Ruptur Uteri  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Clinical Science Session



RUPTUR UTERI



Oleh : Nadhirah binti Sa’an



1840312661



Preseptor: Dr. Syahrial Syukur, SpOG (K)



BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD PADANG PANJANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2019



BAB I PENDAHULUAN



1.1.1. Latar Belakang Ruptur uteri adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada umur kehamilan lebih 28 minggu. Manifestasi perdarahan masih merupakan trias penyebab kematian maternal tertinggi, di samping preeklampsi/eklampsi dan infeksi. Angka kematian ibu akibat perdarahan yang disebabkan ruptur uteri berkisar 17,9% sampai 62,6%. Saat persalinan kala I dan awal kala II batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis, jika bagian terbawah tidak mengalami kemajuan akan timbul retraksi patologis (Bandl’s ring). Apabila saat persalinan tetap tidak ada kemajuan maka akan terjadi ruptur uteri dan menyebabkan komplikasi berupa kematian maternal.1 Ruptur uteri atau robekan uterus adalah peristiwa dimana terjadi robekan pada uterus sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan kavum peritoneum. Robekan pada uterus ditemukan sebagian besar pada bagian bawah uterus. Ruptur uteri secara anatomi dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptur uteri komplit dan inkomplit.2,3 Kejadian ruptur uteri sebagian besar terjadi pada wanita yang memiliki bekas luka uterus, yang sebagian besar merupakan bekas seksio sesarea sebelumnya. Bekas seksio sesarea satu kali meningkatkan angka ruptur uteri keseluruhan 0,5%, sedangkan pada bekas seksio sesarea dua kali atau lebih meningkat menjadi 2%. Faktor risiko lain yang dapat meningkatkan kejadian ruptur adalah penutupan histerektomi seksio sesarea single layer, jarak antar kehamilan yang pendek setelah seksio sesarea sebelumnya, kelainan uterus kongenital,



2



janin makrosomia, pemberian prostaglandin dan kegagalan suatu percobaan persalinan atau trial of labor (TOL) sebelumnya.2 Menurut penelitian WHO prevalensi ruptur uteri cenderung lebih rendah di negara maju daripada negara berkembang dengan tingkat prevalensi 0,006%. Ruptur uterus di negara maju sebagian besar terjadi sekunder akibat operasi caesar sebelumnya. Di Indonesia, angka kejadian rupture uteri berkisar antara 1 dalam 93 persalinan sampai 1 dalam 1280 persalinan. Telah dilakukan penelitian kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit jejaringnya pada periode 1999-2003 dan didapatkan insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1:1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996). Di 3 RS jejaring didapatkan juga angka kematian ibu sebesar 0,4 %. Kematian perinatal di RSHS mencapai 90 % sedangkan di rumah sakit jejaring 100%. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kasus ruptur uteri memberikan dampak yang negatif baik pada ibu maupun bayi.4,5,6 1.2



Batasan Masalah Clinical Science Session ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, etiologi,



manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis ruptur uteri. 1.3



Tujuan Penulisan Clinical Science Session ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan



pemahaman tentang ruptur uteri. 1.4



Metode Penulisan Clinical Science Session ini ditulis setelah mencari sumber tinjauan pustaka yang ada



dan merujuk kepada berbagai literatur.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1.



Definisi Ruptur uteri atau robekan uterus adalah suatu peristiwa robeknya dinding uterus



sehingga terjadi hubungan langsung antara kavum uteri dengan rongga peritoneum. Beberapa pendapat mengatakan bahwa ruptur uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampauinya daya regang miometrium. Sebagian besar kasus ditemukan ruptur di bagian bawah uterus. Ruptur uteri dapat dibagi dua, ruptur komplit dan ruptur inkomplit. Apabila peritoneum viseral uterus ikut robek, dinamakan ruptur uteri komplit. Jika peritoneum viseral uterus masih intak, dinamakan ruptur uteri inkomplit. Ruptur uteri harus dibedakan dari dehisens. Dehisens adalah peristiwa terbukanya kembali luka operasi. Pada dehisens bekas seksio sesarea, kantong ketuban masih utuh dan prosesnya terjadi secara perlahan dengan perdarahan minimal atau tanpa perdarahan, sedangkan ruptur uteri biasanya terjadi secara dramatis dengan perdarahan yang banyak dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas.2,3



2.2.



