Tugas Resume Agenda 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: SATRYANI



NIP



: 19901122 202203 2 006



PANGKAT/ GOL



: PENGATUR / II c



JABATAN



: TERAMPIL BIDAN



INSTANSI



: PKMK MUARA BATUQ PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT



KELOMPOK



: I (SATU)



COACH



: IR.H.SALMAN.LUMOINDONG,MM



TUGAS RESUME AGENDA 2



A. PELAYANAN PUBLIK 1. Pengertian Pelayanan Publik Definisi pelayanan publik sebagaimana tercantum dalam UU Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik khususnya dalam konteks ASN, yaitu a. penyelenggara pelayanan publik yaitu ASN/Birokrasi, b. penerima layanan yaitu masyarakat, stakeholders, atau sektor privat, dan c. kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan.



Pelayanan publik yang prima sudah tidak bisa ditawar lagi ketika lembaga pemerintah ingin meningkatkan kepercayaan publik, karena dapat menimbulkan kepuasan bagi pihak-pihak yang dilayani. Dalam Pasal 10 UU ASN, pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Untuk menjalankan fungsi tersebut, pegawai ASN bertugas untuk: a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan c. mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Dalam rangka penguatan budaya kerja sebagai salah satu strategi transformasi pengelolaan ASN menuju pemerintahan berkelas dunia (World Class Government), Pemerintah telah meluncurkan Core Values (Nilai-Nilai Dasar) ASN BerAKHLAK dan Employer Branding (Bangga Melayani Bangsa). Core Values ASN BerAKHLAK merupakan akronim dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Core Values tersebut seharusnya dapat dipahami dan dimaknai sepenuhnya oleh seluruh ASN serta dapat diimplementasikan dalam pelaksanaan tugas dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena tugas pelayanan publik yang sangat erat kaitannya dengan pegawai ASN, sangatlah penting untuk memastikan bahwa



ASN mengedepankan nilai Berorientasi Pelayanan dalam pelaksanaan tugasnya, yang dimaknai bahwa setiap ASN harus berkomitmen memberikan pelayanan prima demi kepuasan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik pemerintah wajib mendengar dan memenuhi tuntutan kebutuhan warga negaranya. Tidak hanya terkait dengan bentuk dan jenis pelayanan publik yang mereka butuhkan akan tetapi juga terkait dengan mekanisme penyelenggaraan layanan, jam pelayanan, prosedur, dan biaya penyelenggaraan pelayanan. Sebagai klien masyarakat, birokrasi wajib mendengarkan aspirasi dan keinginan masyarakat. Citra positif ASN sebagai pelayan publik terlihat dengan : a. perilaku melayani



dengan senyum,



menyapa dan memberi salam, serta



berpenampilan rapih; b. melayani dengan cepat dan tepat waktu; c. melayani dengan memberikan kemudahan bagi Anda untuk memilih layanan yang tersedia; d. serta melayani dengan dengan kemampuan, keinginan dan tekad memberikan pelayanan yang prima.



Pemberian layanan bermutu tidak boleh berhenti ketika kebutuhan masyarakat sudah dapat terpenuhi, melainkan harus terus ditingkatkan dan diperbaiki agar mutu layanan yang diberikan dapat melebihi harapan pengguna layanan. Layanan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan layanan hari esok akan menjadi lebih baik dari hari ini (doing something better and better). Dalam rangka mencapai visi reformasi birokrasi serta memenangkan persaingan di era digital yang dinamis, diperlukan akselerasi dan upaya luar biasa (keluar dari rutinitas dan business as usual) agar tercipta breakthrough atau terobosan, yaitu perubahan tradisi, pola, dan cara dalam pemberian pelayanan publik. Terobosan itulah yang disebut dengan inovasi pelayanan publik. Konteks atau permasalahan publik yang dihadapi instansi pemerintah dalam memberikan layanannya menjadi akar dari lahirnya suatu inovasi pelayanan publik. Dalam lingkungan pemerintahan banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya inovasi pelayanan publik, diantaranya komitmen dari pimpinan, adanya budaya inovasi, dan dukungan regulasi. Adanya kolaborasi antara pemerintah,



partisipasi masyarakat, dan stakeholders terkait lainnya perlu dibangun sebagai strategi untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi.



