Referat Otopsi Virtual [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh jenazah secara menyeluruh, meliputi pemeriksaan terhadap tubuh bagian luar maupun bagian dalam serta pemeriksaan tambahan lainnya. Otopsi bertujuan untuk menemukan adanya cedera atau proses penyakit yang menjadi sebab kematian. 1, 2 Seluruh pemeriksaan dan interpretasi dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah oleh ahli yang berkompeten.2 Sejak pertama kali dilakukan pada tahun 1302 di Bologna, otopsi terus mengalami perkembangan. Awalnya, otopsi hanya dilakukan untuk membantu memecahkan masalah-masalah hukum. Saat ini, otopsi juga digunakan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, serta pendidikan calon dokter dan tenaga kesehatan lainnya.1, 2 Pelaksanaan otopsi di Indonesia pada kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Agama tertentu meyakini bahwa tubuh seorang jenazah harus dihormati dan diperlakukan seperti seseorang yang masih hidup. 3,



4



Pandangan



agama dan kepercayaan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat untuk menolak dilakukannya suatu otopsi. Penolakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini juga terjadi di beberapa negara maju yang memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda. Terjadi penurunan angka yang signifikan terhadap jumlah jenazah yang diotopsi secara konvensional di seluruh dunia selama lebih dari 50 tahun. 5 National Center for Health Statistics (NCHS) menyebutkan bahwa angka



pelaksanaan otopsi di Amerika menurun dari 19,1% pada tahun 1972 menjadi 8,5% pada tahun 2007.6 Sedangkan di Indonesia, terjadi penurunan dari 44,6% pada tahun 2000 menjadi 36% pada tahun 2010 di RSCM Jakarta. 7 Di Australia, angka pelaksanaannya menurun sekitar 50% selama 1992-2003.8 Alasan penolakan yang dikemukakan dari pihak keluarga tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Di sisi lain, dokter yang melakukan otopsi juga mempunyai alasan tersendiri untuk menghindari otopsi. Dokter merasa tidak nyaman saat meminta persetujuan kepada keluarga, malas mengikuti proses kepolisian, jenazah tidak dapat segera diserahkan kepada pihak keluarga, risiko penularan kuman patogen dan ketakutan akan tuntutan malpraktik juga menjadi bahan pertimbangan dokter dalam melakukan otopsi.7, 9 Perkembangan teknologi yang semakin pesat terutama di negara-negara maju menghadirkan suatu solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah otopsi virtual. Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada



otopsi virtual tidak memerlukan diseksi



(pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ- organ dalam. Dengan menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara komplit keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini menjadi



solusi



konvensional.10



untuk



menghindari



alasan-alasan



penolakan



otopsi



Penggunaan otopsi virtual di Indonesia masih sangat terbatas. Pembahasan mengenai topik tersebut juga masih sangat jarang. Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih jelas mengenai penggunaan otopsi virtual di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1. Bagaimana pandangan agama terhadap tindakan otopsi? 1.2.2. Apakah pengertian otopsi virtual? 1.2.3. Apakah keuntungan dan kerugian otopsi virtual? 1.2.4. Bagaimanakah dasar hukum otopsi virtual di Indonesia? 1.3 Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai otopsi virtual kepada tenaga medis khususnya dokter dan calon dokter 1.3.2. Tujuan Khusus 1. 2. 3. 4.



Mengetahui pandangan agama terhadap tindakan otopsi Mengetahui pengertian otopsi virtual. Mengetahui keuntungan dan kerugian otopsi virtual. Mengetahui dasar hukum otopsi virtual di Indonesia.



1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat bagi penulis: 1. Menambah pengetahuan mengenai otopsi virtual 2. Menambah keterampilan dalam menulis karya ilmiah 1.4.2 Manfaat bagi pembaca: 1. Menjadi sumber bacaan dan bahan acuan untuk referensi penelitian 2. Memperkenalkan dan menambah pengetahuan mengenai otopsi virtual



3. Memberikan informasi lebih lanjut agar aplikasi klinis dari otopsi virtual dapat



dipergunakan lebih luas 4. Meningkatkan minat pembaca untuk memanfaatkan penggunaan teknologi di bidang kedokteran forensik



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Otopsi 2.1.1



Definisi Otopsi Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi



pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau penemuanpenemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.1, 2, 11 2.1.2



Sejarah Otopsi Ahli anatomi dan patologi zaman dahulu adalah pemburu, penjual daging,



dan koki yang harus mengenali organ-organ dan menentukan organ tersebut dapat digunakan atau tidak. Di zaman Babylonia kuno, sekitar 3500 SM, pelaksanaan otopsi pada hewan bertujuan untuk kepentigan mistik seperti memprediksi masa depan dengan berkomunikasi dengan kekuatan gaib. Pembedahan manusia pertama kali dilakukan satu abad setelah kematian Hippocrates oleh Herophilos (335-280 SM) dan Erasistratos (304-250 SM). Sebuah perubahan penting terjadi pada tahun 1209 ketika Paus Innocentius III menyatakan bahwa dalam kasus kematian yang tidak dapat dijelaskan, penyebab kematian harus diselidiki oleh dokter yang berpengalaman.12, 13 Sikap umum masyarakat sebelum abad ke-17 terhadap otopsi tubuh manusia adalah negatif. Pada akhir tahun 1302, Fakultas Hukum Universitas Bologna memerintahkan otopsi untuk membantu memecahkan masalah-masalah



hukum (otopsi medikolegal). Pada akhir tahun 1400, Paus Sixtus IV mengeluarkan aturan yang mengizinkan pembedahan tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran untuk pendidikan. Sebelum aturan dari pemimpin agama tersebut