Epidemiologi Menurut penelitian WHO prevalensi ruptur uteri cenderung lebih rendah di negara



maju daripada negara berkembang dengan tingkat prevalensi 0,006%. Ruptur uterus di negara maju sebagian besar terjadi sekunder akibat operasi caesar sebelumnya. Di Indonesia, angka kejadian rupture uteri berkisar antara 1 dalam 93 persalinan sampai 1 dalam 1280 persalinan. Telah dilakukan penelitian kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit



4



jejaringnya pada periode 1999-2003 dan didapatkan insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1: 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996). Di 3 RS jejaring didapatkan juga angka kematian ibu sebesar 0,4 %. Kematian perinatal di RSHS mencapai 90 % sedangkan di rumah sakit jejaring 100%.4,5,6 Kejadian ruptur uteri sebagian besar terjadi pada wanita yang memiliki bekas luka uterus, yang sebagian besar merupakan bekas seksio sesarea sebelumnya. Bekas seksio sesarea satu kali meningkatkan angka ruptur uteri keseluruhan 0,5%, sedangkan pada bekas seksio sesarea dua kali atau lebih meningkat menjadi 2%.2



2.3. 



Klasifikasi7 Menurut tingkat robekan a. Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding uterus, lapisan serosa (peritoneum juga robek sehingga dapat berada dirongga abdomen). b. Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium sedangkan lapisan serosa (peritoneum) tetap utuh , disebut juga dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan eksplorasi dinding rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir. c. Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur. Penderita merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his. Teraba ligamentum rotundum menegang. Teraba cincin Bandle setinggi pusat. Segmen bawah rahim menipis. Urine kateter kemerahan.



5







Menurut waktu terjadinya a. Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus. Biasanya terjadi karena kelemahan dari dinding uterus yang disebabkan oleh: bekas seksio sesaria, bekas enukleasi mioma uteri, bekas kuretase / plasenta manual. b. Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR karena bagian terbawah janin tidak dapat turun yang dapat disebabkan oleh: versi ekstraksi, ekstraksi forcep, ekstraksi bahu.







Menurut lokasi a. Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi b. Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur. c. Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap d. Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan vagina.







Menurut etiologi a. Ruptur Uteri Spontan Ruptur uteri spontan merupakan ruptur uteri yang terjadi secara spontan pada uterus tanpa parut (utuh) dan tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor utama pada ruptur uteri spontan ialah persalinan tidak maju karena adanya penyulit, misalnya panggul sempit, hidrosefalus, janin dalam letak lintang dan sebagainya, sehingga segmen bawah uterus makin lama makin 6



meregang. Faktor predisposisi terhadap terjadinya ruptur uteri adalah multiparitas akibat ditengah – tengah miometrium sudah terdapat banyak jaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus menjadi kurang sehingga regangan lebih mudah menimbulkan robekan.8 Sebelum terjadi ruptur uteri umumnya penderita menunjukkan gejala gelisah, pernapasan dan nadi menjadi cepat serta dirasakan nyeri terus menerus di perut bawah. Segmen bawah uterus tegang, nyeri pada perabaan dan lingkaran retraksi (Bandl) tinggi sampai mendekati pusat, ligamentum rotundum tegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita kesakitan sekali dan merasa seperti ada yang robek dalam perutnya, tidak lama kemudian ia menunjukkan gejala-gejala kolaps dan jatuh dalam syok. Pada waktu robekan terjadi perdarahan, pada ruptur uteri komplit sebagian mengalir ke rongga perut dan sebagian ke vagina. Sering seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut. Pada pemeriksaan vagina bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir. Pada ruptur uteri inkomplit perdarahan yang biasanya tidak seberapa banyak, berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar dan janin umumnya tetap tinggal di uterus.7 Segera setelah ruptur uteri terjadi dan janin masuk ke dalam rongga perut, ia dapat diraba dengan jelas pada pemeriksaan luar, dan di sampingnya ditemukan uterus sebagai benda sebesar kepala bayi. Lambat laun perut menunjukkan meteorismus kadang-kadang disertai defense muskulare dan janin lebih sukar diraba. Pada ruptur uteri komplit kadang-kadang juga pada