B. AKUNTABEL Akuntabilitas dan Integritas banyak dinyatakan oleh banyak ahli administrasi negara sebagai dua aspek yang sangat mendasar harus dimiliki dari seorang pelayan publik. Namun, integritas memiliki keutamaan sebagai dasar seorang pelayan publik untuk dapat berpikir secara akuntabel. Kejujuran adalah nilai paling dasar dalam membangun kepercayaan publik terhadap amanah yang diembankan kepada setiap pegawai atau pejabat negara.



Setiap organisasi memiliki mekanisme akuntabilitas tersendiri. Mekanisme ini dapat diartikan secara berbeda-beda dari setiap anggota organisasi hingga membentuk perilaku yang berbeda-beda pula. Contoh mekanisme akuntabilitas organisasi, antara lain sistem penilaian kinerja, sistem akuntansi, sistem akreditasi, dan sistem pengawasan (CCTV, finger prints, ataupun software untuk memonitor pegawai menggunakan komputer atau website yang dikunjungi). Hal-hal yang penting diperhatikan dalam membangun lingkungan kerja yang akuntabel adalah: a. kepemimpinan, b. transparansi, c. integritas, d. tanggung jawab (responsibilitas), e. keadilan, f. kepercayaan, g. keseimbangan, h. kejelasan, dan i. konsistensi.



Untuk memenuhi terwujudnya organisasi sektor publik yang akuntabel, maka mekanisme akuntabilitas harus mengandung 3 dimensi yaitu a. Akuntabilitas kejujuran dan hukum,



b. Akuntabilitas proses, Akuntabilitas program, dan c. Akuntabilitas kebijakan. Pengelolaan konflik kepentingan dan kebijakan gratifikasi dapat membantu pembangunan budaya akuntabel dan integritas di lingkungan kerja. Akuntabilias dan integritas dapat menjadi faktor yang kuat dalam membangun pola pikir dan budaya antikorupsi. Ketersediaan informasi publik telah memberikan pengaruh yang besar pada berbagai sektor dan urusan publik di Indonesia. Salah satu tema penting yang berkaitan dengan isu ini adalah perwujudan transparansi tata kelola keterbukaan informasi publik, dengan diterbitkannya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat: KIP). Aparat pemerintah dituntut untuk mampu menyelenggarakan pelayanan yang baik untuk publik. Hal ini berkaitan dengan tuntutan untuk memenuhi etika birokrasi yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik adalah suatu panduan atau pegangan yang harus dipatuhi oleh para pelayan publik atau birokrat untuk menyelenggarakan pelayanan yang baik untuk publik. Buruknya sikap aparat sangat berkaitan dengan etika. Ada 2 jenis umum konflik kepentingan yaitu a. keuangan (Penggunaan sumber daya lembaga termasuk dana, peralatan atau sumber daya aparatur untuk keuntungan pribadi) dan b. non-keuangan (Penggunaan posisi atau wewenang untuk membantu diri sendiri dan /atau orang lain).



Untuk membangun budaya antikorupsi di organisasi pemerintahan, dapat mengadopsi langkah-langkah yang diperlukan dalam penanganan Konflik Kepentingan: a. Penyusunan Kerangka Kebijakan, b. Identifikasi Situasi Konflik Kepentingan, c. Penyusunan Strategi Penangan Konflik Kepentingan, dan d. Penyiapan Serangkaian Tindakan Untuk Menangani Konflik Kepentingan.



C. KOMPETEN



Konsepsi kompetensi adalah meliputi tiga aspek penting berkaitan dengan perilaku kompetensi meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan. Sesuai Peraturan Menteri PANRB Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi ASN, kompetensi meliputi: a. Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur dan dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis jabatan; b. Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi; dan c. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang Jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan Jabatan.



