Referat: Atrium Fibrilasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT



ATRIUM FIBRILASI



Oleh : FETRIZA HELFIA SARI DANI MAULANA JUNIA DODO ISLAMUDIN K.R. MHD.YUDHA BAHARSYAH M



1840312774 1940312008 1940312058 1940312059



Preseptor : dr. Muhammad Syukri, Sp.JP(K)



BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2019



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Fibrilasi Atrium (FA) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang



melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium.1 Pengertian kata FA berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan untuk indikator untuk menentukan ada tidaknya FA adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat kontraksi atrium yang terkoordinasi.2 Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam praktek klinis.3 Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit untuk gangguan irama jantung.4 Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa tingkat penerimaan untuk FA telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.5 Sedangkan untuk presentase stroke yang berasal dari FA berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural terdiagnosis FA, memiliki jantung yang normal.6 Diperkirakan terdapat 2,2-5 juta orang Amerika dan 4,5 juta orang Eropa menderita AF. Insidensi dan prevalensi AF meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penelitian di Skotlandia menemukan insiden AF adalah 0,5 untuk usia 45-54 tahun, 1,1 untuk 55-64 tahun, 3,2 untuk 65-74 tahun, 6,2 untuk 75-84 tahun dan 7,7 untuk usia > 85 tahun.7 Penelitian lain mendapatkan pada pasien AF, 1% dintaranya berumur 80 tahun. Prevalensi AF lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan lebih banyak ditemukan pada ras kulit putih dibandingkan kulit hitam.8 Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya sistem konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada FA, nodus SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal tersebut, detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut



jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan berlangsung dari menit ke minggu atau dapat terjadi sepanjang waktu selama bertahun-tahun. Kecenderungan alami dari FA sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kondisi kronis dan menyebabkan adanya komplikasi lain.9 FA seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang FA dapat menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan FA biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum). Pada FA, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung.10 Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan FA memang memiliki faktor risiko tambahan dan FA juga merupakan penyebab utama dari stroke.11 FA dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat denyut jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik kardioversi juga dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung FA kembali ke irama jantung yang normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis kateter juga dapat digunakan untuk mencegah terulangnya FA dalam individuindividu tertentu. Pengetahuan dan keterampilan dokter umum dalam mendiagnosa dan menatalaksana pasien dengan FA sangat dibutuhkan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Oleh karna itu, penulis tertarik untuk membahas mengenai FA.



1.2



Tujuan Untuk mengetahui definisi, tanda serta gejala, patofisiologi dan tata



laksana Fibrilasi Atrium. 1.3



Manfaat Referat ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan



khususnya tentang penyakit jantung Fibrilasi Atrium.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Atrial Fibrilasi Atrial fibrilasi (AF) adalah salah satu jenis atrial takiaritmia yang ditandai



dengan dominasi aktivitas atrium yang tidak terkoordinasi dan tidak terkontrol yang diakibatkan gangguan aliran listrik jantung sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium.8 Gambaran EKG AF ditandai dengan gelombang fibrilasi atrium yang cepat, dimana tidak terdapatnya gelombang P yang konsisten, tapi ditemukan gelombang fibrilasi dengan berbagai ukuran, bentuk, dan durasi yang irregular (irregularly irregular).8,12



Gambar 2.1. Atrial Fibrilasi 2.2



Klasifikasi AF diklasifikasikan menjadi empat kategori yaitu paroksismal, persisten,



long standing persisten, dan permanent. AF parkosismal adalah episode AF yang berlangsung 85 tahun.(3) Penelitian lain mendapatkan pada pasien AF, 1% dintaranya berumur 80 tahun. Prevalensi AF lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan lebih banyak ditemukan pada ras kulit putih dibandingkan kulit hitam.8



