras, dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan Reich, pemerintah AS akan berusaha sebisa mungkin untuk menjaga nilai tertinggi pekerja immaterial di Amerika Serikat dan mengekspor tugas bernilai rendah ke daerah lain. Adalah tugas yang sangat penting untuk memperjelas kerja divisi immaterial ini, yang, saya harus tunjukkan, bukanlah pembagian kerja yang biasa kita temukan, terutama berkaitan dengan tenaga kerja afektif.



Singkatnya, kita dapat membedakan tiga jenis pekerja material yang mendorong sektor jasa di puncak ekonomi informasi. Yang pertama adalah pekerja yang terlibat dalam produksi industri yang telah terinformasionalisasi dan telah memasukkan teknologi komunikasi dengan cara yang mengubah proses



17



produksi industri itu sendiri. Manufaktur dianggap sebagai sebuah jasa, dan pekerja material dari produksi barang tahan lama bercampur dengan pekerja immaterial. Pencampuran ini menyebabkan pekerja material cenderung bertransformasi ke arah immaterial. Yang kedua adalah pekerja immaterial dari kerja-kerja analisis dan simbolik, yang dengan sendirinya terurai menjadi manipulasi kreatif dan intelektual di satu sisi, dan tugas-tugas rutin simbolik, di sisi lain. Akhirnya, jenis ketiga pekerja immaterial melibatkan produksi dan manipulasi afeksi dan membutuhkan (baik secara virtual maupun aktual) kontak antar manusia dan kedekatan. Ini adalah tiga jenis pekerja yang mendorong posmodernisasi atau informasionalisasi dari ekonomi global.



“Biopower” Dengan “biopower”, saya memahami potensi tenaga kerja afektif. Biopower adalah kekuatan penciptaan kehidupan; adalah produksi subjektivitas kolektif, sosialitas (kemasyarakatan), dan masyarakat itu sendiri. Fokus pada sentimen emosional (afeksi) dan jaringan produksi afeksi yang mengungkapkan proses konstitusi masyarakat. Apa yang dibuat dalam jaringan kerja afektif adalah bentuk dari kehidupan.



Ketika Foucault membahas biopower, ia hanya melihat dari atas. Ini adalah



patria potestas, hak ayah atas hidup dan mati anak-anak dan pelayannya. Yang lebih penting lagi, biopower adalah munculnya kekuatan pengatur (emerging forces of governmentality) untuk membuat, mengelola, dan mengendalikan populasi – kekuatan untuk mengelola kehidupan.13 Kajian lain yang lebih baru telah meluaskan gagasan Foucault, yakni membuat biopower sebagai aturan yang berdaulat atas kehidupan “hidup telanjang” (naked life) membedakanya dari berbagai bentuk kehidupan sosial.14 Dalam setiap kasus, apa yang dipertaruhkan kekuasaan adalah kehidupan itu sendiri. Transisi politik menuju fase kontemporer biopower ini sesuai dengan transisi ekonomi dari posmodernisasi kapitalis, dimana tenaga kerja immaterial telah ditempatkan dalam posisi dominan. Di sini, juga, dalam penciptaan nilai dan produksi modal, apa yang sentral adalah produksi kehidupan, yaitu penciptaan, manajemen, dan pengendalian populasi. Pandangan Foucauldian dari biopower ini, bagaimanapun, hanya melihat situasi dari atas saja, sebagai hak prerogatif kekuatan berdaulat. Di sisi lain, ketika kita melihat situasi dari perspektif tenaga kerja yang terlibat dalam produksi biopolitik, kita dapat mulai mengenali biopower dari bawah. 13. Lihat Michael Foucault, The History of Sexuality, Vol. 1, terj. Robert Hurley (New York: Vintage, 1978), 135-45. 14. Lihat Giorgio Agamben, Homo Sacer (Turin, Itali: Einaudi, 1995); dan “Form-of-Life”, terj. Cesare Casarino, dalam Virno dan Hardt, eds., Radical Thought in Italy, 151-56.



19



Fakta pertama yang kita lihat sewaktu mengadopsi perspektif ini adalah bahwa pekerja dari produksi biopolitik sangat dibentuk sebagai tenaga kerja berbasis gender. Memang, berbagai aliran teori feminis sudah memberikan analisis yang luas atas produksi biopower dari bawah. Kajian feminis lingkungan (ecofeminism), misalnya, menggunakan istilah biopolitik (dalam cara yang awalnya mungkin tampak sangat berbeda dengan Foucault) untuk merujuk pada politik berbagai bentuk bioteknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan transnasional terhadap populasi dan lingkungan, terutama di wilayah dunia yang tersubordinasi.15 Revolusi Hijau dan program teknologi lainnya yang telah berperan sebagai sarana pembangunan ekonomi kapitalis sebenarnya telah membawa kehancuran bagi lingkungan dan merupakan mekanisme baru untuk mengsubordinasi perempuan. Kedua efek tersebut, bagaimanapun, adalah sebuah kesatuan. Terutama peran tradisional perempuan, yang ditunjukkan oleh para penulis ini, untuk memenuhi tugas reproduksi yang terpengaruh paling parah oleh intervensi ekologis dan biologis. Dari perspektif ini, maka, perempuan dan alam didominasi secara bersama-sama, tetapi mereka juga bekerja sama dalam hubungan kerjasama terhadap serangan teknologi biopolitik, untuk memproduksi dan mereproduksi kehidupan. Bertahan hidup: Politik telah menjadi persoalan 15. Lihat Vandana Shiva dan Ingunn Moser, eds., Biopolitics: A Feminist and Ecological Reader (London: Zed, 1995); dan Vandana Shiva, Staying Alive: Women, Ecology, and Survival in India (London: Zed, 1988).