Pendekatan pengembangan dapat dilakukan dengan klasikal dan non-klasikal, baik untuk kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural. Salah satu kebijakan penting dengan berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN adanya hak pengembangan pegawai, sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) Jam Pelajaran bagi PNS dan maksimal 24 (dua puluh empat) Jam Pelajaran bagi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam menentukan pendekatan pengembangan talenta ASN ditentukan dengan peta nine box pengembangan, dimana kebutuhan pengembangan pegawai, sesuai dengan hasil pemetaan pegawai dalam nine box tersebut. 1. Berkinerja yang BerAkhlak: a. Setiap ASN sebagai profesional sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. b. Selain ciri tersebut ASN terikat dengan etika profesi sebagai pelayan publik. c. Perilaku etika profesional secara operasional tunduk pada perilaku BerAkhlak. 2. Meningkatkan kompetensi diri:



a. Meningkatkan kompetensi diri untuk menjawab tantangan yang selalu berubah adalah keniscayaan. b. Pendekatan pengembangan mandiri ini disebut dengan Heutagogi atau disebut juga sebagai teori “net-centric”, merupakan pengembangan berbasis pada sumber pembelajaran utama dari Internet. c. Perilaku lain ASN pembelajar yaitu melakukan konektivitas dalam basis online network. d. Sumber pembelajaran lain bagi ASN dapat memanfaatkan sumber keahlian para pakar/konsultan, yang mungkin dimiliki unit kerja atau instansi tempat ASN bekerja atau tempat lain. e. Pengetahuan juga dihasilkan oleh jejaring informal (networks), yang mengatur diri sendiri dalam interaksi dengan pegawai dalam organisasi dan atau luar organisasi. 3. Membantu Orang Lain Belajar: a. Sosialisasi dan Percakapan di ruang istirahat atau di kafetaria kantor termasuk morning tea/coffee sering kali menjadi ajang transfer pengetahuan. b. Perilaku berbagi pengetahuan bagi ASN pembelajar yaitu aktif dalam “pasar pengetahuan” atau forum terbuka (Knowledge Fairs and Open Forums). c. Mengambil dan mengembangkan pengetahuan yang terkandung dalam dokumen kerja seperti laporan, presentasi, artikel, dan sebagainya dan memasukkannya ke dalam repositori di mana ia dapat dengan mudah disimpan dan diambil (Knowledge Repositories). d. Aktif untuk akses dan transfer Pengetahuan (Knowledge Access and Transfer), dalam bentuk pengembangan jejaring ahli (expert network), pendokumentasian pengalamannya/pengetahuannya, dan mencatat pengetahuan bersumber dari refleksi pengalaman (lessons learned). 4. Melakukan kerja terbaik: a. Pengetahuan menjadi karya: sejalan dengan kecenderungan setiap organisasi, baik instansi pemerintah maupun swasta, bersifat dinamis, hidup dan berkembang melalui berbagai perubahan lingkungan dan karya manusia. b. Pentingnya berkarya terbaik dalam pekerjaan selayaknya tidak dilepaskan dengan apa yang menjadi terpenting dalam hidup seseorang. Implikasi VUCA menuntut diantaranya penyesuaian proses bisnis, karakter dan tuntutan keahlian baru. c. Adaptasi terhadap keahlian baru perlu dilakukan setiap waktu, sesuai kecenderungan kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dalam



meningkatkan kinerja organisasi lebih lambat, dibandikan dengan tawaran perubahan teknologi itu sendiri.



Prinsip pengelolaan ASN yaitu berbasis merit, yakni seluruh aspek pengelolaan ASN harus memenuhi kesesuaian kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, termasuk tidak boleh ada perlakuan yang diskriminatif, seperti hubungan agama, kesukuan atau aspek-aspek primodial lainnya yang bersifat subyektif. Pembangunan Apartur sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, diharapkan menghasilkan karakter birokrasi yang berkelas dunia (world class bureaucracy), yang dicirikan dengan beberapa hal, yaitu pelayanan publik yang semakin berkualitas dan tata kelola yang semakin efektif dan efisien Terdapat 8 (delapan) karakateristik yang dianggap relevan bagi ASN dalam menghadapi tuntutan pekerjaan saat ini dan kedepan. Kedelapan karakterisktik tersebut meliputi: integritas, nasionalisme, profesionalisme, wawasan global, IT dan Bahasa asing, hospitality, networking, dan entrepreneurship.