7



pemeriksaan vaginal, robekan dapat diraba, demikian pula usus dalam rongga perut melalui robekan.7 b. Ruptur Uteri Traumatik (violenta) Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian itu yang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi karena rupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar.Distosia menyebabkan regangan segmen bawah uterus dan usaha vagina untuk melahirkan janin sehingga terjadi ruptur uteri Hal itu misalnya terjadi pada versi ekstraksi pada letak lintang yang dilakukan bertentangan dengan syarat-syarat untuk tindakan tersebut. Kemungkinan besar yang lain ialah ketika melakukan embriotomi. Berhubung dengan itu, setelah tindakan-tindakan tersebut diatas dan juga setelah ekstraksi dengan cunam yang sukar perlu dilakukan pemeriksaan kavum uteri dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadi ruptur uteri. Gejala-gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari ruptur uteri spontan.9 c. Ruptur uteri pada parut uterus Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut bekas seksio sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah dioperasi untuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang lagi pada uterus dengan parut karena kerokan yang terlampau dalam. Di antara parut-parut bekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah seksio sesarea klasik lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada parut bekas seksio sesarea profunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen



8



bawah uterus yang menyerupai daerah uterus yang lebih tenang dalam masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio bisa menimbulkan gejala-gejala seperti telah diuraikan lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpa banyak menimbulkan gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadi robekan secara mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekas luka menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah ruptur uteri. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat ruptur uteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria besar terbuka dan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul di ligamentum latum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih tinggal dalam uterus dan his kadang-kadang masih ada. Sementara itu penderita merasa nyeri spontan atau nyeri pada perabaan tempat bekas luka. Jika arteria besar luka, gejala-gejala perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus meninggal.9



2.4.



Etiologi dan Faktor Risiko Ruptur uteri timbul sebagai akibat adanya perlukaan atau anomali. Hal ini



dihubungkan dengan trauma atau komplikasi persalinan. Penyebab terbanyak dari ruptur uteri adalah terpisahnya parut bekas seksio sesarea.3,6 Penyebab Ruptur uteri :8 1. Perlukaan uterus sebelum kehamilan 



Pembedahan yang mengenai endometrium : 



Seksio sesarea atau histerotomi.



9







Penjahitan kembali bekas ruptur uteri.







Insisi



miomektomi



yang



dekat



dengan



endometrium



atau



menembus



endometrium.











Reseksi kornu yang dalam untuk mengambil pars interstitialis.







Eksisi septum uterus (metroplasti)



Trauma uterus yang terjadi secara kebetulan : 



Abortus menggunakan alat ( sonde, kuret, atau alat lain)







Trauma tajam atau tumpul ( kecelakaan, pisau, peluru)







Ruptura uteri yang tidak memberi tanda (silent rupture) pada kehamilan sebelumnya.



2. Perlukaan uterus pada kehamilan 







Sebelum kelahiran : 



Kontraksi spontan yang terus menerus dan kuat.







Pemberian oksitosin dan prostaglandin.







Larutan hipertonik yang disuntikkan intra amniotic







Perforasi oleh kateter pemantauan.







Trauma eksternal, tajam maupun tumpul.







Distensi uterus yang berlebihan ( janin multiple, hidramnion)



Pada waktu kelahiran : 



Versi dalam.