dikeluarkan,



pembedahan



tubuh



manusia



termasuk



tindakan



kejahatan.2,12,13 Pada tahun 1500, otopsi secara umum diterima oleh Gereja Katolik, sehingga pemeriksaan terhadap anatomi tubuh manusia dapat dilakukan secara sistemik. Beberapa ahli seperti Vesalius (1514-1564), Pare (1510-1590), Lancisi (1654-1720), dan Boerheave (1668-1771) berperan besar dalam perkembangan otopsi. Giovanni Bathista Morgagni (1682-1771) dianggap ahli otopsi pertama terhebat. Selama observasinya selama 60 tahun, Morgagni menegaskan hubungan antara penemuan patologi dengan gejala klinis. Hal ini menunjukkan bahwa otopsi berperan dalam ilmu kedokteran untuk memahami penyakit. Di Jerman, seorang ahli patologi Rudolph Virchow (1821-1902) mempertimbangkan pemeriksaan mikroskopis sebagai pelengkap pemeriksaan otopsinya. Virchow mengembangkan doktrin yang menyatakan keadaan patologi seluler adalah dasar penyakit. Virchow dapat dianggap sebagai ahli biologi molekular pertama. Di bawah kepemimpinan Virchow, Berlin menggantikan Vienna sebagai pusat utama pendidikan kedokteran.11, 13 2.1.3



Klasifikasi Otopsi



Berdasarkan tujuannya, otopsi diklasifikasikan menjadi1, 2, 11: 1.



Otopsi anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman



tidak ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk



praktikum



anatomi.



Menurut



hukum,



hal



ini



dapat



dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935. 2.



Otopsi klinik, dilakukan untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya. Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris.



3.



Otopsi forensik/medikolegal, dilakukan terhadap mayat yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah : o



Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.



o



Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.



o



Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.



o



Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.



2.1.4



Dasar Hukum Otopsi Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga jenis yaitu



otopsi klinik, otopsi anatomi dan otopsi medikolegal. Masing-masing jenis otopsi tersebut diatur oleh aturan perundang-undangan dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan pelaksanaan otopsi klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu hidup misal dalam surat wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal dunia. Namun dalam keadaan tertentu otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan yang membahayakan orang lain misal penyakit baru yang mematikan. Tempat dilakukan otopsi klinik hanya boleh dilakukan di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan (Dokter Spesialis Forensik).Sebaiknya otopsi klinik dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga otopsi parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut kesimpulannya sangat tidak akurat. Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan untuk pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis. Syarat-syarat tersebut adalah adanya persetujuan dari pasien atau keluarga jenazah, dilakukan oleh mahasiswa kedokteran atau



tenaga kesehatan di bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia), tempat pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas Kedokteran. Otopsi medikolegal atau otopsi forensik dilakukan untuk mengetahui sebab kematian, identifikasi korban, mengumpulkan bukti medis dan mencari adanya penyakit yang dapat memberikan kontribusi pada kematian. Dasar hukum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP pasal 222 serta Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan otopsi medikolegal ini harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 133 KUHAP. Dalam hal persetujuan dari keluarga berdasarkan KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak menolak namun mempunyai hak untuk diberitahu. Namun undang-undang memberikan kesempatan pada keluarga untuk berunding, bila tidak ada tanggapan setelah dua hari dari pemberitahuan, maka penyidik dapat memerintahkan untuk melakukan otopsi sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHAP. UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 119 (1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit. (2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian. (3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien. (4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.



Pasal 120 (1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran. (2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. (3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 121 (1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanyadapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dankewenangannya. (2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis danbedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindakpidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepadapenyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 122 (1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.



Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia Pasal 2 Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut : a. Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti; b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di duga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya; c. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kaii duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit. Pasal 3 Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan data rumah sakit yang disediakan untuk keperluan itu. Pasal 4 Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan. Pasal 5 Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c. Pasal 6 Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas kedokteran. Pasal 7 Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran di bawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai.



Pasal 8 Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 133 (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Pasal 134 (1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelasjelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 222 Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.



Instruksi



Kapolri



No:



Ins/E/20/IX/75



tentang



Tatacara



Permohonan/Pencabutan Visum et Repertum Pasal 3 Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja. Pasal 6 Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah kewajiban petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasive memberikan penjelasan tentang perlunya dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP. 2.2 Pandangan Agama terhadap Otopsi 2.2.1



Agama Islam Hukum dalam Islam disebut Syari’ah. Hukum tersebut bersumber dari Al-



Qur’an, Hadits, dan Fatwa.14, 15 Secara normatif, hukum islam mengajarkan agar menghormati orang yang sudah meninggal, diwujudkan dengan tuntunan serangkaian pengurusan jenazah dalam islam dan dilarang menyakiti tubuh jenazah, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: - “Diwajibkan atas umatku untuk memandikan, menshalatkan, dan menguburkan jenazah”. (Kitab al-Hawi al-Kabir, Juz 3 hal. 6) - “Mandikanlah jenazah dengan air dan daun bidara (sejenis daun yang dapat berbusa seperti sabun), dan kafanilah ia dalam dua pakainnya” (Muttafaq Alaih)



Al-Qur’an dan Hadits tidak pernah membahas masalah otopsi. Yang ditemukan adalah dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara tentang larangan merusak tulang mayat. Rasulullah SAW bersabda: - “Engkau jangan memecahkan (merusak) tulang jenazah, karena merusak tulang seseorang yang telah meninggal sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup.” (Riwayat Malik, Ibn Majah, dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih) - “Memecahkan (merusak) tulang seseorang yang telah meninggal (hukumnya) berdosa sebagaimana perbuatan merusak tulang seseorang yang masih hidup.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah) Meski secara umum merusak jasad mayat merupakan hal yang dilarang, namun beberapa ulama memperbolehkan atas dasar pertimbangan maslahat dengan beberapa syarat.