D. HARMONIS Keberagaman bangsa Indonesia selain memberikan banyak manfaat juga menjadi sebuah tantangan bahkan ancaman, karena dengan kebhinekaan tersebut mudah menimbulkan perbedaan pendapat dan lepas kendali, mudah tumbuhnya perasaan kedaerah yang amat sempit yang sewaktu bisa menjadi ledakan yang akan mengancam integrasi nasional atau persatuan dan kesatuan bangsa. Terbentuknya NKRI merupakan penggabungan suku bangsa di nusantara disadari pendiri bangsa dilandasi rasa persatuan Indonesia. Semboyan bangsa yang dicantumkan dalam Lambang Negara yaitu Bhineka Tunggal Ika merupakan perwujudan kesadaran persatuan berbangsa tersebut. Etika publik merupakan refleksi kritis yang mengarahkan bagaimana nilai-nilai kejujuran, solidaritas, keadilan, kesetaraan, dan lain-lain dipraktikkan dalam wujud keprihatinan dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat. Adapun Kode Etik Profesi dimaksudkan untuk mengatur tingkah laku/etika suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan dapat dipegang teguh oleh sekelompok



profesional tertentu. Oleh karena itu, dengan diterapkannya kode etik Aparatur Sipil Negara, perilaku pejabat publik harus berubah, a. Pertama, berubah dari penguasa menjadi pelayan; b. Kedua, berubah dari ‟wewenang‟ menjadi ‟peranan‟; c. Ketiga, menyadari bahwa jabatan publik adalah amanah d. Membangun budaya harmonis tempat kerja yang harmonis sangat penting dalam suatu organisasi. Suasana tempat kerja yang positif dan kondusif juga berdampak bagi berbagai bentuk organisasi. e. Identifikasi potensi disharmonis dan analisis strategi dalam mewujudkan susasana harmonis harus dapat diterapkan dalam kehidupan ASN di lingkungan bekerja dan bermasyarakat.



Peran ASN Dalam mewujudkan suasana harmoni maka ASN harus memiliki pengetahuan tentang historisitas ke-Indonesia-an sejak awal Indonesia berdiri, sejarah proses perjuangan dalam mewujudkan persatuan bangsa termasuk pula berbagai macam gerakan gerakan separatism dan berbagai potensi yang menimbulkan perpecahaan dan menjadi ancaman bagi persatuan bangsa. Secara umum, menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Pasal 11 tentang ASN, tugas pegawai ASN adalah sebagai berikut. a. Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan b. Memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas c. Mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia



Beberapa peran ASN dalam kehidupan berbangsa dan menciptakan budaya harmoni dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya adalah sebagai berikut: a. Posisi PNS sebagai aparatur Negara, dia harus bersikap netral dan adil. Netral dalam artian tidak memihak kepada salah satu kelompok atau golongan yang ada. Adil, berarti PNS dalam melaksanakna tugasnya tidak boleh berlaku diskriminatif dan harus obyektif, jujur, transparan. Dengan bersikap netral dan adil dalam melaksanakan tugasanya, PNS akan mampu menciptakan kondisi yang aman, damai, dan tentram dilingkungan kerjanya dan di masyarakatnya. Sikap netral dan adil juga harus diperlihatkan oleh PNS dalam event politik lima tahunan yaitu pemilu dan pilkada. Dalam pemilu, seorang PNS yang aktif dalam partai politik, atau mencalonkan diri