Kelahiran forsep yang sukar.







Ekstraksi sungsang.







Anomali janin yang meregangkan segmen bawah Rahim 10







Dorongan pada fundus yang kuat untuk melahirkan bayi.







Pengeluaran plasenta yang sulit.



3. Cacat uterus yang ada hubungannya dengan trauma. 



Kongenital :Kehamilan pada uterus yang tumbuh tak sempurna atau pada kornu uterus.







Didapat : a. Plasenta inkreta atau perkreta. b. Mola atau choriokarsinoma invasif. c. Adenomiosis.



Kelainan uterus kongenital, multiparitas, miomektomi sebelumnya, jumlah dan jenis seksio sesarea sebelumnya, makrosomia janin, induksi persalinan, instrumentasi uterus dan trauma uterus, semuanya meningkatkan risiko ruptur uteri, sedangkan keberhasilan persalinan pervaginam sebelumnya dan jarak antar kehamilan setelah seksio sesarea mungkin memberikan perlindungan secara relatif. Berbeda dengan tersedianya cara untuk memprediksi potensi keberhasilan suatu trial of labor (TOL) setelah seksio sesarea sebelumnya, cara yang akurat untuk memprediksi seseorang secara spesifik berisiko terjadinya ruptur uteri pada individu tidak tersedia. 1. Keadaan uterus yang berparut atau tidak a. Parut pada bekas seksio sesarea sebelumnya, meliputi : • Bekas SC low-transverse 1 kali (penutupan uterus 1 lapis atau 2 lapis) • Bekas SC vertikal rendah 1 kali • Bekas SC klasik • Bekas SC multipel 11



b. Parut bekas miomektomi (baik transabdominal atau laparoskopi) c. Parut bekas histerorafi 2. Bentuk uterus, apakah normal atau mengalami kelainan kongenital 3. Kehamilan yang perlu perhatian khusus meliputi : a. Grande multipara b. Umur ibu c. Keadaan plasenta (akreta, perkreta, inkreta, previa, abrupsi) d. Keadaan kornu (angular) e. Overdistensi (kehamilan multipel, polihidramnion) f. Distosia (makrosomia janin, panggul sempit) g. Invasi trofoblas pada miometrium (mola hidatidosa, koriokarsinoma) 4. Riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya, meliputi : a. Keberhasilan persalinan pervaginam sebelumnya b. Tidak ada persalinan pervaginam sebelumnya c. Jarak persalinan sebelumnya 5. Status persalinan, meliputi : a. Sebelum persalinan b. Persalinan spontan c. Induksi persalinan (oksitosin, prostaglandin) d. Akselerasi persalinan dengan oksitosin e. Lama persalinan f. Persalinan macet 6. Tindakan obstetri kebidanan meliputi :



12



a. Penggunaan instrumen seperti forsep ekstraksi b. Manipulasi intrauterin (versi ekstraksi, versi internal, ekstraksi sungsang, distosia bahu, manual plasenta) c. Tekanan pada fundus 7. Trauma uterus meliputi : a. Trauma langsung uterus (kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh) b. Kekerasan (luka tembak, pukulan pada abdomen)



Faktor predisposisi 1 1. Faktor uterus  Jaringan parut pada uterus  Kelaianan kongenital pada uterus 2. Faktor ibu  Grande/multiparitas  Usia tua 3. Faktor janin  Hamil ganda  Makrosomia  Letak lintang  Presentasi bokong 4. Faktor plasenta Kelainan letak dan implantasi plasenta misalnya pada plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. 13



5. Faktor persalinan  Jarak yang terlalu dekat dengan persalinan sebelumnya  Induksi persalinan  Persalinan lama  Persalinan macet  Persalinan dengan ekstraksi forcep  Manual plasenta  Versi luar  Dorongan pada fundus



2.5



Patofisiologi5 Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding



korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya: panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya 14



oleh ligamentum – ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating, terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea). Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan – jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar.