hidup sendiri, dan perjuangan telah mengambil bentuk biopower yang dihasilkan dari atas melawan biopower dari bawah. Dalam konteks yang sangat berbeda, banyak penulis feminis di Amerika Serikat telah menganalisis peran utama pekerja perempuan dalam produksi dan reproduksi kehidupan. Secara khusus, tenaga kerja yang bersifat kepedulian (caring labor) yang terlibat dalam pekerjaan keibuan (bedakan pekerjaan keibuan dengan aspek biologis spesifik ‘pekerjaan’ melahirkan) telah terbukti menjadi wilayah sangat kaya untuk dianalisis secara produksi biopolitik.16 Produksi biopolitik di sini terdiri utamanya dari tenaga kerja yang terlibat dalam penciptaan kehidupan – bukan pada kegiatan prokreasi tetapi pada penciptaan kehidupan, tepatnya pada produksi dan reproduksi afeksi. Disini kita dapat mengenali secara jelas bagaimana perbedaan antara produksi dan reproduksi dijabarkan, seperti halnya antara ekonomi dan budaya. Pekerja bekerja secara langsung pada afeksi, ini menghasilkan subjektivitas, menghasilkan masyarakat, menghasilkan kehidupan. Tenaga kerja afektif, dalam hal ini, adalah ontologis – mereka menunjukkan pekerja yang hidup menyusun suatu bentuk kehidupan dan dengan demikian menunjukkan, sekali lagi, potensi produksi biopolitik.17 16. Lihat Sara Ruddick, Maternal Thinking: Toward a Politics of Peace (New York: Ballantine, 1989). 17. Tentang kapasitas yang membangun pekerja secara ontologis, khususnya dalam konteks teori feminis, lihat Kathi Weeks, Constituting Feminist Subjects (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1998), 120-51



21



Kita harus segera menambahkan, bagaimanapun, bahwa kita tidak bisa hanya menegaskan salah satu dari perspektif ini dengan cara yang wajar tanpa menyadari bahaya besar yang dapat mereka hasilkan. Pada kasus pertama, identifikasi perempuan dan alam berisiko untuk menaturalisasi dan mengabsolutiskan perbedaan seksual, selain juga memberikan definisi spontan dari alam itu sendiri. Pada kasus kedua, perayaan pekerjaan keibuan dapat dengan mudah berfungsi untuk memperkuat baik pembagian kerja berdasarkan gender, maupun struktur keluarga dari penundukan (subjekasi) dan subjektifikasi oedipal. Bahkan dalam analisis feminis pekerjaan keibuan ini, tergambar jelas betapa sulitnya untuk dapat mengeluarkan potensi pekerjaan afektif dari konstruksi patriarkal atas reproduksi, dan dari lubang hitam subjektif keluarga. Walau demikian bahaya ini –sebesar apapun– tidak menegasikan pentingnya mengenali potensi pekerja sebagai biopower, sebuah biopower yang berasal dari bawah.



Konteks biopolitik ini justru merupakan pijakan tepat untuk penyelidikan atas hubungan produktif antara afeksi dan nilai. Apa yang kita temukan di sini tidaklah banyak perlawanan dari apa yang bisa disebut sebagai “pekerja yang perlu memiliki afeksi”18 melainkan potensi 18. Lihat Gayatri Chakravotry Spivak, “Scattered Speculations on the Question of Value”, dalam In Other Worlds: Essays in Cultural Politics (New York: Routledge, 1988) 154-175.



dari pekerja afektif yang diperlukan. Di satu sisi, pekerja afektif, produksi dan reproduksi kehidupan telah kuat tertanam sebagai landasan yang diperlukan untuk akumulasi kapitalis dan ketertiban patriarki. Di sisi lain, bagaimana pun, produksi afeksi, subjektivitas, dan bentukbentuk kehidupan merepresentasikan potensi yang sangat besar untuk valorisasi sirkuit otonomi, dan mungkin saja untuk pembebasan.[]



23



Terbitan Anjing Galak lainnya: Merebut Kembali Yang Commons -Naomi Klein .



Perjoeangan Kita -Soetan Sjahrir



Nasionalisme Indonesia Kini dan di Masa Depan -Benedict Anderson



Dapat diunduh di www.anjinggalak.tk dan dapat diperbanyak sendiri.



25