sebagai anggota legislative (DPR, DPRD dan DPD), atau mencalonkan diri sebagai kepala daerah, maka dia harus mundur atau berhenti sementara dari statusnya sebagai PNS. Tuntutan mundur diperlukan agar yang bersangkutan tidak menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya untuk kepentingan dirinya dan partai politiknya. Kalau PNS sudah terlibat dalam kepentingan dan tarikan politik praktis, maka dia sudah tidak bisa netral dan obyektif dalam melaksanakn tugas tugasnya. Situasi ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap PNS dan kelembagaan/institusi yang dipimpinnya. b. PNS juga harus bisa mengayomi kepentingan kelompok , kelompok minoritas, dengan tidak membuat kebijakan, peraturan yang mendiskriminasi keberadaan kelompok tersebut. Termasuk didalamnya ketika melakukan rekrutmen pegawai, penyusunan program tidak berdasarkan kepada kepentingan golongannya. c. PNS juga harus memiliki sikap toleran atas perbedaan untuk menunjang sikap netral dan adil karena tidak berpihak dalam memberikan layanan. d. Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban PNS juga harus memiliki suka menolong baik kepada pengguna layanan, juga membantu kolega PNS lainnya yang membutuhkan pertolongan. e. PNS menjadi figur dan teladan di lingkungan masyarakatnya. PNS juga harus menjadi tokoh dan panutan masyarakat. Dia senantiasa menjadi bagian dari problem solver (pemberi solusi) bukan bagian dari sumber masalah (trouble maker). Oleh sebab itu , setiap ucapan dan tindakannya senantiasa menjadi ikutan dan teladan warganya. Dia tidak boleh melakukan tindakan, ucapan, perilaku yang bertentangan dengan norma norma sosial dan susila, bertentangan dengan agama dan nilai local yang berkembang di masyarakat.



Budaya Harmonis Dalam dunia nyata upaya mewujudkan suasana harmonis tidak mudah. Realita lingkungan selalu mengalami perubahan sehingga situasi dan kondisi juga mengikutinya. Ibarat baterai yang digunakan untuk menggerakkan motor atau mesin suatu masa akan kehabisan energi dan perlu di „charge‟ ulang. Oleh karena itu upaya menciptakan suasana kondusif yang harmonis bukan usaha yang dilakukan sekali dan jadi untuk selamanya. Upaya menciptakan dan menjaga suasana harmonis dilakukan secara terus menerus. Mulai dari mengenalkan kepada seluruh personil ASN dari jenjang terbawah sampai yang paling tinggi, memelihara suasana harmonis, menjaga diantara personil dan stake holder.



Kemudian yang tidak boleh lupa untuk selalu menyeseuaikan dan meningkatkan usaha tersebut, sehingga menjadi habit/kebiasaan dan menjadi budaya hidup harmonis di kalangan ASN dan seluruh pemangku kepentingannya. Upaya menciptakan budaya harmonis di lingkungan bekerja tersebut dapat menjadi salah satu kegiatan dalam rangka aktualisasi penerapannya.



E. LOYAL Secara etimologis, istilah “loyal” diadaptasi dari bahasa Prancis yaitu “Loial” yang artinya mutu dari sikap setia. Bagi seorang Pegawai Negeri Sipil, kata loyal dapat dimaknai sebagai kesetiaan, paling tidak terhadap cita-cita organisasi, dan lebih-lebih kepada



Negara



Kesatuan



Republik



Indonesia



(NKRI).



Terdapat



beberapa



ciri/karakteristik yang dapat digunakan oleh organisasi untuk mengukur loyalitas pegawainya, antara lain: 1. Taat pada Peraturan. 2. Bekerja dengan Integritas 3. Tanggung Jawab pada Organisasi 4. Kemauan untuk Bekerja Sama. 5. Rasa Memiliki yang Tinggi 6. Hubungan Antar Pribadi 7. Kesukaan Terhadap Pekerjaan 8. Keberanian Mengutarakan Ketidaksetujuan 9. Menjadi teladan bagi Pegawai lain



Loyal, merupakan salah satu nilai yang terdapat dalam Core Values ASN yang dimaknai bahwa setiap ASN harus berdedikasi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dengan panduan perilaku: 1. Memegang teguh ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, setia kepada NKRI serta pemerintahan yang sah 2. Menjaga nama baik sesama ASN, pimpinan instansi dan negara; serta 3. Menjaga rahasia jabatan dan negara