2.4



Etiologi AF dikaitkan dengan berbagai predisposisi, baik dari penyakit yang



mendasarinya, seperti adanya penyakit yang mengawali, perubahan bentuk anatomis dan seluler atau gangguan elektrofisiologis. AF dapat terjadi pada pasien sinus rhythm atau pada pasien yang takikardi. Penyebab AF yang bersifat reversible harus ditangani untuk mengembalikan irama jantung. Beberapa penyakit jantung lain seperti hipertensi, gangguan fungsi katup, kelainan jantung kongenital berhubungan dengan AF. Berikut tabel yang dapat mengawali atau mempertahankan teradinya AF.8 Tabel 2.1 Etiologi AF Gangguan Penyakit Anatomi Hipertensi Gagal jantung Penyakit Koroner Gangguan Katup Fokal AF



Gangguan Seluler



SINUS → AF Dilatasi Atrium Miolisis Dilatasi Katup Apoptosis, nekrosis Pulmonal Perubahan channel Fibrosis selular TAKIKARDI → AF Dilatasi Atrium Miolisis



Gangguan Elektrofisiologis Gangguan konduksi Dispersi ERP Aktivitas listrik ektopik



Aktivitas ektopik



Dilatasi katup pulmonal



Atrial Flutter



Fibrosis



2.5



Apoptosis, nekrois Perubahan channel seluler Supersensitivitas adregenik



Dispersi ERP Kondusi yang lambat



Faktor Risiko Faktor risiko AF adalah faktor-faktor yang pada umumya berhubungan



dengan pola hidup, seperti kebiasaan merokok, dan pola makan yang tidak sehat dan berujung ke obesitas. Penyakit degeneratif seperti diabetes dan hipertensi juga menjadi faktor risiko AF. Penelitian di Rotterdam menunjukkan bahwa perokok beresiko dua kali lipat untuk terkena AF daripada bukan perokok. Merokok dapat meningkatkan iskemik miokardium melalui peningkatan sistemik ketokolamin dan meningkatkan kerja jantung, menurunkan kapasitas penghantaran oksigen, dan menyebabkan vasokontriksi. Rokok juga dapat memepercepat atherosclerosis melalui efek stress oksidatif, inflamasi dan thrombosis.7 Intoleransi glukosa dan resistensi insulin juga memediasi perkembangan AF. Mekanisme molekuler akibat resistensi insulin mengakibatkan perubahan struktur jantung menjadi lebih kompleks sehingga memperpanjang konduksi intra atrial



dan



memicu



gangguan



irama



jantung.



Hipertensi



kronis



dapat



mengakibatkan remodeling atrium dan gangguan fungsi diastolic. Remodelling atrium dapat mengakibatkan perlambatan konduksi listrik dan peningkatan sirkuit re-entry yang menjadi salah satu patofisiologi terjadinya aritmia, salah satunya AF.7



2.6



Patogenesis Mekanisme



AF



dapat



bersifat



multifaktorial,



termasuk



kelainan



elektrofisiologis dan kelainan struktural dan bahkan faktor ekstrinsik seperti itu sebagai gangguan otonom. Mekanisme yang berbeda dapat memicu dan memperpanjang AF pada seorang individu.7 1. Ectopic Firing Salah satu hipotesis terjadinya AF adalah adanya listrik pemicu ektopik yang cepat yang mengawali gelombang re-entry pada bagian atrium. Haïssaguerre et al



pertama kali mengidentifikasi fokal ektopik yang mengeluarkan gelombang listrik pada sel miosit di vena pulmonal pada pasien AF paroksismal. Vena pulmonal diketahui memiliki komposisi pembentuk listrik dan struktur jaringan yang komplek yang dapat mengawali re-entry dan aktivitas ektopik sehingga mengawali AF. Basis molekuler untuk memicu vena pulmonal dikaitkan dengan channel Ca2 + yang abnormal. Kebocoran pengisian Ca2 + dari retikulum sarkoplasma mengaktifkan arus Na+ ke dalam sel melalui Na+ Ca2+ exchanger yang mengakibatkan depolarisasi miosit spontan (awal atau lambat setelah depolarisasi). 2. Re-entry Perpetuation Adanya bagian atrium yang lebih rentan dapat menjadi pemicu terjadinya AF. Terdapat dua mekanisme re-entry yaitu adanya focal re-entrant rotor dan multiple independent wavelets. Adanya re-entry disebabkan oleh kelainan kardiomyosit atrium dan perubahan fibrotik yang mengakibatkan aliran listrik menjadi berputar dan menggangu aliran listrik yang ada.