Disebutkan dalam Qaidah Fiqhiyyah, antara lain:



“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (di-utamakan) dari pada menarik kemaslahatan.”



“Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang (sebelumnya) dilarang.”



“(Kebolehan melakukan) Darurat itu dihitung seperlunya.”



“Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil.” Untuk menegakkan hukum yang adil menurut islam, harus diserahkan kepada ahlinya, agar para ahli dapat menerapkannya dengan cara adil dan benar, sebagaimana firman Allah SWT:



“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…”. (QS. An-Nisa : 58). Qaidah Fiqhiyyah: “Pengajuan bukti adalah kewajiban orang yang mendakwa dan sumpah adalah bagi orang yang mengingkari (dakwaan) nya.”3, 16 Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia tentang Otopsi Jenazah):



Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan otopsi meliputi dua macam otopsi, yaitu otopsi forensik dan otopsi klinikal, yang dilakukan untuk tujuan medis legal seperti menentukan penyebab kematian untuk tujuan pemeriksaan, penyelidikan, riset dan/atau pendidikan. Adapun Ketentuan hukum berdasarkan fatwa MUI:34 1.



Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati



2.



keberadaannya dan tidak boleh dirusak. Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh



3.



pihakyang punya kewenangan untuk itu. Otopsi jenazah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau b.



c.



d.



lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya. Otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point a. Jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan. Jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.17



2.2.2



Agama Katolik Kepada orang yang menghadapi ajalnya harus diberikan perhatian dan



perawatan, mereka harus dibantu, supaya hidup dengan layak dan damai selama waktu yang masih tersisa. Mereka hendaknya mengalami bantuan doa sanak



saudaranya. Kaum keluarga ini harus memperhatikan bahwa orang-orang sakit menerima Sakramen-Sakramen pada waktunya, yang mempersiapkan mereka untuk bertemu dengan Allah yang hidup. Jenazah orang yang telah mati harus diperlakukan dengan hormat dan penuh kasih dalam iman dan dalam harapan akan kebangkitan. Pemakaman orang mati adalah satu pekerjaan kerahiman terhadap badan; 2 itu menghormati anak-anak Allah sebagai kanisah Roh Kudus. Otopsi jenazah demi pemeriksaan pengadilan atau demi penyelidikan ilmiah diperbolehkan secara moral.



Penyerahan



organ



tubuh secara



cuma-cuma



sesudah



kematian,



diperbolehkan dan dapat sangat berjasa. Gereja mengizinkan pembakaran mayat, sejauh ini tidak ingin menyangkal kepercayaan akan kebangkitan badan.3, 18 2.2.3



Agama Kristen Protestan Dari pandangan agama Kristen secara umum tidak ada hukum yang



melarang dilakukannya otopsi. Namun diajarkan bahwa tubuh manusia yang telah mati tetap harus diperlakukan dengan hormat. Pada awal terbentuknya Kristianitas, banyak penolakan mengenai tindakan otopsi yang menyangkut alasan estetika dan pendapat-pendapat teologis. Namun pola pikir dari ajaran Gereja mulai berubah sejak dipelajarinya dan dilakukannya otopsi oleh dokter-dokter di abad pertengahan (Middle Ages) dan jaman Renaissance (abad ke-14 sampai 17). Diawali pada tahun 1410 dilakukannya otopsi oleh Pietro’ D Argelata terhadap Paus Alexander V yang mengalami mati mendadak (sudden death). Pada abad ke15 Paus Sixtus IV mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pembelajaran dan penelitian oleh pelajar di Bologna dan Padua (Italia). Penerimaan terhadap



tindakan otopsi oleh Gereja ditetapkan pada tahun 1556 setelah dilakukannya otopsi terhadap jenazah Ignatius Loyola (seorang prajurit Spanyol) yang ditemukan adanya batu pada ginjal, kandung kemih dan empedu. Dari pandangan Kristen yang modern, otopsi yang dilakukan sebagai metode untuk memperluas ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk kebaikan manusia merupakan salah satu cara dalam melayani Tuhan selama tidak bertentangan dengan moral. Otopsi jenazah demi pemeriksaan pengadilan atau demi penyelidikan ilmiah diperbolehkan secara moral, penyerahan organ tubuh secara cuma-cuma sesudah kematian diperbolehkan dan dapat sangat berjasa. Hal ini juga didasari berdasarkan pemahaman bahwa tubuh yang sekarang tidak ada kaitannya dengan kebangkitan setelah manusia mati. Mengenai Kebangkitan Tubuh: Dari perjanjian lama (Kej 22:1-14, Ibr 11:17-19, Mazm 16:10) juga sudah dikatakan mengenai kebangkitan tubuh pada masa yang akan datang. Hal ini menunjuk pada tubuh yang dibangkitkan Allah dari kematian dan dipersatukan kembali dengan jiwa dan roh orang itu, yang telah dipisahkan dari tubuh itu selama waktu penantian. 1 Kor 15:53. Dijelaskan bahwa pada waktu orang percaya menerima tubuhnya yang baru, mereka akan mengenakan kekekalan. Lukas 16:19-31. Perumpamaan lazarus dan orang kaya. Dikatakan bahwa roh dan jiwa manusia yang telah mati tidak ada hubungan lagi dengan tubuhnya di dunia.