2.6



Manifestasi Klinis1 Biasanya ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur uteri yang membakat, yaitu his



yang kuat dan terus menerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah, nadi dan pernapasan cepat. Selain itu, segmen bawah uterus tegang, nyeri



15



pada perabaan, lingkaran retraksi (Van Bandle Ring) meninggi sampai mendekati pusat, dan ligamentum rotunda menegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita dapat merasa sangat kesakitan dan seperti ada robek dalam perutnya. Perdarahan terjadi pada saat terjadi robekan pada uterus. Pada ruptur uteri komplit darah selain keluar pervaginam sebagian dapat mengalir ke rongga perut. Pada ruptur uteri inkomplit perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar. 1. Setelah terjadi ruptur uteri dijumpai gejala-gejala syok, perdarahan pervagina sampai perdarahan intraabdomen, anemia, nadi cepat dan halus (filipormis), pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun. 2. Jika kejadian ruptur uteri telah lama, maka akan timbul gejala-gejala meteorismus dan defans muskular yang menguat sehingga sulit untuk meraba bagian-bagian janin.



2.7



Diagnosis5



a. Anamnesis5 1. Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut, pucat, keringat dingin sampai kolaps. 2. Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus. 3. Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum. 4. Syok, nadi halus dan cepat, tekanan darah turun bahkan tak terukur. 5. Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun, dan menyumbat jalan lahir. 6. Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke dada.



16



7. Kontraksi uterus biasanya hilang. 8. Terdapat defans muskular dan kemudian menjadi kembung dan meteorismus. Dapat ditanyakan juga tentang:1 - Adanya riwayat partus yang lama atau macet - Adanya riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong. - Adanya riwayat multiparitas - Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria. enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histeritomi, dan histerorafi)



B. Pemeriksaan Fisik1 Keadaan umum penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok (nadi filipormis, pernapasan cepat dangkal, dan tekanan darah turun). Pemeriksaan Luar:1  Nyeri tekan abdominal  Perdarahan per vaginam  Kontraksi uterus biasanya hilang  Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu atau janin teraba di samping uterus  Di perut bagian bawah teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi  DJJ biasanya negatif (bayi sudah meninggal)  Terdapat tanda-tanda cairan bebas  Defans muskular menguat 17



Pemeriksaan Dalam:1  Pada ruptur uteri komplit  Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intra abdomen sehingga didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen.  Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah janin dengan mudah dapat didorong ke atas hal ini terjadi akrena seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui robekan pada uterus.  Kadang-kadang kita dapat meraba robekan pada dinding rahim dan jika jari tangan dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian janin.  Pada kateterisasi didapat urin berdarah.  Pada ruptur uteri inkomplit  Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina.  Janin umumnya tetap berada dalam uterus.  Pada kateterisasi didapat urin berdarah.



2.8



Penatalaksanaan Kasus ruptur uteri harus dilakukan tindakan segera. Apabila sudah terjadi ruptur uteri,



tindakan yang terbaik adalah laparatomi. Janin dikeluarkan lebih dahulu dengan atau tanpa pembukaan uterus (jika janin sudah tidak di dalam uterus lagi), kemudian dilakukan histerektomi. Janin tidak dilahirkan pervaginam, kecuali janin masih terdapat seluruhnya dalam uterus dengan kepala sudah turun jauh dalam jalan lahir dan ada keragu-raguan 18



terhadap diagnosis ruptur uteri. Dalam hal ini, setelah janin dilahirkan, perlu diperiksa dengan satu tangan dalam uterus apakah ada ruptur uteri. Pada umumnya pada ruptur uteri tidak dilakukan penjahitan luka dalam usaha untuk mempertahankan uterus.Hanya dalam keadaan yang sangat istimewa hal itu dilakukan; dua syarat dalam hal ini harus dipenuhi, yakni pinggir luka harus rata seperti pada ruptur parut bekas seksio sesaria, dan tidak ada tanda-tanda infeksi. Pengobatan untuk mencegah syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan penderita dengan ruptur uteri.9 Beberapa penatalaksanaannya adalah:1 1. Perbaiki keadaan Umum - Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah - Berikan antibiotika - Oksigen 2. Laparatomi a. Histerektomi Histerektomi dilakukan, jika: - Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi - Kondisi buruk yang membahayakan ibu b. Repair uterus (histerorafi) Histerorafi dilakukan jika: - Masih mengharapkan fungsi reproduksinya