Gambar 2.2. Patofisiologi AF 2.7



Diagnosis



Anamnesis Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%



episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation).13 Beberapa gejala ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain: 



Palpitasi Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai : pukulan genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.14







Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik







Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik







Presinkop atau sinkope







Kelemahan umum, pusing Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,



kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik. Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.15 Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaan pertanyaan yang relevan.



Gambar 2.3. Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan pada pasien yang dicurigai atau diketahui FA Pemeriksaan fisis Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital, untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.16



Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami bradikadia.16 Pada Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum atau adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal. Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.16 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/penyakit yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna untuk stratifikasi risiko.17 Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:16 



Darah lengkap (anemia, infeksi)







Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)







Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai pencetus FA)







Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.18







D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)







Fungsi tiroid (tirotoksikosis)







Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)







Uji toksikologi atau level etanol



Elektrokardiogram (EKG) Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks QRS yang ireguler pula.16 Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain: 



Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit.







Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)







Preeksitasi







Hipertrofi ventrikel kiri







Blok berkas cabang







Tanda infark akut/lama Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS



dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA. Foto toraks Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadang kadang dapat ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular paru (misalnya emboli paru, pneumonia). Ekokardiografi Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografitransesofageal adalah modalitas terpilih untuk tujuan ini. Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk : 



Evaluasi penyakit jantung katup







Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding







Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel







Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)







Evaluasi penyakit perikardial



Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk : 



Trombus atrium kiri (terutama di AAK)







2.8



Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus ditunda)



Tatalaksana Fibrilasi Atrium Tujuan



yang



ingin



dicapai



dalam



penatalaksanaan



AF



adalah



mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Pengembalian ke irama sinus pada AF akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah komplikasi tromboemboli, mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium.19 AF dapat mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.19



Gambar 2.4. Manajemen Atrial Fibrilasi Stratifikasi risiko stroke dan perdarahan Risiko stroke pada fibrilasi atrium adalah 15% per tahun pada usia 50-59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada kelompok usia 80-89 tahun. Pasien fibrilasi atrium juga memiliki insiden stroke dan emboli sistemik berkisar 5%.19 Paduan stratifikasi risiko stroke pada pasien fibrilasi atrium lebih inklusif terhadap berbagai faktor risiko stroke. Skor CHA2 DS2 –VASc mencakup seluruh fakto risiko yang muncul pada praktik klinis. CHA2 DS2 –VASc, yaitu Congestive heart



failure, Hypertension, Age ≥75 years (skor 2), Diabetes mellitus, Stroke history (skor 2), peripheral Vascular disease, Age between 65 to 74 years, Sex Category (female). Riwayat gagal jantung bukan merupakan faktor risiko stroke, tetapi yang dimaksud dengan huruf “C” pada skor CHA2 DS2 VASc adalah adanya disfungsi ventrikel kiri sedang hingga berat (Left Ventricular Ejection Fraction/LVEF ≤ 40%) atau pasien gagal jantung baru yang memerlukan rawat inap tanpa memandang nilai fraksi ejeksi. Hipertiroid juga bukan merupakan faktor risiko independen stroke pada analisis multivariat. Jenis kelamin perempuan meningkatkan risiko stroke secara independen, tetapi perempuan yang berusia kurang dari 65 tahun tidak meningkatkan faktor terjadinya stroke.20