Singkatnya ajaran agama Kristen, sesudah meninggal manusia ditempatkan di tempat perhentian masing-masing dan tidak kembali ke dunia dan tidak ada hubungan dengan fisiknya lagi. Lalu nanti di akhir jaman manusia dibangkitkan dan diberikan tubuh baru. Jadi tidak ada masalah dengan otopsi, terlebih lagi dengan tujuan memperluas ilmu pengetahuan untuk kebaikan manusia, namun jenazah harus diperlakukan dengan hormat dan penuh kasih.3, 18 2.2.4



Agama Hindu Penganut agama Hindu tersebar paling banyak di India, Fiji, Guyana,



Trinidad, Mauritius, Suriname, Bali, Australasia, Amerika Utara, dan Asia Timur. Hindu lahir 3000 SM dan diyakini berasal dari Lembah Indus. Budhaisme, Jainisme, dan Sikhisme tumbuh dari hindu dan beberapa masih mempertahankan keyakinan dasar, termasuk mengenai kremasi. Hal ini diyakini bahwa kremasi mengantar jiwa ke dunia berikutnya atau kelahiran kembali dalam kehidupan selanjutnya. Hindu percaya dalam siklus kelahiran dan kematian. Hindu juga percaya pada karma (perbuatan meninggalkan jejak pada pikiran dan jiwa). Bagi umat Hindu, tujuan hidup adalah keluar dari siklus dan memasuki keadaan kepunahan nafsu. Setiap anggota keluarga harus menyiapkan jalan yang baik menuju kematian karena kematian tidak dilihat sebagai peristiwa yang terbatas. Jiwa masih tetap sadar walaupun telah meninggalkan tubuh setelah kematian. Oleh karena itu, umat Hindu percaya bahwa otopsi mungkin mengganggu jiwa. Dalam rangka untuk menenangkan jiwa, pelayat berdoa dan pemakaman diadakan oleh seorang imam sebelum kremasi. Abu tersebar ke dalam tubuh yang



suci. Namun, Suami Bua menyatakan, dalam Veda Age, diseksi dan mutilasi tubuh dianggap merugikan pemenuhan kehidupan. Jika kita menganggap bahwa setelah roh meninggalkan tubuh, tubuh tak bernyawa, tidak memiliki kewajiban karma, mungkin



baik-baik saja. Singkatnya,



Hindu menghindari



otopsi tetapi



diperbolehkan jika diperlukan oleh hukum.3, 18 2.2.5



Agama Buddha Agama Buddha terdiri dari 3 divisi utama dengan praktik dan keyakinan



yang berbeda, yaitu Buddha Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Theravada dianut oleh sebagian besar penduduk Sri Lanka, sebagian besar penduduk Asia Tenggara (Kamboja, Thailand, Laos, Myanmar) dan sebagian kecil penduduk Vietnam, Bangladesh, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Mahayana menyebar ke seluruh Asia Timur dan dianut oleh masyarakat Tiongkok, Jepang, dan Korea. Sedangkan Vajrayana, atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Tantrayana, dipraktikkan di Tibet dan Jepang.3,



19



Terdapat keragaman budaya



yang terjadi di antara umat Buddha, meskipun semua percaya bahwa penyakit dan kematian adalah peristiwa alami dan tidak harus ditakuti.3, 19, 20 Menurut teori Buddha, kematian terjadi ketika tubuh kehilangan tiga hal: daya hidup (ayu), panas (usma), dan kemampuan untuk merasa (viññana).21 Penganut agama Buddha percaya bahwa tubuh adalah suatu kerangka untuk jiwa/ruh. Salah satu titik utama ajaran Buddha adalah seseorang tidak boleh terlalu terikat dengan tubuhnya; karena pasti tubuh akan mengalami perburukan mengikuti umur dan akhirnya berhenti berfungsi. Jiwa/ruh akan menetap setelah kematian dan akan terlahir kembali (reinkarnasi). Proses reinkarnasi ini



tergantung pada karma seseorang yang merupakan hasil dari perbuatan masa lalunya.3,



18, 19



Setelah kematian, tubuh harus diperlakukan dengan hormat,



sehingga jiwa/ruh dapat berkonsentrasi dalam mencapai penerangan/nirvana (enlightenment). Untuk alasan ini, tubuh tidak boleh diganggu selama 3 hari atau sampai seorang pemimpin agama telah menetapkan bahwa jiwa/ruh telah meninggalkan tubuh. Saat jiwa/ruh telah meninggalkan tubuh, sebagian besar umat Buddha akan dikremasi.19, 20, 22 Agama Buddha pada umumnya tidak menolak tindakan otopsi, meskipun umat Buddha meyakini bahwa tubuh harus diperlakukan dengan hormat setelah kematian. Pandangan agama Buddha mengenai otopsi tergantung pada tujuannya. Manfaat-manfaat otopsi, seperti sebagai sarana pendidikan dan penentu diagnosis pada kasus tertentu, menimbulkan pandangan bahwa otopsi merupakan suatu bentuk kasih sayang yang dapat membantu melestarikan kehidupan. Otopsi juga dapat dilakukan jika ada kecurigaan tindak pidana kriminal pada kematian yang tidak wajar untuk kepentingan penegakkan keadilan. 3, 19, 20 Otopsi menurut agama Buddha dapat dilakukan 3 hari setelah kematian atau sampai jiwa/ruh meninggalkan tubuh.3, 19, 20, 22 2.3 Otopsi Virtual Otopsi virtual adalah suatu teknik otopsi dengan melakukan pencitraan postmortem, dalam versi tiga dimensi menggunakan Computed Tomography (CT) scan dan teknik-teknik Direct Volume Rendering (DVR).23,