Adapun kata-kata kunci yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan panduan perilaku loyal tersebut di atas diantaranya adalah komitmen, dedikasi, kontribusi, nasionalisme dan pengabdian, yang dapat disingkat menjadi “KoDeKoNasAb”. Secara umum, untuk menciptakan dan membangun rasa setia (loyal) pegawai terhadap organisasi, hendaknya beberapa hal berikut dilakukan: 1. Membangun Rasa Kecintaaan dan Memiliki 2. Meningkatkan Kesejahteraan 3. Memenuhi Kebutuhan Rohani 4. Memberikan Kesempatan Peningkatan Karir 5. Melakukan Evaluasi secara Berkala



Setiap ASN harus senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri sipil, serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang atau golongan sebagai wujud loyalitasnya terhadap bangsa dan negara. Agar para ASN mampu menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan lainnya dibutuhkan langkah-langkah konkrit, diantaranya melalui pemantapan Wawasan Kebangsaan. Selain memantapkan Wawasan Kebangsaan, sikap loyal seorang ASN dapat dibangun dengan cara terus meningkatkan nasionalismenya kepada bangsa dan negara. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang ASN, ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip Nilai Dasar (pasal 4) serta Kode Etik dan Kode Perilaku (Pasal 5, Ayat 2) dengan



serangkaian



Kewajibannya



(Pasal



23).



Untuk



melaksanakan



dan



mengoperasionalkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dirumuskanlah Core Value ASN BerAKHLAK yang didalamnya terdapat nilai Loyal dengan 3 (tiga) panduan perilaku (kode etik)-nya. Sifat dan sikap loyal warga negara termasuk PNS terhadap bangsa dan negaranya dapat diwujudkan dengan mengimplementasikan Nilai-Nilai Dasar Bela Negara dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu: 1. Cinta Tanah Air 2. Sadar Berbangsa dan Bernegara 3. Setia pada Pancasila sebagai Ideologi Negara 4. Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara 5. Kemampuan Awal Bela Negara



Sikap loyal seorang PNS dapat tercermin dari komitmennya dalam melaksanakan sumpah/janji yang diucapkannya ketika diangkat menjadi PNS sebagaimana ketentuan perundang-undangangan yang berlaku. Disiplin PNS adalah kesanggupan PNS untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hanya PNS-PNS yang memiliki loyalitas yang tinggilah yang dapat menegakkan kentuan-ketentuan kedisiplinan ini dengan baik. Berdasarkan pasal 10 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, seorang ASN memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik serta perekat dan pemersatu bangsa. Kemampuan ASN dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut merupakan perwujudan dari implementai nilai-nilai loyal dalam konteks individu maupun sebagai bagian dari Organisasi Pemerintah. Kemampuan



ASN



dalam



memahami



dan



mengamalkan



nilai-nilai



Pancasila



menunjukkan kemampuan ASN tersebut dalam wujudkan nilai loyal dalam kehidupannya sebagai ASN yang merupakan bagian/komponen dari organisasi pemerintah maupun sebagai bagian dari anggota masyarakat.



F. ADAPTIF Adaptasi merupakan kemampuan alamiah dari makhluk hidup. Organisasi dan individu di dalamnya



memiliki



kebutuhan



beradaptasi



selayaknya



makhluk



hidup,



untuk



mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Kemampuan beradaptasi juga memerlukan adanya inovasi dan kreativitas yang ditumbuhkembangkan dalam diri individu maupun organisasi. Di dalamnya dibedakan mengenai bagaimana individu dalam organisasi dapat berpikir kritis versus berpikir kreatif. Pada level organisasi, karakter adaptif diperlukan untuk memastikan keberlangsungan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Penerapan budaya adaptif dalam organisasi memerlukan beberapa hal, seperti di antaranya tujuan organisasi, tingkat kepercayaan, perilaku tanggung jawab, unsur kepemimpinan dan lainnya.