Gambar 2.5. CHA2 DS2 VASc Selain mempertimbangkan risiko terjadinya stroke, klinisi juga perlu mempertimbangkan



risiko



perdarahan



pasien



fibrilasi



atrium



dengan



menggunakan skor HAS-BLED yang merupakan, Hypertension, Abnormal renal or liver function, history of Stroke, history of Bleeding, Labile INR value, Elderly, dan antithrombotic Drugs and alcohol. Stratifikasi risiko perdarahan harus dilakukan pada pasien dengan fibrilasi atrium, jika skor HAS-BLED >3 maka



perlu mendapat perhatian khusus. Skor ini digunakan untuk mengoreksi faktor risiko seperti hipertensi dan penggunaan obat-obat NSAIDs.21



Gambar 2.6. Diagram pemilihan terapi anti koagulan Pilihan obat anti-trombotik yang dapat digunakan adalah warfarin dengan target INR 2,0-3,0, dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban. Pasien yang mendapat warfarin harus memeriksakan INR setiap minggu pada awal pengobatan dan disarankan memeriksa INR setiap bulan jika target INR telah tercapai dan stabil. Dabigatran, rivaroxaban, atau apixaban dapat diberikan apabila target INR tidak tercapai dengan warfarin, namun sebelumnya diperlukan pemeriksaan fungsi ginjal dan berkala. Dabigatran dan rivaroxaban tidak direkomendasikan pada pasien fibrilasi atrium dengan penyerta gagal ginjal kronis tahap akhir atau dalam terapi dialisis karena belum ada penelitiannya; warfarin merupakan anti-trombotik pilihan utama untuk pasien kelompok tersebut. Dabigatran dan rivaroxaban dapat diberikan pada penderita gagal ginjal kronis, namun dengan dosis dimodifikasi.21 Jika akan mengubah dari AVK (antagonis vitamin K) seperti warfarin ke AKB (antikoagulan baru) seperti dabigatran, rivaroxaban, apixaban, maka harus dicapai nilai INR≤2 terlebih dahulu. Sebaliknya, jika akan mengganti dari AKB ke AVK, maka AVK harus dimulai secara tumpang tindih dengan AKB dalam periode tergantung jenis AKB dan fungsi ginjal. AKB dihentikan jika INR >2. Misalnya, jika memakai dabigatran dibutuhkan tumpang tindih AVK 2-3 hari karena awitan kerja AVK membutuhkan beberapa hari untuk mencapai efek



terapi. Penaksiran fungsi ginjal (memakai creatinin clearance) wajib dilakukan pada pemberian AKB karena seluruh obat tersebut sedikit banyak diekskresi melalui ginjal. Pada pasien dengan nilai awal klirens kreatinin normal (≥80 mL/min) atau gangguan ginjal ringan (klirens kreatinin 50–79 mL/min) dilakukan pemeriksaan klirens kreatinin 1 kali per tahun, sedangkan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang (klirens kreatinin 30- 49 mL/ min) dianjurkan pemeriksaan klirens kreatinin 2-3 kali per tahun.22 Pengendalian Laju Jantung Pengendalian laju jantung menggunakan obat golongan beta bloker atau penghambat kanal kalsium golongan non-dihydropyridine direkomendasikan untuk pasien fibrilasi atrium jenis paroksismal, persisten, ataupun permanen. Beta bloker atau penghambat kanal kalsium dapat diberikan secara intravenapada keadaan akut tanpa disertai pre-eksitasi. Kendali laju dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal (skor EHRA 1). Kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih simptomatik (skor EHRA ≥2) meskipun telah dilakukan kendali laju optimal. Kendali laju sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kendali laju longgar dan kendali laju ketat. Pada permulaan kendali laju longgar dapat dipilih dengan target laju jantung < 80 kali per menit saat istirahat. Penyekat beta direkomendasikan fibrilasi atrium dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau pasien dengan riwayat infark miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat ditambahkan digoksin untuk kendali laju. Fibrilasi atrium dengan respons irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan atropin masih simptomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.22,23 Pengendalian Irama Jantung Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi gejala. Pengendalian irama jantung dipilih pada pasien yang masih bergejala meskipun pengendalian laju jantung telah optimal. Pengubahan irama fibrilasi atrium ke irama sinus (kardioversi) menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadi fibrilasi atrium. Kardioversi farmakologis kurang efektif pada penderita fibrilasi atrium persisten. Terapi pengembalian irama ke sinus