24



Teknik pencitraan



postmortem sebenarnya bukan merupakan hal baru di bidang kedokteran forensik. Pencitraan postmortem sudah mulai diperkenalkan pada tahun 1898. Pada tahun 1977, Wullenweber et al melaporkan penggunaan CT scan untuk mendeskripsikan



pola radiografik luka tembak kepala. Flodmark et al pada tahun 1980 melakukan sebuah studi komparasi antara penemuan hasil otopsi konvensional dan hasil penggunaan CT scan pada kasus asfiksia perinatal.25 Pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi tiga dimensi dalam pemeriksaan post mortem9, 25 Pada tahun 2000, Prof. Richard Dirnhofer memulai sebuah penelitian mengenai otopsi virtual (Virtopsy® Project) di Universitas Zurich, Swiss.25 Ada beberapa alasan yang mendasari peningkatan minat dan ketertarikan pada otopsi virtual. Otopsi virtual dapat melengkapi standar otopsi yang memungkinkan pemeriksaan yang luas dan sistematis terhadap seluruh tubuh. Hal tersebut umumnya sulit dan memakan waktu, misalnya pemeriksaan struktur seluruh tulang atau mencari keberadaan air dalam tubuh. Otopsi virtual dengan menggunakan Multi Detector Computed Tomography (MDCT), dapat mengambil hingga 8000 gambar. Beberapa studi menunjukkan potensi besar pencitraan postmortem dalam penyelidikan forensik. Namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan prosedur dan protokol pelaksanaan otopsi virtual sehingga dapat dipakai secara luas.26, 27 2.4 Teknik Otopsi Virtual Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak memerlukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alatalat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam.10 Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh. Dengan menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh dalam tiga dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun keadaan



patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif. Teknik ini diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasanalasan penolakan otopsi konvensional.10 Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling melengkapi yaitu: 1. Multi-slice computed tomography (MSCT) Sebelum ditemukannya MSCT, teknologi CT yang digunakan adalah single slice CT di mana hanya satu baris detector array. Dengan MSCT, jumlah detector array yang digunakan lebih banyak dan data yang diakuisisi menjadi lebih besar. Keuntungan utama MSCT adalah dapat melakukan scan dalam bidang yang luas dan secara



bersamaan menghasilkan potongan tipis dan tebal dengan waktu



akuisisi yang lebih pendek. Data potongan tipis penting untuk menghasilkan rekonstruksi multiplanar, maximum intensity projection (MIP) dan rekonstruksi tiga dimensi. CT angiografi, CT cardiac, high resolution CT (HRCT) menjadi berkembang sejak ditemukannya MSCT.28 Rekonstruksi tiga dimensi (3D) adalah salah satu keunggulan MSCT dan hasilnya berpotensi membantu investigasi polisi. Misalnya pada kasus kecelakaan lalu lintas, rekonstruksi 3D dari jenazah dapat dibandingkan dengan kondisi kendaraan pasca kecelakaan untuk memetakan proses kejadian dan mencari penyebab kematian korban. Secara umum, MSCT baik digunakan untuk kasus trauma, yaitu mendeteksi fraktur, kelainan pada tulang, benda asing, dan adanya udara. MSCT juga baik digunakan pada kasus cedera kepala dan luka tembak.28



Gambar 1. (a) Bagian CT dari luka tembak ini menunjukkan fragmen tulang dan peluru pada jalur luka (panah). (b) Tampilan anterior kanan dari CT scan 3D kepala menunjukkan lubang luka tembak masuk. (c) Tampilan posterior kiri menunjukkan luka tembak keluar.29 2. Magnetic resonance imaging (MRI) MRI dapat memvisualisasikan tubuh bagian dalam sehingga dapat diperiksa secara detail setiap potongan bagian tubuh.10, 23, 30 MRI merupakan pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk cedera jaringan lunak, trauma neurologis/non neurologis, kontusio, dan hematom.25 Selain itu, dengan menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat diperkirakan melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak.10 3. 3D Virtual Autopsy Table Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa untuk merepresentasikan tubuh jenazah secara virtual dengan sangat rinci dari berbagai sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah yang dimasukkan ke dalam program



The Interactive 3-D Virtual Autopsy Table, pemeriksa dapat menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah atau menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan memperkecil, serta memotong bagianbagian tubuh menggunakan pisau virtual. Tubuh korban akan ditempatkan pada meja pemeriksaan di bawah scanner CT dan/atau mesin MRI dan diproses menggunakan software yang dikembangkan oleh para peneliti. CT scan hanya membutuhkan waktu 20 detik dan menampilkan tulang, gas, dan benda asing dalam tubuh.26, 30 2.5 Akurasi Otopsi Virtual Sejak berkembangnya otopsi virtual yang dimotori oleh Richard Dirnhofer, banyak para peneliti melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan otopsi virtual ini.10 Titik perhatian utama para peneliti adalah seberapa akurat otopsi virtual dibandingkan dengan otopsi konvensional. Hal ini untuk menjawab alasan-alasan penolakan seperti yang tertulis pada awal tulisan ini. Berikut ini adalah paparan beberapa hasil penelitian yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. 1. Kekerasan di Kepala dan Leher Pada penelitian yang dilakukan oleh Aghayev et al membuktikan bahwa dengan menggunakan MSCT dan MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang meninggal karena kekerasan di kepala. Hasil tersebut kemudian dikonfirmasi dengan otopsi konvensional. Baik hasil pemeriksaan dengan MSCT, MRI maupun otopsi konvensional didapatkan hasil sama (Gambar 2).



Gambar 2. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional26 Dalam penelitian ini, mereka merekomendasikan penggunaan kombinasi antara MSCT dan MRI, karena dengan CT seringkali dipengaruhi oleh artefak tulang dan efek volume parsial.26



Gambar 3. Perdarahan Intramedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional, (c) Histopatologi H&E x40028 Sementara itu, penelitian yang dilakukan di Switzerland menyebutkan bahwa sebab kematian 3 dari 5 kasus yang mereka teliti dapat ditegakkan menggunakan MSCT dan MRI, sebelum dilakukan otopsi konvensional.



Penelitian ini juga menunjukkan kemampuan MRI untuk mendeteksi adanya perdarahan intramedular dari 3 kasus yang sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologi (Gambar 3).31 2.