2.9



-



Kondisi klinis ibu stabil



-



Ruptur tidak berkomplikasi



Komplikasi5 Syok hipovolemik dan sepsis merupakan penyebab utama yang meningkatkan angka



kematian ibu dalam obstetri. Syok hipovolemik dikarenakan perdarahan yang hebat dan tidak segera mendapatkan penatalaksanaan. Sepsis akibat infeksi biasanya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptur uteri terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai 19



manipulasi termasuk pemeriksaan dalam yang berulang. Kedua komplikasi ini merupakan komplikasi yang fatal, meskipun pasien bisa diselamatkan namun angka morbiditas dan kecacatan tetap tinggi.



2.10



Prognosis Prognosis ruptur uteri bergantung pada keadaan apakah uterusnya masih utuh atau



ada bekas seksio sesaria atau suatu dehisens. Bila bekas seksio sesaria atau dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi prognosis adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan. Ruptur uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang a. uterina atau ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian perinatal yang jauh lebih tinggi.



Diagnosis cepat, tindakan operasi cepat,



ketersediaan darah dalam jumlah besar dan terapi antibiotik merupakan perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptur uteri yang hamil.3,5



20



BAB III PENUTUP Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan yaitu robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat umur kehamilan lebih dari 28 minggu. Faktor etiologi ruptur uteri dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: faktor trauma pada uterus, faktor jaringan parut pada uterus, dan faktor yang terjadi secara spontan. Selain itu pula, faktor prediposisi terjadinya ruptur uteri dipengaruhi oleh faktor uterus, ibu, janin, plasenta, dan persalinan.1 Di Indonesia, ruptur uteri merupakan salah satu penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka harus dapat mendiagnosis adanya ruptur uteri sehingga dapat segera menatalaksana dengan cepat serta meningkatkan kecermatan dan kehati-hatian dalam memimpin persalinan. Selain itu pula tatalaksana yang baik terhadap syok dan infeksi sangat penting dalam penanganan ruptur uteri.1



21



DAFTAR PUSTAKA



1. Sari RDP. Ruptur Uteri. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Juke UNILA Vol 5 No. 9 Maret 2015:110-114. 2. Kadowa, I. Ruptured uterus in rural Ughanda : prevalence, predisposing, factor and outcome. Singapur med J: 1221-8.2010. 3. Cunningham FG, Gant NF, Loveno KJ. 2010.Williams Obstetrics, 23 st Ed. The Mc Graw-Hill Companies. New York: McGraw-Hill. Pg: 820-9. 4. Hofmeyr GJ, Say L, Gulmezoglu AM. WHO systematic review of maternal mortality and morbidity: the prevalence of uterine rupture. BJOG. 2005;112(9):1221–8. 5. Chalik TMA et al. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan.Dalam : Ilmu Kebidanan. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2009;(4): 492-521. 6. Dutta DC : Pregnancy with History of Previous Caesarean Section. In Textbook of Obstetrics, 4 th Ed. New Central Book Agency (P) Ltd, Calcutta 1998 : 348-52. 7. Fadel, H.E. 1982. Diagnosis and Management of Obstetric Emergencies. California. Addison-Wesley publishing company : 193-213. 8. Hacker NF and Moore George, 2012. Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd edition, W.B. Sauders company, page 316-8. 9. Hanretty, K. Obstetrics illustrated 6th edition. 2003.Philadelphia. Churchill Livingstone : 285-90.



22