mempunyai



kelebihan



mengurangi



risiko



tromboemboli,



memperbaiki



hemodinamik, serta mencegah remodelling atrium yang dapat meningkatkan ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati atrium.22 Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat fibrilasi atrium untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau fibrilasi atrium sekunder akibat kelainan yang telah dikoreksi (iskemia, hipertiroid). Kondisi klinis yang dapat mempengaruhi tingginya rekurensi antara lain ukuran atrium kiri >50 mm, durasi >6 bulan, gagal jantung dengan NYHA>II, gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri (ejection fraction (EF) < 48 jam dan memiliki risiko tinggi stroke, heparin intravena, atau LMWH (low molecular weight heparin) dapat direkomendasikan segera diberikan sebelum atau sesaat setelah dilakukan kardioversi, diikuti dengan pemberian antikoagulan oral sesuai dengan skor CHA2 DS2 -VASc. Untuk pasien fibrilasi atrium dengan durasi >48 jam atau durasi aktual tak diketahui, dan belum mendapatkan terapi antikoagulan selama 3 minggu perlu dipertimbangkan echocardiography transesophageal sebelum kardioversi untuk memastikan tidak ada trombus di atrium kiri.24



Gambar 2.6. Kardioversi



Terapi fase akut Pasien dengan fibrilasi atrium sering kali mengalami gangguan hemodinamik akibat respon dari irama ventrikel yang terlalu cepat. Pasien dengan hemodinamik tidak stabil harus dilakukan kardioversi segera. Sedangkan pasien dengan gangguan hemodinamik dengan simptom masih ada walaupun telah diberikan kardioversi laju optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis obat antiaritmia intravena atau kardioversi elektris. Ketika pemberian obat tersebut pasien perlu dimonitor, untuk mencegah terjadinya obat tersebut menjadi proaritmia.25



Gambar 2.7. Terapi intravena untuk fase akut 2.9



Prognosis Fibrilasi atrium sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung karena



kedua penyakit tersebut memiliki patofisiologi dan faktor risiko yang mirip. Gagal jantung stabil dapat memburuk menjadi tidak stabil dengan munculnya FA baru atau peningkatan laju ventrikel FA, sehingga Prognosis pasien FA dengan gagal jantung lebih buruk dibandingkan dengan tanpa gagal jantung.26 Selain itu pasien FA dengan penyakit jantung katup dan diabetes melitus juga mempunyai prognosis yang buruk.27



BAB III KESIMPULAN



1.



Fibrilasi atrium merupakan suatu aritmia jantung yang melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium. Fibrilasi atrium dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari jenis kelamin, usia, maupun penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, gagal jantung,penyakit jantung koroner, hipertiroid, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantungbawaan.



2.



Pasien fibrilasi atrium dapat mengalami gejala bervariasi, mulai dari yang dapat dirasakan seperti palpitasi, rasa tidak nyaman pada dada, dispnea, kelemahan, atau pusing, hingga gejala yang tidak dirasakan (silent atrial fibrillation). Pada umumnya pasien dapat mendeskripskan gejala yang dirasakan.



3.



Pemeriksaan EKG dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis fibrilasi atrium. Didapatkan laju ireguler, gelombang P tidak jelas, kompleks QRS ireguler. Penting sekali mengetahui interval QRS untuk menentukan tatalaksana yang tepat.



4.