Kematian Mendadak pada Bayi dan Anak Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa pemeriksaan Post Mortem



Computed Tomography (PMCT) dengan menggunakan MRI dan MSCT berperanan penting dalam mendiagnosis kasus-kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak. Untuk mengetahui penyebab pasti kematian mendadak pada anak-anak, sebaiknya dilakukan pemeriksaan PMCT dan pemeriksaan lain seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri. Dari 15 pasien yang meninggal secara mendadak, 2 kasus dilakukan otopsi konvensional dan hasil otopsi sesuai dengan hasil PMCT.32 Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Norwegia, terdapat perbedaan hasil yang nyata antara temuan radiologi dan temuan otopsi konvensional. Angka kesalahan pemeriksaan radiologi dan temuan otopsi konvensional berkisar antara 57,14% - 66,67% (Tabel 1).33 Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dan Hasil Temuan Otopsi Konvensional33



3.



Infark Miokardium



Gambar 4. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat Eosinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band Necrosis. HE x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) Histologi. H&E x 10034 Penelitian otopsi virtual juga dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya infark miokardium. Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian dikofirmasi dengan pemeriksaan histologi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa baik MRI maupun pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis infark miokardium perakut. Sementara itu untuk keadaan subakut, akut, dan kronik dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasilnya sesuai dengan hasil histopatologi. Keadaan seperti yang terlihat pada gambar 4 merupakan keadaan yang penting bagi forensik sebagai penyebab kematian akibat berlanjutnya penurunan fraksi ejeksi yang menyebabkan insufisiensi jantung akut atau oleh letal ventrikular takikardi.34 4. Tenggelam Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan tempat di mana korban tenggelam dalam saluran napas atau paru, paru yang



menggembung dan kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paru kanan dan pembuluh darah vena.25 Tanda-tanda tersebut merupakan variabelvariabel yang diteliti dengan menggunakan MRI dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada trakea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass. Sementara itu 89% lambung korban mengalami distensi. 35 Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di Switzerland, meskipun pada penelitian ini mereka menggunakan MSCT. Kedua penelitian ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.36 5. Trauma Tabel 2. Kemampuan mendeteksi trauma antara PMCT dan otopsi Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan



kematian. Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga (72,3%), kepala (55,15%), wajah (49,4 %), tibia (37,9%) dan pelvis (36%). Sementara itu organ dalam yang paling sering mengalami laserasi akibat kekerasan tumpul adalah liver (48,1%), paru (37,6%), jantung (35,6%) dan lien



(30,1%). Dilakukan penelitian di Israel dengan cara membandingkan otopsi virtual (PMCT) dengan otopsi konvensional dengan tujuan untuk menilai keakuratan dari PMCT dalam mendiagnosis trauma. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat bahwa PMCT memiliki kelemahan dalam mendeteksi kelainan yang terdapat pada lesi superfisial, paru, jantung serta solid organ, akan tetapi memiliki kemampuan yang baik dalam mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh.37 Mahesh S, et al dalam jurnalnya mengambil sebuah contoh kasus trauma. Pada kasus tersebut dilakukan pemeriksaan otopsi virtual dan otopsi konvensional yang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda berupa kelainan-kelainan yang ada pada tulang seperti dislokasi dan fraktur serta ruptur aorta (Gambar 5 dan 6).38



Gambar 5. (a) MSCT 3D, model tulang tanpa sternum dan bagian ventral (b) Gambar otopsi jaringan lunak sekitar vertebra yang fraktur, perdarahan paravertebral ekstrapleural38



Gambar 6. Gambar a (MSCT), b (MRI), dan c (otopsi) menunjukkan ruptur aorta38 Selain itu, penelitian di Kuwait pada tahun 2012 juga menunjukkan hasil yang sama antara otopsi virtual dan otopsi konvensional yang dilakukan terpisah pada kasus kecelakaan lalu lintas, luka tembak, trauma kepala, tenggelam, dan penjeratan.7 2.6 Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual 2.6.1. Keuntungan9, 23, 28, 39, 40  Otopsi virtual bersifat non-invasif , tidak membutuhkan pisau bedah serta tidak harus memotong tubuh.  Jenazah tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga.  Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh.  Teknik otopsi virtual yang menggunakan CT scan dapat memperlihatkan kerangka, gambaran luka, dan kerusakan otak. Sementara pemindai MRI menghasilkan gambar yang lebih halus pada jaringan lunak. Angiography memperlihatkan bagian dalam pembuluh darah.  Pemeriksaan yang mudah pada jenazah yang infeksius, terkontaminasi racun, radionuklir, dan bahan-bahan biologis yang berbahaya.



 Tidak perlu pertimbangan dosis radiasi saat melakukan studi pencitraan post mortem.  Memungkinkan berbagi pencitraan data di antara para ahli di lokasi fisik yang berbeda.  Pemanfaatan teknik-teknik visualisasi modern mencakup kemampuan untuk mendeteksi fraktur kecil yang tidak dapat terlihat pada otopsi konvensional, mengidentifikasi denistas benda asing tubuh (yaitu, peluru atau pisau) yang tertanam dalam jaringan lunak dan memperjelas lintasan luka tembus (yaitu, peluru, pisau, dll) .  Dapat melihat jenazah dari berbagai sudut dan juga bisa memindahkan lapisan demi lapisan seperti kulit dan otot, menambahkan dan menghilangkan jaringan serta sistem sisrkulasi, dapat diperbesar atau diperkecil dan dipotong menggunakan pisau virtual.  Data tersimpan secara digital dan rekonstruksi ulang jenazah dapat dilakukan bertahun-tahun setelah kejadian saat tubuh jenazah sudah rusak dan sulit dianalisis lagi.  Rekonstruksi 3D berguna di pengadilan karena gambaran yang dihasilkan lebih mudah dimengerti dibandingkan bahasa medis. 2.6.2. Kerugian9, 23, 39, 40  Biaya yang cukup besar  Memiliki bias dalam mendiagnosis.  Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal



hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat. Tidak dapat mendeteksi semua penyebab kematian. Tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan ekstravasasi kontras aktif atau proses







lainnya yang membutuhkan metabolisme dan/atau peredaran darah aktif. Tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan



artefak postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, serta melewatkan jaringan kecil. 2.7 Otopsi Virtual di Indonesia Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging.23,