Dan budaya adaptif sebagai budaya ASN merupakan kampanye untuk membangun karakter adaptif pada diri ASN sebagai individu yang menggerakkan organisasi untuk mencapai tujuannya. Perilaku adaptif merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam mencapai tujuan – baik individu maupun organisasi – dalam situasi apa pun. Salah satu tantangan membangun atau mewujudkan individua dan organisasi adaptif tersebut adalah situasi VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity). Hadapi Volatility dengan Vision, hadapi uncertainty dengan understanding, hadapi complexity dengan clarity, dan hadapi ambiguity dengan agility. Organisasi adaptif yaitu organisasi yang memiliki kemampuan untuk merespon perubahan lingkungan dan mengikuti harapan stakeholder dengan cepat dan fleksibel. Budaya organisasi merupakan faktor yang sangat penting di dalam organisasi sehingga efektivitas organisasi dapat ditingkatkan dengan menciptakan budaya yang tepat dan dapat mendukung tercapainya tujuan organisasi. Bila budaya organisasi telah disepakati sebagai sebuah strategi perusahaan maka budaya organisasi dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kinerja. Dengan adanya pemberdayaan budaya organisasi selain akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Grindle menggabungkan dua konsep untuk mengukur bagaimana pengembangan kapasitas pemerintah adaptif dengan indicator-indikator sebagai berikut: a. Pengembangan sumber daya manusia adaptif; b. Penguatan organisasi adaptif dan c. Pembaharuan institusional adaptif. Terkait membangun organisasi pemerintah yang adaptif, Neo & Chan telah berbagi pengalaman bagaimana Pemerintah Singapura menghadapi perubahan yang terjadi di berbagai sektornya, mereka menyebutnya dengan istilah dynamic governance. Menurut Neo & Chen, terdapat tiga kemampuan kognitif proses pembelajaran fundamental untuk pemerintahan dinamis yaitu: a. berpikir ke depan (think ahead), b. berpikir lagi (think again) dan c. berpikir lintas (think across). Selanjutnya, Liisa Välikangas (2010) memperkenalkan istilah yang berbeda untuk pemerintah yang adaptif yakni dengan sebutan pemerintah yang tangguh (resilient



organization). Pembangunan organisasi yang tangguh menyangkut lima dimensi yang membuat organisasi kuat dan imajinatif: kecerdasan organisasi, sumber daya, desain, adaptasi, dan budaya (atau sisu, kata Finlandia yang menunjukkan keuletan.)



G. KOLABORATIF Berdasarkan beberapa definisi kolaborasi dan collaborative governance. Dyer and Singh (1998, dalam Celik et al, 2019) mengungkapkan bahwa kolaborasi adalah “ value generated from an alliance between two or more firms aiming to become more competitive by developing shared routines”. Selain diskursus tentang definisi kolaborasi, terdapat istilah lainnya yang juga perlu dijelaskan yaitu collaborative governance. Irawan (2017 P 6) mengungkapkan bahwa “ Collaborative governance “sebagai sebuah proses yang melibatkan norma bersama dan interaksi saling menguntungkan antar aktor governance . Collaborative governance dalam artian sempit merupakan kelompok aktor dan fungsi. Ansell dan Gash A (2007:559), menyatakan Collaborative governance mencakup kemitraan institusi pemerintah untuk pelayanan publik. Sebuah pendekatan pengambilan keputusan, tata kelola kolaboratif, serangkaian aktivitas bersama di mana mitra saling menghasilkan tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab dan sumber daya (Davies Althea L Rehema M. White, 2012). Ansel dan Gash (2007:544) membangun enam kriteria penting untuk kolaborasi yaitu: a. forum yang diprakarsai oleh lembaga publik atau lembaga; b. peserta dalam forum termasuk aktor nonstate; c. peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan bukan hanya '„dikonsultasikan‟ oleh agensi publik; d. forum secara resmi diatur dan bertemu secara kolektif; e. forum ini bertujuan untuk membuat keputusan dengan konsensus (bahkan jika konsensus tidak tercapai dalam praktik), dan f. fokus kolaborasi adalah kebijakan publik atau manajemen.