Tatalaksana fibrilasi atrium yang dapat dilakukan antara lain: (1) Stratifikasi risiko stroke dan perdarahan; (2) Pengendalian laju jantung; (3)Pengendalian irama jantung; (4)Terapi fase akut. Penting sekali memahami setiap tahap tatalaksana fibrilasi atrium dan terapi yang diberikan agar tercapai tujuan tatalaksana, yaitu mengembalikan irama dan laju jantung menjadi normal.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia". Texas Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.



2.



"Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-04. Archived from the original on 2009-03-28.



3.



Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration with the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society". Circulation 114 (7): 257–354.



4.



Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1): 68–72.



5.



Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.



6.



Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792– 7.



7.



National Clinical Guideline Centre. Atrial Fibrillation: Management of Atrial Fibrillation. National Institute for Health and Care Excellence. 2008.



8.



Fuster V, Harrington RA, Narula J, Eapen ZJ. Hurst the Heart. 14th Edition. New York: Mc Graw Hill Education. 2017.



9.



Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.



10.



Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61 (2): 755–9.



11.



Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham



study". Neurology 28 (10): 973–7. 12.



Staerk L, Sherer JA, Ko D, Benjamin EJ, Helm RH. Atrial Fibrillation: Epidemiology, Patophysiology, and Clinical Outcome. Circulation Research. 2017;120: 1501-17.



13.



Defaye P, Dournaux F, Mouton E. Prevalence of supraventricular arrhythmias from the automated analysis of data stored in the DDD pacemakers of 617 patients: the AIDA study. The AIDA Multicenter Study Group. Automatic Interpretation for Diagnosis Assistance. Pacing and clinical electrophysiology : PACE 1998;21:250-5.



14.



Atrial



Fibrillation



(A



Fib)



Awareness.



2013.



Diakses



di



https://www.hrsonline.org/atrial-fibrillation-afib-awareness#axzz2gHliCTk0.



15.



Page RL, Wilkinson WE, Clair WK, McCarthy EA, Pritchett EL. Asymptomatic arrhythmias in patients with symptomatic paroxysmal atrial fibrillation and paroxysmal supraventricular tachycardia. Circulation 1994;89:224-7.



16.



Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at http://emedicine.medscape.com/article/151066-clinical.)



17.



van den Bos EJ, Constantinescu AA, van Domburg RT, Akin S, Jordaens LJ, Kofflard MJ. Minor elevations in troponin I are associated with mortality and adverse cardiac events in patients with atrial fibrillation. European heart journal 2011;32:611-7.



18.



Wozakowska-Kaplon B. Effect of sinus rhythm restoration on plasma brain natriuretic peptide in patients with atrial fibrillation. The American journal of cardiology 2004;93:1555-8.



19.



Kirchhof P, et al. (2016). 2016 ESC guidelines for the management of atrial fibrillation developed in collaboration with EACTS. European Heart Journal: 1-90.



20.



January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Cleveland JC, et al. AHA/ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial fibrilation. Circulation2014;129:1-124.



21.



Yuniadi Y (2015). Waspada fibrilasi atrium. Dalam: Rilantono LI. Penyakit kardiovaskular (pKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, pp390-408.



22.



Yuniadi Y, Tondas AE, Hanafy DA, Hermanto DY, Maharani E, Munawar M, et al. Pedoman tatalaksana fibrilasi atrium. 1st ed. Centra Communications: PERKI; 2014 .p.1-82.



23.



Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwald’s heart disease. 2nd ed: Saunders;2012.



24.



Lip GYH, Tse HF, Lane DA. Atrial fibrillation. Lancet 2012;379:648–61.



25.



Yuniadi Y (2015). Waspada fibrilasi atrium. Dalam: Rilantono LI. Penyakit kardiovaskular (pKV) 5 Rahasia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, pp390-408.



26.



Guha K, McDonagh T. Heart Failure Epidemiology: European Perspective. Curr Cardiol Rev, 2013;9(2):123–27.



27.



European Heart Rhythm Association, European Association for CardioThoracic Surgery, Camm AJ, Kirchhoff P, Lip GY, Schotten U, dkk. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2010;31(19):2369-429.