39



Dunia kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa



mengikuti perkembangan dalam konteks keilmuannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa otopsi virtual telah membawa angin segar terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi, otopsi virtual lebih baik jika dibandingkan otopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, akan tetapi tidak untuk kepentingan medikolegal. Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat ini untuk mencoba mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual. Untuk Indonesia, penerimaan otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional tidaklah serta merta dapat diterima. Banyak hal yang harus dibahas mengenai penerimaan otopsi virtual di Indonesia. Hal-hal yang harus dipertimbangkan antara lain: a. Benefit Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena dapat mempelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak harus memotong tubuh. Di sisi lain, data yang ada saat ini belum cukup untuk membuktikan bahwa otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional. Otopsi virtual tidak dapat memperlihatkan dengan jelas kelainan patologi yang ada, tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka



postmortem, sulit membedakan artefak postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, serta jaringan kecil mungkin terlewatkan.39 b. Biaya Biaya yang dibutuhkan untuk teknik otopsi virtual cukup besar. Alat-alat untuk melakukan otopsi virtual belum tersedia di setiap rumah sakit di Indonesia. c. Faktor bias dalam mendiagnosis33, 39 d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat.27 e. Aspek medikolegal otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia 2.8 Dasar Hukum Otopsi Virtual Sampai saat ini belum ada aturan perundang-undangan baku yang mengatur penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal. CT scan postmortem dapat membantu mendokumentasikan posisi yang benar atau salah dari tube, kateter, probe dibandingkan prosedur otopsi lainnya. Hal ini memberikan keuntungan medikolegal yang besar terutama pada kasus pasien meninggal selama atau setelah dilakukan prosedur invasif atau invasif yang minimal.34, 41 Otopsi virtual dapat menjelaskan lima prinsip medikolegal penting dalam otopsi konvensional yaitu:35 1.



Atrium mortis, menjelaskan penyebab kematian.



2.



Temuan patomorfologi di tulang, jaringan, dan organ.



3.



Reaksi vital, yaitu urutan cedera dan kematian. Apakah cedera didapatkan sebelum atau setelah meninggal.



4.



Rekonstruksi cedera, misalnya akibat kekerasan, biomekanikal, dan dinamis.



5.



Rekapitulasi dan visualisasi, dapat menjelaskan sesuai temuan objektif.



Otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam sistem peradilan di Indonesia memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih otopsi virtual lebih mengarah kepada mendiagnosis penyakit. Hal ini berbeda dengan konsep otopsi forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakkan hukum dan peradilan.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh jenazah untuk menemukan cedera atau proses penyakit penyebab kematian yang meliputi pemeriksaan luar maupun dalam. Selain untuk memecahkan masalah hukum otopsi juga digunakan untuk tujuan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, serta pendidikan calon dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Namun pelaksanaan otopsi di Indonesia tidak mudah karena adanya pandangan dari sisi agama dan kepercayaan tertentu yang meyakini bahwa jenazah harus dihormati dan diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup. Masyarakat Indonesia cenderung berpegang erat pada ajaran agama sehingga masih banyak terjadi penolakan terhadap tindakan otopsi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat menghadirkan suatu solusi dari permasalahan tersebut. Salah satu solusi yang dikembangkan adalah teknologi otopsi virtual. Hal yang membedakan dengan otopsi konvensional yaitu pada otopsi virtual tidak memerlukan adanya diseksi jaringan tubuh. Digunakan alat-alat diagnostik canggih dengan menggunakan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat keadaan tubuh secara 3 dimensi sehingga dapat melihat kelainan yang terjadi di organ dalam tanpa melalui proses invasif. Teknik ini diyakini menjadi alasan untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi konvensional.



Penggunaan otopsi virtual di Indonesia masih sangat terbatas dan belum banyak pembahasan mengenai topik ini. Selain itu otopsi virtual juga masih memiliki kekurangan dari segi biaya, faktor bias, ketelitian yang kurang dibandingkan melihat organ secara langsung dan kegunaannya yang belum dapat mencakup diagnosis beberapa kasus seperti keracunan zat. 3.2 Saran Dianjurkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan pengembangan alat-alat yang digunakan dalam otopsi virtual terutama untuk menutupi kekurangan pada teknik ini. Dianjurkan juga untuk memperbanyak penggunaan otopsi virtual untuk mengembangkan keahlian di bidang ini. Disarankan untuk melakukan pelaksanaan skrining yang rutin terhadap jenazah untuk menentukan sebab kematian dan kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil pemeriksaan otopsi konvensional.



DAFTAR PUSTAKA



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.