Ratner (2012) mengungkapkan terdapat mengungkapkan tiga tahapan yang dapat dilakukan dalam melakukan assessment terhadap tata kelola kolaborasi yaitu : a. mengidentifikasi permasalahan dan peluang;



b. merencanakan aksi kolaborasi; dan c. mendiskusikan strategi untuk mempengaruhi.



Mengenal Whole-of-Government (WoG) WoG adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upayaupaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna mencapai tujuan- tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik. Oleh karenanya WoG juga dikenal sebagai pendekatan interagency, yaitu pendekatan yang melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan urusan-urusan yang relevan. Menurut Pérez López et al (2004 dalam Nugroho, 2018), organisasi yang memiliki collaborative culture indikatornya sebagai berikut: a. Organisasi menganggap perubahan sebagai sesuatu yang alami dan perlu terjadi; b. Organisasi menganggap individu (staf) sebagai aset berharga dan membutuhkan upaya yang diperlukan untuk terus menghormati pekerjaan mereka; c. Organisasi memberikan perhatian yang adil bagi staf yang mau mencoba dan mengambil risiko yang wajar dalam menyelesaikan tugas mereka (bahkan ketika terjadi kesalahan); d. Pendapat yang berbeda didorong dan didukung dalam organisasi (universitas) Setiap kontribusi dan pendapat sangat dihargai; e. Masalah dalam organisasi dibahas transparan untuk menghindari konflik; f. Kolaborasi dan kerja tim antar divisi adalah didorong; dan g. Secara keseluruhan, setiap divisi memiliki kesadaran terhadap kualitas layanan yang diberikan. Brenda (2016) dalam penelitiannya menggunakan indikator “work closely with each other” untuk menggambarkan perilaku kolaboratif. Esteve et al (2013 p 20) mengungkapkan beberapa aktivitas kolaborasi antar organisasi yaitu: a. Kerjasama Informal; b. Perjanjian Bantuan Bersama; c. Memberikan Pelatihan; d. Menerima Pelatihan; e. Perencanaan Bersama; f. Menyediakan Peralatan;



g. Menerima Peralatan; h. Memberikan Bantuan Teknis; i. Menerima Bantuan Teknis; j. Memberikan Pengelolaan Hibah; dan k. Menerima Pengelolaan Hibah.



Ansen dan gash (2012 p 550) mengungkapkan beberapa proses yang harus dilalui dalam menjalin kolaborasi yaitu: a. Trust building : membangun kepercayaan dengan stakeholder mitra kolaborasi b. Face tof face Dialogue: melakukan negosiasi dan baik dan bersungguh-sungguh; c. Komitmen terhadap proses: pengakuan saling ketergantungan; sharing ownership dalam proses; serta keterbukaan terkait keuntungan bersama; d. Pemahaman bersama: berkaitan dengan kejelasan misi, definisi bersama terkait permasalahan, serta mengidentifikasi nilai bersama; dan e. Menetapkan outcome antara.



Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat memberikan Bantuan Kedinasan kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta dengan syarat: a. Keputusan dan/atau Tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang meminta bantuan b. penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan; c. dalam hal melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melaksanakannya sendiri; d. apabila untuk menetapkan Keputusan dan melakukan kegiatan pelayanan publik, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan membutuhkan surat keterangan dan berbagai dokumen yang diperlukan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; dan/atau e. jika penyelenggaraan pemerintahan hanya dapat dilaksanakan dengan biaya, peralatan, dan fasilitas yang besar dan tidak mampu ditanggung sendiri oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tersebut.



Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat menolak memberikan Bantuan Kedinasan apabila: a. mempengaruhi kinerja Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan pemberi bantuan; b. surat keterangan dan dokumen yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan bersifat rahasia; atau c. ketentuan peraturan perundang-undangan tidak memperbolehkan pemberian bantuan



Terima Kasih…..