Suharto G, Sadad A, Intarniati., et al. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2012:67. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik, Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2007:177. Burton E, Gurevitz S, Collins K. Religions and the Autopsy, 2012. Kadarmo D. Prosedur medikolegal penolakan otopsi ditinjau dari sudut pandang penyidik. Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia, 2005. Turnbull A, Osborn M, Nicholas N. Hospital autopsy: Endangered or extinct? J Clin Pathol 2015;68:601-4. Hoyert DL. The changing profile of autopsied deaths in the United States, 1972-2007. NCHS Data Brief 2011:1-8. Sampurna B. Aspek Manajemen Pemanfaatan CT scan di RS untuk Kepentingan Forensik. Workshop Kedokteran Forensik. Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015. Party RCoPoAAW. The decline of the hospital autopsy: a safety and quality issue for healthcare in Australia. Med J Aust 2004;180:281-5. Stawicki S, Aggrawal A, Dean A, et al. Postmortem use of advance imaging technique: Is autopsy going digital? Scientist 2008;2:17-26. Patowary A. Virtopsy one step forward in the field of forensic medicine- A review. J Indian Acad Forensic Med 2008;30:32-6. Prameng B, Yulianti A. Petunjuk Teknik Otopsi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2011:1-2. Philippe C, Geoffroy L, Herve C. Two Centuries of Autopsies in the New England Journal of Medicine: Evolution of the Status of the Cadaver in Occidental Medicine (1812-2012). Anthropol 2013;1:1-6. van den Tweel JG, Taylor CR. The rise and fall of the autopsy. Virchows Arch 2013;462:371-80. Mohammed M, Kharoshah MA. Autopsy in Islam and current practice in Arab Muslim countries. J Forensic Leg Med 2014;23:80-3. Payne-James J, Busuttil A, Smock W. Shari’ah law and the judicial system. Forensic medicine: clinical and pathological aspects. London: Greenwich Medical Media Ltd, 2003. Hastuti D. Perspektif Hukum Islam terhadap Otopsi. Fakultas Syari'ah. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009. MUI. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah. Jakarta, 2009:541-5. Prayson RA. Autopsy: Learning from the Dead: Cleveland Clinic Press, 2007. Numrich P. The Buddhist Tradition - Religious Beliefs and Healthcare Decisions. Chicago: The Park Ridge Center, 2001.



20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.



27.



28. 29.



30. 31.



32. 33. 34.



35.



Australia. DoLGaCW. Culture and Religion Information Sheet - Buddhism, 2015. Keown D. End of life: the Buddhist view. Lancet 2005;366:952-5. Gordijn S, Erwich J, Khong T. The perinatal autopsy: pertinent issues in multicultural Western Europe. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2007;132:3-7. Takatsu A, Suzuki N, Hattori A, Shigeta A, Abe S. High-dimensional medical imaging and virtual reality techniques. Rechtsmedizin 2007;17:1318. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R. VIRTOPSY - the Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;9:100-4. Kusuma S. Traditional autopsy vs modern autopsy. Workshop Kedokteran Forensik. Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015. Aghayev E, Yen K, Sonnenschein M, et al. Virtopsy post-mortem multi-slice computed tomography (MSCT) and magnetic resonance imaging (MRI) demonstrating descending tonsillar herniation: comparison to clinical studies. Neuroradiology 2004;46:559-64. Hayakawa M, Yamamoto S, Motani H, Yajima D, Sato Y, Iwase H. Does imaging technology overcome problems of conventional postmortem examination? A trial of computed tomography imaging for postmortem examination. Int J Legal Med 2006;120:24-6. Sidipratomo P, Aji D. Peranan multi-slice computed tomography pada kedokteran forensik. Workshop Kedokteran Forensik. Rumah Sakit Bhayangkara TK.I Jakarta, 2015. Thali MJ, Yen K, Vock P, et al. Image-guided virtual autopsy findings of gunshot victims performed with multi-slice computed tomography and magnetic resonance imaging and subsequent correlation between radiology and autopsy findings. Forensic Sci Int 2003;138:8-16. Tejaswi KB, Hari Periya EA. Virtopsy (virtual autopsy): A new phase in forensic investigation. Journal of Forensic Dental Sciences 2013;5:146-148. Yen K, Sonnenschein M, Thali M, et al. Postmortem Multislice Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging of odontoid fractures, atlantoaxial distractions and ascending medullary edema. International Journal of Legal Medicine 2005;119:129-136. Oyake Y, Aoki T, Shiotani S, et al. Postmortem computed tomography for detecting causes of sudden death in infants and children: retrospective review of cases. Radiat Med 2006;24:493-502. de Lange C, Vege A, Stake G. Radiography after unexpected death in infants and children compared to autopsy. Pediatr Radiol 2007;37:159-65. Jackowski C, Christe A, Sonnenschein M, Aghayev E, Thali MJ. Postmortem unenhanced magnetic resonance imaging of myocardial infarction in correlation to histological infarction age characterization. Eur Heart J 2006;27:2459-67. Levy AD, Harcke HT, Getz JM, et al. Virtual autopsy: two- and threedimensional multidetector CT findings in drowning with autopsy comparison. Radiology 2007;243:862-8.



36. 37. 38. 39. 40. 41.



Christe A, Aghayev E, Jackowski C, Thali MJ, Vock P. Drowning--postmortem imaging findings by computed tomography. Eur Radiol 2008;18:283-90. Levy G, Goldstein L, Blachar A, et al. Postmortem computed tomography in victims of military air mishaps: radiological-pathological correlation of CT findings. Isr Med Assoc J 2007;9:699-702. Mahesh S, Kumar S, Ruskin A. Critical Evaluation and Contribution of Virtopsy to Solved Crime. Res. J. Forensic Sci 2015;3:1-4. Ezawa H, Shiotani S, Uchigasaki S. Autopsy imaging in Japan. Rechtsmedizin 2007;17:19-20. Peschel O, Szeimies U, Vollmar C, Kirchhoff S. Postmortem 3-D reconstruction of skull gunshot injuries. Forensic Science International 2013;233:45-50. Bolliger SA, Thali MJ, Ross S, Buck U, Naether S, Vock P. Virtual autopsy using imaging: bridging radiologic and forensic sciences. A review of the Virtopsy and similar projects. Eur Radiol 2008;18:273-82.